Sebuah sore yang hangat. Riyan dan Raka belum kembali ke
kontrakan. Sementara sejak bangun tidur, Sony pamit untuk keluar. Ada tugas
kelompok. Praktis, aku hanya sendiri.
Tiba-tiba saja, Rembulan hadir. Kerudungnya berwarna
biru. Ia mengenakan syal abu-abu. Begitu cantik. Begitu memikat mata. Ia
menyapaku.
“Mas.” Suaranya membiusku. Tak ubahnya barisan not dalam
biola. Ada terpaan udara yang menidurkan. Aku tergagap. Aku gemetar. Ia hadir.
Ia nyata.
“Rem ... Rembulan ...” Tenggorokanku terkecat. Ia
menggetarkan semuanya. Suaraku serak. Menjadi tak sempurna.
Aku melayang bersama angin. Menuju Firdaus yang suci. Tapi
ia segera berlalu.
**
UAS seminggu lagi. Tapi aku sudah sering gemetar. Dan
juga tidak sabar menunggu hari itu tiba. Sony kelihatan sangat tenang. Tapi aku
tahu, ia juga sering tidak bisa tidur. Bukan karena UAS.
Riyan dan Raka tampak paling santai. Riyan adalah
pencetus ide itu. Jadi ia gengsi jika harus bernasib sama denganku. Sementara
alasan Raka adalah, ia lebih senior dari aku dan Sony.
Awal Juni 2013. Kampus menjadi hening. Ada pekan ujian
akhir. Suara riuh mereka harus disimpan dulu untuk seminggu ke depan. Tapi aku
malah tidak merasakan bagaimana tegangnya melewati UAS. Padahal, konon katanya,
UAS adalah penentu kelulusan mata kuliah yang telah aku ambil. Aku hanya
terbayang-bayang kompetisi, yang menurutku, sedikit gila itu.
Pagi. Sekitar setengah tujuh. Aku berangkat menuju
kampus. Riyan, Raka dan Sony masih pulas. Jadwal UAS mereka setelah Zuhur. Juni memang terkenal
dengan musim panas, tapi pagi itu aku lumayan mengigil. Tiba-tiba saja.
Aku terus berjalan menuju kampus. Aku melihat banyak
mahasiswa yang tergopoh-gopoh. Terutama yang perempuan. Apa lagi yang
menggunakan kerudung besar dan rok panjang. Ia terlihat begitu susah berjalan
cepat. Dan wajah-wajah di depannya terlihat menggerutu. Aku memilih menyalip
mereka.
Gerbang besar kampus sudah di depan mata. Gedung kuliahku
yang menjadi arena UAS sudah melambaikan tangan. Ia ingin segera memelukku.
Aku masuk. Aku melihat mereka sedang menundukkan kepala.
Menatap lekat pada secarik kertas yang ada di meja mereka masing-masing. Sial.
Jarum jam ternyata sudah di angka setengah delapan. Setengah tujuhku ternyata
ajaran sesat. Jam sialan. Bangsat.
Tatapan mata dosen sangat mengancamku. Senyum yang kubuat
semanis mungkin tidak mempan sama sekali. Ia tidak peduli sogokanku. Yang ada,
aku hanya manusia pesakitan. Filsafat memang kusuka, tapi dengan telat setengah
jam aku juga bakal kelabakan mengerjakan soal-soal yang diberikan.
Aku bernapas lega. Dosen itu mengizinkanku duduk. Lalu
selembar kertas berpindah ke tanganku. Aku baca soal-soal itu. Tidak banyak.
Hanya lima soal. Bentuknya esai. Harus dijawab dengan narasi. Jenis soalnya
adalah aplikatif. Hanya satu yang berupa teoritif. Jika kutaksir, lima soal itu
akan membutuhkan dua lembar folio bergaris. Peluhku langsung saja bermunculan.
Memori selama hampir empat bulan lenyap semuanya. Apa yang telah kubaca dan
kukomentari tidak sedikit pun berbekas. Aku melihat soal-soal itu menjadi auman
singa yang sedang lapar-laparnya.
Dan, puncaknya. Dosen menyatakan waktu ujian telah habis.
Kertas folioku begitu bersih. Dosen mengulum senyum. Jika kuterjemahkan:
Selamat Anda akan berjumpa saya lagi!
Tapi aku tidak peduli. Sebab, Raisa adalah segalanya.
**
Waktu memang berjalan terburu akhir-akhir ini. UAS sudah
berlalu. Kami berempat sangat sibuk. Bukan untuk remidi, atau caper di depan
dosen dengan harapan lulus tanpa syarat. Tapi kami sibuk menentukan kapan kami berangkat.
Sony mengusulkan hari Minggu. Tapi langsung kami tolak.
Sebab Minggu terlampau ramai. Jalanan pasti padat. Menurut mata batin Riyan,
itu tidak baik bagi kami. Sementara aku mengusulkan Rabu. Aku mendasarkan pada
tradisi pesantren yang memulai pelajaran di hari itu. Ada juga tradisi
keislaman yang begitu fenomenal, yakni Rebo Wekasan. Tapi nasibku sama
dengan Sony. Usulanku mentah dan tertolak dengan cepat. Kata Raka, alasan
pemilihan hariku membuat kedua telinganya geli. Lalu Riyan mengusulkan Kamis.
Tapi juga tertolak. Sebab Kamis lebih baik di rumah. Dari hari itu, masyarakat
Nusantara melakukan ritual-ritual mereka. Jadi, kami harus menghormati. Yang
terakhir Raka mengusulkan hari Senin. Aku, Sony dan Riyan menggelengkan sejenak.
Biar mirip UAS, kata Raka dengan sedikit senyummnya. Aku berpikir sejenak.
Menurutku, hari itu bebas dari tradisi-tradisi masyarakat. Di hari itu juga,
aktivitas kerja dimulai. Jadi, aku mengibaratkan kompetisi itu adalah
pekerjaan.
“Aku setuju hari Senin!” seruku mantab. Sony dan Riyan
masih terlihat berpikir. “Bukankah Senin hari kelahiran Safia?”
Riyan dan Raka tergagap. Kemudian tersenyum manis.
“Aku juga setuju.” Pelan, Riyan melemparkan
persetujuannya.
“Apa ini modus?” Sony meluncurkan sebuah pertanyaan. Tapi
dengan tujuan yang tidak jelas. Riyan dan Raka segera menabrakkan pandangan.
Keduanya menyadari jika perang dinginnya sudah mulai diketahui khalayak.
“Sudah. Jangan diambil hati. Aku juga setuju. Kompetisi ini dimulai hari
Senin,” pungkasnya.
“Berarti semua sudah sepakat. Sekarang Kamis. Berarti
kita masih punya waktu tiga hari. Kita persiapkan semuanya. Son, jika kamu
ingin menulis wasiat, maka sekaranglah saatnya,” canda Riyan kepada Sony.
“Memangnya aku mendaftar untuk bunuh diri,” tangkis Sony cepat.
“Jangan sekarang, Son! Hari Raya Kurban masih lama. Biar
kamu tambah gemuk dulu,” kataku ikut menggoda Sony.
“Asu! Jancuk!” umpat Sony.
Kami kompak tertawa. Sony memang lebih sering jadi
bulan-bulanan. Namun begitu, ia menjadi yang pertama kami bela saat ada orang
yang mengusiknya. Kami satu keluarga. Bahagia. Banyak pelangi. Dan juga
Rembulan. Tidak ketinggalan, Safia.
**
Senin. Masih awal Juni 2013. Petualangan kami resmi
dimulai. Langit di atas sana menggantung keindahan. Harapanku ada di sana.
Terlukis indah. Begitu menggoda.
Perbekalan kami sangat sederhana. Sebuah ransel kecil
yang berisi beberapa baju ganti. Ada juga buku catatan kecil. Dan tidak lupa gadget
sebagai senjata utama kami.
Tangan kami mengepal. Kemudian saling menggenggam.
“Good luck!” teriak kami bersamaan. Lalu kami
saling menjauh. Punggung kami saling membelakangi. Dan ketika aku menoleh ke
belakang, hanya jejak kaki mereka yang tertinggal. Rasa ngeri muncul tiba-tiba.
Ada keraguan yang melintas di depan mata. Benar kata orang bijak: paling sulit
adalah memulai sesutatu. Tapi, pagi itu aku sudah berdiri menunggu kedatangan Rapih
Dhoho yang akan membawaku ke Kertosono. Dari kota kecil itu, aku akan
menumpang kereta menuju Ibu Kota. Sebab berdasarkan jadwal, Raisa selama tiga bulan ke
depan hanya menggelar show di Jakarta. Aku yakin, Riyan, Raka dan Sony
akan berpikiran sama denganku.
Rumahku tidak jauh dari stasiun Kertosono. Aku
memandanginya dari sisi terluar stasiun yang lumayan besar itu. Aku merasakan
embusan angin sawah yang setiap pagi kuhirup. Segar dan menyejukkan. Selamat
tinggal, kataku. Jemput aku kelak. Sebab aku pasti kembali.
Modal lima puluh ribu sudah berkurang lima belas ribu.
Praktis, modal perjalananku hanya tinggal tiga puluh lima ribu. Jika aku
menumpang kereta, aku hanya sampai di Solo. Selebihnya aku pasti jadi
gelandangan. Tidak boleh terjadi, teriakku dalam hati. Otak harus diputar.
Intuisi harus difungsikan. Dan mencari tumpangan gratis adalah pilihan terbaik.
Tapi aku menganulir keputusanku. Aku tidak akan mencari
tumpangan gratis. Sisa uang yang kupunya masih cukup mengantarkanku sampai ke
Jogja. Dan di kota itu, aku akan mencari uang saku lagi. Entah dengan cara apa. Tekadku
kembali menyara. Panas. Menyengat.
**
Sony berdiri dengan napas terengah-engah. Ia baru saja
turun, tepatnya disuruh turun oleh petugas kereta karena ia hanya membeli tiket
sampai Kediri, sementara saat itu kereta sudah berada di wilayah Madiun.
Sungguh berani temanku itu. Pengorbanan konyol! Menurutku.
Ia menatapi kereta yang baru saja memuntahkannya.
Wajahnya mengandung ketidakrelaan yang begitu besar. Harusnya ia berada di
dalam kerata itu. Duduk manis. Dan juga tertidur pulas. Madiun kota yang asing
baginya. Modalnya hanya tinggal dua puluh ribu. Mustahil jika diajak menuju ibu
kota hari itu juga. Ia harus menginap di sana. Harus.
Ia melangkah keluar stasiun. Dalam benaknya, hanya ada
Gereja. Di tempat suci itu, ia mungkin bisa menyumbangkan suaranya. Sebagai imbalannya, ia dapat
penginapan gratis plus makan yang kenyang. Aroma Rica-rica babi sudah tercium
di hidungnya. Senyum lebar Sony tersungging indah di langit
semesta. Mudah-mudahan rencana itu sama indahnya.
**
Riyan masih terpaku di kursi ruang tunggu bus. Ia masih
tertahan oleh ide gila itu. Aksi spontannya teryata menjadi beban hidupnya. Ia
mulai khawatir denganku dan Sony. Ia takut terjadi apa-apa dengan kami. Sebab
menurutnya, kami masih Ababil, alias ABG labil. Ia sangat takut kami berhadapan
dengan begal. Begitulah Riyan. Sifat melankolisnya lebih besar dari
kegarangannya.
Tiba-tiba saja ia tergagap. Sebuah tangan hinggap di bahu
kanannya.
“Mau ke mana, Mas?” tanyanya cepat.
“Jogja!” jawab Riyan tidak kalah cepat,
“Ikutlah dengan kami. Kami paling murah tapi fasilitas
paling menggiurkan,” kata orang itu berpromosi. Ia berseragam tapi tidak
berdasi. Calo? Tanya Riyan dalam hati. Bukan! Jawab hatinya yang lain. Lalu?
Orang mencari rezeki. Peduli setan! Teriak Riyan.
Riyan menggeleng, “Tidak, Mas.”
Lalu ia berdiri dari tempat duduknya. Ia tepis semua
keraguan itu. Dua matanya melukis Raisa yang sedang melantunkan lagi. Dau pipinya
yang kemerahan terlukis jelas di dua matanya yang tajam menantang.
Lalu ia naik ke sebuah bus yang akan
membawanya ke Surabaya. Dari kota itu ia akan menupang bus lagi menuju Jogja. Dan akan
berakhir di Ibu Kota. Begitu misi yang tertulis di kepalanya. Raisa. Sekali
lagi Raisa. Hanya Raisa yang ia punya. Pemompa semangat.
**
Raka sedang menikmati buku barunya. Dua matanya hanya
peduli dengan huruf-huruf yang ada di pangkuannya. Meski bus sedang
bising-bisingnya, ia tetap tidak peduli. Ia merasa sedang berada di Payung. Ada
embusan hawa sejuk menyentuh keningnya. Lalu ada jajaran betis yang indah. Mahasiswa
baru di negeri nan jauh di sana seang sekali menguji kekuatan betisnya terhadap
hawa dingin Malang. Oh, menyenangkan sekali. Surga? Semoga bukan!
Bus yang ditumpangi Raka akan membawanya ke Semarang.
Uang lima puluh ribu ia serahkan semuanya ke kondektur. Ia hanya memegang buku. Baginya,
lapar bisa dijinakkan dengan huruf. Idealis sekali. Tapi begitulah Raka.