Kamis, 02 Februari 2023

Cerita Bener-bener Pendek: Sefrekuensi

 


Malam kemarin. Tepatnya menjelang pagi. Saya ngobrol panjang dengan Ibu Negara (Baca: Istri) di beranda rumah yang berhadapan langsung dengan bising belalang daun yang sejak magrib tadi bersuara. Di akhir percakapan kami, saya bertanya,

“Dulu. Dulu sekali. Sebelum kita menikah, apa yang kamu minta kepada Tuhan tentang jodohmu?”

Ia berdiri. Lalu membereskan sisa camilan di meja depan kami. Ia menatapku aneh. Ia melempar senyum. Aku tidak bersuara. Hanya mengangkat dua bahu. Sambil menggerakkan wajahku sebagai penegasan. Ia bersuara.

“Saat tahu perempuan itu butuh laki-laki sebagai pasangan hidup. Maka aku meminta kepada Tuhan laki-laki yang mengerti agama, berasal dari pesantren tapi memiliki pemikiran terbuka; tidak jumud, dan laki-laki yang sefrekuensi denganku. Tapi sayang …,” ia menjeda. Memancingku bertanya.

“Sayang apa?”

“Sayang aku lupa tidak meminta laki-laki yang ganteng dan kaya. Yah, jadinya begini. Ah. Andai waktu berkenan kembali ke waktu itu.” Ia berlalu sambil membawa gelas bekas kopi kami.

Aku masih dipenjara tawa.

Tapi ia sudah tidak di dekatku lagi.

Tamat!

 

Secangkir Kopi Untuk Hanna (Novel Series) - Luthfi Madu-#3

 






***

Banyuwangi. Tujuh jam dari Malang. Kami tidak menunda waktu lagi. Kami berangkat. Detik itu juga.

Kamu sanggup?Abay tampak prihatin dengan keadaanku. Andai saja aku bisa nyetir sejak dulu. Ia melepas satu penyesalan.

Apa yang tidak untuk Hanna? sahutku pelan. Aku masih sanggup. Bahkan lebih dari ini aku juga sanggup. Aku selalu berapi-api.

Baiklah, kata Abay pendek. Lalu mengatubkan dua matanya.

Jalanan panjang, hitam, yang kutapaki menampilkan panas yang luar biasa. Seperti rebusan air yang sedang puncak-puncaknya. Malang sudah melepas kepergian kami. Pasuruan menerima kami dengan tangan terbuka. Hangat sekali.

Abay masih pulas saat mobil kami sudah menjauh dari kota itu. Sebentar lagi, kami akan masuk ke Lumajang. Tapi aku memutuskan untuk berhenti sesaat. Aku lelah sekali.

Ada sungai yang mengalir tenang di depan mataku. Aku melihat angin itu datang tergopoh-gopoh. Lalu menjilati permukaan sungai. Gelombangnya menjadi berkilat-kilat. Memantulkan panas yang jatuh langsung dari matahari. Sungai itu seperti peraduan. Angin itu membawa rindu yang menahun. Aku tahu itu. Kau pasti juga pernah melihatnya, Hanna.

Sebuah tangan hinggap di bahuku. Sebaiknya kamu tidur dulu.

Aku menginginkan itu, Kawan. Tapi dua mata ini enggan terpejam. Sebab, keduanya begitu takut waktu tak membangunkan mereka lagi, kataku sambil menatap kepedulian Abay. Jangan khawatirkan aku, Bay. Sumpah. Aku masih sanggup. Aku kemudian berdiri. Memecah kekhawatirannya. Abay mengangguk mantap. Setelah itu, ia terpaku pada punggung bukit yang menggendong ribuan pinus. Dan juga rimbun alang-alang. Dengan sesekali kawanan seriti menggelitik pinggangnya. Bukit itu tertawa riang. Tapi tidak dengannya. Abay tetap saja dingin. Sedingin yang dulu.

Aku takut kamu tidak bisa menerima kenyataan! Kesunyian pecah. Aku hanya menggelengkan kepala.

Tidak tahu, pendek, aku menyahut.

Faya. Tapi percayalah, Tuhan pasti memeluk doa-doamu, katanya menenangkan. Tuhan akan menyatukan kalian, imbuhnya.

Aku hanya melihat langit di atas sana. Aku hanya ingin tahu, sabda apa yang didengungkan semesta untuk cinta ini. Cinta kita. Aku dan kamu, Hanna.

Lumajang tampak begitu hijau dari kejauhan. Tapi udara di kota itu tidak sesejuk Malang. Aku tidak ingin berhenti terlalu lama. Aku melewatinya begitu saja. Aku terburu. Sebab, aku ingin segera tiba di Jember. Lalu Banyuwangi. Aku melirik Abay sejenak. Ia masih mengatubkan dua matanya dengan sangat bahagia. Yang kulihat dari wajahnya adalah paradoks hatiku. Tapi tidak mengapa. Aku pasti baik-baik saja.

***

Banyuwangi. Yang kuingat adalah Ketapang. Pelabuhan itu selalu ramai. Membawa jutaan harap manusia yang ingin berbahagia di seberang sana. Aku pernah di sana ketika itu. Tentu bersamamu, Hanna. Kau masih ingat? Tentu saja.

Coba kau ingat-ingat lagi. Pagi itu, sekitar pukul enam lebih sedikit, kau tampak begitu murung. Wajahmu tertekuk sempurna. Ada apa? Aku bertanya di sebelahmu. Aku takut. Sangat takut, Faya. Kenapa? Aku bertanya lagi. Sebab, pelabuhan ini begitu membenciku. Aku takut ia berdoa buruk tentang hubungan ini. Hubungan kita.

Lalu aku menggenggam jemarimu.

Percayalah, Hanna. Pelabuhan ini hanya iri dengan kita. Atau bahkan, malah sebaliknya. Kebahagiaan kita menular padanya.

Kau jangan bercanda.

Tidak. Sebentar, Hanna. Beri aku lima menit. Aku ingin menulis surat kepadamu. Tentang Ketapang ini.

Kau tampak tersipu ketika. Lalu menungguku menulis. Tanpa suara. Hening. Begitu hening.

Kalimat per kalimat tumpah di kertas itu. Sesekali aku melihat wajahmu. Ayu. Sungguh wajah yang membuatku tidak butuh apa-apa lagi. Kau membalasnya dengan sedikit tersenyum. Oh. Hanna.

Aku sudah selesai menulis surat. Kau tampak tak sabar ingin membacanya. Tangan putihmu mengulur. Mengharap kertas itu segera pindah di jari-jari lentikmu. Aku mengangguk,

Silakan.

Kau menunduk. Dan mulai membacanya.

Perempuan pelangi. Aku menyebutmu begitu. Semoga saja kau tidak keberatan. Semoga Tuhan terus memelukmu.

Hanna. Lihat riak air itu. Begitu gaduh. Tapi manusia selalu berada di pinggirya. Merasakan sentuhannya. Sebab katanya, itu adalah keberkahan. Barangkali, aku juga mengatakan hal yang sama. Hanna, kau begitu gaduh tapi teduh. Aku adalah jiwa-jiwa yang selalu berada di lingkarannya. Jika kau melepasku, maka aku menjadi abu. Aku selalu suka kau yang gaduh. Meramaikan semesta. Membungkus bahagia dengan kemasan yang sangat sederhana. Mengejar angkot, menumpang dengan tidak pernah memiliki tujuan. Itulah Hanna. Kegaduhan yang membawa keteduhan.

Hanna. Apakah kau pernah merasakan jika kadang awan membuat mendung? Bahkan sampai gelap? Benar, Sayang. Awan itu sengaja menggodamu. Lalu bertanya, bagaimana Tuhan menciptakanmu dulu. Maka jawablah: Tuhan menciptakanmu sambil tersenyum.

Hanna. Sudah. Aku menyudahi surat ini. Aku selalu kehabisan diksi jika sudah membahasakanmu. Tapi aku akan selalu berjanji, aku tidak akan pernah berhenti mencari diksi-diksi yang lain tentangmu. Terima kasih atas dua matamu yang sayu. Yang kau biarkan lelah demi surat kecil ini. Semoga, hari ini, esok, lusa dan seterusnya kau dan aku selalu bersama. Bahkan, sampai di Firdaus sana.

Kau kembali menatapku. Surat itu kau lipat rapi. Kemudian masuk ke dalam saku kemejamu.

Jangan, Hanna.

Kau menggeleng.

Surat ini akan kugenggam sampai aku tiada. Lalu ia mengerling.

Tapi itu surat yang buruk, Hanna, aku mencoba mencegahnya.

Lain kali, tulislah surat untukku lagi. Aku pasti merindukan kalimat-kalimat itu. Lalu hening. Hanna menyandarkan kepalanya ke bahuku. Ketapang membuat kami merasa sangat hangat.

Sebentar lagi. Kami hanya butuh lima menit lagi itu sampai di tanah Blambangan itu. Roda kami terus berputar tanpa mengenal lelah. Abay melirikku lagi. Ia mengamati mata sapiku.

Aku tidak lelah. Perjalanan ini sangat membahagiakan, kataku buru-buru. Sebab Abay sebentar lagi akan berkomentar tentang mataku.

Gila. Cinta membuat orang tidak waras, sahutnya pendek.

Kamu sudah segar? Tidurmu seperti orang mati.

Ia tidak menjawab. Hanya kepalanya mengangguk pelan. Mobil kami sampai juga di kota itu. Banyuwangi begitu ramah. Tapi langit sedikit muram. Gelap tampak di atas sana.

Akan hujan. Sudah mendung sekali, kataku sambl mengamati gelapnya langit.

Semoga saja tidak. Kita harus segera mencari tahu desa itu. Sebelum malam menghabisi semuanya, sahut Abay sambil melempar pandangan ke jalan. Sebaiknya kita berhenti dulu. Aku akan turun mencari petunjuk, imbuhnya.

Kami menepi. Roda mobil kami berhenti tidak jauh dari POM bensin. Abay segera turun. Langkahnya terburu. Di seberang jalan sebuah warung kopi yang sedang ramai. Aku tahu, ia akan ke sana.

Hanna. Huff. Aku melepas udara yang menyesak di dada. Mudah-mudahan, semua lekas berakhir. Kita akan bertemu lagi. Aku akan mengajakmu pulang. Dengan segera. Rindu yang menggunung ini hampir saja membunuhku. Kau tahu, Hanna?

Dari kejahuan, aku melihat Abay sedang berbincang dengan salah satu pengunjung warung. Lalu tangannya menunjuk-nunjuk ke arah yang kabur. Lalu ia mengangguk khidmat. Tiga menit terlewat, Abay berjalan menuju arahku.

Masih jauh. Ada di pelosok. Kira-kira masih lima puluh kilometer. Kamu ingin istirahat dulu?

Aku menggeleng.

Kamu masih kuat?

Aku mengangguk tegas.

Baiklah. Terserah kamu. Tapi saranku, jangan memaksa jika memang kamu sudah lelah, tukas Abay.

Aku mengangguk lagi. Terima kasih atas semuanya.

Abay diam. Tidak merespon.

Mobil kami terus melaju. Menapaki karpet hitam yang sangat panjang. Mendung di langit semakin menjadi-jadi. Beberapa petir sudah terdengar telinga. Cahayanya yang berkilatan semakin mengukuhkan jika sebentar lagi, langit akan menumpahkan hujan. Abay tampak khawatir dengan keadaan ini. Ditambah lagi, tubuhku yang enggan sekali diajak untuk istirahat. Aku tidak salah memilihnya sebagai sahabat sejati. Sejak dulu. Meski, ia selalu tampak dingin tapi aku tahu ia sangat mempedulikan keadaan orang lain.

Hujan benar-benar turun. Lebat sekali. Jalan di depanku tampak gelap. Angin yang berembus membuat bulu kuduk berdiri penuh semangat.

Tidak, Fay. Kita tidak bisa meneruskan perjalan ini. Kita harus istirahat. Jalan begitu gelap. Gusar, Abay memintaku untuk berhenti dulu. Kali ini aku menurut.

Baiklah, jawabku sambil mengangguk.

Aku segera memelankan mobil. Dua mataku mengedar mencari tempat parkir yang paling nyaman. Hampir lima menit terlewat, yang kudapati hanyalah jajaran pohon besar yang meneduhi jalan. Dalam keadaan hujan yang lebat, haram hukumnya berteduh di bawah pohon besar. Kalau nasib kita sedang bagus, maka pohon itu tidak akan rubuh. Tapi jika kita sedang sial, maka pohon besar itu tidak akan segan-segan menindih kita.

Ada POM, lima ratus meter lagi. Meski sangat lebat dan gelap, aku masih bisa membaca keterangan tersebut.

Ada POM. Kita di sana aja!

Abay hanya mengangguk. Lalu bersendekap. Ia tampak kedinginan. Tapi tidak. Ia tidak mungkin kedinginan, tapi aku melihatnya ia sedang geram. Tapi entah, ia geram karena apa. Hujan? Mingkin. Aku? Barangkali itu.

Hanna. Aku melihat hujan yang lebat. Ia membentuk wajahmu. Elok. Kau masih ingat saat kita di Payung dulu? Kau menggigil. Sebab bajumu terkena siraman air di Coban Rondo. Dan kau lupa menyiapkan baju cadangan. Aku menggenggam erat tanganmu. Tiba-tiba saja badanmu begitu panas.

Kau sakit? Apa yang kau rasakan? tanyaku cemas.

Tapi kau malah melempar senyum. Indah sekali. Aku menjadi bingung. Lalu, ah. Itu kali pertama aku merasakan halus pipimu. Putih. Lalu sedikit memerah. Kita larut dalam bahasa itu.

Kami sudah berhenti di POM. Abay masih tampak geram. Ia diam. Lalu mengatubkan dua matanya. Aku menyusulnya.

Aku ingin tidur, Hanna. Datanglah. Aku merindukanmu. Benar-benar puncak rindu. Aku ingin memelukmu. Karena hawa di sini begitu dingin. Tapi bagaimana denganmu? Apakah kau kedinginan?

Hanna. Andai kau tak ada, tak kutemukan lagi. Maka, langit biar segera menjemputku. Sebab, ia tahu. Kau adalah kehidupanku.

Lalu semuanya menjdai hening. Gelap. Lelah. Aku sangat lelah.

Mereka itu, EMAS!

Mereka itu, EMAS! (Sebuah Pengantar) Tuhan Yang Mahakuat, Puji-puji ini untuk Engkau. Kepada Sang Nabi, saya haturkan Salawat: Semoga ka...