Rabu, 25 Maret 2020

Puisi Untuk Bapak


Sejak kemarin, dari balik jendela
Aku mengintipmu
Wajahmu lusuh. Urat-uratanya berdesakan keluar
Aku tahu, ada anak-anakmu yang bandel disana
Namun kau tak pernah marah,
Kau bisiki mereka
“Jangan keluar dulu. Sebab rembulan masih malu-malu”
Jika menurut, kau melepas lega
Jika menutup telinga, kau hanya mengelus dada.

Hari ini, dari balik jendela
Aku mengintipmu
Wajahmu tak hanya lusuh, tapi juga runtuh
Aku tahu, ada air mata disana
Namun kau tahan sekuat-kuatnya,
Agar anak-anakmu tetap ceria,
Kau katakan pada mereka
“Tetap di tempatmu saja. Rembulan sebentar lagi ada”

Malam ini, dari balik jendela
Aku tak lagi mengintipmu
Sebab aku tahu,
Kau laki-laki perkasa
Yang tak peduli patah hati
Kau laki-laki luar biasa
Yang tak peduli air mata.

Di sini, dari balik jendela ini
Tuhan, jaga orang ini. Berilah kekuatan sepenuhnya.
Merawat kami; 250 juta anak-anaknya.


Rindu yang Nyangkut di Kaca Jendela


Jika dihitung, sudah hampir tiga minggu kita hanya bertegur sapa melalui jaringan seluler, dan beberapa WA Story yang kita bikin seolah-olah kita sama-sama kuat. Selebihnya, kita hanya saling menggenggam jengah. Sabar, itu kata yang sering kita tiupkan bersama. Sekadar mendiamkan liarnya rindu kita. Sedikit berhasil memang, namun tidak sedetik berikutnya.
Aku sering mengatakan padamu, bukan? Jika waktu enggan bergerak saat kita dipisah jarak. Dulu, dulu sekali, aku selalu merapalkan itu. Dan kamu selalu mengangguk setuju. Anggap saja, kita sedang mengulang hari-hari kemarin, dan kemarinnya lagi. Bagaimana kita menikmati paragraf yang lupa dikasih jeda. Mengular. Tak berujung. Tapi malam terasa sangat lama untuk ditunggu. Begitu kira-kira kita dulu. Tapi cantikmu? Selalu nomor satu. Lalu, malam buru-buru datang.
Covid-19 tidak hanya membuat kita kelimpungan, tapi ada jutaan hati disana yang merasakan ‘rasa’ yang melebihi kita. Waktu tidak bisa dilipat. Angan-angan yang beterbangan di atap-atap rumah; tak bisa pergi kemana-mana. Mereka menikmati. Sebab tak punya pilihan. Begitu juga dengan kita. Kita hari ini, tak lagi berjudi dengan peluang-peluang, tapi hari ini kita harus menang. Kita sudah mempertaruhkan segalanya. Tak hanya keringat, kengerian, kewas-wasan, kekhawatiran, tapi juga rindu.
Malam kemarin, teleponku bordering. Keras sekali. Serupa orang menjerit. Lalu suaramu ada di sana. Mengeja bait-bait yang ditenun oleh gelapnya. Aku mendengarnya dengan sangat hati-hati. Sebab aku tahu, ketidakmengertianku adalah satu luka di hatimu. Suaramu yang sebenarnya sangat berat, kau buat seringan mungkin; tanpa beban. Semuanya berisi tawa; canda tentang galaknya kucing tetangga saat musim kawin. Atau cerita tentang Mak Sa; yang sore itu rujaknya habis sebelum pukul empat sore. Aku tertawa. Kamu tertawa. Kita mentertawai semuanya. Dan ini pernah terjadi sekitar 10 tahun yang lalu. Saat gelap mulai mendekat, kau raih tanganku. Kita berjalan sangat terburu. Kafe itu baru saja buka. Dan kursi pojokan masih lengang. Itu kesukaanmu. Kita duduk. Lalu memesan dua cangkir kopi. Dan kita berlomba menebak jenis kelamin asap yang menyeruak dari cangkir kita. Kamu menang. Sebab, asap cangkirku tak berkelamin. Dan itu aturannya. Aku selalu harus kalah. Sebagai hukumannya, aku harus membuat puisi dan kamu menunggunya dengan tak berkedip. Jika lebih dari lima menit tak selesai, maka aku harus menyanyi di atas panggung kecil yang disediakan kafe tiap Sabtu dan Minggu. Jika aku tak sanggup menyanyi, maka gantinya lagi, aku harus menghitung jumlah bulu mata cantiknya. Lima menit berlalu. Sebuah puisi kucipta. Tentang aroma hujan di sore hari. Aku mulai membacanya dan kau mendengarnya. Setelah itu, kita tertawa bersama. Kita sama-sama tahu, puisiku menjijikkan petang itu. Kita sama-sama menang. Aku menang, sebab yang kunikmati adalah cantik wajahny saat tertiupi udara. Kau menang, sebab puisiku menjijikkan. Kita dua mahkluk yang tercipta untuk bahagia; 10 tahun yang lalu.
Hari ini –mungkin- rinduku hanya menyangkut di jendela. Tapi aku merasakan, betapa kuatnya doamu. Sudah, kita sudahi teka-teki bodoh ini. Percaya saja pada mereka. Virus-virus itu sedang diajak bercanda, lalu ditendang ke langit. Dan hadiah terbesar kita adalah lenganmu dan lenganku sama-sama menjemput Ramadhan.
Terimakasih telah melarangku pulang. Aku akan menabung semuanya.



Mereka itu, EMAS!

Mereka itu, EMAS! (Sebuah Pengantar) Tuhan Yang Mahakuat, Puji-puji ini untuk Engkau. Kepada Sang Nabi, saya haturkan Salawat: Semoga ka...