Rabu, 25 Januari 2023

Tulisan Yang Tak -Pernah- Usai (Ng-Ainun Naim)

 

Tulisan Yang Tak -Pernah- Usai (Ng-Ainun Naim)

Prolog

Masih segar dalam ingatan saya. Saat itu, 2015. Saya kali pertama menjadi bagian keluarga besar kampus tercinta ini, UIN SATU Tulungagung (dulu IAIN-TA). Sebagai keluarga baru, waktu senggang setelah mengajar saya manfaatkan untuk mengamati banyak hal baru yang ada di depan mata saya. Semua serba menjajikan keajaiban. Saya menghela napas lega. Tuhan selalu tepat waktu memberikan apa yang terbaik untuk hamba-hamba-Nya. Saya didaratkan di sebuah kampus yang revolusioner, membangun peradaban, dan pelopor dakwah; setelah sebelumnya saya merasa sangat lelah dengan sejarah panjang hidup yang saya habiskan di jalan –menggelandang-, dan tak punya jangkar yang bisa saya gunakan untuk mengantisipasi saat waktu benar-benar sadis menghabisi saya. Sebab itu, sembah sujud syukur saya haturkan pada-Nya, pada semesta, dan pada tanah yang saya pijak hingga hari ini. Dan terima kasih yang tak terukur untuk rumah besar ini; terima kasih atas selimut pengetahuan yang menghangatkan tubuh saya. Sekali lagi terima kasih.

Lalu, saya duduk di sebuah warung kopi yang tidak pernah saya kenal sebelumnya. Warung berpetak itu terletak di depan gedung tempat saya mengajar. Saya segera mengeluarkan sebuah buku yang sejak kemarin sore terlelap di tas hitam saya. Buku itu sederhana. Tidak tebal. Tidak mengejutkan. Akan tetapi mampu menyita perhatian saya; mengurung kegemaran saya membaca. Saya baca pengantarnya. Beberapa nama keren nampang dalam pengantar. Lalu saya melanjutkan ke bagian daftar isi. Dan dari sinilah saya tahu bahwa ternyata buku itu terpolarisasi menjadi dua kubu besar: menolak dan mempertimbangkan. Menolak yang dimaksud adalah menolak konsep pemikiran yang kala itu –diangggap- sangat kontroversi, dan jahat. Sementara mempertimbangkan dalam hal ini –menurut saya- hanya “mencari selamat” dari beragam komentar destruktif yang kelak berdatangan kepada penulisnya. Tapi terlepas dari pendapat “gila” saya, beberapa tulisan yang masuk dalam kubu mempertimbangkan ini adalah upaya memaklumi pemikiran dari sudut pandang akademis; melepaskan konsep surga dan neraka. Pemikiran ya pemikiran, hasil kerja cantik Tuhan yang dianugerahkan kepada manusia.

Saya seperti sedang berada dalam proses de javu; saya kembali terbang ke sebuah waktu dimana saya masih galak-galaknya menjadi seorang mahasiswa. Dalam sebuah forum besar, yang ketika itu mendatangkan seorang pemateri dari unsur agamawan, beliau adalah KH. Luthfi Bashori. Saya yang masih bau kencur -tapi kata teman saya, bau kemiskinan :D-, dengan berapi-api menolak apa yang disampaikan oleh beliau. Beberapa teman saya menepuk bahu saya dan mengatakan: “Sudah. Kamu suul adab!” Kemudian saya menyudahinya sambil menggerutu dan menampilkan wajah seolah-olah saya menerima semua “kekalahan” saya. Mereka yang menepuk bahu saya, melempar senyum aneh dan mengamini kekalahan saya.

Lalu, di mana benang merahnya?

Begini, buku yang saya baca ketika itu memiliki tema yang sama dengan forum besar yang diisi oleh KH. Luthfi Bashori tersebut. Satu tema yang sama: tentang JIL, Jaringan Islam Liberal, yang digagas oleh Ulil Abshor Abdalla (Cendekiawan muda NU). Dan tiba-tiba saya tertawa. Menertawai “kelucuan” saya ketika suul adab dengan beliau, KH. Luthfi Bashori. Saya tidak pernah kenal dengan Ulil Abshor Abdalla. Tidak pernah bertemu. Tidak pernah ditraktir ngopi. Tapi saya membela habis-habisan saat ia dikatakan halal darahnya hanya gegara pemikiran JIL-nya.

Dan sekarang, lupakan de javu saya. Mari terbang lagi ke 2015. Ke hamparan buku yang saya baca di warung kopi depan gedung tempat saya mengajar. Jujur, setelah beberapa halaman saya baca, rasa bosan saya mulai muncul. Sebab, di bagian yang pertama, kubu yang menolak narasi-narasi yang disampaikan hampir sama: menghakimi dan menghukum. Akan tetapi, kebosanan saya tiba-tiba menguap. Ada satu penulis yang membuat saya tidak jadi menutup buku itu. Nama dari penulis itu begitu asing, sederhana, kolot, dan –kayak-kayaknya- tidak banyak menjajikan kejutan. Namun, instansi tempat penulis itu mengabdi membuat saya menganulir niat saya untuk segera beranjak dari tempat itu. Penulis itu bernama Ngainun Naim. Dan saya langsung bergumam: “Sudah tahun 2015 masih saja tidak tanggap EYD.” Tapi saya tidak peduli dengan nama itu. Saya hanya peduli dengan tempat beliau bekerja: IAIN Tulungagung. Paragraf demi paragraf saya kunyah habis. Aneh, tidak menyangka jika paragraf-paragraf yang saya kunyah habis itu menghasilkan banyak energi dalam kepala saya. Tulisan-tulisan beliau sangat diplomatis, segar, tapi juga terkesan “cari aman”. Melalui tulisan itu, beliau mencoba memaklumi gagasan JIL. Sebab, kerangka pemikiran yang diajukan JIL ternyata sudah ada sejak dahulu kala. Menurut beliau, para pemikir Islam dulu juga sudah berdebat hebat perihal sebuah gagasan atau pemikiran, misalnya saja perdebatan antara Ibnu Rush dengan Hujjatul Islam Imam Ghazali. Atau tentang gagasan Salman Rushdie melalui ayat-ayat setannya (The Satanic Verse); yang menjadikan ia diburu banyak orang dan harus dihabisi. Artinya, gagasan JIL ini adalah hal biasa. Tidak ada yang mengejutkan bagi beberapa kalangan. Perihal penolakan, itu adalah bonus, yang pada akhirnya dalam jangka panjang banyak orang akan “terangsang” otaknya –setidaknya- meng-counter gagasan itu, atau sebaliknya, menguatkan dan memperkaya gagasannya. Tapi sekarang, lupakan tentang buku itu dan tempat saya menumpang membaca. Mari saya ajak kembali pada masa sekarang. Silakan nikmati apa yang saya tulis tentang nama yang dulu pernah saya serapahi dengan kalimat “tidak tanggap EYD”.

Keramatnya Nama “Ng-Ainun Naim

Tuhan membayar lunas gumaman saya. Kira-kira begitu jika apa yang saya rasakan menjadi headline surat kabar berkelas nasional. Ini tidak berlebihan. Saya hanya mengatakan: Nama itu punya keramat: Ngainun Naim.

Saya lahir di keluarga pesantren salaf. Sejak kecil, kata keramat sudah keseringan hinggap di telinga saya. Keramat -sementara ini- bisa dimaknai sakti, bertuah. Tapi kata ibu saya, keramat itu malati. Setelah saya beranjak dewasa, saya riang gembira sebab kata keramat mulai tereduksi di keluarga saya. Tapi “sialnya” kata keramat itu -sekarang- lebih sering berdengung di telinga saya tatkala saya menikah dengan perempuan Arab, dan aktif berinteraksi dengan keluarga besarnya. Di keluarga Arab, kata keramat akan disebut puluhan kali dalam sehari. Apa pun itu, jika memliki sejarah, pasti dikatakan keramat. Kebetulan, Ayah mertua saya ini adalah “juru kunci” dua makam yang tiap hari tidak pernah sepi pengunjung. Tiap tahun puluhan ribu orang datang berkumpul di rumah untuk mengikuti acara Haul. Jelas, ini keramat, kata istri saya, dan batin saya. Sudah meninggal ratusan tahun yang lalu masih saja bisa memberi manfaat ke orang lain. Itu hanya satu contoh. Masih banyak yang lain yang tidak bisa saya absen satu-satu. Yang jelas, saya sekarang sering mendengar kalimat: keramatnya ini, keramatnya itu. The Miracle of Keramat. Hahaha.

Sudah. Sekarang kita Kembali ke nama yang saya sebut tadi. Anda semua pasti bertanya: di mana keramatnya? Atau bagaimana keramatnya? Begini kawan. Saat saya mengatakan jika Ngainun Naim adalah nama yang tidak tanggap EYD, saya sudah tidak peduli lagi dengan nama itu. Toh, selang beberapa hari setelah saya mengatakannya, saya juga tidak merasakan apa-apa. Nafsu makan saya baik-baik saja. Nabeela Syakieb juga tetap cantik di mata saya. Mata saya tetap normal. Serapahan saya tidak mendatangkan ke-malati-an seperti istilah Ibu saya. Artinya, jiwa dan ruh saya tidak terganggu. Sehat-sehat saja.

Lalu di mana keramatnya?

Waktu begitu cepat berputar. 2015 menuju 2018 seperti kedipan mata. Tahun 2017, novel pertama saya diterbitkan LKiS Jogjakarta. Dan ajaibnya, orang pertama yang memberi kritikan novel saya adalah Ngainun Naim.

Kok bisa?

Kala itu, saya mengajar di kelas PAI, dan salah satu mahasiswa saya bernama Ngainul Yakin. Ia dekat dengan saya. Tapi tak sekalipun ia bercerita bahwa ia sefrekuensi dengan Ngainun Naim. Ia tidak pernah mengatakan jika ia adik kandung dari sebuah nama yang tidak tanggap EYD itu. Ia hanya mengenalkan dirinya, bahwa ia bernama Ngainul Yakin yang Ketika saya tanya hobinya adalah membaca. Dan saat novel saya mulai beredar, Ngainul Yakin membeli novel saya, lalu minta tanda tangan. Saya minta pendapatnya, tapi ia mengatakan jika ada seseorang yang mengkritik novel saya. Tapi ia tidak pernah meyebut nama Ngainun Naim. Ia hanya menyebutnya “seseorang”.

Saya ingat betul sabda seseorang itu. Katanya, saya adalah penulis pemula, jika menulis jangan ambisius. Ketebalan buku dan harga harus diperhitungkan. Saya berusaha mati-matian mencetak senyum di depan Ngainul Yakin. Menunjukkan jika kritikan itu sangat lezat, mengalahkan Hoka-Hoka Bento Blackpepper Miso Chicken. Dan saya akan berusaha keras untuk tidak terus-terusan menjadi penulis pemula. Ngainul Yakin undur dari dari hadapan saya. Kepala saya penuh dengan kurcaci yang bertanya: Siapakah seseorang itu?

Setelah mengabisi ribuan detik. Saya mulai bermain ilmu cocokologi. Ngainul Yakin dan Ngainun Naim rasa-rasanya terlahir dari rahim yang sama. Juga sama-sama tidak tanggap EYD. Sejak saat itu, saya mulai bergerilya. Bertanya ke banyak mahasiswa tentang keduanya. Dan akhirnya, misteri itu terpecahkan juga. Keduanya benar-benar satu frekuensi. Jika di republik ini ada gen Halilintar (Ashiyaaaap Hahaha), maka di kampus ini ada gen Ngainun.

Saya mulai memungut satu persatu puzzle yang berserekan itu. Saya mulai menatanya untuk menjadi jalinan yang utuh. Ada rasa malu yang sangat dahsyat menyerbu perasaan saya. Sejurus dengan itu, jiwa kolot saya juga berteriak: Ini Keramat.

Setelah kejadian itu. Ada dorongan kuat dari dalam diri saya untuk membaca ulang tulisan beliau di buku tentang JIL yang saa baca dulu. Terhitung 4x saya tuntas membacanya. Tidak berhenti di situ. Saya mulai bergerilya mencari tulisan-tulisan beliau yang lain. Saya memang beruntung, -dan mungkin- saya sedang dalam keramat beliau. Banyak tulisan beliau saya dapatkan, meski tidak semuanya saya baca. Sebab tetiba saja ada misi baru muncul dalam hati saya. Saya harus nekat mendekat ke beliau. Seperti kata Jet Lee dalam satu filmnya: Belajarlah kepada orang yang sudah purna melaksanakannya. Itu tekad saya. Saya harus dekat dengan beliau. Saya tidak ingin terus-terusan mejadi penulis pemula. Saya akan mengatakan kepada beliau jika nama yang tidak tanggap EYD itu ternyata “keramat”. Dan saya adalah saksi hidupnya. Sejak beliau tahu nama asli saya, saya langsung memohon kepada beliau untuk dibaiat menjadi pengikut setia beliau. Dan lamaran saya ditolak. Hahaha. Tapi tidak lama setelah itu, saya diizinkan menumpang kapal besar beliau untuk bersama-sama belajar menulis. Kapal itu bernama: SPK (Sahabat Pena Kita). Tuhan Maha Asik. Dia membuka mata saya jika saya -ternyata- sedang bermain-main dengan nama yang penuh keramat.

Akhirnya. Saya benar-benar merasakan bahwa nama beliau benar-benar keramat. Sejak mendapat siraman ilmu beliau, saya sudah tidak peduli lagi dengan cita-ciata saya menghapus predikat saya sebagai penulis pemula. Beliau menyadarkan saya, tidak penting pemula atau profesional, yang terpenting menulis, lalu menulis, dan menulis lagi. Kalimat sakti ini persis dengan apa yang disampaikan oleh Ernest Miller Hemingway (Juranalis Senior USA, Novelis): Tidak Ada Tips Dalam Menulis, Kau Tinggal Duduk Di Depan Mesin Tik Dan Berdarah.

Kini, nama yang tidak tanggap EYD itu menjadi lentera. Menerangi. Membuka jalan bagi kebekuan akal. Ribuan paragraf lahir dari jemari lentiknya. Nama itu adalah oase. Para musafir ilmu akan mendekat, lalu merasa dekat. Meminun air keramatnya. Siapa pun yang mengenalnya, seolah-olah sudah bersahabat ribuan tahun yang lalu. Seperti saya ini. Meski saya adalah ‘korban’ dari keramatnya nama itu, saya sekarang adalah orang yang beruntung. Lentera itu terus ada di depan saya. Tak pernah redup. Selalu mencipta terang. Dan selalu membuat saya, mereka, adalah orang yang sangat dekat dengannya.

Epilog

Beberapa waktu yang lalu saya dan istri menonton Film terbarunya Angga Dwimas Sasongko yang berjudul Mencuri Raden Saleh. Film ini berkisah tentang kejahatan yang dikalahkan oleh kejahatan. Diperankan oleh aktor-aktor kekinian, semisal Angga yananda dan Iqbal Ramadhan serta diperkuat oleh aktor senior Tiyo Pakusadewo. Film ini sangat menarik meski tidak pernah usai. Ending-nya masih nggantung, dan tentu saja menyisakan pertanyaan: Kapan lanjutannya akan tayang?

Persis dengan nama keramat itu. Beliau tidak pernah usai. Beliau selalu membawa kisah yang akan terus bersambung. Beliau tahu, masih banyak dari kami yang kehausan. Banyak dari kami yang berada di ujung Lorong kegelapan. Sebab itulah, lentera itu akan selalu menyala. Di mana saja. Dan kampus ini beruntung, telah lebih dulu membingkainya.

Sekian. Jangan lupa Bahagia. ^_^

 *Tulisan ini sebenarnya saya persembahkan untuk beliau saat pengukuhan guru besar. Tapi tetiba saja saya sakit. Aksara di kepala lenyap semua. Beruntung saya masih hidup. Dan akan terus memaksa beliau untuk mengangkat saya sebagai murid setia beliau :D :D :D

 

 

 

2 komentar:

  1. Tulisan ini sangat candu. Saat membaca paragraf awal, tiba-tiba terhanyut dan sampai di epilog. Terima kasih catatannya Bib. Angkat saya jadi murid Njenengan, Bib Luthfi.

    BalasHapus
  2. Terimakasih ilmunya mbak. Semoga selalu dalam keberkahan

    BalasHapus

Mengapa Saya Lebih Memilih Ikut Perlombaan Burung Lovebird?

  Mengapa Saya Lebih Memilih Ikut Perlombaan Burung Lovebird? Di tengah hiruk-pikuk kehidupan modern yang penuh tekanan dan tuntutan, mencar...