Jika dihitung, sudah hampir tiga minggu kita
hanya bertegur sapa melalui jaringan seluler, dan beberapa WA Story yang
kita bikin seolah-olah kita sama-sama kuat. Selebihnya, kita hanya saling
menggenggam jengah. Sabar, itu kata yang sering kita tiupkan bersama. Sekadar
mendiamkan liarnya rindu kita. Sedikit berhasil memang, namun tidak sedetik
berikutnya.
Aku sering mengatakan padamu, bukan? Jika waktu
enggan bergerak saat kita dipisah jarak. Dulu, dulu sekali, aku selalu
merapalkan itu. Dan kamu selalu mengangguk setuju. Anggap saja, kita sedang
mengulang hari-hari kemarin, dan kemarinnya lagi. Bagaimana kita menikmati
paragraf yang lupa dikasih jeda. Mengular. Tak berujung. Tapi malam terasa
sangat lama untuk ditunggu. Begitu kira-kira kita dulu. Tapi cantikmu? Selalu nomor
satu. Lalu, malam buru-buru datang.
Covid-19 tidak hanya membuat kita
kelimpungan, tapi ada jutaan hati disana yang merasakan ‘rasa’ yang melebihi
kita. Waktu tidak bisa dilipat. Angan-angan yang beterbangan di atap-atap
rumah; tak bisa pergi kemana-mana. Mereka menikmati. Sebab tak punya pilihan. Begitu
juga dengan kita. Kita hari ini, tak lagi berjudi dengan peluang-peluang, tapi
hari ini kita harus menang. Kita sudah mempertaruhkan segalanya. Tak hanya
keringat, kengerian, kewas-wasan, kekhawatiran, tapi juga rindu.
Malam kemarin, teleponku bordering. Keras sekali.
Serupa orang menjerit. Lalu suaramu ada di sana. Mengeja bait-bait yang ditenun
oleh gelapnya. Aku mendengarnya dengan sangat hati-hati. Sebab aku tahu,
ketidakmengertianku adalah satu luka di hatimu. Suaramu yang sebenarnya sangat
berat, kau buat seringan mungkin; tanpa beban. Semuanya berisi tawa; canda
tentang galaknya kucing tetangga saat musim kawin. Atau cerita tentang Mak Sa;
yang sore itu rujaknya habis sebelum pukul empat sore. Aku tertawa. Kamu tertawa.
Kita mentertawai semuanya. Dan ini pernah terjadi sekitar 10 tahun yang lalu. Saat
gelap mulai mendekat, kau raih tanganku. Kita berjalan sangat terburu. Kafe itu
baru saja buka. Dan kursi pojokan masih lengang. Itu kesukaanmu. Kita duduk. Lalu
memesan dua cangkir kopi. Dan kita berlomba menebak jenis kelamin asap yang
menyeruak dari cangkir kita. Kamu menang. Sebab, asap cangkirku tak berkelamin.
Dan itu aturannya. Aku selalu harus kalah. Sebagai hukumannya, aku harus
membuat puisi dan kamu menunggunya dengan tak berkedip. Jika lebih dari lima
menit tak selesai, maka aku harus menyanyi di atas panggung kecil yang
disediakan kafe tiap Sabtu dan Minggu. Jika aku tak sanggup menyanyi, maka
gantinya lagi, aku harus menghitung jumlah bulu mata cantiknya. Lima menit
berlalu. Sebuah puisi kucipta. Tentang aroma hujan di sore hari. Aku mulai
membacanya dan kau mendengarnya. Setelah itu, kita tertawa bersama. Kita sama-sama
tahu, puisiku menjijikkan petang itu. Kita sama-sama menang. Aku menang, sebab
yang kunikmati adalah cantik wajahny saat tertiupi udara. Kau menang, sebab
puisiku menjijikkan. Kita dua mahkluk yang tercipta untuk bahagia; 10 tahun
yang lalu.
Hari ini –mungkin- rinduku hanya menyangkut
di jendela. Tapi aku merasakan, betapa kuatnya doamu. Sudah, kita sudahi
teka-teki bodoh ini. Percaya saja pada mereka. Virus-virus itu sedang diajak
bercanda, lalu ditendang ke langit. Dan hadiah terbesar kita adalah lenganmu
dan lenganku sama-sama menjemput Ramadhan.
Terimakasih telah melarangku pulang. Aku akan
menabung semuanya.