Kamis, 17 September 2020

Mengejar Raisa (2)

 

Sebuah sore yang hangat. Riyan dan Raka belum kembali ke kontrakan. Sementara sejak bangun tidur, Sony pamit untuk keluar. Ada tugas kelompok. Praktis, aku hanya sendiri.

Tiba-tiba saja, Rembulan hadir. Kerudungnya berwarna biru. Ia mengenakan syal abu-abu. Begitu cantik. Begitu memikat mata. Ia menyapaku.

“Mas.” Suaranya membiusku. Tak ubahnya barisan not dalam biola. Ada terpaan udara yang menidurkan. Aku tergagap. Aku gemetar. Ia hadir. Ia nyata.

“Rem ... Rembulan ...” Tenggorokanku terkecat. Ia menggetarkan semuanya. Suaraku serak. Menjadi tak sempurna.

Aku melayang bersama angin. Menuju Firdaus yang suci. Tapi ia segera berlalu.

**

UAS seminggu lagi. Tapi aku sudah sering gemetar. Dan juga tidak sabar menunggu hari itu tiba. Sony kelihatan sangat tenang. Tapi aku tahu, ia juga sering tidak bisa tidur. Bukan karena UAS.

Riyan dan Raka tampak paling santai. Riyan adalah pencetus ide itu. Jadi ia gengsi jika harus bernasib sama denganku. Sementara alasan Raka adalah, ia lebih senior dari aku dan Sony.

Awal Juni 2013. Kampus menjadi hening. Ada pekan ujian akhir. Suara riuh mereka harus disimpan dulu untuk seminggu ke depan. Tapi aku malah tidak merasakan bagaimana tegangnya melewati UAS. Padahal, konon katanya, UAS adalah penentu kelulusan mata kuliah yang telah aku ambil. Aku hanya terbayang-bayang kompetisi, yang menurutku, sedikit gila itu.

Pagi. Sekitar setengah tujuh. Aku berangkat menuju kampus. Riyan, Raka dan Sony masih pulas. Jadwal UAS mereka setelah Zuhur. Juni memang terkenal dengan musim panas, tapi pagi itu aku lumayan mengigil. Tiba-tiba saja.

Aku terus berjalan menuju kampus. Aku melihat banyak mahasiswa yang tergopoh-gopoh. Terutama yang perempuan. Apa lagi yang menggunakan kerudung besar dan rok panjang. Ia terlihat begitu susah berjalan cepat. Dan wajah-wajah di depannya terlihat menggerutu. Aku memilih menyalip mereka.

Gerbang besar kampus sudah di depan mata. Gedung kuliahku yang menjadi arena UAS sudah melambaikan tangan. Ia ingin segera memelukku.

Aku masuk. Aku melihat mereka sedang menundukkan kepala. Menatap lekat pada secarik kertas yang ada di meja mereka masing-masing. Sial. Jarum jam ternyata sudah di angka setengah delapan. Setengah tujuhku ternyata ajaran sesat. Jam sialan. Bangsat.

Tatapan mata dosen sangat mengancamku. Senyum yang kubuat semanis mungkin tidak mempan sama sekali. Ia tidak peduli sogokanku. Yang ada, aku hanya manusia pesakitan. Filsafat memang kusuka, tapi dengan telat setengah jam aku juga bakal kelabakan mengerjakan soal-soal yang diberikan.

Aku bernapas lega. Dosen itu mengizinkanku duduk. Lalu selembar kertas berpindah ke tanganku. Aku baca soal-soal itu. Tidak banyak. Hanya lima soal. Bentuknya esai. Harus dijawab dengan narasi. Jenis soalnya adalah aplikatif. Hanya satu yang berupa teoritif. Jika kutaksir, lima soal itu akan membutuhkan dua lembar folio bergaris. Peluhku langsung saja bermunculan. Memori selama hampir empat bulan lenyap semuanya. Apa yang telah kubaca dan kukomentari tidak sedikit pun berbekas. Aku melihat soal-soal itu menjadi auman singa yang sedang lapar-laparnya.

Dan, puncaknya. Dosen menyatakan waktu ujian telah habis. Kertas folioku begitu bersih. Dosen mengulum senyum. Jika kuterjemahkan: Selamat Anda akan berjumpa saya lagi!

Tapi aku tidak peduli. Sebab, Raisa adalah segalanya.

**

Waktu memang berjalan terburu akhir-akhir ini. UAS sudah berlalu. Kami berempat sangat sibuk. Bukan untuk remidi, atau caper di depan dosen dengan harapan lulus tanpa syarat. Tapi kami sibuk menentukan kapan kami berangkat.

Sony mengusulkan hari Minggu. Tapi langsung kami tolak. Sebab Minggu terlampau ramai. Jalanan pasti padat. Menurut mata batin Riyan, itu tidak baik bagi kami. Sementara aku mengusulkan Rabu. Aku mendasarkan pada tradisi pesantren yang memulai pelajaran di hari itu. Ada juga tradisi keislaman yang begitu fenomenal, yakni Rebo Wekasan. Tapi nasibku sama dengan Sony. Usulanku mentah dan tertolak dengan cepat. Kata Raka, alasan pemilihan hariku membuat kedua telinganya geli. Lalu Riyan mengusulkan Kamis. Tapi juga tertolak. Sebab Kamis lebih baik di rumah. Dari hari itu, masyarakat Nusantara melakukan ritual-ritual mereka. Jadi, kami harus menghormati. Yang terakhir Raka mengusulkan hari Senin. Aku, Sony dan Riyan menggelengkan sejenak. Biar mirip UAS, kata Raka dengan sedikit senyummnya. Aku berpikir sejenak. Menurutku, hari itu bebas dari tradisi-tradisi masyarakat. Di hari itu juga, aktivitas kerja dimulai. Jadi, aku mengibaratkan kompetisi itu adalah pekerjaan.

“Aku setuju hari Senin!” seruku mantab. Sony dan Riyan masih terlihat berpikir. “Bukankah Senin hari kelahiran Safia?”

Riyan dan Raka tergagap. Kemudian tersenyum manis.

“Aku juga setuju.” Pelan, Riyan melemparkan persetujuannya.

“Apa ini modus?” Sony meluncurkan sebuah pertanyaan. Tapi dengan tujuan yang tidak jelas. Riyan dan Raka segera menabrakkan pandangan. Keduanya menyadari jika perang dinginnya sudah mulai diketahui khalayak. “Sudah. Jangan diambil hati. Aku juga setuju. Kompetisi ini dimulai hari Senin,” pungkasnya.

“Berarti semua sudah sepakat. Sekarang Kamis. Berarti kita masih punya waktu tiga hari. Kita persiapkan semuanya. Son, jika kamu ingin menulis wasiat, maka sekaranglah saatnya,” canda Riyan kepada Sony.

“Memangnya aku mendaftar untuk bunuh diri,” tangkis Sony cepat.

“Jangan sekarang, Son! Hari Raya Kurban masih lama. Biar kamu tambah gemuk dulu,” kataku ikut menggoda Sony.

Asu! Jancuk!” umpat Sony.

Kami kompak tertawa. Sony memang lebih sering jadi bulan-bulanan. Namun begitu, ia menjadi yang pertama kami bela saat ada orang yang mengusiknya. Kami satu keluarga. Bahagia. Banyak pelangi. Dan juga Rembulan. Tidak ketinggalan, Safia.

**

Senin. Masih awal Juni 2013. Petualangan kami resmi dimulai. Langit di atas sana menggantung keindahan. Harapanku ada di sana. Terlukis indah. Begitu menggoda.

Perbekalan kami sangat sederhana. Sebuah ransel kecil yang berisi beberapa baju ganti. Ada juga buku catatan kecil. Dan tidak lupa gadget sebagai senjata utama kami.

Tangan kami mengepal. Kemudian saling menggenggam.

Good luck!” teriak kami bersamaan. Lalu kami saling menjauh. Punggung kami saling membelakangi. Dan ketika aku menoleh ke belakang, hanya jejak kaki mereka yang tertinggal. Rasa ngeri muncul tiba-tiba. Ada keraguan yang melintas di depan mata. Benar kata orang bijak: paling sulit adalah memulai sesutatu. Tapi, pagi itu aku sudah berdiri menunggu kedatangan Rapih Dhoho yang akan membawaku ke Kertosono. Dari kota kecil itu, aku akan menumpang kereta menuju Ibu Kota. Sebab berdasarkan jadwal, Raisa selama tiga bulan ke depan hanya menggelar show di Jakarta. Aku yakin, Riyan, Raka dan Sony akan berpikiran sama denganku.

Rumahku tidak jauh dari stasiun Kertosono. Aku memandanginya dari sisi terluar stasiun yang lumayan besar itu. Aku merasakan embusan angin sawah yang setiap pagi kuhirup. Segar dan menyejukkan. Selamat tinggal, kataku. Jemput aku kelak. Sebab aku pasti kembali.

Modal lima puluh ribu sudah berkurang lima belas ribu. Praktis, modal perjalananku hanya tinggal tiga puluh lima ribu. Jika aku menumpang kereta, aku hanya sampai di Solo. Selebihnya aku pasti jadi gelandangan. Tidak boleh terjadi, teriakku dalam hati. Otak harus diputar. Intuisi harus difungsikan. Dan mencari tumpangan gratis adalah pilihan terbaik.

Tapi aku menganulir keputusanku. Aku tidak akan mencari tumpangan gratis. Sisa uang yang kupunya masih cukup mengantarkanku sampai ke Jogja. Dan di kota itu, aku akan mencari uang saku lagi. Entah dengan cara apa. Tekadku kembali menyara. Panas. Menyengat.

**

Sony berdiri dengan napas terengah-engah. Ia baru saja turun, tepatnya disuruh turun oleh petugas kereta karena ia hanya membeli tiket sampai Kediri, sementara saat itu kereta sudah berada di wilayah Madiun. Sungguh berani temanku itu. Pengorbanan konyol! Menurutku.

Ia menatapi kereta yang baru saja memuntahkannya. Wajahnya mengandung ketidakrelaan yang begitu besar. Harusnya ia berada di dalam kerata itu. Duduk manis. Dan juga tertidur pulas. Madiun kota yang asing baginya. Modalnya hanya tinggal dua puluh ribu. Mustahil jika diajak menuju ibu kota hari itu juga. Ia harus menginap di sana. Harus.  

Ia melangkah keluar stasiun. Dalam benaknya, hanya ada Gereja. Di tempat suci itu, ia mungkin bisa menyumbangkan suaranya. Sebagai imbalannya, ia dapat penginapan gratis plus makan yang kenyang. Aroma Rica-rica babi sudah tercium di hidungnya. Senyum lebar Sony tersungging indah di langit semesta. Mudah-mudahan rencana itu sama indahnya.

**

Riyan masih terpaku di kursi ruang tunggu bus. Ia masih tertahan oleh ide gila itu. Aksi spontannya teryata menjadi beban hidupnya. Ia mulai khawatir denganku dan Sony. Ia takut terjadi apa-apa dengan kami. Sebab menurutnya, kami masih Ababil, alias ABG labil. Ia sangat takut kami berhadapan dengan begal. Begitulah Riyan. Sifat melankolisnya lebih besar dari kegarangannya.

Tiba-tiba saja ia tergagap. Sebuah tangan hinggap di bahu kanannya.

“Mau ke mana, Mas?” tanyanya cepat.

“Jogja!” jawab Riyan tidak kalah cepat,

“Ikutlah dengan kami. Kami paling murah tapi fasilitas paling menggiurkan,” kata orang itu berpromosi. Ia berseragam tapi tidak berdasi. Calo? Tanya Riyan dalam hati. Bukan! Jawab hatinya yang lain. Lalu? Orang mencari rezeki. Peduli setan! Teriak Riyan.

Riyan menggeleng, “Tidak, Mas.”

Lalu ia berdiri dari tempat duduknya. Ia tepis semua keraguan itu. Dua matanya melukis Raisa yang sedang melantunkan lagi. Dau pipinya yang kemerahan terlukis jelas di dua matanya yang tajam menantang.

Lalu ia naik ke sebuah bus yang akan membawanya ke Surabaya. Dari kota itu ia akan menupang bus lagi menuju Jogja. Dan akan berakhir di Ibu Kota. Begitu misi yang tertulis di kepalanya. Raisa. Sekali lagi Raisa. Hanya Raisa yang ia punya. Pemompa semangat.

**

Raka sedang menikmati buku barunya. Dua matanya hanya peduli dengan huruf-huruf yang ada di pangkuannya. Meski bus sedang bising-bisingnya, ia tetap tidak peduli. Ia merasa sedang berada di Payung. Ada embusan hawa sejuk menyentuh keningnya. Lalu ada jajaran betis yang indah. Mahasiswa baru di negeri nan jauh di sana seang sekali menguji kekuatan betisnya terhadap hawa dingin Malang. Oh, menyenangkan sekali. Surga? Semoga bukan!

Bus yang ditumpangi Raka akan membawanya ke Semarang. Uang lima puluh ribu ia serahkan semuanya ke kondektur. Ia hanya memegang buku. Baginya, lapar bisa dijinakkan dengan huruf. Idealis sekali. Tapi begitulah Raka.

Jumat, 04 September 2020

Mengejar Raisa



Pertengahan 2013. Kami rebahan di atas karpet lusuh yang tergelar di depan televisi. Hari itu adalah hari terakhir kami melaksanakan UTS. Seluruh saraf otak kami baru saja mengendur. UTS kami tidak dibawa pulang dan dikerjakan di rumah, tapi berupa kuis yang waktunya begitu singkat. Dari empat soal yang diajukan, hanya bisa kukerjakan dua saja. Selebihnya aku isi dengan syair lagu. Aku yakin, dosen yang mengoreksi akan tersenyum puas. Sebab besoknya, jika tidak begitu lusanya, beliau akan mengintrogasiku. Di kantor dosen. Di depan dosen-dosen yang lain. Biasanya disuruh menyanyi. Wajahku pasti culun sekali. Lalu aku akan mendengar banyak tawa. Menggema. Memenuhi ruangan. Mirip lebah.
Riyan, Raka, dan Sony tampak sumringah. Mereka seperti tidak memiliki beban. Wajah mereka menampilkan ekspresi orang yang baru saja memenangkan judi togel. Ketika kutanya, mereka menjawab: Gitu aja repot! Aku mau pingsan.
Sesuai jadwal, dua bulan lagi kampus kami akan libur panjang. Biasanya tiga bulan. Dalam tiga bulan itu, hanya seminggu kami masuk. Yakni untuk registrasi dan mendaftar mata kuliah. Aku sudah tidak sabar ingin menjauh dari jurusanku dan berdiam diri di rumah. Menikmati liburan bersama teman-teman dan tentunya dengan keluarga. Aku terbayang-bayang sungai yang air meluber. Aku akan di sana seharin. Menunggu kailku bergerak. Di sebelahku ada Tejo, Sueb, dan Moni. Mereka bertiga dilahirkan untuk memancing ikan. Sementara aku hanya penggembira saja. Pupuk bawang istilahnya.
April, dalam bahasa kami, adalah musim panas. Tapi hujan masih saja turun. Tidak kenal waktu. Kadang mulai Subuh sampai jam tujuh pagi. Kadang juga setelah Duhur. Dua waktu itu adalah jadwalku kuliah. Hujan sepertinya memang sengaja menguji imanku. Aku yakin, saat KRS-an dulu, ia mengintipku. Mengintip jadwal dan ruang kuliahku. Hujan berhasil. Dalam sebulan kemarin saja, aku sudah tidak masuk kuliah empat kali. Semua gara-garanya. Ia turun tanpa permisi. Sebab ia juga, aku harus mengarang cerita. Bolos pertama alasanku sakit. Cantengan ringan di jempol kaki kanan kujadikan kambing hitam. Untung Pak Dosen tidak bertanya lebih lanjut. Beliau hanya mendoakan, semoga aku lekas sembuh.
Bolos kedua alasanku menengok orang sakit. Ia masih kerabat. Meski jauh. Kebetulan sekali ia dirawat di rumah sakit. Ia harus melakukan operasi cesar. Sebab, bayi dalam kandungannya sungsang alias kaki keluar duluan. Bolos ketiga alasanku sakit lagi. Bukan cantengan sebagai kambing hitam, tapi lututku yang tergores paku. Ringan dan tidak berbahaya. Tapi itu sudah tergolong sakit menurutku. Tapi kali ini aku gagal. Bapak Dosen memang tidak menanyaiku. Tapi beliau memergokiku sedang menikmati kopi di WS. Alamak. Aku tertangkap basah. Kuyup lagi. Meski rintik hujan tidak menyentuhku sama sekali. Tamat.
Di tengah lamunanku, Riyan membuka suara, “Entah kenapa, aku suka sekali dengan yang namanya Raisa. Suaranya jazzy banget. Jika ia sudah menyanyi, semuanya seperti diam. Kompak mendengarnya. Bait demi bait lagu yang meluncur sempurnya dari bibirnya.”
“Ada dua yang kusuka, Yan. Raisa sama Sherina. Aku benar-benar jatuh cinta pada keduanya,” sahut Sony. Aku masih diam. “Kalau kamu pilih siapa, Raka?” tanyanya kemudian kepada Raka.
“Selera kita sama,” jawab Raka tanpa pikir panjang. “Kamu, Choi?” tanya Raka kepadaku. Aku diam sejenak. Sambil membungkus daguku yang gundul. Harapan tumbuh jenggot seperti Ahmad Dhani masih jauh. Benar-benar jauh. Minya Firdaus rekomendasi tidak bisa berbuat banyak untuk daguku. Aku korban iklan.
“Intuisi memang tidak bisa dibantah. Raisa memang menjadi idolaku. Sejak dulu. Ketika aku masih SMA. Dan, rasanya ia takkan tergantikan.”
“Ahay. Kebetulan yang seksi!” seru Riyan gemibra. Sony dan Raka tampak tersenyum. Keduanya larut dalam kegembiraan Riyan. Sementara aku, masih memikirkan bagaimana intuisi membawa kami pada satu pertemuan. Satu kesukaan. Satu hati. Sama rasa. Kami memiliki rasa yang sama. Sebanding. Sederajat. Ah. Begitu ajaib. Sungguh ajaib. Tuhan Maha Menyenangkan.
“Bagaimana rencana kalian dengan libur panjang yang akan datang? Itu libur pertama kalian sebagai Maba,” Raka bertanya kepadaku dan Sony.
“Aku ingin pulang saja. Biasanya aku mancing dan main layang-layang. Sebab, liburan selalu bertepatan dengan musim angin di daerahku,” jawabku panjang. Penuh semangat. Aku sudah tidak sabar menjauh dari kampus. Ekspresi semangatku berbanding terbalik dengan suasanya hati Sony. Ia tampak murung.
“Kamu kenapa, Son?” tanyaku cepat.
“Aku selalu benci di rumah. Aku sendirian. Aku terkucilkan. Aku minoritas. Banyak yang tidak suka denganku. Mereka melihatku dengan tatapan aneh. Andai saja, libur panjang itu dihapus. Pasti aku akan bahagia. Sebab, aku tidak memiliki kesempatan pulang. Aku bahagia di sini,” urai Sony panjang. Suasana menjadi hening. Ada titik haru menyeruak dari wajah kami. Ingin saja aku memeluknya. Tapi segera kutepis. Sebab, Sony terlanjur dewasa jika kutentangkan dengan pelukan. Aku takut, ia salah mengartikan pelukanku.
“Aku hanya pulang sebentar. Tidak lama,” kata Riyan menyahut. “Kamu tidak perlu pulang, Son. Kita di sini saja.” Raka menepuk bahu Sony.
“Iya, Son. Aku juga pulang sebentar. Setelah itu, aku habiskan liburan di sini. Choi, kan, masih mbok-mbok-en jadi ia pasti lebih milih pulang,” sindir Riyan kepadaku.
“Ah, kalian,” kata Sony sambil menguap. Kami bertiga hanya bisa saling pandang. “Apa kalian ada ide menarik mengisi liburan panjang itu?” tanyanya kemudian.
“Jika itu menarik, akan kuanulir rencana pulangku,” kataku. Riyan dan Raka tampak berpikir serius. Keduanya harus segera menemukan ide yang diharapkan Sony. Sebab jika ide itu sesuai dengan harapannya, maka Sony akan terhindar dari kemuraman. Dan aku batal pulang kampung.
“Hm. Aku ada ide. Sangat menarik. Penuh tantangan. Jika kalian laki-laki, maka harus setuju.” Tenang dan sok bijak, Riyan menggantung kalimat. Kami bertiga tersihir. Rasa penasaran kami tiba-tiba saja melesat sudah sampai ke ubun-ubun.
“Apa idemu itu?” tanya Sony cepat. Rasa penasaran Sony sebelas dua belas dengan tubuhnya. Besar dan menggebu.
“Kita berempat adalah pecinta Raisa. Benar?” Riyan menginterogasi kami.
“Benar!” jawab kami bersamaan.
“Kita libur hampir tiga bulan. Bagaimana dalam tiga bulan itu, kita adakan kompetisi. Biar kita tidak gila dengan kekosongan waktu yang panjang itu.” Riyan menggantung kalimat lagi.
“Lalu apa hubungannya dengan Raisa?” tanyaku tidak sabar.
“Pertanyaan bagus. Kompetisi itu berhubungan erat dengan Raisa,” jawab Riyan serius.
“Lalu?” Raka tidak bisa hanya diam saja.
“Aku namakan: Kompetisi Mengejar Raisa. Siapa yang dapat, ia adalah juaranya. Dan, yang kalah konsekuensinya menyediakan kopi bagi pemenang sebulan penuh. Apa kalian tertarik?” Riyan membuat kami ternganga. Ide yang sangat aneh. Tapi sungguh brilian. Wajah Sony menampakkan hal yang sama denganku.
“Bagus! Ide bagus. Aku suka. Aku pasti bahagia. Aku pasti juaranya!” seru Sony keras. Ia mendadak kesetanan. Aku, Raka, dan Riyan hanya bisa saling pandang. Dan detik berikutnya, kami sama-sama meletupkan kentut. Duuuuuud. Aromya cery dan strowbery menjadi kombinasi yang pas.
“Bagaimana aturannya, Yan?” Sony paling bersemangat di antara kami.
“Jadi begini. Selama tiga bulan. Kita harus menemukan Raisa. Jika sudah ketemu harus selfy dengannya. Siapa yang pertama, itu yang menang. Maka sebagai bukti, kalian harus mengirim foto itu ke yang lain. Syaratnya, kita hanya boleh membawa bekal uang lima puluh ribu rupiah. Tidak boleh sekalipun menelepon saudara atau teman untuk meminta bantuan. Tapi jika kita akan mati, baru boleh.” Panjang, Riyan memberi penjelasan kepada kami. “Kita harus berusaha sendiri. Cari makan dengan keringat kita sendiri. Dengan cara apa pun. Kita sudah balig. Sudah saatnya kita hidup mandiri,” sambungnya penuh gairah. Aku menyimaknya dengan baik. Begitu juga dengan Raka dan Sony.
“Ada yang lain?” tanya Sony dengan semangat. Ia tampak sudah tidak sabar menanti libur panjang itu. Ia terlihat sekali ingin melipat waktu. Tidak ada kuliah. Tidak ada UAS. Yang ada, begitu membuka mata Sony sudah berada di hari libur. Lalu esoknya kompetisi itu dimulai.
“Kompetisi itu kita mulai dua hari setelah UAS berakhir. Kita regitrasi dulu. Untuk KRS bisa kita lakukan di hari terakhir. Kalian sanggup?” Riyan melempar pertanyaan lagi. Sony paling semangat.
“Sanggup!”
“Akan menjadi petualangan yang sangat menarik.” Antusias, Raka menyumbang kalimat.
“Apa kita boleh memanfaatkan gedget?” tanyaku bingung.
“Boleh. Kita bisa memanfaatkan media sosial untuk melacak kebaradaan Raisa. Follow akun twitter Raisa. Juga admindya. Di situ pasti ada agenda Raisa manggung. Dengan petunjuk itu, kita bisa tahu Raisa ada di mana. Tapi haram hukumnya mengupload setiap kegiatan kita. Baik di facebook, instagram, twitter, blog dan sejenisnya.” Lancar, Riyan mementori kami. Kalimat-kalimat breafing-nya menyihir kami. Yang bisa kami lakukan hanya mendengar patuh.
“Aturan yang bagus,” Sony berkomentar. “Semoga berjalan sesuai jadwal,” harapnya sungguh.
“Nah, dengan begitu. Sony tidak perlu bermuram durja lagi. Apa lagi harus bersedih hati,” gurau Riyan. Aku dan Raka hanya mengangguk setuju.
Kami berempat sudah sepakat. Rapat tidak formal itu berakhir. Riyan dan Raka akan ke rumah Safia. Keduanya mendapat undangan pernikahan kakak Safia. Tapi, semua tahu. Safia adalah permata yang mereka perebutkan. Mereka memang tak ubahnya kembar siam. Tapi persaingan itu tidak pernah terelakkan.
Safia. Sebuah nama yang indah, menggoda, dan menjanjikan kehidupan yang puitis. Safia satu angkatan dengan mereka. Yang aku tahu, Safia itu berdarah Belanda. Tapi wajahnya tidak aneh seperti orang Belanda kebanyakan. Hidungnya mancung khas Jawa. Tapi matanya biru. Rambutnya sehalus tenun sutra. Bibirnya tipis mengiris. Dan pipinya tidak menonjolkan tulang. Aduhai betapa sempurnanya ia. Safia suka berpuisi. Tapi Riyan dan Raka lebih suka kopi. Jalan mereka tampak berbeda. Tapi keduanya bertekad, bahwa kopi adalah puisi. Dan puisi adalah kopi. Safia, tunggulah. Begitu katanya.
Dan saat aku bertanya: Safia apa Raisa? Mereka bungkam seribu bahasa.
Lalu Sony pamit untuk tidur siang. Dan, aku harus membahasakanmu. Rembulan.

Mereka itu, EMAS!

Mereka itu, EMAS! (Sebuah Pengantar) Tuhan Yang Mahakuat, Puji-puji ini untuk Engkau. Kepada Sang Nabi, saya haturkan Salawat: Semoga ka...