Jumat, 04 September 2020

Mengejar Raisa



Pertengahan 2013. Kami rebahan di atas karpet lusuh yang tergelar di depan televisi. Hari itu adalah hari terakhir kami melaksanakan UTS. Seluruh saraf otak kami baru saja mengendur. UTS kami tidak dibawa pulang dan dikerjakan di rumah, tapi berupa kuis yang waktunya begitu singkat. Dari empat soal yang diajukan, hanya bisa kukerjakan dua saja. Selebihnya aku isi dengan syair lagu. Aku yakin, dosen yang mengoreksi akan tersenyum puas. Sebab besoknya, jika tidak begitu lusanya, beliau akan mengintrogasiku. Di kantor dosen. Di depan dosen-dosen yang lain. Biasanya disuruh menyanyi. Wajahku pasti culun sekali. Lalu aku akan mendengar banyak tawa. Menggema. Memenuhi ruangan. Mirip lebah.
Riyan, Raka, dan Sony tampak sumringah. Mereka seperti tidak memiliki beban. Wajah mereka menampilkan ekspresi orang yang baru saja memenangkan judi togel. Ketika kutanya, mereka menjawab: Gitu aja repot! Aku mau pingsan.
Sesuai jadwal, dua bulan lagi kampus kami akan libur panjang. Biasanya tiga bulan. Dalam tiga bulan itu, hanya seminggu kami masuk. Yakni untuk registrasi dan mendaftar mata kuliah. Aku sudah tidak sabar ingin menjauh dari jurusanku dan berdiam diri di rumah. Menikmati liburan bersama teman-teman dan tentunya dengan keluarga. Aku terbayang-bayang sungai yang air meluber. Aku akan di sana seharin. Menunggu kailku bergerak. Di sebelahku ada Tejo, Sueb, dan Moni. Mereka bertiga dilahirkan untuk memancing ikan. Sementara aku hanya penggembira saja. Pupuk bawang istilahnya.
April, dalam bahasa kami, adalah musim panas. Tapi hujan masih saja turun. Tidak kenal waktu. Kadang mulai Subuh sampai jam tujuh pagi. Kadang juga setelah Duhur. Dua waktu itu adalah jadwalku kuliah. Hujan sepertinya memang sengaja menguji imanku. Aku yakin, saat KRS-an dulu, ia mengintipku. Mengintip jadwal dan ruang kuliahku. Hujan berhasil. Dalam sebulan kemarin saja, aku sudah tidak masuk kuliah empat kali. Semua gara-garanya. Ia turun tanpa permisi. Sebab ia juga, aku harus mengarang cerita. Bolos pertama alasanku sakit. Cantengan ringan di jempol kaki kanan kujadikan kambing hitam. Untung Pak Dosen tidak bertanya lebih lanjut. Beliau hanya mendoakan, semoga aku lekas sembuh.
Bolos kedua alasanku menengok orang sakit. Ia masih kerabat. Meski jauh. Kebetulan sekali ia dirawat di rumah sakit. Ia harus melakukan operasi cesar. Sebab, bayi dalam kandungannya sungsang alias kaki keluar duluan. Bolos ketiga alasanku sakit lagi. Bukan cantengan sebagai kambing hitam, tapi lututku yang tergores paku. Ringan dan tidak berbahaya. Tapi itu sudah tergolong sakit menurutku. Tapi kali ini aku gagal. Bapak Dosen memang tidak menanyaiku. Tapi beliau memergokiku sedang menikmati kopi di WS. Alamak. Aku tertangkap basah. Kuyup lagi. Meski rintik hujan tidak menyentuhku sama sekali. Tamat.
Di tengah lamunanku, Riyan membuka suara, “Entah kenapa, aku suka sekali dengan yang namanya Raisa. Suaranya jazzy banget. Jika ia sudah menyanyi, semuanya seperti diam. Kompak mendengarnya. Bait demi bait lagu yang meluncur sempurnya dari bibirnya.”
“Ada dua yang kusuka, Yan. Raisa sama Sherina. Aku benar-benar jatuh cinta pada keduanya,” sahut Sony. Aku masih diam. “Kalau kamu pilih siapa, Raka?” tanyanya kemudian kepada Raka.
“Selera kita sama,” jawab Raka tanpa pikir panjang. “Kamu, Choi?” tanya Raka kepadaku. Aku diam sejenak. Sambil membungkus daguku yang gundul. Harapan tumbuh jenggot seperti Ahmad Dhani masih jauh. Benar-benar jauh. Minya Firdaus rekomendasi tidak bisa berbuat banyak untuk daguku. Aku korban iklan.
“Intuisi memang tidak bisa dibantah. Raisa memang menjadi idolaku. Sejak dulu. Ketika aku masih SMA. Dan, rasanya ia takkan tergantikan.”
“Ahay. Kebetulan yang seksi!” seru Riyan gemibra. Sony dan Raka tampak tersenyum. Keduanya larut dalam kegembiraan Riyan. Sementara aku, masih memikirkan bagaimana intuisi membawa kami pada satu pertemuan. Satu kesukaan. Satu hati. Sama rasa. Kami memiliki rasa yang sama. Sebanding. Sederajat. Ah. Begitu ajaib. Sungguh ajaib. Tuhan Maha Menyenangkan.
“Bagaimana rencana kalian dengan libur panjang yang akan datang? Itu libur pertama kalian sebagai Maba,” Raka bertanya kepadaku dan Sony.
“Aku ingin pulang saja. Biasanya aku mancing dan main layang-layang. Sebab, liburan selalu bertepatan dengan musim angin di daerahku,” jawabku panjang. Penuh semangat. Aku sudah tidak sabar menjauh dari kampus. Ekspresi semangatku berbanding terbalik dengan suasanya hati Sony. Ia tampak murung.
“Kamu kenapa, Son?” tanyaku cepat.
“Aku selalu benci di rumah. Aku sendirian. Aku terkucilkan. Aku minoritas. Banyak yang tidak suka denganku. Mereka melihatku dengan tatapan aneh. Andai saja, libur panjang itu dihapus. Pasti aku akan bahagia. Sebab, aku tidak memiliki kesempatan pulang. Aku bahagia di sini,” urai Sony panjang. Suasana menjadi hening. Ada titik haru menyeruak dari wajah kami. Ingin saja aku memeluknya. Tapi segera kutepis. Sebab, Sony terlanjur dewasa jika kutentangkan dengan pelukan. Aku takut, ia salah mengartikan pelukanku.
“Aku hanya pulang sebentar. Tidak lama,” kata Riyan menyahut. “Kamu tidak perlu pulang, Son. Kita di sini saja.” Raka menepuk bahu Sony.
“Iya, Son. Aku juga pulang sebentar. Setelah itu, aku habiskan liburan di sini. Choi, kan, masih mbok-mbok-en jadi ia pasti lebih milih pulang,” sindir Riyan kepadaku.
“Ah, kalian,” kata Sony sambil menguap. Kami bertiga hanya bisa saling pandang. “Apa kalian ada ide menarik mengisi liburan panjang itu?” tanyanya kemudian.
“Jika itu menarik, akan kuanulir rencana pulangku,” kataku. Riyan dan Raka tampak berpikir serius. Keduanya harus segera menemukan ide yang diharapkan Sony. Sebab jika ide itu sesuai dengan harapannya, maka Sony akan terhindar dari kemuraman. Dan aku batal pulang kampung.
“Hm. Aku ada ide. Sangat menarik. Penuh tantangan. Jika kalian laki-laki, maka harus setuju.” Tenang dan sok bijak, Riyan menggantung kalimat. Kami bertiga tersihir. Rasa penasaran kami tiba-tiba saja melesat sudah sampai ke ubun-ubun.
“Apa idemu itu?” tanya Sony cepat. Rasa penasaran Sony sebelas dua belas dengan tubuhnya. Besar dan menggebu.
“Kita berempat adalah pecinta Raisa. Benar?” Riyan menginterogasi kami.
“Benar!” jawab kami bersamaan.
“Kita libur hampir tiga bulan. Bagaimana dalam tiga bulan itu, kita adakan kompetisi. Biar kita tidak gila dengan kekosongan waktu yang panjang itu.” Riyan menggantung kalimat lagi.
“Lalu apa hubungannya dengan Raisa?” tanyaku tidak sabar.
“Pertanyaan bagus. Kompetisi itu berhubungan erat dengan Raisa,” jawab Riyan serius.
“Lalu?” Raka tidak bisa hanya diam saja.
“Aku namakan: Kompetisi Mengejar Raisa. Siapa yang dapat, ia adalah juaranya. Dan, yang kalah konsekuensinya menyediakan kopi bagi pemenang sebulan penuh. Apa kalian tertarik?” Riyan membuat kami ternganga. Ide yang sangat aneh. Tapi sungguh brilian. Wajah Sony menampakkan hal yang sama denganku.
“Bagus! Ide bagus. Aku suka. Aku pasti bahagia. Aku pasti juaranya!” seru Sony keras. Ia mendadak kesetanan. Aku, Raka, dan Riyan hanya bisa saling pandang. Dan detik berikutnya, kami sama-sama meletupkan kentut. Duuuuuud. Aromya cery dan strowbery menjadi kombinasi yang pas.
“Bagaimana aturannya, Yan?” Sony paling bersemangat di antara kami.
“Jadi begini. Selama tiga bulan. Kita harus menemukan Raisa. Jika sudah ketemu harus selfy dengannya. Siapa yang pertama, itu yang menang. Maka sebagai bukti, kalian harus mengirim foto itu ke yang lain. Syaratnya, kita hanya boleh membawa bekal uang lima puluh ribu rupiah. Tidak boleh sekalipun menelepon saudara atau teman untuk meminta bantuan. Tapi jika kita akan mati, baru boleh.” Panjang, Riyan memberi penjelasan kepada kami. “Kita harus berusaha sendiri. Cari makan dengan keringat kita sendiri. Dengan cara apa pun. Kita sudah balig. Sudah saatnya kita hidup mandiri,” sambungnya penuh gairah. Aku menyimaknya dengan baik. Begitu juga dengan Raka dan Sony.
“Ada yang lain?” tanya Sony dengan semangat. Ia tampak sudah tidak sabar menanti libur panjang itu. Ia terlihat sekali ingin melipat waktu. Tidak ada kuliah. Tidak ada UAS. Yang ada, begitu membuka mata Sony sudah berada di hari libur. Lalu esoknya kompetisi itu dimulai.
“Kompetisi itu kita mulai dua hari setelah UAS berakhir. Kita regitrasi dulu. Untuk KRS bisa kita lakukan di hari terakhir. Kalian sanggup?” Riyan melempar pertanyaan lagi. Sony paling semangat.
“Sanggup!”
“Akan menjadi petualangan yang sangat menarik.” Antusias, Raka menyumbang kalimat.
“Apa kita boleh memanfaatkan gedget?” tanyaku bingung.
“Boleh. Kita bisa memanfaatkan media sosial untuk melacak kebaradaan Raisa. Follow akun twitter Raisa. Juga admindya. Di situ pasti ada agenda Raisa manggung. Dengan petunjuk itu, kita bisa tahu Raisa ada di mana. Tapi haram hukumnya mengupload setiap kegiatan kita. Baik di facebook, instagram, twitter, blog dan sejenisnya.” Lancar, Riyan mementori kami. Kalimat-kalimat breafing-nya menyihir kami. Yang bisa kami lakukan hanya mendengar patuh.
“Aturan yang bagus,” Sony berkomentar. “Semoga berjalan sesuai jadwal,” harapnya sungguh.
“Nah, dengan begitu. Sony tidak perlu bermuram durja lagi. Apa lagi harus bersedih hati,” gurau Riyan. Aku dan Raka hanya mengangguk setuju.
Kami berempat sudah sepakat. Rapat tidak formal itu berakhir. Riyan dan Raka akan ke rumah Safia. Keduanya mendapat undangan pernikahan kakak Safia. Tapi, semua tahu. Safia adalah permata yang mereka perebutkan. Mereka memang tak ubahnya kembar siam. Tapi persaingan itu tidak pernah terelakkan.
Safia. Sebuah nama yang indah, menggoda, dan menjanjikan kehidupan yang puitis. Safia satu angkatan dengan mereka. Yang aku tahu, Safia itu berdarah Belanda. Tapi wajahnya tidak aneh seperti orang Belanda kebanyakan. Hidungnya mancung khas Jawa. Tapi matanya biru. Rambutnya sehalus tenun sutra. Bibirnya tipis mengiris. Dan pipinya tidak menonjolkan tulang. Aduhai betapa sempurnanya ia. Safia suka berpuisi. Tapi Riyan dan Raka lebih suka kopi. Jalan mereka tampak berbeda. Tapi keduanya bertekad, bahwa kopi adalah puisi. Dan puisi adalah kopi. Safia, tunggulah. Begitu katanya.
Dan saat aku bertanya: Safia apa Raisa? Mereka bungkam seribu bahasa.
Lalu Sony pamit untuk tidur siang. Dan, aku harus membahasakanmu. Rembulan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mengapa Saya Lebih Memilih Ikut Perlombaan Burung Lovebird?

  Mengapa Saya Lebih Memilih Ikut Perlombaan Burung Lovebird? Di tengah hiruk-pikuk kehidupan modern yang penuh tekanan dan tuntutan, mencar...