Rabu, 10 Februari 2021

Spektrum Rasa

 





Namaku Andine. Usiaku 22 tahun. Aku lahir dari keluarga baik-baik. Aku besar di Jakarta. Ayah dan Ibuku ada di Bali. Bisnis besar mereka memaksaku harus jauh dari orang tua. Sebenarnya, mereka sudah menawarkan untuk ikut, namun aku memilih tinggal di sini; di keramaian ini. Di Jantung Kota Jakarta.

Aku terbilang anak yang gagap dalam pergaulan. Semasa SMA, aku seperti sendiri. Teman-temanku hanyalah embusan angin, cicak sedang kawin di tembok, atau derap kaki orang-orang yang berangkat dan pulang kantor. Aku tidak seperti yang lain; yang harus punya sahabat dekat, yang setiap saat menjadi tempat berkeluh. Aku tidak punya itu semua. Tapi aku bahagia dengan keadaanku yang seperti ini.

Dari perawakan, aku ini cakep. Kesimpulan ini, aku dapatkan dari survei yang aku lakukan sendiri. Berdiam diri di depan cermin kurang lebih satu jam selama seminggu. Hasilnya, aku memang cakep. Kulitku putih. Idola anak baru gede yang labil. Rambutku pendek, tidak sebahu, juga tidak seleher. Lalu seberapa? Sudah bayangkan sendiri!

Selain cakep dan berkulit putih, aku ini tergolong berbadan tinggi. Lima bulan yang lalu aku ukur, tinggi badanku sudah mencapai 169 cm. Tentu, seharusnya, banyak yang naksir aku. Tapi nyatanya, hanya cicak kawin yang selalu ada buat aku. Mereka tidak pernah ada. Sembunyi di balik kecakepanku. Menyusup di sela-sela putihnya kulitku.

Pernah, suatu ketika, saat aku kali pertama memasuki kelas itu, ada seorang laki-laki yang melempar senyum, lalu berteriak kencang di kupingku. Ia mengatakan: “Mereka iri denganmu!” Aku nggak pernah paham yang ia teriakkan ketika itu. Toh, nyatanya, ia sedang berbincang dengan teman sebangkunya. Lalu siapa yang berteriak? Padahal jelas-jelas mulutnya membuka dan melempar kalimatnya.

Sejak saat itu, aku semakin menjauh dari mereka. Aku menghilang dari hidup mereka. Aku tidak ingin mendengar suara-suara itu lagi. Aku masuk dalam epidermis malam. Sepi, sunyi, kelam, tak ada suara, tak ada embusan napas. Tapi anehnya, ketika aku mencoba dan mencoba terus lari, suara-suara itu semakin nyaring di telingaku.

Lalu, pada sore yang hangat, di sebuah kedai Kopi, di sekitaran Mampang. Aku bertemu dengan seseorang yang menurutku, lebih aneh dari aku. Ia mahkluk moderat; sebab yang aku lihat, tidak laki-laki, juga tidak perempuan, juga tidak waria. Aneh, pokoknya aneh. Aku susah ngejelasin-nya. Aku mengambil duduk di sebelahnya. Mengulurkan tangan. Kemudian ia berkata: Amni. Aku: Andine. Amniotic. Itu nama lengkapnya. Dahiku penuh kernyitan. Nama yang aneh, gumamku. Ia mendengus pelan. Lalu tersenyum.

“Kamu kaget?”

Hm, nggak juga, sih. Aku hanya mengingat-ingat,” elakku. Sialan. Gestur tubuhku memang nggak bisa diajak berbohong.

“Hahaha. Kamu, yang pertama bohong di depanku.”

Ia tertawa kencang. Sudut matanya hampir saja menumpahkan bulir-bulir kecil air mata.

“Selamat buatku. Kamu yang pertama mengapresiasi hidupku, gerak tubuhku.”

Tiba-tiba saja, di depanku ada layar besar. Memutar visual sebuah lorong masa lalu. Aku dan Amni terlihat di sana. Kami bersuka cita. Memainkan jungkat-jungkit. Juga, sesekali ayunan. Dan biasanya, kami makan dengan suapan nasi yang sama.

Kami memutuskan untuk membuat jadwal bertemu di tempat yang sama. Seminggu sekali. Di sore yang hangat. Di Kafe Senja.

***

            Sekarang hari senin. Jadwal ketemu Amni masih empat hari lagi. Sore itu, aku memesan secangkir coffee late, lengkap dengan taburan na’na. Pesanan yang aneh! Teriak Roman; barista yang sudah bekerja sepuluh tahun di Kafe Senja.

            Aku menunduk dalam-dalam. Dua tanganku melekat erat di dua kupingku. Suara-suara itu terdengar lagi. Dan sekarang semakin jelas. Suara itu menunjukkan jati dirinya. Mengenalkan dari pita suara siapa mereka tercipta. Astaga. Ini bukan fiksi. Aku mendengarnya dengan jelas, ratapku berkali-kali dalam hati.

            Pertama, suara ini muncul dari seorang laki-laki paruh baya. Kalimatnya sungguh membuatku naik darah. Ia sedang mengukur size BH-ku. Dan juga bokongku. Sialan. Legging yang aku pakai terlalu abnormal. Sehingga lekuk dan jalan naik turun di tubuhku bisa terpantau dengan jelas. Dan sebagai penutup, laki-laki paruh baya itu bergegas pulang. Ia ingin segera bertemu pasangannya. Ketika laki-laki itu sudah tidak terlihat, suara itu menghilang. Aku menjerit ketakutan. Tapi tak satu pun ada yang mendengar jeritanku.

            Lalu, beda lagi dengan tiga pemudi yang duduk memutar di belakangku. Terdengar di kupingku, mereka sedang merencanakan kejahatan. Mereka akan mem-bully salah seorang teman mereka; yang mereka anggap sebagai perusak hubungan antara Kinasih dengan kekasihnya. Aku tahu ini jahat, tapi aku tidak bisa ngapa-ngapain, aku hanya bisa mendengar, membaca, namun aku tidak bisa mencegahnya. Semua seperti firasat yang sering aku rasakan dulu. Tapi sekarang lebih nyata. Ah. Aku menjerit lagi. Namun semua yang ada di sana lagi-lagi hanya bengong. Mereka tidak mendengar sedikit pun yang aku teriakkan.

              Tidak berhenti sampai pada tiga pemudi itu. Ada lagi, seorang remaja tanggung. Ia mengkalimatkan betapa ia sedang dalam kebingungan yang besar. Desi, perempuan yang ia pacari setahun yang lalu, kini hamil, dengan usia kandungan menginjak empat bulan. Sebagai remaja yang baru saja baligh, ia tidak tahu harus mengkespresikan apa. Usia semuda itu tidak akan pernah berpikir untuk aborsi dan juga tidak akan peranh berpikir untuk punya anak. Yang ada hanyalah, gejolak baligh-nya tersalurkan dengan baik. Pun begitu juga dengan kekasihnya, Desi. Perempun dengan dua lesung pipi itu juga sedang berada dalam pelukan cemas yang begitu dahsyat. Dua tanganku mencengkram kursi erat-erat. Degup jantungku berdetak hebat. Aku berteriak. Kemudian, melangkah keluar Senja. Namun sayang, aku gagal. Tubuhku tidak bergeser sedikit pun dari tempat dudukku. Ada dua tangan yang begitu kuat menahanku untuk pergi.

            “Amni! Sejak kapan kamu di sini?” tanyaku terkejut.

            “Sejak kamu mendengar suara itu lagi,” jawab Amni enteng. Lalu menarik kursi yang sedari tadi meringkuk di kolong meja. Ia mengerling. Lalu meminum minumanku.

            Aku tergagap.

            “Kamu juga mendengarnya?”

            “Tidak!” serunya pendek. Lalu mengangkat bahunya pelan. Ia menggeleng. “Aku hanya menebak.”

            Menebak? Ini terlalu rumit. Menebak sesuatu yang aku sendiri tidak mengerti.

            Suara itu semakin banyak. Masing-masing kepala mengelola kalimatnya msing-masing. Tapi tidak dengan kepala perempuan aneh di depanku.

            “Kenapa? Tidak terdengar, ya?”

            ***

            Sejak saat itu, aku terus berupaya agar pertemuan rutinku dengan Amni tidak pernah terlewat. Aku selalu datang satu jam lebih awal dari jam yang kita sepakati.

            Akan tetapi, di pertemuan ke-5 kami, ia tidak datang. Begitu juga di hari-hari berikutnya. Perempuan aneh itu tidak pernah menampakkan tubuhnya lagi di Kafe Senja.

            Aku menyesal.

            “Mbak Andine!” teriak Roman memanggil namaku. Ia melangkah terburu. Lalu dengan cepat menyerahkan sebuah buku yang ia gamit kepadaku. “Ada titipan dari, emm, Mas, eh, Mbak Amni.”

            “Terimakasih.”

            Roman kembali ke ruang kerjanya. Dan aku, membaca sampul buku itu: Kakang Kawah!

2 komentar:

Mengapa Saya Lebih Memilih Ikut Perlombaan Burung Lovebird?

  Mengapa Saya Lebih Memilih Ikut Perlombaan Burung Lovebird? Di tengah hiruk-pikuk kehidupan modern yang penuh tekanan dan tuntutan, mencar...