Abi: Jalan Tengah Klan Yamanisme
Siang kemarin, ada ada seorang sahabat yang sangat saya
hormati menjapri saya menanyakan perihal akun Facebook saya yang tidak
bisa diakses. Sebenarnya, sebelum sahabat saya yang satu ini bertanya, beberapa
sahabat saya juga bertanya hal yang sama. Namun, saya tidak menanggapinya. Saya
hanya menjawab angin-anginan saja. Saya katakan, jika saya sampai pada
titik bosan bermedia sosial. Mendengar jawaban saya, mereka tampak senang. Sebab,
ada kemungkinan saya akan kembali ke dunia fiksi itu. Tapi, Ah. Sudahlah.
Tapi tidak dengan sahabat saya, yang kemarin siang menjapri
saya. Ia melihat gelagat aneh dalam diri saya. Ia terus mengejar saya untuk
bicara jujur. Akhirnya saya jujur mengatakan bahwa sebenarnya akun Facebook
saya ini tidak bermasalah. Sedang baik-baik saja. Yang bermasalah adalah diri
saya sendiri. Ia terkejut. Kenapa?
Begini kira-kira. Sejak Pilpres 2019, isu identitas semakin
menggaung di seluruh sudut jadat negeri ini. Dampkanya, banyak kelompok yang
awalnya satu menjadi terbelah. Tidak terkecuali dengan saya. Beberapa saat yang
lalu, saya terlibat perdebatan yang sangat panas dengan beberapa teman yang
sejak saya di Malang dulu sudah akrab dan tergabung dengan pergerakan yang
sama. Kita juga sering berbagi kopi dengan takaran yang sama. Kita bahu-bahu
mengklarifikasi gagasan-gagasan baru, yang dipandang akan menggucang
harmonisasi bangsa ini. Kami dibayar? Tidak. Yang ada, kami sering terlilit
hutang untuk biaya wira-wiri kami. Kami enak? Yang enak adalah mereka
yang saat itu duduk santai sambil membaca buku sambil ditemani secangkir kopi
atau teh hangat menjelang senja. Kami menyesal? Tidak. Setidaknya kami sudah
berbuat. Dan yang kami inginkan adalah masa depan. Tidak sedikit pun dari kami
yang pingin dibingkai zaman. Kami meangalir saja, dan akan kembali ke posisi
kami sebagai orang pinggiran yang selalu paling depan untuk dilupakan.
Perdebatan panas kami seputar Klan Yaman, yang dianggap
sebagai ndoro di negeri ini. Kata mereka, orang-orang itu gila hormat
dan tidak ingin menjadi pemijak bumi yang baik. Ada adigung bagus yang selalu
mereka dengungkan: Di mana bumi dipijak, di sanalah langit dijunjung. Kata mereka
lagi, orang-orang bersurban itu tidak bisa menjalankan adigung tersebut. Mereka
terkesan eksklusiv. Membuat perbedaan kelas sosial begitu tajam. Sehingga karena
saking sinisnya, kawan-kawan beredabat saya ini menyebut diri mereka sebagai Pribumi
Sudra Inlander. Entah, ini sindirian ataukah kekecewaan.
Perdebatan kami seputar bagaimana Klan Yaman itu berulah,
mengadakan pengajian yang provokatif, mendoktrin tentang rahasia langit, dan
menjadikan pribumi sebagai kelompok yang harus terus mengagungkan mereka, jika
tidak, maka neraka sudah menanti.
Saya sebenarnya berada di posisi yang sulit. Bagi saya,
mereka adalah ruh saya. Mereka yang menjadikan saya bermental baja. Tidak tumbang
dicaci, tidak rubuh dimaki-maki. Benar, andai saja saya tidak bermental baja,
sudah pasti sejak dulu kala saya sudah menutup akun saya. Sebab, hampir tiap
hari saya mendapt ancaman akan digeruduk. Bahkan, sampai beberapa saat
yang lau, sebelum saya menutup akun, masih saja ada orang yang mengatakan saya
ini murtad, ateis, komunis, liberal, antek wahyudi, dsb.
Kemudian, sejak tahun 2015, saya resmi masuk di Klan Yaman
tersebut. Saya menikahi seorang Syarifah yang bagi sahabat-sahabat saya sangat
eksklusiv. Tentu, saya juga tidak bisa diam saja, ketika keluarga besar yang
saya ‘nikahi’ ini menjadi bulan-bulanan. Tapi saya juga tidak ingin terlibat
dalam arena perdebatan itu lebih lama lagi. Yang saya ingin, semua baik-baik
saja. Ada jembatan penghubung di sana.
Sehingga, sebagai klarifikasi atas pendapat kawan-kawan saya
itu, dalam tulisan ini saya menampilkan Abi sebagai jalan tengah. Sebab, apa
yang kawan-kawan saya sampaikan itu tidak sepenuhnya benar. Menggebyah uyah
semua kejadian itu adalah menyesatkan.
Lalu, siapakah Abi ini?
Abi ini adalah nama julukan. Beliau menjadi orang yang sangat
terkenal di Gresik. Nama asli Abi adalah Habib Muhammad bin Abdullah bin Sholeh
bin Hud Alhabsyi. Salah satu tokoh yang paling dihormati, baik oleh kalangan
Allawiyin (Klan Yaman) maupun oleh orang-orang Pribumi sendiri. Konon, di
Gresik setelah era Alqutub Alhabib Bakar Assegaf, ada tiga tokoh yang menjadi
mercusuar, mereka adalah Ammi Osen (Habib Husin Potelot),
Ammi Ali bin Abu Bakar, dan Abi sendiri. Namung sayang, tiga mercusuar ini
sudah tidak ada lagi. Meski begitu, jejak mereka bertiga ini sangat kuat
menancap dalam ingatan.
Meski hanya setahun hidup bersama Abi, ada banyak hal yang –mungkin-
bisa menjadi klarifikasi atas semua kalimat miring kawan-kawan saya terhadap
Klan Yaman.
Pertama. Setau saya, Abi ini tidak pernah suka menggunakan
gamis panjang putih sebagaimana yang dipakai oleh mereka-mereka yang diulamakan.
Bagi Abi, selain bukan ulama, Abi juga memahami jika pakaian adalah tradisi,
bukan masuk dalam penyempurna syariat. Kata Abi, jika kita tinggal di Jawa,
maka Jawalah yang menjadi tardisi kita. Karena itu, Abi selalu mengenakan batik
dan koipiah khas Jawa. Seingat saya, sepanjang hidup Abi hanya mempunyai dua
kopiah: hitam dan merah.
Suatu ketika, saya pernah mengantarkan Abi pada sebuah acara
di ujung utara Gresik (dekat Lamongan). Ketika tiba di lokasi, acara sudah
mulai. Ada ribuan orang berkumpul di sana. Dan tentu saja, ada sebuah panggung
kecil yang diisi oleh orang-orang bergamis putih panjang. Abi datang tanpa
banyak diketahui orang. Beliau duduk di deretan paling belakang sebagai orang
yang terlambat datang. Beliau duduk beralaskan koran dan saya ada di belakang
beliau persis. Abi mengenakan batik, sarung, dan kopiah merah. Panitia di sana
tampak sibuk menyilakan orang-orang bergamis putih dan mengawalnya sampai ke
tempat khusus yang disediakan. Sebagian panitia yang lain tampak sedang panik
menunggu seseorang. Sayup-sayup terdengar nama Abi disebut.
Acara dimulai, kepanikan panitia bertambah. Tapi untungnya,
ada salah satu panitia mengenali Abi. Orang tersebut langsung mendekap tangan
Abi dan berkali-kali menciumnya. Namun Abi terus berusaha menariknya. Mendengar
Abi ada di lokasi, acara menjadi hilang khidmatnya, berganti riuh jamaah yang
berusaha mendekat ke Abi. Saya melihat wajah Abi yang tidak nyaman dengan
suasana itu. Lalu saya berbisik kepada panitia bahwa Abi minta izin
meninggalkan acara. Para panitia bingung. Setelah beberapa saat berdiskusi, akhirnya
Abi dibawa ke salah satu rumah panitia. Begitu tahu sampai di rumah, saya dan
Abi terkejut, sebab di sana ada lukisan Abi berukuran besar. Dan ketika kami
menyantap makanan seadanya, pemilik rumah mengatakan Gus Ali Tulangan Sidoarjo
mau mampir dan makan di rumah tersebut karena ada lukisan Abi. Abi hanya
tersenyum. Lalu berbisik kepada saya: “Berpikirlah untuk selalu menghormati,
dan jangan pernah berpikir untuk ingin dihormati.”
Kedua. Cerita ini saya dapat dari istri saya sendiri. Pada suatu
pagi selepas Subuh, di masjid dekat rumah Abi ada sebuah pengajian yang
menceritakan keutamaan Klan Yaman, khususnya Syarifah. Seketika itu juga, Abi
dengan cepat menutup dua telinga istri saya dan mengatakan: “jangan didengar,
itu tidak benar.” Istri saya hanya mengangguk, dan memegangnya sampai hari ini.
Katanya, semua manusia sama. Abi juga mengatakan kepada istri saya, bahwa gelar
syarifah hanya untuk Sayyidah Fatimah binti Rasulullah SAW saja. Sebab beliau
sepanjang hidupnya tidak pernah mengalami haid. Jadi, setelah Sayyidah Fatimah
ini wafat, praktis tidak ada syarifah lagi.
Ketiga. Cerita ini juga saya dapat dari istri saya. Katanya,
Abi itu uangnya banyak tapi selalu habis menjelang Magrib. Kok bisa? Tanya saya.
Suatu ketika, sekitar pukul satu malam, istri saya yang ketika itu masih duduk
di bangku SMA, mengendap-endap ke lemari pribadi Abi dan mengeluarkan dompet
yang biasa dibawa Abi. Ia berharap akan ada uang di dompet itu, tapi ia harus
kecewa. Ternyata dompet itu kosong. Tidak ada selembar rupah pun terselip di
sana. Istri saya menggerutu sampai jam dua pagi. Lalu ia mendengar Abi keluar
kamar dan menuju kamar mandi untuk mengambil wudhu. Istri saya terus mengintip
Abi, dari keluar kamar sampai balik lagi ke kamar. Lagi-lagi ia harus kecewa,
sebab Abi tidak menyentuh sedikit pun lemari pribadi beliau. Istri saya
berharap, jika Abi akan membuka lemari itu kemudian mengisi dompet beliau yang
kosong. Kekecewaan itu memuncak ketika sudah saatnya Abi berangkat ke masjid. Lagi-lagi
lemari itu tidak disentuh. Dengan wajah yang kecewa, ia membuka lemari itu lagi
kemudian membuka dompet itu lagi. Ia sangat terkejut, sebab dompet itu sudah
penuh dengan uang dengan nominal semuanya 100 ribuan, bahkan sampai ada yang
tercecer di luar dompet. Istri saya kemudian mengambil seperlunya, bahkan bisa
3 kali lipat yang dibutuhkan. Kejadian seperti itu terus berulang sampai Abi
wafat. Dan sebagai gantinya, istri saya membuka dompet saya. Ia tidak hanya
terkejut, ia bahkan hampir pingsan, sebab isinya hanya beberapa lembar 5
ribuan. :D
Lalu istri saya jujur kepada Abi jika ia suka mengambil
uangnya Abi. Beliau hanya tersenyum, dan berkata: uang Abi juga uang anaknya
Abi.
Lalu kenapa setiap menjelang Magrib uang Abi di dompet selalu
habis? Saya mendapat jawaban ini dari Umik (Ibu mertua). Kata Umik, uang di
dompet itu bukan milik Abi. Itu adalah uang orang-orang yang dititipkan ke Abi.
Sebab setiap hari, selalu ada saja orang yang berkeluh perihal keuangan. Mulai diusir
dari kontrakan karena tidak bisa bayar, motor diambil dealer karena tidak bisa
bayar cicilan, anaknya masuk rumah sakit, ditagih renternir, dan bingung mau
menikah tidak ada biaya. Kata Umik lagi, uang yang ada di dompet Abi selalu pas
untuk keperluan mereka semua. Dan kejadian ini terjadi sampai Abi wafat. Dan setelah
itu, orang-orang yang biasa berkeluh tidak pernah datang lagi.
Kemudian ada lagi cerita dari Umik, sebulan setelah Abi meninggal,
ada seorang nenek datang ke rumah mencari Abi. Nenek ini tidak tahu jika Abi
sudah tidak ada. Lalu Umik bertnya, kenapa mencari Abi. Nenek tersebut
mengatakan jika sudah sebulan ini ia dan cucunya kesusahan makan karena Abi
tidak memberi uang lagi. Sebab, setiap hari, selepas Subuh, Abi selalu datang
ke rumah nenek tersebut dan memberinya uang 100 ribu. Kejadian ini berlangsung
sudah lima tahun, dan sedikit pun Umik tidak pernah mengetahuinya. Setelah nenek
tersebut, banyak nenek yang juga datang ke rumah dengan cerita yang sama.
Sebenarnya masih banyak sekali kisah tentang Abi yang bisa
ditulis di sini, tapi saya kira tiga cerita tersebut bisa sedikit menjawab
tentang kekhawatiran teman-teman saya terhadap Klan Yaman.
Jika pembaca ingin tahu lebih banyak tentang Abi, termasuk
bagaimana beliau menyambut tamu, mulai Pak Jokowi sampai sampi penjual nasi
emperan, silakan datang ke rumah setiap hari Kamis selepas Isya. Di sana ada
rutinan Jamaah Ratibul Athos yang dibentuk Abi puluhan tahun tahun yang lalu. Jamaahnya
sangat beragam. Dan rata-rata, semuanya datang dari dunia yang gelap. Pemabuk,
pengedar narkoba, dan maling ada di sana.
Saya sadar, tulisan ini juga tidak akan memuaskan semua teman
saya. Tapi setidaknya saya sudah mencoba meyakinkan, bahwa gebyah uyah
terhada suatu kaum itu tidak bisa dibenarkan.
Alfatihah untuk Abi.
Tulungagung, 8 November 2020.