Namaku Andine. Usiaku 22
tahun. Aku lahir dari keluarga baik-baik. Aku besar di Jakarta. Ayah dan Ibuku
ada di Bali. Bisnis besar mereka memaksaku harus jauh dari orang tua. Sebenarnya,
mereka sudah menawarkan untuk ikut, namun aku memilih tinggal di sini; di
keramaian ini. Di Jantung Kota Jakarta.
Aku terbilang anak yang gagap
dalam pergaulan. Semasa SMA, aku seperti sendiri. Teman-temanku hanyalah
embusan angin, cicak sedang kawin di tembok, atau derap kaki orang-orang yang
berangkat dan pulang kantor. Aku tidak seperti yang lain; yang harus punya
sahabat dekat, yang setiap saat menjadi tempat berkeluh. Aku tidak punya itu
semua. Tapi aku bahagia dengan keadaanku yang seperti ini.
Dari perawakan, aku ini cakep.
Kesimpulan ini, aku dapatkan dari survei yang aku lakukan sendiri. Berdiam diri
di depan cermin kurang lebih satu jam selama seminggu. Hasilnya, aku memang
cakep. Kulitku putih. Idola anak baru gede yang labil. Rambutku pendek, tidak
sebahu, juga tidak seleher. Lalu seberapa? Sudah bayangkan sendiri!
Selain cakep dan berkulit
putih, aku ini tergolong berbadan tinggi. Lima bulan yang lalu aku ukur, tinggi
badanku sudah mencapai 169 cm. Tentu, seharusnya, banyak yang naksir aku. Tapi nyatanya,
hanya cicak kawin yang selalu ada buat aku. Mereka tidak pernah ada. Sembunyi di
balik kecakepanku. Menyusup di sela-sela putihnya kulitku.
Pernah, suatu ketika, saat aku
kali pertama memasuki kelas itu, ada seorang laki-laki yang melempar senyum,
lalu berteriak kencang di kupingku. Ia mengatakan: “Mereka iri denganmu!” Aku nggak
pernah paham yang ia teriakkan ketika itu. Toh, nyatanya, ia sedang berbincang
dengan teman sebangkunya. Lalu siapa yang berteriak? Padahal jelas-jelas
mulutnya membuka dan melempar kalimatnya.
Sejak saat itu, aku semakin
menjauh dari mereka. Aku menghilang dari hidup mereka. Aku tidak ingin
mendengar suara-suara itu lagi. Aku masuk dalam epidermis malam. Sepi, sunyi,
kelam, tak ada suara, tak ada embusan napas. Tapi anehnya, ketika aku mencoba
dan mencoba terus lari, suara-suara itu semakin nyaring di telingaku.
Lalu, pada sore yang hangat,
di sebuah kedai Kopi, di sekitaran Mampang. Aku bertemu dengan seseorang yang
menurutku, lebih aneh dari aku. Ia mahkluk moderat; sebab yang aku lihat, tidak
laki-laki, juga tidak perempuan, juga tidak waria. Aneh, pokoknya aneh. Aku susah
ngejelasin-nya. Aku mengambil duduk di sebelahnya. Mengulurkan tangan. Kemudian
ia berkata: Amni. Aku: Andine. Amniotic. Itu nama lengkapnya. Dahiku penuh
kernyitan. Nama yang aneh, gumamku. Ia mendengus pelan. Lalu tersenyum.
“Kamu kaget?”
“Hm, nggak juga,
sih. Aku hanya mengingat-ingat,” elakku. Sialan. Gestur tubuhku memang nggak
bisa diajak berbohong.
“Hahaha. Kamu, yang pertama
bohong di depanku.”
Ia tertawa kencang. Sudut matanya
hampir saja menumpahkan bulir-bulir kecil air mata.
“Selamat buatku. Kamu yang
pertama mengapresiasi hidupku, gerak tubuhku.”
Tiba-tiba saja, di depanku ada
layar besar. Memutar visual sebuah lorong masa lalu. Aku dan Amni terlihat di
sana. Kami bersuka cita. Memainkan jungkat-jungkit. Juga, sesekali ayunan. Dan biasanya,
kami makan dengan suapan nasi yang sama.
Kami memutuskan untuk membuat
jadwal bertemu di tempat yang sama. Seminggu sekali. Di sore yang hangat. Di Kafe
Senja.
***
Sekarang
hari senin. Jadwal ketemu Amni masih empat hari lagi. Sore itu, aku memesan
secangkir coffee late, lengkap dengan taburan na’na. Pesanan yang
aneh! Teriak Roman; barista yang sudah bekerja sepuluh tahun di Kafe Senja.
Aku
menunduk dalam-dalam. Dua tanganku melekat erat di dua kupingku. Suara-suara
itu terdengar lagi. Dan sekarang semakin jelas. Suara itu menunjukkan jati
dirinya. Mengenalkan dari pita suara siapa mereka tercipta. Astaga. Ini bukan
fiksi. Aku mendengarnya dengan jelas, ratapku berkali-kali dalam hati.
Pertama,
suara ini muncul dari seorang laki-laki paruh baya. Kalimatnya sungguh membuatku
naik darah. Ia sedang mengukur size BH-ku. Dan juga bokongku. Sialan. Legging
yang aku pakai terlalu abnormal. Sehingga lekuk dan jalan naik turun di tubuhku
bisa terpantau dengan jelas. Dan sebagai penutup, laki-laki paruh baya itu bergegas
pulang. Ia ingin segera bertemu pasangannya. Ketika laki-laki itu sudah tidak terlihat,
suara itu menghilang. Aku menjerit ketakutan. Tapi tak satu pun ada yang
mendengar jeritanku.
Lalu,
beda lagi dengan tiga pemudi yang duduk memutar di belakangku. Terdengar di
kupingku, mereka sedang merencanakan kejahatan. Mereka akan mem-bully
salah seorang teman mereka; yang mereka anggap sebagai perusak hubungan antara
Kinasih dengan kekasihnya. Aku tahu ini jahat, tapi aku tidak bisa ngapa-ngapain,
aku hanya bisa mendengar, membaca, namun aku tidak bisa mencegahnya. Semua
seperti firasat yang sering aku rasakan dulu. Tapi sekarang lebih nyata. Ah. Aku
menjerit lagi. Namun semua yang ada di sana lagi-lagi hanya bengong. Mereka
tidak mendengar sedikit pun yang aku teriakkan.
Tidak berhenti
sampai pada tiga pemudi itu. Ada lagi, seorang remaja tanggung. Ia
mengkalimatkan betapa ia sedang dalam kebingungan yang besar. Desi, perempuan yang
ia pacari setahun yang lalu, kini hamil, dengan usia kandungan menginjak empat
bulan. Sebagai remaja yang baru saja baligh, ia tidak tahu harus
mengkespresikan apa. Usia semuda itu tidak akan pernah berpikir untuk aborsi
dan juga tidak akan peranh berpikir untuk punya anak. Yang ada hanyalah,
gejolak baligh-nya tersalurkan dengan baik. Pun begitu juga dengan
kekasihnya, Desi. Perempun dengan dua lesung pipi itu juga sedang berada dalam
pelukan cemas yang begitu dahsyat. Dua tanganku mencengkram kursi erat-erat. Degup
jantungku berdetak hebat. Aku berteriak. Kemudian, melangkah keluar Senja. Namun
sayang, aku gagal. Tubuhku tidak bergeser sedikit pun dari tempat dudukku. Ada dua
tangan yang begitu kuat menahanku untuk pergi.
“Amni!
Sejak kapan kamu di sini?” tanyaku terkejut.
“Sejak
kamu mendengar suara itu lagi,” jawab Amni enteng. Lalu menarik kursi yang
sedari tadi meringkuk di kolong meja. Ia mengerling. Lalu meminum minumanku.
Aku
tergagap.
“Kamu
juga mendengarnya?”
“Tidak!”
serunya pendek. Lalu mengangkat bahunya pelan. Ia menggeleng. “Aku hanya
menebak.”
Menebak?
Ini terlalu rumit. Menebak sesuatu yang aku sendiri tidak mengerti.
Suara
itu semakin banyak. Masing-masing kepala mengelola kalimatnya msing-masing. Tapi
tidak dengan kepala perempuan aneh di depanku.
“Kenapa?
Tidak terdengar, ya?”
***
Sejak
saat itu, aku terus berupaya agar pertemuan rutinku dengan Amni tidak pernah
terlewat. Aku selalu datang satu jam lebih awal dari jam yang kita sepakati.
Akan
tetapi, di pertemuan ke-5 kami, ia tidak datang. Begitu juga di hari-hari
berikutnya. Perempuan aneh itu tidak pernah menampakkan tubuhnya lagi di Kafe
Senja.
Aku
menyesal.
“Mbak
Andine!” teriak Roman memanggil namaku. Ia melangkah terburu. Lalu dengan cepat
menyerahkan sebuah buku yang ia gamit kepadaku. “Ada titipan dari, emm,
Mas, eh, Mbak Amni.”
“Terimakasih.”
Roman
kembali ke ruang kerjanya. Dan aku, membaca sampul buku itu: Kakang Kawah!

Ceritanya keren, saya suka
BalasHapusTerimakasih, Kakak :D
BalasHapus