Masih sekitar 2007.
Satu minggu
terlewat. Di tujuh hari itu, aku suka melamun. Membayangkan sesuatu
yang aneh-aneh. Baru. Kemustahilan.
Aku terlihat seperti
bermain petak umpet,
“Ia seperti awan,
teduh. Mengayomi,” desahku.
Ia berkawat gigi.
Senyumnya masih membekas di pelupuk mataku. Aku seperti memiliki. Ia seperti
memilikiku. Kami saling memiliki. Tapi ia bayang. Sebab bayang akan menghilang.
Ia jinak, tapi tak tergenggam.
Hari itu adalah
jadwalku mengadu nasib di depan Pak Hanafi; the mirror man. Namun
aneh. Sebab di pagi itu, aku
merasakan hal yang berbeda. Bukan seperti pagi-pagi yang lain. Pagi itu, air di
bak mandi hangat-hangat kuku. Aku sangat girang bukan kepalang. Semangatku untuk cepat mandi meledak-ledak. Dan pertanyaanya: Ada apa?
Kusegerakan tubuhku
ditelan kamar mandi yang sempit itu. Keju-keju alami tubuh harus segera kubersihkan.
Lipatan-lipatan kulit harus diguyur air. Karena setan suka ngupil di tempat
itu. Bahkan Jo bilang, di lipatan-lipatan itu setan bersanggama. Beranak-pinak.
Ada yang juga yang mastrubasi karena ia jomblo.
Benar juga. Air memang
terasa hangat kuku. Meski bulu-bulu halusku mendadak berdiri ketika tetesannya
menerpa ujung-ujungnya. Aku merinding. Tapi air di bak mandi tetap hangat kuku.
Benar-benar ganjil.
Aku hanya sebentar di
kamar mandi. Aku tidak keramas. Karena aku tidak junub. Karena semalam aku
mimpi duduk di atas portal. Bukan di Tretes yang aduhai itu.
Handuk kumal telah
menelan perut bawahku. Hangat, melindungi. Penghuninya seperti
di-ninabobok-kan. Jalanku cepat, sebab aku khawatir mentari bikin kacau
semuanya. Di layar ponsel, angka digital tecetak dengan angka tujuh kurang lima
belas menit. Olala, masih satu jam lebih. Itu terasa lambat dan lama
sekali.
Semua berkas
konsultasi sudah siap di dalam tas. Baju lengan pendekku juga siap pakai.
Belalang Tempur juga menyatakan hal yang sama. Hanya Jo yang belum tampak
dengan perut buncitnya. Semoga ia masih tidur.
Belalang Tempur
kunyalakan. Suaranya garang. Ia seolah membuat ‘amin’ atas semua skuel hatiku.
Pagi itu. Portal itu. Dan gadis berkawat gigi itu.
Aku menuntun Belalang
Tempur ke luar kos. Kemudian membawanya ke jalan utama. Kios loundre Pak Ramon
masih kedinginan, jadi malas bangun. Sementara Pak Ramon sedang memikirkan
bagaimana mati dengan khusnul khotimah, dikenang orang, dan menjadi
trend manula-manula setelahnya.
Belalang Tempur segera
memintaku untuk naik di atasnya dengan terburu. Ia berpesan padaku agar jangan
menatapi bokong Maba yang berangkat kuliah. Karena itu dosa katanya. Kucolek
Belalang Tempur sejenak, ia tampak kegelian. Lalu tertawa lepas. Dan kami lepas
landas.
Karpet hitam itu masih
tampak basah. Karena semalam ada rintik hujan, bukan hujan yang menggiurkan.
Orang-orang tampak berpersangka macam-macam pada langit. Mereka menjadi heran,
sebab di Malang akhir tahun tidak menerima hujan. Namun semalam, hujan itu
datang. Meski hanya rintik.
Aku menuruti apa yang
dikatakan Belalang Tempur. Dua mataku menatap lurus. Fokus dengan semua yang
ada di depan. Bukan bokong, atau pinggul Maba yang berlegging.
Seperti biasa, pintu
gerbang kampus seperti lubang semut. Para Mahasiswa adalah semut yang sedang
menyemut, masuk ke dalamnya. Membuat diri mereka aman, nyaman. Pun begitu juga
denganku dan Belalang Tempur-ku. Bismillah.
Aku telah melewati pos
pemeriksaan STNK. Sebentar lagi gedung Pascasarjana. Namun aku tidak punya
hasrat mengintip para mahasiswanya yang hobi berkacamata. Sebab ada ia yang
lebih bercahaya. Ia bayang. Ia cahaya. Menyala bagai mercusuar. Menatapi apa
saja. Nyiur melambai. Derit-derit serangga pengerat daun. Sampai kebisuan dari
putri malu. Semua tersiangi. Ia laksana lampu. Menggugah. Pemberi semangat.
Al-Hikmah juga sudah kulewati. Pemandangan masih sama. Ada
mentoring lagi. Kulihat Sugeng sedang bersemangat ceramah. Di depannya ada
empat Maba yang tampak bengong. Aku kira, Sugeng terlalu revolusioner gaya
bahasanya. Jadi, empat Maba itu hanya bisa menabung tanya. Semoga terjawab
dengan memuaskan.
Nama lengkapnya Sugeng
Santoso, tapi sejak menjadi pembela Tuhan namanya berubah menjadi Sugeng
Abdillah. Agamis sekali, dan beraroma surga. Semoga ia tidak melupakanku di
akhirat kelak. Amin.
Kutinggalkan Sugeng
dengan bahasa revolusinya. Karena sudah saatnya Belalang Tempur mendapatkan
jatah rehatnya. Tempatnya masih sama. Di bawah pohon besar yang teduh. Belalang
Tempur suka berulah jika tidak mendapatkan tempat yang sama di tiap kunjunganku
ke parkiran itu.
Belalang Tempur sudah
tampak tenang, nyaman. Aku pamit sebentar. Ia tidak berpesan apa-apa. Hanya dua
matanya mengerling. Apa maksudnya? Ia bungkam.
Aku berjalan cepat
menuju gedung E-6. Karena di sana, ia lewat seminggu yang lalu. Waktu juga masih belum jam
delapan. Masih ada enam belas menit yang sakral.
Aku cemas. Lalu
menggelengkan kepala. Aku kecewa. Portal itu penuh dengan mahasiswa yang sedang
beradu asap rokok. Jumlahnya ada enam orang. Empat duduk, dua berdiri. Bibir
runcingnya tidak lupa bersiul saat ada mahasiswi melintas di depan mereka.
Aku memilih memutar
badan,
“Mudah-mudahan portal
itu rubuh.”
Aku masuk ke gedung
fakultas. Di sana aku menunggu jam delapan tepat.
Gedung fakultasku
tidak pernah sepi. Hampir tiap hari ada jurusan yang mengadakan pameran. Apa lagi
di akhir tahun. Pameran akan semakin lengkap dan sering. Kupasang dua mataku
baik-baik.
Aku menyusuri semua
sudut lantai satu. Di dindingnya penuh dengan tempelan-tempelan gabus. Banyak
tulisan di sana. “Bulan Bahasa” itu temanya.
Aku menemukan banyak puisi,
“Aku ingin mencintaimu
dengan sederhana ...”
Aku jadi terobsesi.
Otakku merangkai banyak kata. Ada kalimat berseliweran. Beberapa di antaranya
membentuk bait puisi,
“Seperti jejak yang
tak pernah habis, kau selalu ada ...,” bait pertama puisiku. Untuknya. Untuk ia. Semoga ada.
Jam delapan tepat. Aku
segera naik ke lantai dua. Hati kecilku yakin, Pak Hanafi sedang berbincang dengan Kajur. Juga
dengan Ustazah Jihan. Tapi harapku, Ustazah Jihan sedang ke kantin. Biar
pertemuan cantikku dengan Pak Hanafi semakin membahana.
Napasku kutata dengan
sempurna. Tas dan kerahku juga. Ponsel kumatikan. Sebab itu kewajiban. Haram
hukumnya ponsel menyanyi di hadapan Pak Hanafi. Aku mengentuk pintu yang
menutup rapat itu, dan kemudian kubuka dengan pelan dan sopan. Mereka
menatapku. Ada tiga orang.
“Assalamualaikum,” sapaku sambil mendekat ke mereka. Aku mengulurkan
tangan untuk salaman. Mereka memberikan dengan sangat ikhlas. Aku mencium
punggunya. Ada doa melantun saat itu.
“Kaifa haal?
Kholas?” tanya Pak Hanafi cepat.
“Khoir, Ustaz. Bab
tsalis kholas,” jawabku tanpa ragu.
Beliau menyuruhku
duduk.
“Mana draftnya?”
Pertanyaan beliau selalu sama dan klasik.
“Iya, Ustaz,” jawabku sambil membuka tas.
Aku menyerahkan draft
skripsiku. Aku masih mengerjakan bab III. Pak Hanafi menatapku penuh tanya.
Barangkali, aku masuk daftar mahasiswa yang bertinta merah. Arogan. Suka bikin
cemas. Dan jarang masuk.
“Ini, Ustaz.”
Beliau menerima
draftku dengan seringai yang sangat misterius. Aku menjadi kerdil. Aku takut
ada gempa.
Beliau membuka drafku
dengan cepat. Perhalaman sampai selesai. Beliau mengangguk pelan. Aku bisu. Kajur
dan Sekjur tidak peduli. Bagi keduanya, layar laptop lebih menjanjikan. Saatnya
menang. Meski sederhana, permainan freecell sangat tahu bagaimana
caranya menghibur.
“Baiklah. Ini saya
bawa dulu. Saya koreksi. Minggu depan kita diskusi,” kata beliau sambil memasukkan draft skripsiku ke dalam
tas kotak warna hitam. Merknya Pollo. Itu lumayan mahal, bisikku dalam hati.
“Iya, Ustaz.” Aku
mengangguk.
Aku kemudian berdiri.
Aku ingin kabur secepatnya dari hadapan beliau. Dan juga Kajur dan Sekjur.
Sebab, kesegananku terhadap mereka membuatku merasa terancam.
“Syukron. Saya
pamit dulu, Ustaz.” Aku meraih tangan Pak Hanafi kemudian mengecup punggungnya. Beliau tetap
dingin. Senyum itu tampak mahal sekali di wajah beliau.
Aku menutup pintu
kantor itu. Mereka tidak melihatku lagi. Aku melangkah dengan cepat. Sebab aku
yakin, ia ada di sana.
Tangga kuturuni
dua-dua. Tergesa sekali.
Portal itu kosong.
Mahasiswa yang menguasai tadi sudah tak berbekas. Jam ponselku masih setengah
sembilan.
Aku tidak ingin ke
kafe Jangkar. Karena aku ingin segera melihat wajah ayunya.
Portal sudah di depan
mata. Aku duduk dengan senyum yang penuh harapan. Tidak ada rokok. Tidak ada
asap. Tidak ada geram. Kecewa. Aku baik-baik saja. Hatiku seperti bustan
yang kelebihan bunga. Yasmin. Wardah. Anggrek. Berwarna sekali.
Aku menunggu detik
berjalan dengan sedikit gemetar. Bukan takut atau tidak percaya diri. Tapi aku
bahagia. Ia menjelma energi. Memberi kekuatan yang tidak terbatas.
Detik berlalu. Hanya
embusan angin yang lewat. Bukan ia. Bukan mereka. Daun-daun kering terlihat
seperti membuat kutukan. Apa salahku? Tuulul amal! Teriaknya. Namun aku
tidak peduli. Ini bukan cerita yang tamanni. Tapi harap yang tarojji.
Aku mengabaikannya.
Karena daun-daun pengkutuk itu hanya cemburu. Tidak lebih.
Detik terus beranjak,
tapi ia tidak ada.
Ia tidak ada. Hampa.
Ujung jalan itu seperti senyap. Aku menutup mata. Lalu kubuka lagi. Ia tidak
ada. Ia tidak berjalan di depanku lagi.
Daun-daun kering itu
merasa kemenangan mutlak milik mereka. Senyum liciknya menghampar di dua
mataku. Aku adalah pecundang di mata mereka. Tapi tidak. Itu bukan sebuah
kekalahan.
Aku turun dari portal.
Aku tidak geram. Aku tidak kecewa. Aku baik-baik saja.
Kafe Jangkar memberiku
isyarat: Hari belum menua. Butir rindu akan sempurna jika bertemu biji kopi.
Aku memutar badan. Aku
akan menikmati secangkir kopi. Dua batang rokok. Dan ia.
Jangkar ramai sekali
saat itu. Ada beberapa diskusi santai yang diadakan mahasiswa Seni dan Desain. Mereka
tampak nyleneh, sangar. Tapi menurutku mereka asik. Diskusinya tentang
bianglala. Atau bagaimana membuat semburat cinta dalam bianglala. Ada
jejak-jejak kaki pemabuk cinta. Tokohnya adalah Qois, lengkapnya Umrul Qois;
laki-laki yang mabuk dengan cinta. Baginya tak ada satu pun rasa sakit yang
menderanya. Sebab ia mabuk cinta. Laila ... Panggilnya manja. Tapi malam tampak
tak peduli. Malam lebih memilih menyasikan Laila melakukan janji nikah dengan
laki-laki lain. Bukan Qois. Ia saudagar kaya. Punya banyak onta. Bukan Qois,
pemilik dinginnya padang pasir. Pemungut teriknya matahari yang menerpa padang
luas itu.
Aku melirik mereka
sejenak. Setelah itu, aku masuk ke dalam Jangkar.
“Kopi hitam satu!” Aku
memesan kopi hitam. Itu minuman idolaku. Sebab aku percaya, para malaikat juga
meminumnya. Sebab aku percaya: Tuhan bersama para penggila kopi.
“Siap!” jawab Pak
Mursi sambil mengangguk. Ia orang Arodam. Rambutnya sudah banyak
ubannya. Jika tertawa dua matanya menutup rapat. Dua anaknya mengambil jurusan
Teknik Mesin dan Biologi.
Pak Mursi orangnya
baik. Ia sudah percaya kepada kami –penggila Jangkar- tentang hitungan makanan
dan minuman yang kami tandaskan. Ia baik. Sebaik kaca jendela yang membiarkan
debu menempel serupa kanvas. Lalu aku menggaris senyummu di sana. Indah sekali.
Kau masih sama. Aku terbawa rindu. Bayang? Aku tak peduli.
Kopiku datang. Pak
Mursi mengantarkannya sendiri. Aku memilih duduk di dalam warung. Bukan di
bawah pohon jaran yang meneduhi mereka yang sedang berdiskusi.
Aku menuangkannya
sedikit. Asapanya menjelma banyak tangan. Semuanya menggilitik hidungku. Tapi
aku memilih berdiri. Sebab tangan-tangan itu akan hampa jika tidak bersama
teman sejatinya.
Aku mendekati etalase
yang bertuliskan: Rokok bayar langsung!
Aku mengambil dua
batang dan membayar langsung kepada Pak Mursi. Perintah tertulis itu sungguh
sakti di mataku. Mereka semua tunduk dan patuh. Namun bagaimana jika tulisan
itu diganti: Buanglah sampah pada tempatnya?
Ah, mengerikan sekali
tentunya.
Aku kembali duduk.
Cairan kopi yang sedang berbahagia di lepek sudah mulai mendingin. Satu batang
rokok kunyalakan. Asapanya bulat. Lalu kotak. Dan berakhir tidak
terdefinisikan. Satu embusan, kususul dengan satu seruputan. Rasa-rasanya dunia
ada di bawah telapak kakiku.
Ponselku berbunyi.
Sebuah SMS masuk. Ah, biar saja!
Beberapa saat
terlewat. Ponselku berbunyi lagi. Sebuah SMS masuk lagi. Aku segera membukanya,
“Di mana ente?”
SMS itu bertanya.
“Surga!”
“Edan!”
“Ra urus!”
“Di Ava ada Ta’arruf.
Aku panitianya. Banyak roti dan nasi kotak. Aku tahu kamu miskin. Orang miskin
suka bohong sama perut!” SMS itu panjang.
“Ono sopo ae?”
“Aku aja. Hilal
ditelan asad!” SMS itu menjadi jayus.
“Tak ngopi dilut.”
“Cepetan keburu buyar!
Mubazir nasinya tidak ada yang makan. By by!” Ia menyudahi SMS anehnya.
Aku tidak membalasnya lagi.
Menurutku itu tawaran
menarik. Sebagai hantu penunggu SAC, Vina sering sekali dijadikan panita oleh
jurusan untuk acara-acara semisal ta’arruf. Acara ta’arruf adalah
acara perkenalan antara maba dengan pihak jurusan. Juga dengan pihak-pihak
pengurus HMJ; himpunan mahasiswa jurusan. Itu acara bagus. Setali tiga uang.
Siapa tahu bisa menjadi pasangan. Bisikan licik Vina itu selalu kuingat. Ia
mengatakannya saat kami masih culun. Karena kakak kelas kami melabeli kami
dengan sebutan Maba.
Kopiku masih banyak.
Rokokku juga masih belum terisap sampai separuh. Tapi tawaran Vina menjelma
bisikan gaib yang kekuatan supranaturalnya tidak terbatas. Tawaran itu seperti
mesin penarik yang kekuatan dinamonya menyerupai mobil derek.
Aku menuangkan kopiku
lagi. Lepek itu tampak senang sekali. Aku terbang. Saat itu, Vina sedang
galak-galaknya.
Aku ingat betul
bagaimana Vina menjadi mahasiswa. Ia membuat nyaliku berantakan. Modal yang
kupunya sebagai mahasiswa bahasa Arab sangatlah sedikit. Sedangkan Vina selalu
menampilkan ketekunannya dalam mempelajari bahasa yang ditulis dari sisi kanan
itu. Ia membuatku gamang. Takut. Hampir putus asa. Dan ingin lari sejauh
mungkin dari kampusku.
Bagaimana tidak
mengerikan. Vina selalu membawa catatan kecil dengan sebuah pulpen yang
terselip rapi di saku bajunya. Ketika dosen berbicara dengan kosa kata baru,
maka ia dengan cepat mencatatnya. Kemudian menghafalnya.
Pun saat ia berjalan
di taman, kafe atau tempat-tempat ramai lainnya. Vina akan selalu membuat
catatan-catatan berbahasa Indonesia yang kemudian ia terjemahkan ke dalam
bahasa Arab. Bibirnya tidak pernah diam. Sebab ia tidak akan pernah membiarkan
detik berlalu begitu saja. Kata-kata itu. Kalimat-kalimat itu. Selalu ia
lafalkan. Ketika itu, aku melihat Vina mirip sekali dengan Nicolas Saputra.
Ganteng nan rajin. Aku merasa terjungkal.
“Posisi?” sebuah SMS
kukirimkan untuk Vina. Seruputan terakhir juga sudah melewati kerongkonganku.
Ponselku berbunyi dengan cepat,
“AVA.”
Aku segera membayar
kopiku pada Pak Mursi. Ia berada antara hidup dan mati. Maksudnya antara sadar dan
tidak sadar. Ia terkantuk-kantuk. Bibirnya sedikit menganga. Lahar hangat
meleleh di sudut kirinya. Aku membuatnya terkejut.
“Pak.”
“Yah!” jawabnya kaget.
Lahar hangat masih tampak jelas di sudut kiri bibirnya. Aku berniat mengusapnya
dengan tisu. Namun aku takut itu menjadi jalan ia jatuh cinta padaku. Naudzu
billahi min dzalik.
“Kopi satu,” kataku sambil membayarnya dengan uang pas. Ia seperti
sangat ingin segera mengatub lagi.
“Yah!”
“Makasih, Pak!” seruku
sambil meninggalkan tempat tidurnya. Semoga mimpi indah, Pak.
Aku berjalan cepat
menuju AVA. Tujuanku bukan ia. Bukan ia yang berkawat gigi itu. Sebab ia tidak
hadir. Sebab ia tidak ada di sana. Ia bukan mereka. Ia tidak mengenal Vina.
Aku melewati kantor
dosen. Kulihat sejenak, Ustazah Jihan tampak merenung sendiri. Pandangan
matanya kosong. Ia tidak di sana. Mungkin ia masih di kaki bukit itu. Namanya
Panderman. Lima tahun yang lalu. Ia kadang menangis pelan. Di sunyinya hari.
Seperti saat itu.
Ustazah Jihan orangnya
smart. Dekat dengan mahasiswa. Ia menjadi gantungan harapan bagi
mahasiswa yang hampir saja putus asa. Ia dengan Ustaz Haikal selalu memberi
pelajaran tambahan di rumahnya bagi mahasiswa yang kurang paham dengan materi
perkuliahan. Terkhusus mata kuliah Balaghah. Atau yang dikenal dengan
Sastra Arab. Ustazah Jihan serupa puisi, kadang berganti wujud menjadi cerpen,
bahkan novel. Ustazah Jihan seperti paragraf yang tidak pernah mempunyai titik.
Semua senang dengannya. Semua merasa terpayungi.
Dan lengkapnya adalah
Jihan Nur. Cantik. Bulu matanya seperti Isfahan. Cara bicaranya seperti Nubi;
Zenubia Al Bizanti. Aku jatuh cinta. Mereka juga. Namun bukan cinta yang pelik
itu.
Orang-orang Bizantium
menyebut bahwa bayangan Nubi lebih cantik dari berlian hitam di puncak Afrika.
Ustazah Jihan menikah
saat ia masih kuliah. Suaminya adalah laki-laki dari masa depan. Begitu
katanya. Ia menikah di antara eloknya Piramid. Ia berbulan madu di Khan
Khalili. Bersama jutaan cangkir dan ribuan sastrawan yang berdiam diri di
deretan kafe, yang memanjang sepanjang jalan Khan Khalili.
Tapi sejak peristiwa
itu. Sang berlian hitam enggan bercahaya lagi. Ia tidak lagi memayungi kami
yang malang ini. Ia kini sendiri. Panderman menelan semuanya.
Ustaz Haikal –suaminya-
kecelakaan saat mendaki bersama temannya yang datang dari Jakarta. Mereka akrab
sejak di sungai Nil.
Dan, sampai sekarang
berlian hitam itu seperti tidak ingin mencari lentera lagi. Vina harus mengubur
dalam-dalam misi gilanya untuk bersanding dengannya.
Kutinggalkan ia
melamun. Mungkin sedang bernostalgia. Aku prihatin. Namun itu bukan
kapasitasku. Semoga engkau lekas bersinar!
Aku sudah berada di
luar gedung fakultas. Portal itu tersaji lagi. Tapi ia memang tidak ada. Aku
tidak kecewa. Aku tidak geram.
Aku lapar ...
Nasi kotak itu. Oh,
menggiurkan sekali. Tapi Vina haram untuk tahu gelisah perutku.
Aku segera masuk
gedung E-6. Gedung kuliahku. Jurusanku. Yang saat itu sangat asing
bagiku. Sebab sejak enam bulan yang lalu tidak pernah kusinggahi lagi.
Gedung AVA ada di
lantai dua. Aku mengirim SMS lagi untuk Vina,
“Aku naik!”
Ia membalas,
“Oyi!”
Aku menaiki tangga
menuju AVA dengan perlahan. Aku harus menampilkan wujud yang sangat tidak butuh
terhadap acara-acara sejenis itu di hadapan Vina.
Aku sudah berada di
AVA. Di sana ramai sekali. Gadis-gadis berkerudung tampak hilir mudik di sana.
Modelnya sama semua. Aku tahu mereka Maba. Sebab gerak lakunya aneh. Ha ha ha.
Aku terbahak sendiri. Sebab aku juga begitu. Dulu.
Aku mengedar
pandangan. Sosok Vina belum ada. Mungkin ia masih di dalam. Menyiapkan
proyektor atau mungkin saja mengatur sirkulasi kotak jajan atau makanan. Yang
pasti ia sedang sibuk sekali.
Aku memilih duduk di
kursi yang berada di pojokan. Letaknya di antara gedung AVA A dan B. Acara Ta’arruf
berada di gedung B.
Tapi tak sampai lima
menit, tubuh ceking Vina tertangkap dua mataku. Ia tidak melihatku. Tapi bisa
saja pura-pura tidak melihatku. Itu hobinya sejak sebelum kuliah.
Aku memanggilnya. Ia
menoleh. Lalu dengan cepat mengambil kursi yang ada di meja panitia.
Ia mendekatiku. Aku
ingin kabur, tapi sudah terlambat. Sebab ia terlanjur mempesona di depanku.
“Angkatan piro, Sam?”
tanyaku cepat.
“2006. Ayu-ayu arek
e,” jawab ia sambil terseyum nakal.
“Sudah dapat?”
“Ustazah Jihan tak
tergantikan,”
jawabnya lagi sambil mengambil napas dalam. Aku maklum. Vina selalu serius
ketika menyebut namanya.
“Tadi aku melihat
Ustazah Jihan melamun di kantor dosen. Namun begitu melihatku, ia mengerling.
Cantik sekali.”
“Keat!”
Itulah cinta.
Barangkali itulah kekuatan cinta. Mampu mengubah segalanya. Kemayu menjadi galak. Dan galak menjadi
kemayu. Vina. Ya, aku melihatnya pada diri Vina.
“Hilal ke mana? Firas?
Fanani?”
“Yo ngojob ta, Sam!
Gak koyok kon. Jomblo!” ia terbahak.
“Ha ha ha. Ustazah
Jihan ana uhibbuk!”
Vina semakin galak.
“Edan!”
Lalu, hening. Ada
jeda. Udara seperti pamit untuk istirahat. Tak ada desau. Cahaya mentari yang
menyusup melalui celah kusen juga tampak menebar senyum. Kenapa? Ada apa?
Gedung itu tak
menyisakan ruang untuk suara lain. Vina seperti mendadak beku. Ia tak bersuara
lagi.
Suara langkah kakinya
berirama. Teratur. Ada not-not yang tidak timpang. Ketukan sepatunya saat
menaiki tangga membuat kupingku menari. Ia siapa? Siapa ia?
Suara itu terus
mendekat. Langkah kakinya tetap bernada.
Aku menunggunya.
Masih ada jeda. Gedung
juga senyap. Vina masih menjadi batu.
Ia datang. Di depan
bola mataku. Ia bukan mereka.
Tubuhku gemetar. Aku
kedinginan. Bibirku mengatub. Terkunci rapat. Dua bola mataku terekat. Tidak
bisa berkedip. Ia bukan Nubi. Ia bukan Isfahan. Ia adalah ia. Ia yang berbaju
hijau samar, semburat. Ia yang dua matanya almond. Jika air matanya menetes
maka akan menjadi kristal yang keindahannya melebihi berlian hitam dari puncak
Afrika. Ia mengayun. Lengan tangannya mendapat banyak sambutan. Cahaya mentari
dan sejuk udara berebut menjumput siluet tubuhnya. Aku tahu, ia adalah ia. Aku
tetap belum bisa membedakan kulit pipinya. Itu Pink atau Magenta.
Aku benar-benar tidak
berdaya. Itu anugerah? Atau itu siksa? Ah, entahlah.
Vina mencair. Ia
tersenyum. Sumpah, diameter bumi menyusut. Detik waktu tak punya hasrat
berputar lagi.
Vina seperti penghuni
nirwana.
“Mas Vivin,” sapa ia. Aku semakin tidak berdaya.
Sial. Vina. Vina.
Sial. Sungguh sial. Ia sial. Karena nama Vina. Sejurus kemudian, Vina bersuara.
“Hai ...,” ia membalas sapanya. Aku semakin tidak berdaya. Aku terpaku.
Lalu ia berjalan ke
arah gedung B. Ia mendatangi kerumunan itu. Aku menatap hampa. Tidak tahu apa
yang kurasa. Gerak tubuhnya tetap berirama.
Vina jahil.
“Ngowoh ae!”
tegurnya saat bibirku enggan mengatub.
“Siapa ia, Vin?”
tanyaku cepat. Tapi dua mataku masih memungut jejak langkahnya.
“Ah. Payah! Semua tahu
siapa ia. Ia angkatan 2006. Makanya jangan sok menjauh dari kampus. Banyak
anugerah yang kamu lewatkan.” Vina mendadak menjadi tukang dakwah. Tapi dua mataku
masih melukis indahnya.
Aku bertemu ia lagi.
Hai, dunia yang penuh dengan kejutan. Bias-bias yang kau tawarkan ternyata
mulai tersibak. Ia bukan bias lagi. Tapi ia adalah gradasi. Sementara aku
adalah bagian warna yang akan menjadi penggenapnya. Sebab aku kagum dengannya.
Aku terlalu mengada-ada? Iya. Sebab aku kagum dengannya.
Vina mengejutkanku.
“Cari tahu siapa ia!
Barangkali kamu tidak bernasib malang.”
Vina tertawa sekarang.
Suaranya membikin kuping sakit.
Keningku beraksi,
“Maksud kamu?”
“Yang aku tahu, ia
dekat dengan teman kita juga. Bahkan banyak yang melihat ia sering jalan
berdua. Kadang ke kafe. Kadang juga ke gedung H,” jawab Vina panjang. Adrenalinku meningkat tajam. Aku
tertantang. Ini bukan tawaran. Ini juga bukan taruhan. Sebab kekaguman tidak
pernah bisa serupa apa pun.
“Siapa teman kita
itu?” tanyaku tajam.
“Buroq!”
“Haah!” Aku menganga.
Aku hampir tidak percaya. “Kamu jangan bikin berita bohong!”
“Itu yang kutahu.”
“Sejak kapan?”
“Sejak OSPEK. Bahkan
saat Baksos mereka tampak mesra.” Vina menyulut sumbu dalam hatiku.
“Tapi ... Ah. Itu
tidak penting.”
“Jadilah laki-laki
yang mbeneh, Sam!”
“Karepmu opo?”
“Sekadar kenal boleh.
Tapi jika kamu merusak hubungan mereka, itu lain soal.”
“Aku tahu. Tapi mereka
seperti timpang. Ha ha ha.”
“Kon kiro ente
ganteng dewe, tah?”
“Ora!”
“Terus?”
“Ganteng kalah
ambek naseb, Sam. Opo maneh mung saingan ambek Buroq!”
“Kepedean, kon!”
“Itu tidak penting.
Sekarang mana jatahku?”
“Sek. Tunggu.
Tak ambilkan. Aku gak tego ndelok awakmu. Kuru pool!”
Vina beranjak dari
sisiku. Ia akan memenuhi janjinya. Sekotak nasi dan roti aku berpindah ke
tanganku. Vina memang baik. Namun sayang, ia terlalu tergila-gila dengan
berlian hitam itu.
Andai ia tahu.
Barangkali Ustazah Jihan akan membuat pengecualian. Atau setidaknya membuat
pemakluman. Jika Vina sedikit miring. Ih, Ustazah Jihan!
Aku melongok ke dalam
gedung B. Ia tidak terlihat.
Vina kembali. Sekotak
nasi dan roti sudah ada di tangannya. Ia juga memberiku kantong plastik. Karena
Vina ingin aku segera menjauh dari gedung itu. Vina ingin gedung itu tetap
kondusif. Tidak ada kegaduhan.
Yang dimaksud Vina
adalah aku.
Jahat sekali. Tapi tak
apa. Ia ada di sana. Membungkus wajah kagumku. Melukis delik bola mataku. Ia akan
selalu bertanya: Siapa aku?
Aku Lin! Tahukah kamu?
Boleh juga kau panggil Tang. Aku miskin. Perutku buncit. Tapi apa kau suka
perut buncit?
Lalu wajahku ganteng,
itu hanya kataku. Bukan kata Vina atau Jo. Tapi aku kagum denganmu. Menurutku
kamu adalah layak dikagumi. Diwiridkan. Dibuat berzikir. Malam-malam
saat sunyi.
Namaku Lin. Aku pernah
jatuh cinta pada sebuah nama. Tapi tak seajaib denganmu.
Namaku Tang. Aku suka
membuat puisi. Tapi menjijikkan. Adakah kau suka puisi? Kau bisa buat puisi?
Pasti bisa. Sebab kamu beda.
Jo mengirim sebuah SMS.
“Kamu di mana? Aku ada
perlu! Gpl.”
“Kampus. Perlu apa?
Kamu di mana?” balasku. Lalu ia membalas lagi.
“Aku di warung
biasanya. Cepat.”
“Apa SMK pulang pagi
lagi? Aku sedang tidak ingin ngaceng,” balasku. Lalu ia membalas lagi.
“Ini bukan tentang
puting, Sam. Ini tentang perut”
“Aku ke sana
sekarang!” balasku. Ia tidak membalas.
Aku menuju parkiran
dengan hati yang merona. Sebab aku bertemu ia. Ia berkawat gigi itu. Berbaju
warna samar itu. Berpipi pink atau magenta itu. Aku bawa bekas ayunan tangannya. Kusembunyikan di tempat
paling rahasia: Palung hati.
Belalang Tempur
menyambutku dengan wajah sumringah. Karena ternyata ia menangkap apa yang
kurasakan. Ia sakti seperti paranormal. Sebab itu, Belalang Tempur selalu
kumintai restu. Ia selalu mengangguk.
Aku memacu Belalang
Tempur dengan sedikit kencang. Beberapa mahasiswa tampak tidak suka dengan
ulahku. Tapi biarlah. Karena aku sedang bahagia.
Jo. Aku ingat Jo. Ini
pasti penting. Jo selalu begitu jika ada urusan penting. Jo tidak melulu
tentang kutang dan puting remaja SMK. Ia memang hobi mastrubasi. Tapi Jo adalah
kawan yang bisa dimintai pendapat.
Tapi kasihan ia,
keluarganya belum bangkit. Sawahnya habis. Mending aku. Sebab aku sudah miskin
sejak dulu. Sejak kecil. Sejak Ayahku pamit ke liang lahat.
Sekejap saja, aku
sudah berada di depan kampus. Warung kami di depannya persis. Berada di sebelah
baratnya SMK.
Aku menghampiri Jo. Ia
sendirian. Wajahnya kusut. Sepertinya belum makan. Kutepuk bahunya. Ia menoleh
cepat.
“Jo ...,” sapaku.
“Lin ...,” balasnya.
Lalu kami duduk
berhadapan. Wajah Jo belum berubah. Masih kusut. Tebakanku mendekati kenyataan:
Ia pasti belum makan.
“Ada apa, Jo?”
“Kamu ada uang?”
“Ada. Berapa?”
“Satu juta!”
“Gendeng! Mbokku
opo ngeseng duet?” Aku terbahak. Ia bertambah kusut.
“Ini serius, Sam!”
serunya dengan nada penuh tekanan. Ia berharap agar aku tidak menganggapnya
sebagai lelucon.
“Memangnya ada apa?
Kamu juga tahu keadaanku seperti apa,” sahutku tenang. Semoga ia percaya jika aku tidak
menganggapnya serius.
Ia terdiam. Kemudian
berkisah. Katanya, ia sedang apes. Beberapa hari yang lalu ia meminjam sepeda
motor temannya untuk membeli buku di Toga Mas. Namun di tengah jalan ia
bersenggolan dengan motor lain. Ia jatuh. Lampu depan motor itu remuk. Ia bawa
ke bengkel. Habisnya sejuta enam ratus ribu rupiah. Beasiswa Jo hanya satu juta
dua ratus ribu rupiah. Dan keluarnya masih tiga bulan lagi. Ia tidak mungkin
minta kiriman dari rumah. Karena orang tuanya miskin.
“Aku hanya ada tujuh
ratus ribu,” aku
mencoba menawar keinginan Jo. Sebab aku sedang bahagia. Padahal aku hanya punya
uang lima ratus ribu. Dua ratusnya akan kupinjamkan Firas atau Fanani.
“Kabar bagus. Bisa aku
pakai dulu?” ia sedikit tenang. Wajahnya berangsur-angsur membaik. Ia seperti
punya semangat baru.
“Bisa. Tapi besok.
Kamu sudah makan?”
“Belum ...,” jawabnya sambil nyengir. “Kamu sakti, Sam. Aku
kelaparan. Sejak tadi malam belum makan. Aku tidak berani mengusik uang yang
ada di dompet. Sebab sudah bukan milikku lagi,” lanjutnya panjang. Aku menutup kuping. Jo suka begitu
jika rasa laparnya akan tertolong.
Aku segera membuka
ranselku. Pemberian Vina segera kukeluarkan. Ia menatapku penuh cinta.
Kuberikan pada Jo kotak nasi. Sementara aku menikmati roti. Kemudian aku
memesan dua cangkir kopi. Indahnya berbagi.
Aku lapar. Tapi Jo
lebih lapar.
***
Menjelang tengah malam
Jo berkunjung ke kamarku. Ia merebahkan tubuhnya di sebelahku. Itu kebetulan
sekali. Sebab aku akan berkisah. Tentang ia. Tentang sorot mata yang
memenjarakan. Seperti yasmin. Seperti wardah.
“Jo ...”
“Hm ...”
“Aku melihatnya. Ia di
sana. Kira-kira ia sedang ngapain?”
“Ia siapa?”
“Ia yang di sana.
Wajahnya oval. Matanya almond. Kamu tahu? Jika air matanya jatuh, maka akan
menjadi kristal yang indah. Melebihi berlian. Kamu ingat black diamond?”
“Ingat. Itu film
fiktif, Sam.”
“Bukan. Itu kisah
nyata. Black diamond memang ada. Afrika adalah bumi yang mempunyai kelebihan itu.”
“Lalu ia siapa? Siapa
namanya?”
“Aku tidak tahu. Ia
sejurusan denganku. Tapi ia maba!”
“Pasti bokokngnya
menantang. Ha ha ha.” Ia membuat lelucon. Aku menjadi terusik.
“Kamu jangan ngawur
kalau ngomong. Ia beda. Ia tidak begitu. Ia adalah puncaknya keindahan.”
“Tapi kamu tidak tahu
namanya?”
“Tidak. Tapi aku yakin
akan segera tahu.”
“Kamu jatuh cinta?”
“Itu mustahil. Sebab
aku tidak sepadan. Ia beda. Ia puncak keindahan.”
“Lalu?”
“Mengaguminya lebih
dari cukup. Tapi ia milik orang lain.”
“Sudah menikah?”
“Belum.”
“Apa rencanamu
selanjutnya?”
“Tidak tahu!”
“Kamu sakit kayaknya.”
“Memang. Ia membuatku
sakit. Tapi ini sakit yang nikmat. Kamu tahu nikmatnya sakit, Jo?”
“Barangkali tidak.”
“Bagaimana skripsimu,
Jo?” Aku mencoba mengalihkan perhatian. Jo menurut.
“Katanya dosenku
pulang lusa. Tinggal BAB V. Setelah itu ujian.”
“Rencanamu setelah
lulus?”
“Daftar PNS. Kemudian
menikah.”
“Itu bagus, Jo. Biar
kamu tidak terus-terusan berfantasi tentang isi beha dan celana dalam wanita.
Kamu juga akan berhenti mastrubasi. Itu sangat baik.”
“Kamu kepanjangan jika
ceramah.” Jo nyengir.
“Kalau kamu, Lin.”
“Lanjut S-2. Aku ingin
menjadi dosen.” Aku
menghayal.
“Sebaiknya kamu
periksa ke dokter, Sam! Suhu badanmu sangat panas.”
Jo tiba-tiba tertidur.
Ia seranjang denganku. Tidurnya Jo tenang, tidak bersuara. Tidak mendengkur.
Hanya saja ia gampang sekali ngelindur, lindihan. Jika Jo neglindur, ia tampak
sangat menakutkan. Sebab Jo kadang menjadi Naruto. Itu tokoh idolanya. Aneh,
seumuran Jo masih punya tokoh kartun idola.
Aku berusaha mengatub.
Tapi selalu gagal. Sebab ia selalu ada. Selalu hadir. Hening. Bening. Malam
menjawabnya dengan wajahnya. Dunia seperti membuatku terusik.
Kini, aku bersama
langit yang benar-benar gelap. Bintang tidak ada. Angin yang berembus juga
terus meningkat dinginnya. Aku memilih membaca, sebab aku bisa sedikit
kehilanganmu. Atau biar sekadar untuk membuatku terkantuk.
Kalimat demi kalimat
kulahap dengan cepat. Tapi dua mataku tetap utuh sampai fajar menjelang.
Azan subuh memenuhi
cakrawala. Aku pulas.