Rabu, 24 Februari 2021

Lintang Kemukus

 


            Lintang sedang menunggu saudara jauhnya, Kemukus. Hampir tiap malam ia akan berlama-lama mengamati langit. Selama hujan tidak benar-benar deras, ia akan terus melakukannya.

            Lintang lahir dini hari. Pukul 00:30. Sekarang usianya masih tujuh belas tahun. Ia tidak mempunyai kesukaan lain selain membaca. Ia sangat jatuh cinta dengan puisi-puisi Arab yang sudah dialihbahasakan. Hampir semua buku Rumi sudah ia baca. Juga Kahlil Gibran. Ia juga sangat tergila-gila dengan Layla Majnun. Ia selalu mengilustrsikan dirinya sebagai Qais yang malang.

            Lintang sudah tidak memiliki Ayah dan Ibu. Keduanya meninggalkan dirinya sejak ia masih belum bisa mengunyah nasi secara sempurna. Lintang besar dalam asuhan sang Kakek.

            Seperti Andine dan Jingga, Lintang juga memiliki kejanggalan dalam hidupnya. Ia bisa menghentikan waktu.

***

            Hari itu, Selasa. Lintang bersama tiga temannya sedang jalan-jalan di trotoar sepanjang Jalan Mastrip Nganjuk. Langit sangat cerah. Taburan gemintang menghampar di kanvas luasnya. Gradasi warna yang tercipta sangat cantik; seperti meninabobokkan para remaja yang sedang ada di sana. Memadu rindu, atau sekadar membuang kegelisahan. Pun dengan Lintang dan kedua temannya: Ranu dan Rifan.

            “Apa yang paling kamu inginkan di dunia ini?” Rifan memulai perbincangan. Tidak jelas, pertanyaan itu mengarah pada siapa. Ranu berdehem sambil membetulkan kerah bajunya yang sebenarnya tidak bermasalah.

            “Bisa terbang. Lalu merobohkan gedung-gedung dengan sekali hentakan kaki.”

            Lintang dan Rifan melempar tawa.

            “Kalau kamu, Rifan?” tanya Ranu balik.

            “Hmm. Aku pingin menghentikan waktu. Semua terdiam. Dan hanya aku yang bisa bicara, bergerak, dan melakukan sesuatu. Dan pertama yang kudatangai adalah Denis. Aku ingin tahu catatan hariannya. Aku ingin memastikan namaku ada di bagian kalimatnya.”

            Dua bahu Lintang terangkat. Ada kengerian dan keterkejutan. Menghentikan waktu? Ia seperti sedang menyadari sesuatu. “Bukankah sejak seminggu yang lalu aku begitu?” Ia bergumam. Tatapan matanya kosong. Kecurigaan Rifan dan Ranu tidak bisa dihentikan.

            “Kamu pasti pingin begitu ya, Lintang? Kamu pingin bisa menghentikan waktu. Lalu kamu bisa berbuat apa saja. Mengintip orang mandi!”

            Tiba-tiba saja, Lintang tertawa keras. Dan diikuti oleh kedua temannya. Sebab, hanya tertawa cara paling sakti mengalihkan perhatian.

            “Aku memang bisa menghentikan waktu. Tapi aku tidak pernah melakukan seperti yang kamu pikirkan.”

            Ketiganya kompak lagi. Tertawa sekeras-kerasnya.

***

            Ruang kelas tampak sepi. Hanya ada Fatimah yang membenamkan wajahnya di meja. Sejak dulu, Lintang akan membeku jika melihat Fatimah. Bahkan, mendengar namanya saja, Lintang sudah salah tingkah. Cinta memang begitu. Membuat yang biasa menjadi istimewa.

            Lintang ingin saja menyapanya, tapi bibirnya terkunci rapat. Tubuhnya bergetar hebat. Panas dingin bertemu dalam satu titik dalam tubuhnya. Bumi serasa banyak gempa. Ia hanya berjarak tiga langkah dengan Fatimah. Tapi ia merasa sedang berada di Sabang, dan gadis itu berada di Merauke. Cinta memang begitu. Membuat yang biasa menjadi istimewa.

            Ia menatap tajam ujung kepala Fatimah. Kerudungnya yang putih tidak seperti biasa. Ada sesuatu yang sedang mengerubutinya. Seperti semut yang berjumpa dengan taburan gula.

            Ia ingin sekali menyapa dan bertanya: Apa kamu baik-baik saja?

            Oh. Aku tak ingin Cinta yang seperti ini. Aku tidak ingin ada Cinta di antara kita. Sebab kita adalah satu. Kita senapas. Kita sejantung. Kita senadi.

            Lintang merapal kalimat Qais yang ia produksi sendiri.

            Ia memutuskan untuk menghentikan waktu. Semua membeku. Terdiam.

            Ia melangkah pelan menuju meja Fatimah. Ia tidak menyentuhnya. Ia hanya mendekatkan tubuhnya ke tubuh Fatimah. Ia memejamkan dua matanya. Dan, tiba-tiba saja air mata itu tumpah. Lintang terjatuh di depan Fatimah.

            Lalu, ia meracau. Kalimat-kalimatnya adalah kepedihan.

            Fatimahku. Fatimah penghias malam. Fatimah yang menghidupkan jantungku. Fatimah yang mampu mematikan detak nadiku. Andai aku seberani seperti ia yang kamu tokohkan di bukumu. Andai aku seberani senja menantang Matahari. Andai aku seberani gulungan ombak.

            Nyawaku adalah kepedihan. Hidupku adalah wakaf atas semua senyummu. Air matamu adalah dosa-dosaku.

            Waktu berputar kembali. Lintang terdiam di kursinya. Sampai Ranu datang, ia masih dalam penjara air mata Fatimah.

***

            Kiyai Aji masih menggigil kedinginan. Selimut tebal yang membalut tubuhnya tidak bisa menghangatkan lagi. Dengan dua mata yang mengatub, ia menyebut-nyebut nama Mbah Diro.

***

            Andine masih menangis. Ia menyesal mengetahui semuanya namun tidak bisa menghentikannya. Dan mulai detik itu, bibirnya mengucap satu nama: Tuhan.

***

            Jingga termenung panjang. Dari balik jendela, ia melihat Abi yang tersenyum dan melambaikan tangan: Selamat tinggal. Air mata Jingga sudah memadat. Tidak bisa lagi menetes. Ia menyadari satu hal saat itu, Abi memang segalanya baginya. Kepergian Abi adalah kepergian separuh lebih jiwanya.  

             

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mereka itu, EMAS!

Mereka itu, EMAS! (Sebuah Pengantar) Tuhan Yang Mahakuat, Puji-puji ini untuk Engkau. Kepada Sang Nabi, saya haturkan Salawat: Semoga ka...