Rabu, 24 Februari 2021

Lintang Kemukus

 


            Lintang sedang menunggu saudara jauhnya, Kemukus. Hampir tiap malam ia akan berlama-lama mengamati langit. Selama hujan tidak benar-benar deras, ia akan terus melakukannya.

            Lintang lahir dini hari. Pukul 00:30. Sekarang usianya masih tujuh belas tahun. Ia tidak mempunyai kesukaan lain selain membaca. Ia sangat jatuh cinta dengan puisi-puisi Arab yang sudah dialihbahasakan. Hampir semua buku Rumi sudah ia baca. Juga Kahlil Gibran. Ia juga sangat tergila-gila dengan Layla Majnun. Ia selalu mengilustrsikan dirinya sebagai Qais yang malang.

            Lintang sudah tidak memiliki Ayah dan Ibu. Keduanya meninggalkan dirinya sejak ia masih belum bisa mengunyah nasi secara sempurna. Lintang besar dalam asuhan sang Kakek.

            Seperti Andine dan Jingga, Lintang juga memiliki kejanggalan dalam hidupnya. Ia bisa menghentikan waktu.

***

            Hari itu, Selasa. Lintang bersama tiga temannya sedang jalan-jalan di trotoar sepanjang Jalan Mastrip Nganjuk. Langit sangat cerah. Taburan gemintang menghampar di kanvas luasnya. Gradasi warna yang tercipta sangat cantik; seperti meninabobokkan para remaja yang sedang ada di sana. Memadu rindu, atau sekadar membuang kegelisahan. Pun dengan Lintang dan kedua temannya: Ranu dan Rifan.

            “Apa yang paling kamu inginkan di dunia ini?” Rifan memulai perbincangan. Tidak jelas, pertanyaan itu mengarah pada siapa. Ranu berdehem sambil membetulkan kerah bajunya yang sebenarnya tidak bermasalah.

            “Bisa terbang. Lalu merobohkan gedung-gedung dengan sekali hentakan kaki.”

            Lintang dan Rifan melempar tawa.

            “Kalau kamu, Rifan?” tanya Ranu balik.

            “Hmm. Aku pingin menghentikan waktu. Semua terdiam. Dan hanya aku yang bisa bicara, bergerak, dan melakukan sesuatu. Dan pertama yang kudatangai adalah Denis. Aku ingin tahu catatan hariannya. Aku ingin memastikan namaku ada di bagian kalimatnya.”

            Dua bahu Lintang terangkat. Ada kengerian dan keterkejutan. Menghentikan waktu? Ia seperti sedang menyadari sesuatu. “Bukankah sejak seminggu yang lalu aku begitu?” Ia bergumam. Tatapan matanya kosong. Kecurigaan Rifan dan Ranu tidak bisa dihentikan.

            “Kamu pasti pingin begitu ya, Lintang? Kamu pingin bisa menghentikan waktu. Lalu kamu bisa berbuat apa saja. Mengintip orang mandi!”

            Tiba-tiba saja, Lintang tertawa keras. Dan diikuti oleh kedua temannya. Sebab, hanya tertawa cara paling sakti mengalihkan perhatian.

            “Aku memang bisa menghentikan waktu. Tapi aku tidak pernah melakukan seperti yang kamu pikirkan.”

            Ketiganya kompak lagi. Tertawa sekeras-kerasnya.

***

            Ruang kelas tampak sepi. Hanya ada Fatimah yang membenamkan wajahnya di meja. Sejak dulu, Lintang akan membeku jika melihat Fatimah. Bahkan, mendengar namanya saja, Lintang sudah salah tingkah. Cinta memang begitu. Membuat yang biasa menjadi istimewa.

            Lintang ingin saja menyapanya, tapi bibirnya terkunci rapat. Tubuhnya bergetar hebat. Panas dingin bertemu dalam satu titik dalam tubuhnya. Bumi serasa banyak gempa. Ia hanya berjarak tiga langkah dengan Fatimah. Tapi ia merasa sedang berada di Sabang, dan gadis itu berada di Merauke. Cinta memang begitu. Membuat yang biasa menjadi istimewa.

            Ia menatap tajam ujung kepala Fatimah. Kerudungnya yang putih tidak seperti biasa. Ada sesuatu yang sedang mengerubutinya. Seperti semut yang berjumpa dengan taburan gula.

            Ia ingin sekali menyapa dan bertanya: Apa kamu baik-baik saja?

            Oh. Aku tak ingin Cinta yang seperti ini. Aku tidak ingin ada Cinta di antara kita. Sebab kita adalah satu. Kita senapas. Kita sejantung. Kita senadi.

            Lintang merapal kalimat Qais yang ia produksi sendiri.

            Ia memutuskan untuk menghentikan waktu. Semua membeku. Terdiam.

            Ia melangkah pelan menuju meja Fatimah. Ia tidak menyentuhnya. Ia hanya mendekatkan tubuhnya ke tubuh Fatimah. Ia memejamkan dua matanya. Dan, tiba-tiba saja air mata itu tumpah. Lintang terjatuh di depan Fatimah.

            Lalu, ia meracau. Kalimat-kalimatnya adalah kepedihan.

            Fatimahku. Fatimah penghias malam. Fatimah yang menghidupkan jantungku. Fatimah yang mampu mematikan detak nadiku. Andai aku seberani seperti ia yang kamu tokohkan di bukumu. Andai aku seberani senja menantang Matahari. Andai aku seberani gulungan ombak.

            Nyawaku adalah kepedihan. Hidupku adalah wakaf atas semua senyummu. Air matamu adalah dosa-dosaku.

            Waktu berputar kembali. Lintang terdiam di kursinya. Sampai Ranu datang, ia masih dalam penjara air mata Fatimah.

***

            Kiyai Aji masih menggigil kedinginan. Selimut tebal yang membalut tubuhnya tidak bisa menghangatkan lagi. Dengan dua mata yang mengatub, ia menyebut-nyebut nama Mbah Diro.

***

            Andine masih menangis. Ia menyesal mengetahui semuanya namun tidak bisa menghentikannya. Dan mulai detik itu, bibirnya mengucap satu nama: Tuhan.

***

            Jingga termenung panjang. Dari balik jendela, ia melihat Abi yang tersenyum dan melambaikan tangan: Selamat tinggal. Air mata Jingga sudah memadat. Tidak bisa lagi menetes. Ia menyadari satu hal saat itu, Abi memang segalanya baginya. Kepergian Abi adalah kepergian separuh lebih jiwanya.  

             

Selasa, 23 Februari 2021

Kiyai Sangaji

 





Andine memilih mendarat terlebih dahulu di Surabaya. Ada sesuatu yang harus ia beli. Saat dua kakinya mulai menjauh dari pintu keluar bandara, ia melihat dua orang yang begitu serius dalam bercakap. Andine segera kabur dari sana dengan harapan, dua kupingnya tidak mendengar jeritan isi kepala keduanya. Tapi ia gagal, seperti ada yang menahan kakinya untuk melanjutkan langkah.

            Dua alis Andine hampir saja bertabrakan. Dua matanya tampak agak melotot. “Ini sangat berbahaya. Akan banyak korban jika tidak dihentikan.” Panik, Andine bergumam dalam hati. Garis-garis khawatir di wajahnya semakin menebal. Ia tahu, tapi ia tidak pernah tahu harus melakukan apa.

            Andine terjebak dalam dimensi yang ia kuasai, tapi tidak pernah ia mengerti.

***

            Jingga semakin serius mencari tahu tentang apa yang ia alami. Mungkin –katanya suatu ketika- saat masih kecil, apa yang ia alami memang sudah sangat nyata dan kuat. Tapi jiwanya sebagai anak-anak belum bisa mengantarkannya pada satu titik pemahaman. Sehingga hari ini –saat ia sudah dewasa- ia merasa harus mencari tahu tentang semua yang hinggap di dirinya.

            “Aku mendapat sesuatu yang baru kemarin sore, Dan!”

            Kafe itu masih lengang. Hanya ada Jingga dan Zidan. Dengan kepala separuh sadar, Zidan terus mencoba menafsirkan apa yang dikatakan oleh Jingga. Ia seperti memutas masa. Atau setidaknya, 15 tahun yang lalu. Saat ia, dan beberapa temannya, tepat jam satu dini hari, pergi ke tengah sawah. Dan di sana ada punden. Pohonnya sudah sangat tua. Beberapa batangnya sudah tidak berdaun lagi. Mereka duduk bersila. Lalu, tiba-tiba, saja, Joni merapal mantra dan beberapa detik berikutnya, Toni rubuh. Mulutnya mengeluarkan asap dan suaranya berubah menjadi sangat tebal dan keras. Zidan ingin kabur dari sana, tapi sudah terlambat.

            “Apa yang kamu dapat, Jingga?”

            “Beberapa saat yang lalu, aku bermimpi. Di dalam mimpiku, ada seorang Ibu berwajah aneh. Tapi sangat cantik. Ia mengenalkan dirinya sebagai Farida. Lalu ia menarik tanganku dan mengajakku ke sebuah tempat, yang aku tahu tempat itu Pager Alas; sebuah makam tua –yang konon- menjadi makamnya para Wali. Sangat keramat dan dikeramatkan. Bu Farida mengajakku masuk ke sana. Kemudian kami menziarahi satu persatu makam yang ada di sana. Dan saat kami sedang khusu’ berdoa, tiba-tiba saja ada orang muncul dari makam. Ia menatapku sambil melempar senyum. Di tangan kanannya, tergantung sebuh ceret air. Wajahnya memancarkan cahaya putih. Aku mengahturkan hormat. Lalu Bu Farida berbisik di telinga kananku. Ia berkata, bahwa laki-laki yang barusan tersenyum padaku bernama Mbah Ceret.”

            “Lalu?”

            “Keesokan harinya, aku bertanya pada Abi. Adakah orang bernama Mbah Ceret yang dinamakan di Pager Alas?”

            “Abi jawab apa?”

            “Abi balik bertanya, apakah orang tersebut membawa ceret, hidungnya mancung, wajahnya seputih cahaya?”

            “Kamu ganti jawab apa?”

            “Iya, Bi.”

            “Bagaimana respon Abi?”

            “Abi bilang itu namanya Mbah Ceret. Ia orang Arab. Diyakini warga setempat sebagai Wali. Sepanjang hidupnya, ia selalu membawa ceret berisi air. Tujuannya, buat jaga-jaga saat Mbah Ceret batal wudu, ia bisa langsung berwudu. Mbah Ceret –kata Abi- tidak pernah punya tempat tinggal tetap. Ia terus berjalan memutari kampung. Di setiap kampung yang ia datangi, ia selalu berbagi makanan kepada fakir miskin.”

            “Ooo...”

***

            Hujan sisa semalam tampak lucu di ujung dedaunan. Beberapa kabut juga tampak menggelayut manja di lengan Lereng Lawu yang tampak melingkari rumah besar berdinding jati tua itu. Beberapa perempuan berkerudung terlihat bersemangat mengayunkan sapu lidinya. Harmoni tercipta di sana. Di halaman rumah seorang Laki-laki tawadu’, yang mereka semuanya memanggil dengan nama Kiyai Sangaji.

            Kiyai Sangaji, atau kerap juga dipanggil dengan nama Kiyai Aji, bukanlah seperti kebanyakan Kiyai, Ustaz, Pendakwah, atau Motivator agama. Kiyai Aji terlemapar dari kriteria yang disandang oleh mereka semua. Mobil mewah, pengawal pribadi, jam terbang dan tayang yang sangat tinggi. Tidak. Kiyai Aji tidak begitu. Bahkan, ada yang bilang, Kiyai Aji ini adalah kiyai palsu dan tidak bernasab. Hanya kebetulan saja, Kiyai Aji punya Musala dan bisa melafalkan azan. Hanya begitu. Tidak lebih.

            Tapi apa yang dibilang sebagian orang tentang Kiyai Aji memang benar adanya. Semua juga paham, siapa Ayah dan Ibu Kiyai Aji. Bukan darah biru, dan bukan juga seorang yang terkenal alim. Orang tua Kiyai Sangaji hanyalah buruh sawah; yang datang ke sawah pagi buta dan pulang menjelang senja. Lalu kapan mereka beribadah? Tanya Surya cemas.

            Kiyai Aji memahami posisinya. Ia juga memahami nasabnya. Tapi ia memang tidak pernah peduli dengan sejuta label yang disematkan masyarakat padanya. Kiyai Aji ya dirinya. Seorang Kiyai biasa yang tiap pagi harus menjawab beragam persoalan yang dibawa oleh para tamu ke rumahnya. Mulai minta pelarisan sebagai PSK, sampai minta doa agar aksi pencurian orang tersebut tidak bisa diungkap. Semua yang datang pada Kiyai Aji tidak pernah pulang dengan hampa. Selalu ada kalimat Kiyai Aji yang membuat hati mereka lega.

            Suatu ketika, saat Kiyai Aji masih merapalkan wirid di ambin depan Musala, ada seorang tua renta datang padanya. Ia memperkenalkan diri sebagai Mbah Diro. Kiyai Aji segera meletakkan tasbihnya yang sudah berubah warna. Ia harus meninggalkan wirid wajibnya.

            Panjenengan dari mana, Mbah?” tanya Kiyai Aji sambil memegang bahu erat bahu Mbah Diro. Lalu menggandengnya menuju ruang tamu. “Nduk, buatkan kopi yang paling enak dua, ya!” seru Kiyai Aji dari balik kelambu ruang tamu.

            Injeh, Bapak.” Suara itu terdengar begitu pelan dan sopan. Sebuah suara yang tidak tercipta begitu saja. Ada terapi ruhani yang panjang. Ada tirakat Kiyai Aji yang tak kenal petang.

            Kulo saking dusun sebelah. Mboten gadah papan; tidak punya rumah. Kulo sowan dating mriki amargi enten ingkang perlu kulo tangkletaken dating panjenengan.”

            Wonten masalah nopo, Mbah? Seandainya bisa, pasti saya jawab.” Hati-hati, Kiyai Aji menimpali kalimat-kalimat Mbah Diro.

            Mekaten, Kiyai. Riyen kulo memang pernah syahadat. Nangung kulo mboten pernah paham, agamo kulo niki nopo?. Selain hanya mendengar azan, kulo namung mireng bilih kulo niki gadah Rasul. Ingkan paring asma Nabi Muhammad SAW.” Mbah Diro mengambil napas dalam-dalam. “Kulo mboten peduli, Kiyai. Terserah Gusti Pengeran ajengan nyalap kulo dating neroko. Kulo naming tresno sanget kaleh Kanjeng Nabi meniko. Duko niki, manah kulo kok paring atur ngoten. Milo niku, kulo titip arto niki. Kulo kepingin nyangoni Kanjeng Nabi. Panjenengan salamaken dating Kanjeng Nabi, bilih Diro rindu Kanjeng Nabi.

            Mbah Diro membetulkan posisinya sambil terbatuk. Berbicara agak panjang mebuat tenggorokan tuanya cekat. Seperti ada semut yang usil menggaruk-garuknya.

            Injeh.” Singkat, Kiyai Aji menanggapi kalimat panjang Mbah Diro.

            “Nek ngoten, kulo nyuwun pamit, Kiyai.” Mbah Diro meraih tangan Kiyai Aji dan berusaha menciumnya. Kiyai Aji dengan cepet menariknya.

            Tiba-tiba tubuh Kiyai Aji membeku. Dua tangannya masih menggenggam erat jemari Mbah Diro yang seperti tidak ada tulangnya. Begitu berhasil lepas, Mbah Diro bergegas melangkah keluar dan meninggal bungkusan plastic hitam.

            Mbah Diro tidak mengucapkan salam. Tapi tubuh rentanya sudah ditelan kabut. Kiyai Aji masih terpaku di tempatnya. Sendi-sendinya terasa sangat ngilu dan dua kakinya tidak bisa digerakkan. Lalu ia rubuh. Tubuhnya membujur di lantai rumahnya yang masih belum berubin.

            Nilna menjerit histeris saat mendapati Bapaknya tidak sadarkan diri di lantai.

            ***

            “Jadi begitu, Dan. Abi bercerita panjang lebar tentang Mbah Ceret, yang nama aslinya tidak disebutkan oleh Abi. Ketika aku tanya, Abi hanya menggeleng tidak tahu. Tapi aku yakin, Abi pasti mengetahuinya. Tapi tidak masalah. Aku akan tanya Bu Farida.”

            “Memangnya kamu bisa bertemu lagi dengan Bu Farida?”

            “Bisa, lah. Kan, ia sudah bilang akan mengawalku terus sampai nanti.”

            “Kapan?”

            “Saat aku sudah menikah.”

            Zidan menelan ludah. Dua tangannya terasa sangat dingin. Ia meraih cangkir kopi di depannya. Sekadar menghilangkan derap jantung yang meningkat getarannya.

            “Atau mungkin, setelah kamu menikah, semua yang kau dapat hari ini akan hilang semuanya?” Zidan seolah tak percaya dengan apa yang didengarnya baru saja.

            “Kayaknya begitu.”

            “Memang Abi sudah siap dengan menantu orang Jawa?”

            Kelakar Zidan memenuhi rungan kafe langganan mereka.

            Dan, air mata itu menetes juga. Zidan segera bereaksi. Niat bercandanya mendapat tanggapan lain dari Jingga.

            Sekali lagi, air mata Jingga adalah sesuatu yang paling ia sesali. Tubuh Zidan berontak sangat kuat. Ia ingin memutar waktu kembali ke beberapa waktu sebelumnya. Namun yang ia dapati, dua pipih Jingga sudah basah.

            ***

            Andine menelepon Amni. Tapi sepuluh panggilannya tidak pernah terjawab. Dan suara itu semakin nyaring di telinganya. Ia berlari menuju gedung yang tidak jauh dari Bandara. Tapi saat sampai di sana, ia hanya mendapati puing-puing kehancuran dan sirine tanda bahaya yang meraung-raung.

Jumat, 19 Februari 2021

Lingkaran Linuih

 


Bulshit. Apa itu Kakang Kawah. Sementara Tuhan saja aku nggak percaya. Hidup ini logis. Matematis. Aksi dan reaksi. Bukan berendam di lumpur ruang antah berantah seperti ini. Rimba Amniotik yang musti dihuni oleh keganjilan hanyalah fiksi. Sekali lagi, hidup itu hasil daya berpikir otak. Bukan menduga-duga ketidakpastian.” Andine meracau, sambil sesekali mengurut keningnya yang terasa pening sejak membuka lembaran buku pemberian Amni. Sebagai sesorang yang tidak percaya dengan adanya Tuhan, sudah pasti ia akan menolak narasi-narasi seperti yang disajikan buku itu. Bagi seorang Andine, Kakang Kawah itu hanyalah bualan.

            Malam mulai datang. Tapi Andine masih belum beranjak dari Kafe Senja. Meski sekuat tenaga ia menolak semua tentang kegaiban, ruang sempit dalam otaknya masih sempat memikirkannya. 

                   Roman datang menghampiri Andine.

            “Mbak Andine sudah hampir setengah hari di sini! Minimal Mbak Andine berdamai dululah dengan bak mandi.”

            “Sudah. Lap saja tumpahan itu. Butuh tambahan tenaga?”

            Hmm.”

            Papan kecil bertuliskan “Close” menggantung di gagang pintu. “Mbak Andine mau jadi security? Lumayan ada tambahan profit. Ketimbang Mbak Andine kesepian.”

            Andine bergeming. Ia menatap langit lekat-lekat

***

            “Abi. Jingga tadi tidak sendiri. Ada Jialang dan Ali Baba yang menemani Jingga. Mereka berdua baik sekali, Bi. Setiap sore pasti datang untuk bermain. Mereka juga sering bawa jajan lo, Bi.”

            Gadis kecil itu begitu polos. Ia menceritakan semua yang dikhawatirkan oleh Abi. Sudah setahun ini, Abi mempunyai pengawasan lebih terhadap Jingga. Sebab, dua nama yang sering disebut Jingga pernah datang di mimpi Abi ketika Jingga belum lahir. Juga ada satu nama lain yang sering meluncur dari bibir mungil Jingga. Ia bernama Berdus. Seorang perempuan cantik. Tinggi. Dan selalu mengenakan kerudung putih. Tapi ia tidak sesering Jialang dan Ali Baba mengunjungi Jingga.

***

            “Aku yakin Abi percaya dengan ceritaku,” kata Jingga meyakinkan. Zidan masih saja mengunyah permen karetnya. Zidan bersahabat dengan Jingga sejak keduanya di bangku SMA. Kemudian berpisah jarak untuk menempuh jenjang Sarjana. Begitu lulus, mereka bersama lagi. Dari sekian banyak temannya, hanya Zidan yang mempunyai kriteria bisa diajak bicara.

            “Ini, kan, sudah berungkali kamu ceritakan ke aku, Jingga. Apa lagi yang musti kamu pertanyakan lagi. Sudahlah, aku yakin Abi jauh lebih mengerti dari yang kamu tahu. Selain Jialang, Ali Baba, dan Berdus, ada siapa lagi sekarang, Jingga? Huh!” Zidan cemberut. Ada kekesalan di wajahnya.

            “Jadi, kamu sudah bosan denger ceritaku? Oke! Mulai jam sembilan malam tepat, teleponku pasti mati!”

            “Eh. Ya bukan begitu Jingga. Maksudku, ada cerita baru, nggak?”

            Jingga mengulum senyum.

            “Sekarang tambah gila, Dan! Sejak Jialang dan Ali Baba tidak pernah datang lagi, dua mataku bisa melihat semuanya yang orang lain nggak bisa lihat. Aku bisa tahu hatimu sekarang sedang ngomong apa. Bukan hanya itu, aku bisa lihat tanda kematian seseorang. Kayak Mak Lah! Tahu, kan, kamu Mak Lah yang sering aku cerita?”

            Zidan mengangguk.

            “Dulu, sehari sebelum meninggal, Mak Lah mencariku. Aku takut. Tapi akhirnya bisa ketemu aku. Apa cobak, yang Mak Lah katakan?”

            Zidan mengangkat dua bahunya.

            “Ia bilang akan pergi jauh. Bilang ke Abi, Mak Lah nanti mau dikirimin doa!”

            Dua bibir Zidan membundar.

            “Itu baru satu, Dan. Sadis sekarang. Aku nggak tahu kenapa aku bisa begini!” Jingga menampakkan wajah penyesalan. Zidan dengan cepat menepuk bahu Jingga.

            “Tenang.”

            “Tenang bagaimana? Tiap kali ada rumah yang akan berduka, dua lubang hidungku selalu mencium bau kamper. Menyengat sekali. Belum lagi, semisal kalau orang yang meninggal itu nggak baik, suara teriakan siksa itu begitu nyaring di kupingku. Jika sudah begitu, tiga hari tiga malam, aku akan selalu terjaga. Sebab, jika aku berusaha tidur, pasti akan ada suara yang berkata, aku akan mati!”

            Zidan menggeleng. Wajahnya tampak sangat prihatin. Ia tidak bisa membayangkan jika apa yang dialami Jingga, ia alami juga.

            “Aku tidak mungkin bilang kamu harus tenang. Aku juga tidak mungkin bilang kamu harus sabar. Tapi aku pastikan, aku akan selalu di sampingmu.”

            Pertemuan siang itu begitu manis. Jingga dan Zidan adalah pasangan yang serasi. Satu gila, satunya lebih gila lagi.

            ***

            “Ada kejadian apa lagi, Ngga?” tanya Zidan sambil menarik kursi untuk Jingga.

            “Aku sedih sekarang. Rara, temanku yang sering minjemin uang pas SMA dulu, meneleponku. Ia hamil tua, dan akan operasi cesar.” Jingga meraih gelas yang berisi air putih di depannya. Lalu menggeleng pelan. Dan beberapa bulir air matanya jatuh. Zidan hanya menatapnya hati-hati.

            “Sudah. Jangan dilanjutkan. Kita makan saja, Ngga. Orang gila itu butuh asupan gizi berlebih. Biar kuat menghadapi semua kegilaan yang datang tiba-tiba.” Dua tangan Zidan memegang erat lengan Jingga. “Aku yakin, Tuhan sudah menyiapkan semuanya. Tidak mungkin Tuhan ngasal milih kamu.”

            “Dan. Perlu kamu tahu, tiba-tiba saja, ada yang memberitahuku bahwa Rara dan anaknya, besok akan meninggal. Aku sudah melawannya. Tapi nyatanya, semua memang kejadian. Rara dan anaknya tidak selamat dalam operasi itu, Dan.”

            Zidan bengong.

            “Jika itu memang kehendak Tuhan, oke, aku percaya. Lalu apa gunanya pemberitahuan itu? Sia-sia, kan? Toh, aku juga tidak bisa menghentikannya.”

            Tangisan Jingga pecah sore itu. Ia membenamkan wajahnya di hamparan meja. Zidan hanya bisa menatapnya. Tangisan Jingga adalah sesuatu yang paling ia sesali sejak dulu.

***

            Andine memutuskan untuk meninggalkan Jakarta. Ia berencana menyusul orang tuanya di Bali. Buku aneh itu ada dalam gamitannya. Seperti kata pepatah, semakin dibenci, maka akan semakin dicintai. Buku yang menggambarkan tentang Kakang Kawah masih saja belum ia bakar. Padahal, sudah sepuluh kali ia berujar akan membakar buku itu. Ada satu bagian dari buku itu yang membuat kelogisan pikirannya tereduksi. Bagian itu tentang orang-orang yang terpilih. Tidak saling mengenal satu sama lain, tapi akan bertemu pada satu tempat yang dijanjikan.

             

Senin, 15 Februari 2021

Selamat Pagi, Selamat Bertambah Usia

 



Angka hari ini begitu cantik. Menggambarkan betapa pemiliknya adalah penakluk cemas; penabur pelangi, dan penjaring tawa. Seingat saya, keganjilan angka hari ini adalah semesta dan seisinya. Jika ditanya siapa manusia paling beruntung, maka jawabnya adalah saya. Sebab, sayalah satu-satunya (sampai hari ini) yang selalu mengamati garis-garis gradasi yang ada di pipi kanan dan kirinya. Mengagumkan.

Tidak terasa memang, sekarang sudah ke- tiga puluh tiga. Keganjilan yang telah disepakati. Angka yang mencipta harmoni; keteraturan. Semesta seperti bersepakat, tahun ini adalah milikmu. Sebab di angka ini, pintu kesejatian hidup tidak lagi halusinasi. Bukan lagi kepingan puzzle yang harus digenapi. Tapi angka hari ini adalah, lorong panjang yang lampunya sudah menyala semua. Biarkan mereka lewat dan menjemput mimpi-mimpinya, katamu suatu ketika.

Banyak orang di luar sana, sampai detik ini, masih belum menemukan definisi yang melegakan tentang angka sepasang itu. Tiga-tiga bagi mereka begitu sakral. Mendiamkan, lalu kemudian menebak-nebak artinya sudah lebih cukup bagi mereka. Namun tidak bagi saya. Angka ganjil yang sepasang ini adalah ceruk kehidupan. Infinity harapan saya. Kebahagiaan saya. Dan syukur saya. Tiga-tiga adalah bagaimana engkau selalu meyakinkan saya, bahwa apa pun itu, akan baik-baik saja jika bersama. Dan, saya selalu menggenggamnya.

Masih tentang tiga-tiga. Saya, dan mereka -mungkin saja- sepakat bahwa angka tiga-tiga adalah kebijaksanaan esoteris. Ini bukan hanya kebetulan yang kerap kali bisa kita duga. Akan tetapi, Tuhan menyelipkan rahasia di balik angka itu. Seperti yang pernah saya baca, -konon- angka ganjil itu berhubungan langsung dengan pencerahan, kesehatan dan aktualisasi diri yang sejati. Banyak peristiwa luar biasa menyelimuti angka ajaib itu. Misalnya saja, tentang tersalibkannya Sang Mesias; Yesus, di bukit Golgota pada usia tiga-tiga, sehingga ketika itu, penduduk  Golgota menjadi sangat mensucikan angka itu.

Tidak berhenti di sana, mayoritas Muslim merapal Tuhan-nya juga melalui angka tiga-tiga. Ritual-ritual mereka tidak akan pernah terasa suci jika angka ganjil itu tidak membasahi lisan mereka.  

Sekelumit keajaiban tiga-tiga itu, memang, tidak akan pernah bisa sebanding denganmu. Tapi setidaknya bisa membuat dua mata indahmu terbuka, jika hari ini kamu adalah manusia paling sakti di jagat ini. Coba, buka jendela. Dan lihatlah awan-awan itu berebut paling cepat menengadahkan tangan. Memohon curahan rahmat dari Tuhan-nya. Dan akan menhujankannya untukmu semua. Tidak tersisa sepercik pun bagi mereka. Dan juga bagaimana Sang Mentari yang sengaja melambatkan diri bersinar. Sebab ia sadar, ada yang lebih bersinar pagi ini. Tidak mau kalah juga, perhatikan nada cericit pagi ini, suara itu serupa harpa yang dimainkan dengan tempo tiga-tiga. Lalu mencetak namamu dalam melodi mereka. Ada lagi, bagaimana tulang belulang, ruas-ruas jari, jantung, paru-paru, lambung, empedu, kulit ari, dua tangan, sepasang kaki, satu hidung, dua kuping, dua mata, ribuan rambut kepala, dagu lancip, dan kilatan kulit semua sedang bersuka cita. Bernyanyi, berdansa, saling membenturkan gelas bergagang langsing mereka. Mereka berpesta hari ini. Mengekspresikan lukisan masa yang mereka mulai sejak mereka berumah di Rimba Amniotik tiga puluh tiga tahun yang lalu. Hari ini penantian itu telah datang. Membersamaimu. Menggandeng tanganmu. Berharap limpahan berkah darimu.

Demikian, alur kata-kata ini mengalir. Jemari ini sudah merasa sangat bersalah telah mengurai betapa saktinya dirimu pagi ini. Namun apa pun kesalahan saya itu, tetap izinkan saya mengatakan: Selamat bertiga-puluh-tiga.

 


Dari laki-laki yang sangat biasa, tapi tak pernah biasa mencintaimu.

Luthfi_Madu

 

Rabu, 10 Februari 2021

Spektrum Rasa

 





Namaku Andine. Usiaku 22 tahun. Aku lahir dari keluarga baik-baik. Aku besar di Jakarta. Ayah dan Ibuku ada di Bali. Bisnis besar mereka memaksaku harus jauh dari orang tua. Sebenarnya, mereka sudah menawarkan untuk ikut, namun aku memilih tinggal di sini; di keramaian ini. Di Jantung Kota Jakarta.

Aku terbilang anak yang gagap dalam pergaulan. Semasa SMA, aku seperti sendiri. Teman-temanku hanyalah embusan angin, cicak sedang kawin di tembok, atau derap kaki orang-orang yang berangkat dan pulang kantor. Aku tidak seperti yang lain; yang harus punya sahabat dekat, yang setiap saat menjadi tempat berkeluh. Aku tidak punya itu semua. Tapi aku bahagia dengan keadaanku yang seperti ini.

Dari perawakan, aku ini cakep. Kesimpulan ini, aku dapatkan dari survei yang aku lakukan sendiri. Berdiam diri di depan cermin kurang lebih satu jam selama seminggu. Hasilnya, aku memang cakep. Kulitku putih. Idola anak baru gede yang labil. Rambutku pendek, tidak sebahu, juga tidak seleher. Lalu seberapa? Sudah bayangkan sendiri!

Selain cakep dan berkulit putih, aku ini tergolong berbadan tinggi. Lima bulan yang lalu aku ukur, tinggi badanku sudah mencapai 169 cm. Tentu, seharusnya, banyak yang naksir aku. Tapi nyatanya, hanya cicak kawin yang selalu ada buat aku. Mereka tidak pernah ada. Sembunyi di balik kecakepanku. Menyusup di sela-sela putihnya kulitku.

Pernah, suatu ketika, saat aku kali pertama memasuki kelas itu, ada seorang laki-laki yang melempar senyum, lalu berteriak kencang di kupingku. Ia mengatakan: “Mereka iri denganmu!” Aku nggak pernah paham yang ia teriakkan ketika itu. Toh, nyatanya, ia sedang berbincang dengan teman sebangkunya. Lalu siapa yang berteriak? Padahal jelas-jelas mulutnya membuka dan melempar kalimatnya.

Sejak saat itu, aku semakin menjauh dari mereka. Aku menghilang dari hidup mereka. Aku tidak ingin mendengar suara-suara itu lagi. Aku masuk dalam epidermis malam. Sepi, sunyi, kelam, tak ada suara, tak ada embusan napas. Tapi anehnya, ketika aku mencoba dan mencoba terus lari, suara-suara itu semakin nyaring di telingaku.

Lalu, pada sore yang hangat, di sebuah kedai Kopi, di sekitaran Mampang. Aku bertemu dengan seseorang yang menurutku, lebih aneh dari aku. Ia mahkluk moderat; sebab yang aku lihat, tidak laki-laki, juga tidak perempuan, juga tidak waria. Aneh, pokoknya aneh. Aku susah ngejelasin-nya. Aku mengambil duduk di sebelahnya. Mengulurkan tangan. Kemudian ia berkata: Amni. Aku: Andine. Amniotic. Itu nama lengkapnya. Dahiku penuh kernyitan. Nama yang aneh, gumamku. Ia mendengus pelan. Lalu tersenyum.

“Kamu kaget?”

Hm, nggak juga, sih. Aku hanya mengingat-ingat,” elakku. Sialan. Gestur tubuhku memang nggak bisa diajak berbohong.

“Hahaha. Kamu, yang pertama bohong di depanku.”

Ia tertawa kencang. Sudut matanya hampir saja menumpahkan bulir-bulir kecil air mata.

“Selamat buatku. Kamu yang pertama mengapresiasi hidupku, gerak tubuhku.”

Tiba-tiba saja, di depanku ada layar besar. Memutar visual sebuah lorong masa lalu. Aku dan Amni terlihat di sana. Kami bersuka cita. Memainkan jungkat-jungkit. Juga, sesekali ayunan. Dan biasanya, kami makan dengan suapan nasi yang sama.

Kami memutuskan untuk membuat jadwal bertemu di tempat yang sama. Seminggu sekali. Di sore yang hangat. Di Kafe Senja.

***

            Sekarang hari senin. Jadwal ketemu Amni masih empat hari lagi. Sore itu, aku memesan secangkir coffee late, lengkap dengan taburan na’na. Pesanan yang aneh! Teriak Roman; barista yang sudah bekerja sepuluh tahun di Kafe Senja.

            Aku menunduk dalam-dalam. Dua tanganku melekat erat di dua kupingku. Suara-suara itu terdengar lagi. Dan sekarang semakin jelas. Suara itu menunjukkan jati dirinya. Mengenalkan dari pita suara siapa mereka tercipta. Astaga. Ini bukan fiksi. Aku mendengarnya dengan jelas, ratapku berkali-kali dalam hati.

            Pertama, suara ini muncul dari seorang laki-laki paruh baya. Kalimatnya sungguh membuatku naik darah. Ia sedang mengukur size BH-ku. Dan juga bokongku. Sialan. Legging yang aku pakai terlalu abnormal. Sehingga lekuk dan jalan naik turun di tubuhku bisa terpantau dengan jelas. Dan sebagai penutup, laki-laki paruh baya itu bergegas pulang. Ia ingin segera bertemu pasangannya. Ketika laki-laki itu sudah tidak terlihat, suara itu menghilang. Aku menjerit ketakutan. Tapi tak satu pun ada yang mendengar jeritanku.

            Lalu, beda lagi dengan tiga pemudi yang duduk memutar di belakangku. Terdengar di kupingku, mereka sedang merencanakan kejahatan. Mereka akan mem-bully salah seorang teman mereka; yang mereka anggap sebagai perusak hubungan antara Kinasih dengan kekasihnya. Aku tahu ini jahat, tapi aku tidak bisa ngapa-ngapain, aku hanya bisa mendengar, membaca, namun aku tidak bisa mencegahnya. Semua seperti firasat yang sering aku rasakan dulu. Tapi sekarang lebih nyata. Ah. Aku menjerit lagi. Namun semua yang ada di sana lagi-lagi hanya bengong. Mereka tidak mendengar sedikit pun yang aku teriakkan.

              Tidak berhenti sampai pada tiga pemudi itu. Ada lagi, seorang remaja tanggung. Ia mengkalimatkan betapa ia sedang dalam kebingungan yang besar. Desi, perempuan yang ia pacari setahun yang lalu, kini hamil, dengan usia kandungan menginjak empat bulan. Sebagai remaja yang baru saja baligh, ia tidak tahu harus mengkespresikan apa. Usia semuda itu tidak akan pernah berpikir untuk aborsi dan juga tidak akan peranh berpikir untuk punya anak. Yang ada hanyalah, gejolak baligh-nya tersalurkan dengan baik. Pun begitu juga dengan kekasihnya, Desi. Perempun dengan dua lesung pipi itu juga sedang berada dalam pelukan cemas yang begitu dahsyat. Dua tanganku mencengkram kursi erat-erat. Degup jantungku berdetak hebat. Aku berteriak. Kemudian, melangkah keluar Senja. Namun sayang, aku gagal. Tubuhku tidak bergeser sedikit pun dari tempat dudukku. Ada dua tangan yang begitu kuat menahanku untuk pergi.

            “Amni! Sejak kapan kamu di sini?” tanyaku terkejut.

            “Sejak kamu mendengar suara itu lagi,” jawab Amni enteng. Lalu menarik kursi yang sedari tadi meringkuk di kolong meja. Ia mengerling. Lalu meminum minumanku.

            Aku tergagap.

            “Kamu juga mendengarnya?”

            “Tidak!” serunya pendek. Lalu mengangkat bahunya pelan. Ia menggeleng. “Aku hanya menebak.”

            Menebak? Ini terlalu rumit. Menebak sesuatu yang aku sendiri tidak mengerti.

            Suara itu semakin banyak. Masing-masing kepala mengelola kalimatnya msing-masing. Tapi tidak dengan kepala perempuan aneh di depanku.

            “Kenapa? Tidak terdengar, ya?”

            ***

            Sejak saat itu, aku terus berupaya agar pertemuan rutinku dengan Amni tidak pernah terlewat. Aku selalu datang satu jam lebih awal dari jam yang kita sepakati.

            Akan tetapi, di pertemuan ke-5 kami, ia tidak datang. Begitu juga di hari-hari berikutnya. Perempuan aneh itu tidak pernah menampakkan tubuhnya lagi di Kafe Senja.

            Aku menyesal.

            “Mbak Andine!” teriak Roman memanggil namaku. Ia melangkah terburu. Lalu dengan cepat menyerahkan sebuah buku yang ia gamit kepadaku. “Ada titipan dari, emm, Mas, eh, Mbak Amni.”

            “Terimakasih.”

            Roman kembali ke ruang kerjanya. Dan aku, membaca sampul buku itu: Kakang Kawah!

Mereka itu, EMAS!

Mereka itu, EMAS! (Sebuah Pengantar) Tuhan Yang Mahakuat, Puji-puji ini untuk Engkau. Kepada Sang Nabi, saya haturkan Salawat: Semoga ka...