Rabu, 08 September 2021

Sausan Azalia

 


Sausan Azalia

 

Sejak tahu ia sejurusan denganku, aku selalu mencari alasan untuk berkunjung ke kampus. Tujuanku pasti; gedung E-6.

Pagi itu, aku sudah rapi. Jo melihatku heran. Kepalanya menggeleng sebentar. Ia menembakku,

“Ini kamis, Sam! Kamu terserang alzaimer?”

“Apa yang salah dengan Kamis?” tanyaku balik.

“Bukannya kamu bilang kamu sudah alergi dengan jurusanmu?” ia bertanya lagi. Aku hadiahi ia senyum. Ia tidak bereaksi apa-apa. Senyumku untuknya menguap bersama udara.

“Aku sudah sembuh. Sejak ia ada.

“Gila. Kamu mencintai imajinasimu. Ia terbentuk sebab imajinasimu. Sadarlah, Sam!

“Maaf, Jo. Saranmu menyesatkan. Sungguh menyesatkan.”

Aku menyalakan Belalang Tempur. Suaranya berhasil membungkam keusilan Jo.

Belalang Tempur menyatakan diri siap berpetualang lagi. Segera kutuntun ia. Melewati gang kecil lagi. Melewati kios loundre Pak Ramon lagi.

Kios loundre Pak Ramon sudah terlihat. Aku tidak menunduk. Sebab pagi itu, aku akan menyapanya. Semoga ia ada. Semoga ia baik-baik saja.

Sekarang, jarakku hanya beberapa langkah dari kios loundre Pak Ramon. Aku hanya melihat kesepian di sana. Barangkali dua petugasnya belum datang. Tapi bisa saja Pak Ramon menginginkan itu. Sepi. Kesepian. Suasana yang membuatnya cepat mati.

Dahiku menari. Ada keganjilan dalam diri Pak Ramon. Ia seperti melihat akhirat. Banyak bidadari yang mulus. Tapi juga ada gada para malaikat. Ia sendiri. Berjalan menuju mahsyar yang –konon- sangat panas itu. Sebab, matahari hanya berjarak satu kilan. Sehingga, manusia-manusia itu kebanjiran keringatnya sendiri.

Pak Ramon seperti mempunyai nalar gaib. Ia tahu barzah. Ia tahu hari kebangkitan. Dan ia tahu timbangan itu; mizan itu. Ia berujar, jika kadang malaikat tampak sumringah. Tapi juga menakutkan.

Kulihat ia mematung di kursi sebelah kiosnya. Pakaiannya sudah rapi.

“Pagi, Pak,” aku menyapanya. Ia mengangkat wajahnya. Menatapku heran. Bahkan ia seperti tidak mengenaliku.

“Pagi, Nak ...” Ia memanggilku ‘nak’ lagi. Itu kali kedua sejak aku berkenalan dengannya. Empat tahun yang lalu.

“Pegawai Bapak belum datang?” tanyaku basa-basi.

“Belum. Mau ke mana, Nak? Mau ke akhirat?” Ia bertanya sesuatu yang ganjil. Ia ganjil. Ia aneh. Aku memicingkan dua mata. Merangkai kata. Membuat jawaban yang sehat.

“Ke kampus, Pak. Aku tidak tahu jalan menuju akhirat, Pak,” jawabku sambil tersenyum. Lalu ia memintaku untuk duduk di sebelahnya. Aku menurut. Karena aku punya banyak waktu.

“Aku tahu jalan menuju akhirat.” Pak Ramon berbisik di kupingku. Aku tahu. Itu hari Kamis. Pak Ramon sehat-sehat saja di hari itu. Aku yakin sekali.

“Dari mana Bapak tahu?”

“Aku tahu segalanya. Bahkan aku tahu jika para penghuni kubur itu sering menangis. Mereka menyesal. Sebab banyak keluarganya yang lupa.

“Seperti Bapak kelak?” tanyaku bercanda. Namun ia semakin serius.

“Iya. Aku takut itu. Tapi sekarang aku tidak takut. Aku akan menjebak malaikat kubur.

“Haah!” Aku ternganga. “Bagaimana caranya?”

“Itu rahasia. Jika kamu ingin mati, hubungi aku!” Ia menepuk dada kusutnya.

“Memangnya Bapak tidak jadi ingin mati? Sekarang? Besok? Lusa?”

Ia belum menjawab. Tapi ponselku berbunyi. Satu SMS masuk. Pak Ramon pengertian.

Segera kubuka,

“Aku di Jangkar. Hilal.” Bunyi SMS itu.

“Nomor baru?” balasku.

“Iya. Kamu tak pesankan kopi. Harus datang!”

“Siap. I love you!

Ia membalas. Tapi bukan dengan kalimat. Gambar celana dalam renda-renda sebagai gantinya.

“Ada yang baru saja dipakai?”

Ia bungkam. Tidak ada balasan.

Pak Ramon ingin menjawab pertanyaanku. Tapi itu tidak mungkin. Sebab ia melihatku berdiri. Ia hanya diam memperhatikanku. Ia melihat bagaimana aku akan pergi darinya. Barangkali akan serupa kematian.

“Saya ke kampus dulu, Pak,” pamitku.

Pak Ramon hanya diam. Wajahnya seperti ditekuk.

Aku menuntun Belalang Tempur lagi. Ia tiba-tiba berteriak,

“Kematian itu sangat dekat denganmu, denganku. Hari ini kamu akan melihat kematian.

Suara Pak Ramon membuatku resah. Kematian? Benar. Aku akan bertemu kematian? Iya. Dekat? Sangat. Di mana? Di tiap embusan napasmu.

Langit sangat cerah. Hangat matahari menyusup ke semua sendi tubuhku. Tubuh semua orang. Jalan Surabaya tidak pernah sepi. Hampir pasti padat merayap. Aku siap melaju dengan Belalang Tempur-ku.

Ia tidak berpesan apa-apa. Sebab ia tahu. Aku tidak suka bokong berlegging itu lagi. Sebab aku menantikan cahaya itu. Tetesan mukjizat itu. Ia yang di sana. Ia yang sedang melangkahkan dua kakinya.

Aku melaju. Karpet hitam itu sangat bersahabat.

Hanya lima menit. Gerbang kampus terlihat lagi. Ada semut yang menyemut lagi.

Setelah mengambil karcis parkir, aku melaju lagi. Gedung Pascasarjana terlihat suram. Halamannya tampak belum terbelai sapu. Mungkin masih terlampau pagi. Tapi tidak juga. Sebab sudah jam delapan.

Kutinggalkan gedung Pasca itu dengan tanda tanya. Namun aku tidak butuh jawabnya. Aku hanya bertanya. Sebab, jawabannya sudah tentu aku tahu.

Masjid Al Hikmah tidak kulihat saat itu. Aku hanya ingin secepat mungkin sampai ke Jangkar.

Parkiran masih sepi. Belalang Tempur sangat leluasa memilih peraduannya. Saat itu, ia memilih parkir khusus untuk dosen. Padahal sudah kularang. Tapi ia memaksa. Ya sudahlah. Sekali-kali biar ia membuat pilihan sendiri.

Belalang Tempur sudah berdiri dengan nyaman, tenang. Aku segera meninggalkannya. Jalanku seperti terburu.

Jangkar belum terlalu ramai. Aku melihat Hilal duduk sendiri. Di depannya ada dua gelas kopi yang masih ada asapnya.

Aku segera menjumpainya.

Kutepuk bahu kanannya. Ia tidak menoleh. Sebab katanya, aku tidak punya cara lain untuk membuatnya terkejut. Aku tertawa. Kemudian memeluknya. Tapi ia menghindar dengan baik.

Piye kabarmu?” tanyanya.

“Kayak kita berpisah lama saja, Sayang!” godaku. Ia ingin muntah katanya.

“Vina akan ke sini juga.

“Mana Nunung?”

“Di kosan.

“Kok, tidak ente ajak?”

“Kasihan kamu.

“Kok, bisa?”

“Nanti kamu pingin.

Hilal. Temanku yang satu itu kadang misterius. Kadang juga banyol. Kadang juga mendadak pandai membuat puisi. Ia penggila Nahwu. Tapi jarang sekali masuk saat materi itu disampaikan dosen.

Ia menikah dengan Nunung saat kami semester lima. Diam-diam. Tidak ada yang tahu. Terkesan mencurigakan. Tapi ia Hilal. Bukan Vina atau Sugeng. Semua tahu keimanannya. Aku juga.

Hilal berdarah Madura. Buyutnya berasal dari Sampang. Desanya ketapang. Kata ia, di sana panas. Darah mudah mendidih. Sebab itu, keluarganya hijrah ke Bondowoso.

Aku berkarib dengannya. Sebab kegantengan kami sama. Tapi ia tidak setuju. Ia bilang, ia paling ganteng satu jurusan. Ia juga banyak digilai mahasiswi-mahasiswi jurusan. Ini serius.

“Gimana, Lin. Masih ingin jomblo?”

“Sebentar lagi tidak. Tunggu kejutannya, Gus.

Aku suka memanggil Hilal dengan sebutan Gus –kependekan dari Den Bagus-. Bukan karena ia ganteng. Tapi karena ia putra Kiyai. Vina yang membisikkan itu padaku. Fonem kiyai menjadi sangat limited di jurusanku. Itu info yang kudapat.

“Ah masak?” Ia menggoda.

“Dua hari yang lalu aku bertemu dengannya. Vina saksi hidupnya.

“Siapa ia?” selidiknya.

“Tidak tahu. Namun aku tahu ia. Ia magnet, aku serbuk logam yang siap lengket.

Ia tidak merespon. Sebab baginya aku lagi kesurupan. Ia kemudian mengajakku ke SAC. Karena Vina tidak datang. Kami sudah menunggunya agak lama. Hilal kurang sabaran.

Dua alisku saling mendekat. Ajakan Hilal sangat pas dengan keinginan hatiku. SAC? Iya, SAC. Pasti ia di sana? Mungkin saja. Jika tidak? Aku tetap gemetaran. Sebab ia pernah di sana. Bahkan sering. Itu ruang kuliahnya.

Kami berjalan beriringan. Mesra. Ia membuka obrolan lagi,

“Bagaimana skripsimu?”

“BAB III.

“Sudah beres.

“Masih dikoreksi Ustaz Hanafi.

“Kamu, Gus?”

“Lebih enak kelonan!”

Kimpet!

“Katanya mau ada pemilihan Kajur?”

“Menurutku itu bukan pemilihan, Gus!”

“Lalu?”

“Dosen-dosen kita itu seperti tidak ingin mempunyai jabatan di jurusan. Bukan lantaran mereka enggan berpeluh lebih. Tapi mereka itu saling menganggap dirinya tidak lebih baik dari dosen yang lain. Coba lihat Prof. Irhamni!”

“Kenapa memangnya?”

“Beliau selalu kabur saat dicalonkan. Kata beliau, masih banyak yang lebih alim dari beliau.

“Iya juga, sih.

“Itulah mereka. Kita beruntung dididik oleh mereka.

“Tapi mereka tidak beruntung. Karena mendidik kita.

Tawa kami meledak bersama. Ada mahasiswi berkerudung merah menoleh. Ia terkejut dengan ulah kami. Hilal membalasnya dengan kerlingan mata. Ia tampak malu-malu. Kemudian berpura-pura sibuk dengan ponselnya.

Pintu SAC menutup rapat. Itu pasti ulah Vina. Bisik Hilal di kupingku. Aku mengangguk setuju.

“Kita dobrak?”

“Jangan. Nanti Vina tidak cantik lagi”

Ora nyambung blas!

Aku berusaha membuka pintu SAC. Tidak dikunci. Hanya ditutup. Kemudian kami masuk. Vina sedang sibuk. Ia sedang berhadapan dengan tiga mahasiswi. Kutahu mereka Maba. Hilal juga mengatakan hal yang sama.

“Sebab ini aku memilih Nunung.” Ia berbisik di telingaku. Hembusan napasnya membuatku geli.

“Ahai. Tapi, kan, rasanya sama,” timpalku sekenanya. Ia tertawa. Vina membuat isyarat supaya kami diam. Kemudian jarinya menunjuk sebuah ruangan di dalam SAC yang pintunya menutup. Di pintunya tertempel tulisan: Imtihan; yang berarti ujian.

Kami patuh padanya. Hilal mengajakku masuk ke ruangan sebelahnya. Ruangan itu berisi buku referensi, skripsi mahasiswa jurusan, komputer siap pakai, dan tentu saja tempat tidur yang nyaman.

Kami masuk. Ruangan itu lumayan ramai. Para mahasiswa sibuk dengan yang di depannya masing-masing. Dua mataku segera bergerilya. Sebab aku berharap menemukannya di sana. Tapi kenyataannya ia memang tidak di sana. Hilal seperti curiga. Tapi aku segera mengalihkan perhatiannya.

Alisku bergerak. Aku mendapatkan sesuatu. Aku melihat Buroq di sana. Ia tidak melihatku. Ia menghadap layar komputer dengan sangat serius. Di sebelahnya ada Faidah. Tapi aku memanggilnya ‘Udud’. Ia tidak marah. Sebab ia tidak tahu artinya.

Buroq dan Udud tidak melihat dan merasakan kehadiranku. Sebab itu, aku enggan menyapanya. Aku memilih menemani Hilal berbaring di bawah meja. Dingin dan menidurkan. Katanya.

“Ada Udud, Gus.

Hilal diam. Tidak bersuara. Kutoleh sejenak. Ia sudah di tempat yang berbeda. Sepertinya semalaman ia ‘bekerja’. Jadi ia pasti lelah sekali.

Aku berbaring. Mengatubkan mata. Tapi gagal tidur. Ia selalu datang. Atau memang ia sudah berada di dua mataku sejak peristiwa itu? Mungkin saja iya!

Aku bangkit dari baringanku. Kuputuskan menyapa Buroq dan Udud. Siapa tahu mereka membuatku ngantuk.

“Hai, Dud!” sapaku pada Udud. Ia menoleh. Begitu juga dengan Buroq. Senyum Udud masih sama. Tidak manis juga tidak pahit. Sementara senyum Buroq tidak bisa kurasakan. Aneh.

“Tumben ke sini?” tanya Udud cepat.

“Aku rajin. Tapi kamu tidak pernah melihatnya, Sayang.” Aku menggodanya. Buroq tertawa. Tapi dua matanya masih terpaku di layar komputer.

“Preet ...” Udud membalas. Itu ciri khas bahasanya. Norak!

“Bur, piye skripsimu?” Aku bertanya pada Buroq. Ia menoleh.

“Ini lagi tak ketik. Ente gimana?” Ia bertanya balik.

“Mau ke BAB IV.

“Wuih. Sudah mau rampung, dong?” Buroq pasang ekpresi seolah-olah terkejut. Padahal aku tahu, ia tidak begitu. Setan. Kenapa aku jadi menuduhnya?

Jek sowe, Sam,” sahutku cepat.

Udud berdiri dari duduknya. Kemudian ia berjalan menuju meja yang di bawahnya ada Hilal sedang berkencan dengan Paris Hilton. Ia idolanya. Hilal sering mengatakan jika dirinya beberapa kali mimpi basah bersama Paris Hilton. Tapi ia tidak sekalipun menceritakannya pada Nunung.

Udud duduk. Ia masih sama. Gaya duduknya selalu dibuat secantik mungkin. Namun selalu gagal di mataku. Tapi ia berkilah, duduknya bukan untukku tapi untuk Hasan. Laki-laki –yang katanya- akan mencarinya. Sebab ia tulang rusuknya. Aku segera ingin muntah. Tapi segera saja kurungkan. Sebab cinta memang begitu. Keindahan dan imajinasinya tidak akan pernah bisa dilogikakan. Itu cinta. Itu keajaiban. Sebab Tuhan menciptakannya dengan percikan telaga surga. Membuatmu hidup, membuat mereka merasa teduh. Penyegar dahaga.

Aku bosan melihat Buroq yang tampak bingung dengan pekerjaan. Kutinggalkan ia sendirian. Karena aku lebih tertarik berbincang dengan Udud. Karena Udud selalu menjadi terpidana joke-joke nakalku. Ia selalu menerimanya sepenuh hati.

Aku mengambil duduk persis di depan Udud. Ia cuek. Seperti tidak melihatku di depannya.

“Angkatan 2003 siapa yang lulus?”

“Fauzan and friends,” jawabnya genit.

“Ente kapan?” aku bertanya lagi.

“Maret. Bareng Buroq. Ente?”

“Mungkin maret juga. Tapi belum pasti.

Ia tidak melihatku lagi. Sialan. Penyakit lamanya belum terobati. Ia selalu mengobral pandangan tiap kali ada lawan bicara di depannya. Beberapa teman sempat protes. Tapi ia tenang-tenang saja. Sebab itu sudah menjadi nilai lebihnya. Tapi ia tidak akan seperti itu jika lawan bicaranya adalah Hasan.

Obrolan dengan Udud dengan terpaksa kuhentikan. Sebab ia terlihat malas memberikan respon. Ia memilih buku sebagai pelariannya. Aku makan kacang. Bukan. Yang benar aku dikacangin.

Hening tercipta.

Ruangan itu membisu. Desau napas seperti lenyap. Sudut-sudutnya yang menghias mata, hanya menampilkan warna cat yang tidak baru lagi.

Manusia di depanku menjadi patung. Aku membayangkan, satu butir debu akan terdengar sangat nyaring.

Aku ingin beranjak dari ruangan itu. Tapi aku menundanya beberapa saat. Aku tidak mempunyai tujuan tertentu. Hanya menunda.

Sedetik berikutnya. Aku mendengar beberapa langkah kaki menuju pintu utama SAC. Mereka bergerombol. Ada tawa renyah. Canda yang lezat. Serta keluh tentang mata kuliah. Mereka semakin dekat. Aku terkesiap.

“Mas ...,” sapa mereka pada Vina. Aku yakin sekali.

Pintu ruanganku bergerak. Aku menatapnya lekat. Kemudian sepenuhnya terbuka. Mereka masuk.

Aku tegang. Sebab mereka pernah melintas di depanku. Dulu. Saat di portal dulu. Mereka manusia ‘berpendingin’ sehingga tatapan matanya dingin. Langkah kakinya dingin. Ayunan tangannya dingin. Terlebih sikapnya.

Mereka sama. Baju mereka seperti kesepakatan. Panjang, namun kurang menawan. Seperti berada dalam musim dingin. Silakan bayangkan!

Aku mengamatinya satu-satu. Aku semakin tegang. Sebab pikiranku tertuju padanya. Ia yang di sana. Entah. Barangkali akan segera muncul. Menyusul mereka.

Jumlah mereka ada lima. Satu melihatku dengan wajah curiga. Sebab ia bertemu denganku saat aku mengisap rokok di portal. Dua bola matanya seperti tertulis: dilarang merokok. Aku sambut sorotnya. Ia kalah. Ia lekas memalingkan wajahnya. Merdeka!

Kelimanya kemudian membuat dirinya sibuk. Tiga duduk di depan komputer. Dua memilih buku. Udud juga tetap tidak peduli dengan mereka.

Lalu satu dari mereka menyapa,

“Mbak ...”

Udud menoleh. Ia tersenyum. Tapi tetap tidak manis. Tidak lentur. Tidak bersahabat.

Mereka bersalaman. Cipika-cipiki. Di depanku.

Hilal belum membuka mata. Ia masih berkencan dengan Paris Hilton.

Aku berdiri. Aku ingin sibuk. Tekadku. Untuk apa? Biar disangka mahasiswa. Rak buku kupandangi dengan penuh cinta. Lalu kupilih satu; yang menurutku layak dimanfaatkan untuk beraksi. Judulnya: Laila Majnun. Tapi satu kurang keren. Aku mengambil satu lagi. Judulnya: Magdalena. Karya Al Manfaluthi.

Aku tidak semeja lagi dengan Udud. Sebab aku terkudeta. Udud tampak akrab. Barangkali dengusan napas mereka sama. Atau mungkin juga gaya senyumnya.

Dua buku yang ada di tanganku saat itu sebenarnya membosankan. Sebab keduanya sudah kulahap saat aku SMA. Saat itu, motivasiku hanya Merry. Bukan tentang rasa haus akan sastra atau nama besar penulis yang terlahir di distrik Manfaluth itu.

Aku buka lagi. Lembar pertama berisi prolog yang –menurutku- membosankan. Tapi paling membosankan adalah pengantar penerbit.

Lalu, aku merasakan sesuatu yang tidak biasa. Mataku terekat kuat di pintu itu. Pintu itu bergerak. Pelan. Tidak berderit.

Lalu, terbuka dengan utuh.

Dua bukuku tahu diri. Keduanya lantas menutup lembarannya dengan sukarela.

Lalu, ia masuk. Tubuhku bergetar dengan getaran yang sama. Mulutku menganga. Ia ... Ia ada. Gumamku tanpa kontrol. Degup jantung. Ulu hati. Lalu ...

Ia mendekat. Aku kaku.

Ia masih sama. Oh keindahan. Peneduh kepala-kepala yang panas. Pencair batu es amarah. Pengkristal almond, kemudian membasahi tanah-tanah yang gersang. Ia, ia berbaju dengan warna teka-teki. Bukan merah. Bukan kuning. Lagi-lagi: Semburat.

Ia tersenyum. Ruangan terasa sejuk. Buku-buku itu menghamburkan kalimat-kalimatnya. Mereka berbaris. Menundukkan kepala. Memuja-memuji. Oh keindahan.

Oh keindahan ... Oh keindahan. Maha Karya Tuhan. Maha Cipta Tuhan. Demi Nun yang berdengung. Demi Pena yang menggaris semesta. Wa maa yasturuun. Aku persembahkan ruh. Untukmu; ia yang melambaikan tangan.

Ia kemudian duduk. Ia menyatu dengan takdir keindahan.

Ia menyapa. Bersuara.

Kamu tahu takdir keindahan? Tidak.

Mereka berbincang. Renyah. Udud kembali sendiri. Manusia di depannya meninggalkannya.

Mereka lalu kompak memperhatikanku. Mereka tentu saja heran. Sebab aku adalah anak Sastra Arab. Sebab aku bukan penampilan Sastra Arab. Sebab celanaku jeans. Bau. Ada robek di dengkul. Itu aurat, kata mereka. Apa peduliku? Apa peduli kalian?

Namun ia beda. Sorot matanya beda. Ia tidak mengancamku. Ia tidak heran denganku. Dengan penampilanku. Ia mengangguk setuju. Ia mengayomi. Ia takdir keindahan. Kalian tahu takdir keindahan? Tidak.

Ia membuatku bertanya. Mengapa? Kenapa? Sebab aku beda. Itu katanya. Ia masih menatapku. Oh, keindahan. Oh, surga. Aku adalah daun maple yang berjatuhan saat musim gugur datang berkunjung.

Aku jadi membayangkan. Kita sepayung berdua. Sebab daun maple yang jatuh akan membuat kita semakin disatukan. Ada senja menyapa. Udara sejuk menerpa. Genggaman tangan kita semakin erat.

Aku terus memandangmu. Apakah kau tahu?

Hening tercipta lagi. Mereka mulai menebakku. Ada apa denganku? Andai kau tahu! Aku adalah bulir-bulir rindu yang segera ingin pulang. Jendela itu harusnya terbuka untukku. Tapi siapa aku? Begitu tanyamu. Aku memilih diam.

Mereka kompak berdiri. Kemudian membuat janji bertemu lagi. Tapi ia masih di sana. Sendiri. Sepi. Baju-baju yang bersepakat itu raib.

Ia berjalan menuju Buroq. Senyumnya hangat. Tapi Buroq berpura-pura tidak melihat. Lagu lama! Picisan! Kampret!

Mereka kemudian berbincang. Akrab. Seperti sudah menahun mereka bersama. Banyak kisah yang musti mereka ulas. Kenapa mereka akrab? Entah! Bukankah cinta itu mengakrabkan? Bukan! Cinta bukan mereka yang akrab. Tapi cinta adalah kesamaan intuisi. Kesamaan hati. Kesesuaian cara pandang. Tapi juga beda. Melengkapi lebih tepatnya. Cinta itu melengkapi.

Mereka bukan berbincang tentang cinta. Tapi ia –Buroq- tahu bagaimana menyuarakan cinta. Tapi ia bungkam. Aku yakin. Yakin sekali.

Lalu ia menoleh. Udud melempar senyum. Ia juga. Senyum beradu senyum. Hangat bertemu hangat. Tapi salah. Senyum tidak pernah hangat. Senyumnya absurd.

Ia mendekatinya. Kemudian menyapa,

“Mbak ...,” sapanya. Suaranya halus. Tapi melukiskan keramaian. Aku tidak melepasnya.

“Hai ...,” sahut Udud. Aku tahu, ia hanya punya sahutan itu. Tidak ada yang lain.

Mereka duduk berhadapan. Aku berdiri,

“Hm ... Boleh kenalan, Mbak?” Aku menyapanya. Aku adalah daun maple yang berguguran.

Bodoh. Bodoh. Siapa yang menyuruhmu begitu. Ah ...

“Boleh, Mas ...” Ia menyahut. Suaranya halus. Aku daun maple yang berguguran.

“Jangan. Kamu akan menyesal!” Udud menyebar racun. Tapi ia adalah penawar. Ia membuat senyum untukku. Seperti khomer; memabukkan. Menghanyutkan. Oh, keindahan. Oh, surga. Ilalang. Bianglala.

“Kalau boleh tahu namanya siapa?” Aku bertanya namanya. Aku daun maple yang berguguran. Ia menjelma salju. Dingin membekukan. Oh, bianglala.

“Azalia.

“Lengkapnya?”

“Sausan Azalia ...”

Aku mabuk. Aku mabuk.

Gulali,

Aku berkidung.

Ini tentang gulali. Manis.

Membuatmu tak bisa jauh.

Keramahanmu sungguh sakti.

Mengandung jutaan ajian yang pernah ada ribuan tahun yang lalu.

Oh, gulali. Manismu membuatku terekat.

“Mas siapa?”

“Lintang. Aku Lin. Tapi mereka juga memanggilku Tan.

Ia tersenyum lagi. Duh, Gusti. Dzat yang membuat takdir keindahan. Ia datang dengan buah surga. Aku adalah maple yang berguguran. Ini musim gugur? Bukan. Ia musim gugur.

“Aslinya mana?”

“Gresik!”

Alisku bertemu,

“Gresik mana?”

“Gresik kota,” katanya manja. Tiap detik, ayunya bertambah. Aku adalah daun maple yang berguguran.

Lalu ia meninggalkanku,

“Mas, maaf. Aku ada kelas.

Ia berlalu. Sementara aku masih menjadi daun maple yang berguguran.

Ia hilang. Ia menghilang. Tapi tidak. Wajahnya ia pinjamkan ke hatiku. Aku memilikimu sekarang. Kau rapat. Tersimpan. Oh, keindahan.

Udud kembali membaca buku. Ia sendiri lagi. Aku tahu ia akrab dengan Azalia. Bukan. Aku lebih suka memanggilnya musim gugur. Dua mata Udud mengancamku. Ia membuat suara.

“Apa? Ente suka ya sama ia?”

“Siapa, sih, yang merelakan detik tanpanya? Tanpa wajahnya?” Aku menyahut. Namun ia kurang nyaman mendengarnya.

“Gombal!” Ia kemudian berseru.

“Jika ia keindahan, maka aku wakafkan diriku untuk memujanya.

Aku mabuk? Iya. Lalu? Aku adalah daun maple yang berguguran.

“Gila. Kamu bermimpi!” Ia berseru lagi. Kemudian mengatur napas. “Ia sudah ada yang punya.

“Semesta merasa memilikinya. Sebab ia keindahan.

“Lalu kamu ingin apa?”

“Kamu ada nomor ponselnya?”

“Ada.

“Boleh minta?”

“Izin yang punya!”

“Ia di mana? Ke mana? Ia sudah hilang.

“Itu!” Ia menunjuk pada punggung Buroq yang sibuk merangkai kalimat yang indah. Menggiurkan untuk dosen pembimbing.

“Haah ...” Aku hampir tidak percaya. “Memang, ia bapaknya? Bukan, kan?”

“Aku mau memberi nomornya. Jika kamu sudah dapat restu darinya!”

Udud tidak peduli lagi denganku. Ia benamkan wajahnya ke lautan kata. Buku itu tebal sekali. Setebal alis Udud. Huft.

Aku dalam persimpangan jurang keangkuhan hatiku. Jika aku menuruti permintaan Udud maka secara tidak langsung aku mengakui jika ia memang miliknya Buroq. Itu jelas membuat dadaku penuh. Banyak molekul yang pasti akan meledak. Ah, itu tidak akan terjadi.

Jika aku menuruti permintaan Udud, pengukuhan atas legalitas hubungan keduanya terjadi saat itu juga. Jika sudah begitu, pantang bagi laki-laki untuk membuat kekacauan atas legalitas hubungan mereka. Aku pun begitu. Meski aku miskin, egoku ternyata kaya raya.

Opsi kedua. Jika aku tidak menuruti permintaannya maka aku telah melepasnya. Ia tidak akan menjadi payung lagi. Ia tidak akan meneduhiku lagi. Maka aku akan gersang. Sebab dua mata almondnya tidak akan meneteskan air kristalnya lagi. Aku akan mati. Mereka akan mati. Dunia kering. Tandus. Oh, Tuhan. Andai saja ia tahu tentang tanah yang gersang itu.

Aku merenung sejenak. Sebab aku akan membuat keputusan besar dan penting. Pertimbangan yang mendalam sangat kubutuhkan ketika itu. Jika aku meminta pertimbangan Hilal, tentu saja aku akan menghambat orgasmenya dengan Paris Hilton. Jika itu terjadi, ia akan mendiamkanku banyak hari.

Aku masih merenung. Dua buku di depanku menjadi badut. Ia menjulurkan lidahnya yang panjang. Ia menggoyang-goyangkan hidungnya yang besar. Ia meledekku. Ia berbicara. Katanya aku adalah pecundang. Miskin. Nista.

Badut itu berlalu. Ia kemudian datang. Aku tahu ia penyair. Meski syairnya tidak pernah laku. Apa syair itu harus laku? Tidak. Syair adalah penghayatan. Percuma jika jiwamu gersang. Huruf-hurufnya tidak akan tumbuh subur di kepalamu. Syair adalah jiwa. Jiwa adalah syair. Keduanya adalah satu. Seperti Tuhan adalah aku, dan aku adalah Tuhan.

Oh, gulali.

Bagaimana aku membiarkanmu pergi,

Sedang rasa hausku sudah menahun.

Bagaimana aku tidak memujamu,

Sedang kau adalah keindahan ...

Aku bangkit dari dudukku. Aku menjelma pahlawan. Ego kusimpan rapat. Aku akan menemui Buroq.

Aku menepuk bahu kanannya. Ia menoleh kaget.

“Ada apa, Sam?” tanyanya cepat. Aku mengambil napas.

Aku seperti abdi ndalem yang harus ngesot untuk mengatakan sesuatu kepada junjungannya atau yang maha raja. Begitulah aku saat itu. Buroq menatapku penuh curiga. Kupaksa aku sebagai orang yang dalam sakaratul maut, sedang ia adalah jarum suntik yang berisi penenang. Penunda kematian. Jadi aku sangat membutuhkannya.

Kubuka kalimatku. Aku mengatakan padanya jika aku meminta izin untuk meminta nomor kontaknya Sausan. Ia seperti terusik. Tapi ia bersikap dewasa. Ia melemparkan senyum untukku. Tapi aku tidak tahu jenis senyuman itu. Misterius.

“Silakan ...,” katanya pelan. Bibirnya seperti bergetar. Ia tampak tidak rela. Tapi semunya adalah takdir. Sudah menjadi takdirnya untuk merelakan diriku menjadi deretan pemujanya. Ia baik-baik saja.

“Terima kasih,” kataku. Kemudian memutar badan. Aku menang? Tidak! Sebab itu bukan peperangan. Sebab peperangan baru saja dimulai. Detik itu juga.

Aku mendatangi Udud lagi. Ia sudah tahu tujuanku. Sebab itu, ia segera mencatatkan nomor ponselnya. Ia yang di sana. Ia yang memberikan bekas surga. Harum sekali jejak langkahnya.

“Nih ...,” kata Udud sambil menyerahkan sesobek kertas kecil. Isinya nomor itu. Keindahan. Takdir keindahan. Dunia seperti bianglala. Penu warna. Memikat mata. Aku tidak mengucapkan terima kasih untuknya. Meski jasanya teramat besar.

Aku menggenggam keindahan? Iya, benar! Bagaimana rasanya? Aku seperti berjalan mendaki. Desau udara mengajakku bercanda. Bahasa indah dan lucu sekali. Begitu kira-kira. Saat itu, sajian terbaikku adalah aku merasa bahagia di depan mata-mata itu.

Aku tidak mempedulikan Hilal yang harus melayani Paris Hilton. Napasnya terengah-engah. Namun ia belum orgasme. Pun dengan Paris Hilton. Itu gejala figrid, canda Hilal renyah.

Aku meninggalkannya. Meninggalkan ruangan yang penuh dengan wajah monoton itu. Terutama Udud. Mereka kutinggalkan dengan tenang. Tapi aku bahagia. Sebab aku menggenggam keindahan.

Ia di mana? Di genggaman tanganku. Wajahnya? Iya, wajahnya! Bagaimana dengan bintang-bintang yang menyala untuknya? Aku akan menjadi bintang yang paling menyala. Akan kubuktikan itu. Aku janji.

Aku sudah berada di depan gedung E-6. Aku duduk menghadap bunga-bunga yang tumbuh subur, tapi belum berbunga. Mereka seperti mandul.

Aku catat nomor itu di ponselku. Namanya: Nawang Wulan.

***

Hari sudah mulai siang. Jo tidak mengirimkan SMS. Jika begini, berarti Jo sedang di fakultas. Aku memilih duduk di portal.

Aku membolak-balik ponselku. Di dalamnya ada ia. Ia yang begitu menawan mata. Nomor ponselnya cantik, unik. Aku mudah sekali menghafalnya. Tapi aku belum berani membuat keputusan.

Aku menunggu Jo. Dalam situasi seperti itu, Jo akan sangat membantuku. Hilal tampaknya masih tenggelam dalam mimpi sensualnya. Sebab tiga puluh terlewat semenjak aku meninggalkan SAC, ia tidak menyusulku. Tapi tidak. Jikalaupun ia menyusulku, aku akan menghindar. Sebab aku ingin sendiri. Bukan. Bukan sendiri. Tapi aku ingin bersamanya. Ia pemilik keindahan itu. Aku berlebihan? Tidak. Sebab jatuh cinta pada jumpa pertama itu seperti sulap. Tidak bisa dilogikakan. Ajaib.

Aku memutuskan untuk berkirim SMS kepada Jo. Tapi ada laporan menunda. Dugaanku benar. Jo sedang merayu dosen pembimbing di fakultas.

Aku masih di portal. Hangatnya embusan angin membelai keningku.

Aku terbang. Terbang ke suatu tempat yang sangat jauh. Tidak ramai. Tidak bising. Tidak ada Jo, Pak Ramon, Hilal atau teman-teman akrabku. Di tempat itu aku hanya melihat keindahan. Semburat warna. Melukis cahaya. Ia memintalnya. Kemudian menebarkan ke mana-mana. Ia tersenyum. Aku melihatnya.

Aku mabuk? Bukan hanya mabuk.

Aku kembali. Tubuhku terasa sangat segar. Seperti ada tiupan energi. Tapi itu juga serupa not-not nada dalam permainan piano. Teratur. Harmoni. Tidak ganjil.

Lalu? Sepertinya aku memang harus membuat sebab. Sebab tanpa sebab, akan seperti itu-itu saja. Sebab tanpa sebab, aku tidak akan mempunyai jembatan lagi. Rumah itu memang terbuka, namun mustahil aku masuk ke dalamnya jika jalan menuju ke sana buram. Tidak tergambar. Dua mataku seperti menangkap gelap. Hanya itu saja.

Aku mengambil ponselku. Nomor itu ada. Aku membuat sejarah, sebab itu kali pertama aku membuat jalan menuju rumahmu. Rumah indahmu. Rumah bianglalamu. Semoga pintumu belum terkunci. Itu harapku.

Aku berkirim SMS untuknya,

“Ternyata dunia ini memang teramat luas. Ada permata sepertimu aku tidak melihatnya.

Ia membalas,

“Maaf. Ini siapa?”

Aku membalas,

“Bukan siapa-sapa.

Aku jadi tergagap. Kalimatku menjadi tidak beraturan.

“Hantu?” ia bertanya.

“Sejenis,” aku semakin tergagap. Sialan. Kenapa harus hantu. Kenapa ia tidak bertanya Sang Penenun. Jika tidak demikian, tanyalah tentang Sang Penyair.

“Siapa, sih, ini?” ia mulai kesal. Aku tahu.

Aku jujur,

“Aku yang baru saja mengenalmu. Masih ingat?”

Ia tidak membalas. Aku maklum dan mafhum. Barangkali ia sedang di kelas. Bisa juga ia sedang di dalam kamar mandi.

Tiga puluh menit terlewat lagi. Namun layar ponselku belum bereaksi. Ia menyudahinya. Menyudahiku membuat jembatan. Mungkin pikirnya aku sudah sangat letih. Mungkin juga ia tidak ingin aku menua. Atau bahkan menenun mimpi, imajinasi yang sulit terbukti. Memang, keadaan yang hening selalu bisa membuatku berpikir yang beraneka ragam.

Tapi ia di sana baik-baik saja. Semoga.

Aku memutuskan untuk segera meninggalkan kampus. Ada Jo yang harus kupinjam kupingnya untuk ceritaku. Cerita tentang ia yang sudah bernama. Jo harus tahu. Sebab Jo tidak akan meledekku lagi. Aku tidak mencintai bayangan. Aku tidak mencintai bayang. Tapi aku mencintainya, ia, Nawang Wulan.

Belalang Tempur sudah kukeluarkan dari tempat peraduannya. Ia membaca hatiku. Wajah garangnya menghamburkan senyum. Ia juga tampak bersemangat. Aku membelainya. Ia meresponnya dengan meraung-raung ganas.

Aku memacunya.

Hanya tiga menit. Belalang Tempur sudah berada di luar gerbang UM. Tiba-tiba Jo menelepon.

“Di mana, Sam?” tanyanya dari seberang sana.

“Depan kampus!”

“Mau ke mana?” ia bertanya lagi.

“Pulang.

“Ok,” tukasnya. Telepon mati. Jo menghilang cepat. Semoga ia tidak mati.

Aku segera menuju kosan. Jalan Surabaya masih tampak padat. Hilir-mudik mahasiswa masih menjadi hiasan utama.

Belalang Tempur melaju dengan damai. Pun begitu juga denganku.

Aku sampai. Aku memasuki gang menuju kosanku. Belalang Tempur kumatikan sejenak. Kemudian kutuntun masuk.

Aku jadi teringat kata-kata Pak Ramon tadi pagi. Ia mengatakan tentang kematian. Aku hampir melewati kios loundrenya. Kiosnya buka. Tapi terlihat sepi. Dua karyawannya juga tidak tercium.

Aku terus menuntun Belalang Tempur.

Aku sekarang berada tepat di depan kiosnya. Ia mematung. Dua matanya kosong. Wajahnya buram sekali. Aku menjadi iba. Aku mendekatinya.

“Pak ...,” sapaku. Ia menoleh pelan. Tidak terkejut. Dua matanya masih kosong. Namun bibirnya bersuara.

“Iya ...”

“Pegawai Pak Ramon libur?”

“Aku liburkan. Sebab aku tidak ingin mereka mati!” serunya tegas.

Aku menabrakkan dua alis.

“Kenapa bisa begitu, Pak?”

“Aku melihat kematian itu. Aku melihatnya. Pakaiannya putih. Ia membawa teman. Jadi jumlahnya empat.

“Maksud, Pak Ramon?”

“Saat kamu mati, akan ada empat malaikat mendatangiku. Mereka memberitahumu jika jatah hidupmu sudah habis. Tubuhmu akan menggigil. Sebab kamu ketakutan. Wajahnya menyeramkan sekali,” jelas Pak Ramon panjang. Aku menelan ludah. Kemiringan otak Pak Ramon sudah sangat parah. Ia mendongeng ilusi.

Namun aku menjadi penasaran.

“Mereka siapa? Siapa malaikat-malaikat itu?” pancingku.

“Mereka datang dari empat penjuru. Utara, selatan, barat, dan timur.

“Mereka mempunyai nama?”

“Tidak. Mereka tidak bernama. Tapi mereka membawa kabar!” Pak Ramon berseru. Sepertinya ia sedikit tersinggung dengan ulahku.

“Kabar? Bukankah mereka pencabut nyawa?”

“Bukan. Mereka datang berkabar. Tentang kematian. Tentang jatah hidup yang sudah habis,” Pak Ramon diam sejenak, kemudian berbicara lagi, “Setiap mereka membawa kabar dari penjurunya masing-masing. Lalu, tubuhmu melemas. Sebab kabar itu duka. Ketakutan. Ancaman. Melebihi takutmu kepada iblis.

“Pak Ramon pernah didatangi mereka?”

“Pernah.

“Kapan?”

“Aku lupa. Tapi aku pernah mati. Mati itu sungguh menyakitkan!”

“Mereka berkabar apa kepada Pak Ramon?” tanyaku sedikit geli. Tapi Pak Ramon tidak melihat wajah konyolku.

“Mereka berkabar tentang jatah udaraku yang habis. Rezekiku yang sudah tidak ada lagi. Air yang menyembuhkan hausku juga sudah tidak ada. Dan bumi yang sudah enggan kupijak. Mereka mengatakan itu. Dua matanya merah besar. Embusan napasnya adalah api. Mereka bertubuh aneh. Aku ingin lari. Tapi aku seperti bangkai.

“Tapi kenapa Pak Ramon masih hidup?”

“Sebab aku belum mau mati saat itu!”

“Jadi, Pak Ramon mensomasi Tuhan?”

“Tidak”

“Lalu?”

“Aku membohongi malaikat-malaikat itu.

Pak Ramon tertawa lebar. Aku terdiamkan. Aku tidak percaya apa yang ia katakan. Sebab Pak Ramon kadang gila.

“Kemudian aku bermimpi. Malaikat-malaikat itu mengajakku bermain domino. Jika menang, maka mereka akan membawaku kembali ke dunia. Aku terima tantangan mereka. Dan aku menang. Maka itu caraku hidup kembali. Tapi sekarang, aku ingin mati.

“Kenapa Pak Ramon ingin mati?”

“Sebab mati itu enak. Aku bisa bermain domino. Di dunia ini, tidak ada yang mau bermain domino denganku. Sebab mereka menganggapku gila. Termasuk kamu!”

Pak Ramon menusukku. Aku terdiamkan lagi. Kemudian membuat tawaran untuk meredam geramnya padaku.

“Bukan begitu, Pak. Aku tahu Pak Ramon tidak ingin sendiri. Tidak ingin kesepian. Tapi aku sering ada acara di kampus. Jika Pak Ramon mau, bagaimana jika akhir pekan ini kita jalan-jalan. Biar Pak Ramon tidak sepi lagi.

Pak Ramon tersentak,

“Ke mana? Ke akhirat?”

“Akhirat terlalu jauh, Pak?”

“Lalu kemana?” tanyanya cepat.

“Ke sebuah tempat yang tidak jauh dan tidak dekat. Di sana akan ada tawa-tangis, bahagia-sedih. Tapi kehidupan adalah tujuan mereka. Pak Ramon berkenan?”

Ia diam. Tidak menjawab. Namun kepalanya mengangguk. Ia setuju.

Aku segera pamit. Ia tidak menoleh. Ia seperti melihat sesuatu yang lain.

Aku menuntun Belalang Tempur dengan sedikit tergesa. Sebab ia sudah terlihat sangat ingin kabur dari wilayah Pak Ramon.

***

Malam yang indah, menggoda. Aku menerawang. Aku berpikir tentang sebuah tempat yang kujanjikan kepada Pak Ramon. Mungkin kali ini, akan menjadi persembahan terbesarku kepada Pak Ramon sebelum ia bertamasya ke akhirat kemudian bermain domino dengan para malaikat.

Tiba-tiba aku teringat sebuah tempat. Letaknya lumayan jauh dari kampus. Tempat itu berada di pedalaman. Di tempat itu, air mataku mengucur deras.

Namanya adalah Surga Teduh. Tempat itu adalah rumah harapan. Banyak anak bermain riang di sana. Mereka adalah penggenap semesta, meski mereka sendiri terlahir tidak genap.

Pikiranku melayang cepat ke sana. Aku melihat mereka. Aku melihat kedamaian itu.

Malam semakin pekat. Dingin juga semakin memaksaku untuk mengatub. Selamat tinggal hari ini. Semoga kita bertemu lagi.

***

          Pagi-pagi sekali. Aku menyapa Nawang Wulan. Di depan Tuhan. Di depan malaikat-malaikat.

 

Rabu, 24 Februari 2021

Lintang Kemukus

 


            Lintang sedang menunggu saudara jauhnya, Kemukus. Hampir tiap malam ia akan berlama-lama mengamati langit. Selama hujan tidak benar-benar deras, ia akan terus melakukannya.

            Lintang lahir dini hari. Pukul 00:30. Sekarang usianya masih tujuh belas tahun. Ia tidak mempunyai kesukaan lain selain membaca. Ia sangat jatuh cinta dengan puisi-puisi Arab yang sudah dialihbahasakan. Hampir semua buku Rumi sudah ia baca. Juga Kahlil Gibran. Ia juga sangat tergila-gila dengan Layla Majnun. Ia selalu mengilustrsikan dirinya sebagai Qais yang malang.

            Lintang sudah tidak memiliki Ayah dan Ibu. Keduanya meninggalkan dirinya sejak ia masih belum bisa mengunyah nasi secara sempurna. Lintang besar dalam asuhan sang Kakek.

            Seperti Andine dan Jingga, Lintang juga memiliki kejanggalan dalam hidupnya. Ia bisa menghentikan waktu.

***

            Hari itu, Selasa. Lintang bersama tiga temannya sedang jalan-jalan di trotoar sepanjang Jalan Mastrip Nganjuk. Langit sangat cerah. Taburan gemintang menghampar di kanvas luasnya. Gradasi warna yang tercipta sangat cantik; seperti meninabobokkan para remaja yang sedang ada di sana. Memadu rindu, atau sekadar membuang kegelisahan. Pun dengan Lintang dan kedua temannya: Ranu dan Rifan.

            “Apa yang paling kamu inginkan di dunia ini?” Rifan memulai perbincangan. Tidak jelas, pertanyaan itu mengarah pada siapa. Ranu berdehem sambil membetulkan kerah bajunya yang sebenarnya tidak bermasalah.

            “Bisa terbang. Lalu merobohkan gedung-gedung dengan sekali hentakan kaki.”

            Lintang dan Rifan melempar tawa.

            “Kalau kamu, Rifan?” tanya Ranu balik.

            “Hmm. Aku pingin menghentikan waktu. Semua terdiam. Dan hanya aku yang bisa bicara, bergerak, dan melakukan sesuatu. Dan pertama yang kudatangai adalah Denis. Aku ingin tahu catatan hariannya. Aku ingin memastikan namaku ada di bagian kalimatnya.”

            Dua bahu Lintang terangkat. Ada kengerian dan keterkejutan. Menghentikan waktu? Ia seperti sedang menyadari sesuatu. “Bukankah sejak seminggu yang lalu aku begitu?” Ia bergumam. Tatapan matanya kosong. Kecurigaan Rifan dan Ranu tidak bisa dihentikan.

            “Kamu pasti pingin begitu ya, Lintang? Kamu pingin bisa menghentikan waktu. Lalu kamu bisa berbuat apa saja. Mengintip orang mandi!”

            Tiba-tiba saja, Lintang tertawa keras. Dan diikuti oleh kedua temannya. Sebab, hanya tertawa cara paling sakti mengalihkan perhatian.

            “Aku memang bisa menghentikan waktu. Tapi aku tidak pernah melakukan seperti yang kamu pikirkan.”

            Ketiganya kompak lagi. Tertawa sekeras-kerasnya.

***

            Ruang kelas tampak sepi. Hanya ada Fatimah yang membenamkan wajahnya di meja. Sejak dulu, Lintang akan membeku jika melihat Fatimah. Bahkan, mendengar namanya saja, Lintang sudah salah tingkah. Cinta memang begitu. Membuat yang biasa menjadi istimewa.

            Lintang ingin saja menyapanya, tapi bibirnya terkunci rapat. Tubuhnya bergetar hebat. Panas dingin bertemu dalam satu titik dalam tubuhnya. Bumi serasa banyak gempa. Ia hanya berjarak tiga langkah dengan Fatimah. Tapi ia merasa sedang berada di Sabang, dan gadis itu berada di Merauke. Cinta memang begitu. Membuat yang biasa menjadi istimewa.

            Ia menatap tajam ujung kepala Fatimah. Kerudungnya yang putih tidak seperti biasa. Ada sesuatu yang sedang mengerubutinya. Seperti semut yang berjumpa dengan taburan gula.

            Ia ingin sekali menyapa dan bertanya: Apa kamu baik-baik saja?

            Oh. Aku tak ingin Cinta yang seperti ini. Aku tidak ingin ada Cinta di antara kita. Sebab kita adalah satu. Kita senapas. Kita sejantung. Kita senadi.

            Lintang merapal kalimat Qais yang ia produksi sendiri.

            Ia memutuskan untuk menghentikan waktu. Semua membeku. Terdiam.

            Ia melangkah pelan menuju meja Fatimah. Ia tidak menyentuhnya. Ia hanya mendekatkan tubuhnya ke tubuh Fatimah. Ia memejamkan dua matanya. Dan, tiba-tiba saja air mata itu tumpah. Lintang terjatuh di depan Fatimah.

            Lalu, ia meracau. Kalimat-kalimatnya adalah kepedihan.

            Fatimahku. Fatimah penghias malam. Fatimah yang menghidupkan jantungku. Fatimah yang mampu mematikan detak nadiku. Andai aku seberani seperti ia yang kamu tokohkan di bukumu. Andai aku seberani senja menantang Matahari. Andai aku seberani gulungan ombak.

            Nyawaku adalah kepedihan. Hidupku adalah wakaf atas semua senyummu. Air matamu adalah dosa-dosaku.

            Waktu berputar kembali. Lintang terdiam di kursinya. Sampai Ranu datang, ia masih dalam penjara air mata Fatimah.

***

            Kiyai Aji masih menggigil kedinginan. Selimut tebal yang membalut tubuhnya tidak bisa menghangatkan lagi. Dengan dua mata yang mengatub, ia menyebut-nyebut nama Mbah Diro.

***

            Andine masih menangis. Ia menyesal mengetahui semuanya namun tidak bisa menghentikannya. Dan mulai detik itu, bibirnya mengucap satu nama: Tuhan.

***

            Jingga termenung panjang. Dari balik jendela, ia melihat Abi yang tersenyum dan melambaikan tangan: Selamat tinggal. Air mata Jingga sudah memadat. Tidak bisa lagi menetes. Ia menyadari satu hal saat itu, Abi memang segalanya baginya. Kepergian Abi adalah kepergian separuh lebih jiwanya.  

             

Selasa, 23 Februari 2021

Kiyai Sangaji

 





Andine memilih mendarat terlebih dahulu di Surabaya. Ada sesuatu yang harus ia beli. Saat dua kakinya mulai menjauh dari pintu keluar bandara, ia melihat dua orang yang begitu serius dalam bercakap. Andine segera kabur dari sana dengan harapan, dua kupingnya tidak mendengar jeritan isi kepala keduanya. Tapi ia gagal, seperti ada yang menahan kakinya untuk melanjutkan langkah.

            Dua alis Andine hampir saja bertabrakan. Dua matanya tampak agak melotot. “Ini sangat berbahaya. Akan banyak korban jika tidak dihentikan.” Panik, Andine bergumam dalam hati. Garis-garis khawatir di wajahnya semakin menebal. Ia tahu, tapi ia tidak pernah tahu harus melakukan apa.

            Andine terjebak dalam dimensi yang ia kuasai, tapi tidak pernah ia mengerti.

***

            Jingga semakin serius mencari tahu tentang apa yang ia alami. Mungkin –katanya suatu ketika- saat masih kecil, apa yang ia alami memang sudah sangat nyata dan kuat. Tapi jiwanya sebagai anak-anak belum bisa mengantarkannya pada satu titik pemahaman. Sehingga hari ini –saat ia sudah dewasa- ia merasa harus mencari tahu tentang semua yang hinggap di dirinya.

            “Aku mendapat sesuatu yang baru kemarin sore, Dan!”

            Kafe itu masih lengang. Hanya ada Jingga dan Zidan. Dengan kepala separuh sadar, Zidan terus mencoba menafsirkan apa yang dikatakan oleh Jingga. Ia seperti memutas masa. Atau setidaknya, 15 tahun yang lalu. Saat ia, dan beberapa temannya, tepat jam satu dini hari, pergi ke tengah sawah. Dan di sana ada punden. Pohonnya sudah sangat tua. Beberapa batangnya sudah tidak berdaun lagi. Mereka duduk bersila. Lalu, tiba-tiba, saja, Joni merapal mantra dan beberapa detik berikutnya, Toni rubuh. Mulutnya mengeluarkan asap dan suaranya berubah menjadi sangat tebal dan keras. Zidan ingin kabur dari sana, tapi sudah terlambat.

            “Apa yang kamu dapat, Jingga?”

            “Beberapa saat yang lalu, aku bermimpi. Di dalam mimpiku, ada seorang Ibu berwajah aneh. Tapi sangat cantik. Ia mengenalkan dirinya sebagai Farida. Lalu ia menarik tanganku dan mengajakku ke sebuah tempat, yang aku tahu tempat itu Pager Alas; sebuah makam tua –yang konon- menjadi makamnya para Wali. Sangat keramat dan dikeramatkan. Bu Farida mengajakku masuk ke sana. Kemudian kami menziarahi satu persatu makam yang ada di sana. Dan saat kami sedang khusu’ berdoa, tiba-tiba saja ada orang muncul dari makam. Ia menatapku sambil melempar senyum. Di tangan kanannya, tergantung sebuh ceret air. Wajahnya memancarkan cahaya putih. Aku mengahturkan hormat. Lalu Bu Farida berbisik di telinga kananku. Ia berkata, bahwa laki-laki yang barusan tersenyum padaku bernama Mbah Ceret.”

            “Lalu?”

            “Keesokan harinya, aku bertanya pada Abi. Adakah orang bernama Mbah Ceret yang dinamakan di Pager Alas?”

            “Abi jawab apa?”

            “Abi balik bertanya, apakah orang tersebut membawa ceret, hidungnya mancung, wajahnya seputih cahaya?”

            “Kamu ganti jawab apa?”

            “Iya, Bi.”

            “Bagaimana respon Abi?”

            “Abi bilang itu namanya Mbah Ceret. Ia orang Arab. Diyakini warga setempat sebagai Wali. Sepanjang hidupnya, ia selalu membawa ceret berisi air. Tujuannya, buat jaga-jaga saat Mbah Ceret batal wudu, ia bisa langsung berwudu. Mbah Ceret –kata Abi- tidak pernah punya tempat tinggal tetap. Ia terus berjalan memutari kampung. Di setiap kampung yang ia datangi, ia selalu berbagi makanan kepada fakir miskin.”

            “Ooo...”

***

            Hujan sisa semalam tampak lucu di ujung dedaunan. Beberapa kabut juga tampak menggelayut manja di lengan Lereng Lawu yang tampak melingkari rumah besar berdinding jati tua itu. Beberapa perempuan berkerudung terlihat bersemangat mengayunkan sapu lidinya. Harmoni tercipta di sana. Di halaman rumah seorang Laki-laki tawadu’, yang mereka semuanya memanggil dengan nama Kiyai Sangaji.

            Kiyai Sangaji, atau kerap juga dipanggil dengan nama Kiyai Aji, bukanlah seperti kebanyakan Kiyai, Ustaz, Pendakwah, atau Motivator agama. Kiyai Aji terlemapar dari kriteria yang disandang oleh mereka semua. Mobil mewah, pengawal pribadi, jam terbang dan tayang yang sangat tinggi. Tidak. Kiyai Aji tidak begitu. Bahkan, ada yang bilang, Kiyai Aji ini adalah kiyai palsu dan tidak bernasab. Hanya kebetulan saja, Kiyai Aji punya Musala dan bisa melafalkan azan. Hanya begitu. Tidak lebih.

            Tapi apa yang dibilang sebagian orang tentang Kiyai Aji memang benar adanya. Semua juga paham, siapa Ayah dan Ibu Kiyai Aji. Bukan darah biru, dan bukan juga seorang yang terkenal alim. Orang tua Kiyai Sangaji hanyalah buruh sawah; yang datang ke sawah pagi buta dan pulang menjelang senja. Lalu kapan mereka beribadah? Tanya Surya cemas.

            Kiyai Aji memahami posisinya. Ia juga memahami nasabnya. Tapi ia memang tidak pernah peduli dengan sejuta label yang disematkan masyarakat padanya. Kiyai Aji ya dirinya. Seorang Kiyai biasa yang tiap pagi harus menjawab beragam persoalan yang dibawa oleh para tamu ke rumahnya. Mulai minta pelarisan sebagai PSK, sampai minta doa agar aksi pencurian orang tersebut tidak bisa diungkap. Semua yang datang pada Kiyai Aji tidak pernah pulang dengan hampa. Selalu ada kalimat Kiyai Aji yang membuat hati mereka lega.

            Suatu ketika, saat Kiyai Aji masih merapalkan wirid di ambin depan Musala, ada seorang tua renta datang padanya. Ia memperkenalkan diri sebagai Mbah Diro. Kiyai Aji segera meletakkan tasbihnya yang sudah berubah warna. Ia harus meninggalkan wirid wajibnya.

            Panjenengan dari mana, Mbah?” tanya Kiyai Aji sambil memegang bahu erat bahu Mbah Diro. Lalu menggandengnya menuju ruang tamu. “Nduk, buatkan kopi yang paling enak dua, ya!” seru Kiyai Aji dari balik kelambu ruang tamu.

            Injeh, Bapak.” Suara itu terdengar begitu pelan dan sopan. Sebuah suara yang tidak tercipta begitu saja. Ada terapi ruhani yang panjang. Ada tirakat Kiyai Aji yang tak kenal petang.

            Kulo saking dusun sebelah. Mboten gadah papan; tidak punya rumah. Kulo sowan dating mriki amargi enten ingkang perlu kulo tangkletaken dating panjenengan.”

            Wonten masalah nopo, Mbah? Seandainya bisa, pasti saya jawab.” Hati-hati, Kiyai Aji menimpali kalimat-kalimat Mbah Diro.

            Mekaten, Kiyai. Riyen kulo memang pernah syahadat. Nangung kulo mboten pernah paham, agamo kulo niki nopo?. Selain hanya mendengar azan, kulo namung mireng bilih kulo niki gadah Rasul. Ingkan paring asma Nabi Muhammad SAW.” Mbah Diro mengambil napas dalam-dalam. “Kulo mboten peduli, Kiyai. Terserah Gusti Pengeran ajengan nyalap kulo dating neroko. Kulo naming tresno sanget kaleh Kanjeng Nabi meniko. Duko niki, manah kulo kok paring atur ngoten. Milo niku, kulo titip arto niki. Kulo kepingin nyangoni Kanjeng Nabi. Panjenengan salamaken dating Kanjeng Nabi, bilih Diro rindu Kanjeng Nabi.

            Mbah Diro membetulkan posisinya sambil terbatuk. Berbicara agak panjang mebuat tenggorokan tuanya cekat. Seperti ada semut yang usil menggaruk-garuknya.

            Injeh.” Singkat, Kiyai Aji menanggapi kalimat panjang Mbah Diro.

            “Nek ngoten, kulo nyuwun pamit, Kiyai.” Mbah Diro meraih tangan Kiyai Aji dan berusaha menciumnya. Kiyai Aji dengan cepet menariknya.

            Tiba-tiba tubuh Kiyai Aji membeku. Dua tangannya masih menggenggam erat jemari Mbah Diro yang seperti tidak ada tulangnya. Begitu berhasil lepas, Mbah Diro bergegas melangkah keluar dan meninggal bungkusan plastic hitam.

            Mbah Diro tidak mengucapkan salam. Tapi tubuh rentanya sudah ditelan kabut. Kiyai Aji masih terpaku di tempatnya. Sendi-sendinya terasa sangat ngilu dan dua kakinya tidak bisa digerakkan. Lalu ia rubuh. Tubuhnya membujur di lantai rumahnya yang masih belum berubin.

            Nilna menjerit histeris saat mendapati Bapaknya tidak sadarkan diri di lantai.

            ***

            “Jadi begitu, Dan. Abi bercerita panjang lebar tentang Mbah Ceret, yang nama aslinya tidak disebutkan oleh Abi. Ketika aku tanya, Abi hanya menggeleng tidak tahu. Tapi aku yakin, Abi pasti mengetahuinya. Tapi tidak masalah. Aku akan tanya Bu Farida.”

            “Memangnya kamu bisa bertemu lagi dengan Bu Farida?”

            “Bisa, lah. Kan, ia sudah bilang akan mengawalku terus sampai nanti.”

            “Kapan?”

            “Saat aku sudah menikah.”

            Zidan menelan ludah. Dua tangannya terasa sangat dingin. Ia meraih cangkir kopi di depannya. Sekadar menghilangkan derap jantung yang meningkat getarannya.

            “Atau mungkin, setelah kamu menikah, semua yang kau dapat hari ini akan hilang semuanya?” Zidan seolah tak percaya dengan apa yang didengarnya baru saja.

            “Kayaknya begitu.”

            “Memang Abi sudah siap dengan menantu orang Jawa?”

            Kelakar Zidan memenuhi rungan kafe langganan mereka.

            Dan, air mata itu menetes juga. Zidan segera bereaksi. Niat bercandanya mendapat tanggapan lain dari Jingga.

            Sekali lagi, air mata Jingga adalah sesuatu yang paling ia sesali. Tubuh Zidan berontak sangat kuat. Ia ingin memutar waktu kembali ke beberapa waktu sebelumnya. Namun yang ia dapati, dua pipih Jingga sudah basah.

            ***

            Andine menelepon Amni. Tapi sepuluh panggilannya tidak pernah terjawab. Dan suara itu semakin nyaring di telinganya. Ia berlari menuju gedung yang tidak jauh dari Bandara. Tapi saat sampai di sana, ia hanya mendapati puing-puing kehancuran dan sirine tanda bahaya yang meraung-raung.

Jumat, 19 Februari 2021

Lingkaran Linuih

 


Bulshit. Apa itu Kakang Kawah. Sementara Tuhan saja aku nggak percaya. Hidup ini logis. Matematis. Aksi dan reaksi. Bukan berendam di lumpur ruang antah berantah seperti ini. Rimba Amniotik yang musti dihuni oleh keganjilan hanyalah fiksi. Sekali lagi, hidup itu hasil daya berpikir otak. Bukan menduga-duga ketidakpastian.” Andine meracau, sambil sesekali mengurut keningnya yang terasa pening sejak membuka lembaran buku pemberian Amni. Sebagai sesorang yang tidak percaya dengan adanya Tuhan, sudah pasti ia akan menolak narasi-narasi seperti yang disajikan buku itu. Bagi seorang Andine, Kakang Kawah itu hanyalah bualan.

            Malam mulai datang. Tapi Andine masih belum beranjak dari Kafe Senja. Meski sekuat tenaga ia menolak semua tentang kegaiban, ruang sempit dalam otaknya masih sempat memikirkannya. 

                   Roman datang menghampiri Andine.

            “Mbak Andine sudah hampir setengah hari di sini! Minimal Mbak Andine berdamai dululah dengan bak mandi.”

            “Sudah. Lap saja tumpahan itu. Butuh tambahan tenaga?”

            Hmm.”

            Papan kecil bertuliskan “Close” menggantung di gagang pintu. “Mbak Andine mau jadi security? Lumayan ada tambahan profit. Ketimbang Mbak Andine kesepian.”

            Andine bergeming. Ia menatap langit lekat-lekat

***

            “Abi. Jingga tadi tidak sendiri. Ada Jialang dan Ali Baba yang menemani Jingga. Mereka berdua baik sekali, Bi. Setiap sore pasti datang untuk bermain. Mereka juga sering bawa jajan lo, Bi.”

            Gadis kecil itu begitu polos. Ia menceritakan semua yang dikhawatirkan oleh Abi. Sudah setahun ini, Abi mempunyai pengawasan lebih terhadap Jingga. Sebab, dua nama yang sering disebut Jingga pernah datang di mimpi Abi ketika Jingga belum lahir. Juga ada satu nama lain yang sering meluncur dari bibir mungil Jingga. Ia bernama Berdus. Seorang perempuan cantik. Tinggi. Dan selalu mengenakan kerudung putih. Tapi ia tidak sesering Jialang dan Ali Baba mengunjungi Jingga.

***

            “Aku yakin Abi percaya dengan ceritaku,” kata Jingga meyakinkan. Zidan masih saja mengunyah permen karetnya. Zidan bersahabat dengan Jingga sejak keduanya di bangku SMA. Kemudian berpisah jarak untuk menempuh jenjang Sarjana. Begitu lulus, mereka bersama lagi. Dari sekian banyak temannya, hanya Zidan yang mempunyai kriteria bisa diajak bicara.

            “Ini, kan, sudah berungkali kamu ceritakan ke aku, Jingga. Apa lagi yang musti kamu pertanyakan lagi. Sudahlah, aku yakin Abi jauh lebih mengerti dari yang kamu tahu. Selain Jialang, Ali Baba, dan Berdus, ada siapa lagi sekarang, Jingga? Huh!” Zidan cemberut. Ada kekesalan di wajahnya.

            “Jadi, kamu sudah bosan denger ceritaku? Oke! Mulai jam sembilan malam tepat, teleponku pasti mati!”

            “Eh. Ya bukan begitu Jingga. Maksudku, ada cerita baru, nggak?”

            Jingga mengulum senyum.

            “Sekarang tambah gila, Dan! Sejak Jialang dan Ali Baba tidak pernah datang lagi, dua mataku bisa melihat semuanya yang orang lain nggak bisa lihat. Aku bisa tahu hatimu sekarang sedang ngomong apa. Bukan hanya itu, aku bisa lihat tanda kematian seseorang. Kayak Mak Lah! Tahu, kan, kamu Mak Lah yang sering aku cerita?”

            Zidan mengangguk.

            “Dulu, sehari sebelum meninggal, Mak Lah mencariku. Aku takut. Tapi akhirnya bisa ketemu aku. Apa cobak, yang Mak Lah katakan?”

            Zidan mengangkat dua bahunya.

            “Ia bilang akan pergi jauh. Bilang ke Abi, Mak Lah nanti mau dikirimin doa!”

            Dua bibir Zidan membundar.

            “Itu baru satu, Dan. Sadis sekarang. Aku nggak tahu kenapa aku bisa begini!” Jingga menampakkan wajah penyesalan. Zidan dengan cepat menepuk bahu Jingga.

            “Tenang.”

            “Tenang bagaimana? Tiap kali ada rumah yang akan berduka, dua lubang hidungku selalu mencium bau kamper. Menyengat sekali. Belum lagi, semisal kalau orang yang meninggal itu nggak baik, suara teriakan siksa itu begitu nyaring di kupingku. Jika sudah begitu, tiga hari tiga malam, aku akan selalu terjaga. Sebab, jika aku berusaha tidur, pasti akan ada suara yang berkata, aku akan mati!”

            Zidan menggeleng. Wajahnya tampak sangat prihatin. Ia tidak bisa membayangkan jika apa yang dialami Jingga, ia alami juga.

            “Aku tidak mungkin bilang kamu harus tenang. Aku juga tidak mungkin bilang kamu harus sabar. Tapi aku pastikan, aku akan selalu di sampingmu.”

            Pertemuan siang itu begitu manis. Jingga dan Zidan adalah pasangan yang serasi. Satu gila, satunya lebih gila lagi.

            ***

            “Ada kejadian apa lagi, Ngga?” tanya Zidan sambil menarik kursi untuk Jingga.

            “Aku sedih sekarang. Rara, temanku yang sering minjemin uang pas SMA dulu, meneleponku. Ia hamil tua, dan akan operasi cesar.” Jingga meraih gelas yang berisi air putih di depannya. Lalu menggeleng pelan. Dan beberapa bulir air matanya jatuh. Zidan hanya menatapnya hati-hati.

            “Sudah. Jangan dilanjutkan. Kita makan saja, Ngga. Orang gila itu butuh asupan gizi berlebih. Biar kuat menghadapi semua kegilaan yang datang tiba-tiba.” Dua tangan Zidan memegang erat lengan Jingga. “Aku yakin, Tuhan sudah menyiapkan semuanya. Tidak mungkin Tuhan ngasal milih kamu.”

            “Dan. Perlu kamu tahu, tiba-tiba saja, ada yang memberitahuku bahwa Rara dan anaknya, besok akan meninggal. Aku sudah melawannya. Tapi nyatanya, semua memang kejadian. Rara dan anaknya tidak selamat dalam operasi itu, Dan.”

            Zidan bengong.

            “Jika itu memang kehendak Tuhan, oke, aku percaya. Lalu apa gunanya pemberitahuan itu? Sia-sia, kan? Toh, aku juga tidak bisa menghentikannya.”

            Tangisan Jingga pecah sore itu. Ia membenamkan wajahnya di hamparan meja. Zidan hanya bisa menatapnya. Tangisan Jingga adalah sesuatu yang paling ia sesali sejak dulu.

***

            Andine memutuskan untuk meninggalkan Jakarta. Ia berencana menyusul orang tuanya di Bali. Buku aneh itu ada dalam gamitannya. Seperti kata pepatah, semakin dibenci, maka akan semakin dicintai. Buku yang menggambarkan tentang Kakang Kawah masih saja belum ia bakar. Padahal, sudah sepuluh kali ia berujar akan membakar buku itu. Ada satu bagian dari buku itu yang membuat kelogisan pikirannya tereduksi. Bagian itu tentang orang-orang yang terpilih. Tidak saling mengenal satu sama lain, tapi akan bertemu pada satu tempat yang dijanjikan.

             

Senin, 15 Februari 2021

Selamat Pagi, Selamat Bertambah Usia

 



Angka hari ini begitu cantik. Menggambarkan betapa pemiliknya adalah penakluk cemas; penabur pelangi, dan penjaring tawa. Seingat saya, keganjilan angka hari ini adalah semesta dan seisinya. Jika ditanya siapa manusia paling beruntung, maka jawabnya adalah saya. Sebab, sayalah satu-satunya (sampai hari ini) yang selalu mengamati garis-garis gradasi yang ada di pipi kanan dan kirinya. Mengagumkan.

Tidak terasa memang, sekarang sudah ke- tiga puluh tiga. Keganjilan yang telah disepakati. Angka yang mencipta harmoni; keteraturan. Semesta seperti bersepakat, tahun ini adalah milikmu. Sebab di angka ini, pintu kesejatian hidup tidak lagi halusinasi. Bukan lagi kepingan puzzle yang harus digenapi. Tapi angka hari ini adalah, lorong panjang yang lampunya sudah menyala semua. Biarkan mereka lewat dan menjemput mimpi-mimpinya, katamu suatu ketika.

Banyak orang di luar sana, sampai detik ini, masih belum menemukan definisi yang melegakan tentang angka sepasang itu. Tiga-tiga bagi mereka begitu sakral. Mendiamkan, lalu kemudian menebak-nebak artinya sudah lebih cukup bagi mereka. Namun tidak bagi saya. Angka ganjil yang sepasang ini adalah ceruk kehidupan. Infinity harapan saya. Kebahagiaan saya. Dan syukur saya. Tiga-tiga adalah bagaimana engkau selalu meyakinkan saya, bahwa apa pun itu, akan baik-baik saja jika bersama. Dan, saya selalu menggenggamnya.

Masih tentang tiga-tiga. Saya, dan mereka -mungkin saja- sepakat bahwa angka tiga-tiga adalah kebijaksanaan esoteris. Ini bukan hanya kebetulan yang kerap kali bisa kita duga. Akan tetapi, Tuhan menyelipkan rahasia di balik angka itu. Seperti yang pernah saya baca, -konon- angka ganjil itu berhubungan langsung dengan pencerahan, kesehatan dan aktualisasi diri yang sejati. Banyak peristiwa luar biasa menyelimuti angka ajaib itu. Misalnya saja, tentang tersalibkannya Sang Mesias; Yesus, di bukit Golgota pada usia tiga-tiga, sehingga ketika itu, penduduk  Golgota menjadi sangat mensucikan angka itu.

Tidak berhenti di sana, mayoritas Muslim merapal Tuhan-nya juga melalui angka tiga-tiga. Ritual-ritual mereka tidak akan pernah terasa suci jika angka ganjil itu tidak membasahi lisan mereka.  

Sekelumit keajaiban tiga-tiga itu, memang, tidak akan pernah bisa sebanding denganmu. Tapi setidaknya bisa membuat dua mata indahmu terbuka, jika hari ini kamu adalah manusia paling sakti di jagat ini. Coba, buka jendela. Dan lihatlah awan-awan itu berebut paling cepat menengadahkan tangan. Memohon curahan rahmat dari Tuhan-nya. Dan akan menhujankannya untukmu semua. Tidak tersisa sepercik pun bagi mereka. Dan juga bagaimana Sang Mentari yang sengaja melambatkan diri bersinar. Sebab ia sadar, ada yang lebih bersinar pagi ini. Tidak mau kalah juga, perhatikan nada cericit pagi ini, suara itu serupa harpa yang dimainkan dengan tempo tiga-tiga. Lalu mencetak namamu dalam melodi mereka. Ada lagi, bagaimana tulang belulang, ruas-ruas jari, jantung, paru-paru, lambung, empedu, kulit ari, dua tangan, sepasang kaki, satu hidung, dua kuping, dua mata, ribuan rambut kepala, dagu lancip, dan kilatan kulit semua sedang bersuka cita. Bernyanyi, berdansa, saling membenturkan gelas bergagang langsing mereka. Mereka berpesta hari ini. Mengekspresikan lukisan masa yang mereka mulai sejak mereka berumah di Rimba Amniotik tiga puluh tiga tahun yang lalu. Hari ini penantian itu telah datang. Membersamaimu. Menggandeng tanganmu. Berharap limpahan berkah darimu.

Demikian, alur kata-kata ini mengalir. Jemari ini sudah merasa sangat bersalah telah mengurai betapa saktinya dirimu pagi ini. Namun apa pun kesalahan saya itu, tetap izinkan saya mengatakan: Selamat bertiga-puluh-tiga.

 


Dari laki-laki yang sangat biasa, tapi tak pernah biasa mencintaimu.

Luthfi_Madu

 

Rabu, 10 Februari 2021

Spektrum Rasa

 





Namaku Andine. Usiaku 22 tahun. Aku lahir dari keluarga baik-baik. Aku besar di Jakarta. Ayah dan Ibuku ada di Bali. Bisnis besar mereka memaksaku harus jauh dari orang tua. Sebenarnya, mereka sudah menawarkan untuk ikut, namun aku memilih tinggal di sini; di keramaian ini. Di Jantung Kota Jakarta.

Aku terbilang anak yang gagap dalam pergaulan. Semasa SMA, aku seperti sendiri. Teman-temanku hanyalah embusan angin, cicak sedang kawin di tembok, atau derap kaki orang-orang yang berangkat dan pulang kantor. Aku tidak seperti yang lain; yang harus punya sahabat dekat, yang setiap saat menjadi tempat berkeluh. Aku tidak punya itu semua. Tapi aku bahagia dengan keadaanku yang seperti ini.

Dari perawakan, aku ini cakep. Kesimpulan ini, aku dapatkan dari survei yang aku lakukan sendiri. Berdiam diri di depan cermin kurang lebih satu jam selama seminggu. Hasilnya, aku memang cakep. Kulitku putih. Idola anak baru gede yang labil. Rambutku pendek, tidak sebahu, juga tidak seleher. Lalu seberapa? Sudah bayangkan sendiri!

Selain cakep dan berkulit putih, aku ini tergolong berbadan tinggi. Lima bulan yang lalu aku ukur, tinggi badanku sudah mencapai 169 cm. Tentu, seharusnya, banyak yang naksir aku. Tapi nyatanya, hanya cicak kawin yang selalu ada buat aku. Mereka tidak pernah ada. Sembunyi di balik kecakepanku. Menyusup di sela-sela putihnya kulitku.

Pernah, suatu ketika, saat aku kali pertama memasuki kelas itu, ada seorang laki-laki yang melempar senyum, lalu berteriak kencang di kupingku. Ia mengatakan: “Mereka iri denganmu!” Aku nggak pernah paham yang ia teriakkan ketika itu. Toh, nyatanya, ia sedang berbincang dengan teman sebangkunya. Lalu siapa yang berteriak? Padahal jelas-jelas mulutnya membuka dan melempar kalimatnya.

Sejak saat itu, aku semakin menjauh dari mereka. Aku menghilang dari hidup mereka. Aku tidak ingin mendengar suara-suara itu lagi. Aku masuk dalam epidermis malam. Sepi, sunyi, kelam, tak ada suara, tak ada embusan napas. Tapi anehnya, ketika aku mencoba dan mencoba terus lari, suara-suara itu semakin nyaring di telingaku.

Lalu, pada sore yang hangat, di sebuah kedai Kopi, di sekitaran Mampang. Aku bertemu dengan seseorang yang menurutku, lebih aneh dari aku. Ia mahkluk moderat; sebab yang aku lihat, tidak laki-laki, juga tidak perempuan, juga tidak waria. Aneh, pokoknya aneh. Aku susah ngejelasin-nya. Aku mengambil duduk di sebelahnya. Mengulurkan tangan. Kemudian ia berkata: Amni. Aku: Andine. Amniotic. Itu nama lengkapnya. Dahiku penuh kernyitan. Nama yang aneh, gumamku. Ia mendengus pelan. Lalu tersenyum.

“Kamu kaget?”

Hm, nggak juga, sih. Aku hanya mengingat-ingat,” elakku. Sialan. Gestur tubuhku memang nggak bisa diajak berbohong.

“Hahaha. Kamu, yang pertama bohong di depanku.”

Ia tertawa kencang. Sudut matanya hampir saja menumpahkan bulir-bulir kecil air mata.

“Selamat buatku. Kamu yang pertama mengapresiasi hidupku, gerak tubuhku.”

Tiba-tiba saja, di depanku ada layar besar. Memutar visual sebuah lorong masa lalu. Aku dan Amni terlihat di sana. Kami bersuka cita. Memainkan jungkat-jungkit. Juga, sesekali ayunan. Dan biasanya, kami makan dengan suapan nasi yang sama.

Kami memutuskan untuk membuat jadwal bertemu di tempat yang sama. Seminggu sekali. Di sore yang hangat. Di Kafe Senja.

***

            Sekarang hari senin. Jadwal ketemu Amni masih empat hari lagi. Sore itu, aku memesan secangkir coffee late, lengkap dengan taburan na’na. Pesanan yang aneh! Teriak Roman; barista yang sudah bekerja sepuluh tahun di Kafe Senja.

            Aku menunduk dalam-dalam. Dua tanganku melekat erat di dua kupingku. Suara-suara itu terdengar lagi. Dan sekarang semakin jelas. Suara itu menunjukkan jati dirinya. Mengenalkan dari pita suara siapa mereka tercipta. Astaga. Ini bukan fiksi. Aku mendengarnya dengan jelas, ratapku berkali-kali dalam hati.

            Pertama, suara ini muncul dari seorang laki-laki paruh baya. Kalimatnya sungguh membuatku naik darah. Ia sedang mengukur size BH-ku. Dan juga bokongku. Sialan. Legging yang aku pakai terlalu abnormal. Sehingga lekuk dan jalan naik turun di tubuhku bisa terpantau dengan jelas. Dan sebagai penutup, laki-laki paruh baya itu bergegas pulang. Ia ingin segera bertemu pasangannya. Ketika laki-laki itu sudah tidak terlihat, suara itu menghilang. Aku menjerit ketakutan. Tapi tak satu pun ada yang mendengar jeritanku.

            Lalu, beda lagi dengan tiga pemudi yang duduk memutar di belakangku. Terdengar di kupingku, mereka sedang merencanakan kejahatan. Mereka akan mem-bully salah seorang teman mereka; yang mereka anggap sebagai perusak hubungan antara Kinasih dengan kekasihnya. Aku tahu ini jahat, tapi aku tidak bisa ngapa-ngapain, aku hanya bisa mendengar, membaca, namun aku tidak bisa mencegahnya. Semua seperti firasat yang sering aku rasakan dulu. Tapi sekarang lebih nyata. Ah. Aku menjerit lagi. Namun semua yang ada di sana lagi-lagi hanya bengong. Mereka tidak mendengar sedikit pun yang aku teriakkan.

              Tidak berhenti sampai pada tiga pemudi itu. Ada lagi, seorang remaja tanggung. Ia mengkalimatkan betapa ia sedang dalam kebingungan yang besar. Desi, perempuan yang ia pacari setahun yang lalu, kini hamil, dengan usia kandungan menginjak empat bulan. Sebagai remaja yang baru saja baligh, ia tidak tahu harus mengkespresikan apa. Usia semuda itu tidak akan pernah berpikir untuk aborsi dan juga tidak akan peranh berpikir untuk punya anak. Yang ada hanyalah, gejolak baligh-nya tersalurkan dengan baik. Pun begitu juga dengan kekasihnya, Desi. Perempun dengan dua lesung pipi itu juga sedang berada dalam pelukan cemas yang begitu dahsyat. Dua tanganku mencengkram kursi erat-erat. Degup jantungku berdetak hebat. Aku berteriak. Kemudian, melangkah keluar Senja. Namun sayang, aku gagal. Tubuhku tidak bergeser sedikit pun dari tempat dudukku. Ada dua tangan yang begitu kuat menahanku untuk pergi.

            “Amni! Sejak kapan kamu di sini?” tanyaku terkejut.

            “Sejak kamu mendengar suara itu lagi,” jawab Amni enteng. Lalu menarik kursi yang sedari tadi meringkuk di kolong meja. Ia mengerling. Lalu meminum minumanku.

            Aku tergagap.

            “Kamu juga mendengarnya?”

            “Tidak!” serunya pendek. Lalu mengangkat bahunya pelan. Ia menggeleng. “Aku hanya menebak.”

            Menebak? Ini terlalu rumit. Menebak sesuatu yang aku sendiri tidak mengerti.

            Suara itu semakin banyak. Masing-masing kepala mengelola kalimatnya msing-masing. Tapi tidak dengan kepala perempuan aneh di depanku.

            “Kenapa? Tidak terdengar, ya?”

            ***

            Sejak saat itu, aku terus berupaya agar pertemuan rutinku dengan Amni tidak pernah terlewat. Aku selalu datang satu jam lebih awal dari jam yang kita sepakati.

            Akan tetapi, di pertemuan ke-5 kami, ia tidak datang. Begitu juga di hari-hari berikutnya. Perempuan aneh itu tidak pernah menampakkan tubuhnya lagi di Kafe Senja.

            Aku menyesal.

            “Mbak Andine!” teriak Roman memanggil namaku. Ia melangkah terburu. Lalu dengan cepat menyerahkan sebuah buku yang ia gamit kepadaku. “Ada titipan dari, emm, Mas, eh, Mbak Amni.”

            “Terimakasih.”

            Roman kembali ke ruang kerjanya. Dan aku, membaca sampul buku itu: Kakang Kawah!

Mengapa Saya Lebih Memilih Ikut Perlombaan Burung Lovebird?

  Mengapa Saya Lebih Memilih Ikut Perlombaan Burung Lovebird? Di tengah hiruk-pikuk kehidupan modern yang penuh tekanan dan tuntutan, mencar...