Lintang
sedang menunggu saudara jauhnya, Kemukus. Hampir tiap malam ia akan
berlama-lama mengamati langit. Selama hujan tidak benar-benar deras, ia akan
terus melakukannya.
Lintang
lahir dini hari. Pukul 00:30. Sekarang usianya masih tujuh belas tahun. Ia tidak
mempunyai kesukaan lain selain membaca. Ia sangat jatuh cinta dengan
puisi-puisi Arab yang sudah dialihbahasakan. Hampir semua buku Rumi sudah ia
baca. Juga Kahlil Gibran. Ia juga sangat tergila-gila dengan Layla Majnun. Ia selalu
mengilustrsikan dirinya sebagai Qais yang malang.
Lintang
sudah tidak memiliki Ayah dan Ibu. Keduanya meninggalkan dirinya sejak ia masih
belum bisa mengunyah nasi secara sempurna. Lintang besar dalam asuhan sang
Kakek.
Seperti
Andine dan Jingga, Lintang juga memiliki kejanggalan dalam hidupnya. Ia bisa
menghentikan waktu.
***
Hari
itu, Selasa. Lintang bersama tiga temannya sedang jalan-jalan di trotoar
sepanjang Jalan Mastrip Nganjuk. Langit sangat cerah. Taburan gemintang
menghampar di kanvas luasnya. Gradasi warna yang tercipta sangat cantik;
seperti meninabobokkan para remaja yang sedang ada di sana. Memadu rindu, atau
sekadar membuang kegelisahan. Pun dengan Lintang dan kedua temannya: Ranu dan
Rifan.
“Apa
yang paling kamu inginkan di dunia ini?” Rifan memulai perbincangan. Tidak jelas,
pertanyaan itu mengarah pada siapa. Ranu berdehem sambil membetulkan kerah
bajunya yang sebenarnya tidak bermasalah.
“Bisa
terbang. Lalu merobohkan gedung-gedung dengan sekali hentakan kaki.”
Lintang
dan Rifan melempar tawa.
“Kalau
kamu, Rifan?” tanya Ranu balik.
“Hmm.
Aku pingin menghentikan waktu. Semua terdiam. Dan hanya aku yang bisa bicara,
bergerak, dan melakukan sesuatu. Dan pertama yang kudatangai adalah Denis. Aku ingin
tahu catatan hariannya. Aku ingin memastikan namaku ada di bagian kalimatnya.”
Dua
bahu Lintang terangkat. Ada kengerian dan keterkejutan. Menghentikan waktu? Ia seperti
sedang menyadari sesuatu. “Bukankah sejak seminggu yang lalu aku begitu?” Ia
bergumam. Tatapan matanya kosong. Kecurigaan Rifan dan Ranu tidak bisa
dihentikan.
“Kamu
pasti pingin begitu ya, Lintang? Kamu pingin bisa menghentikan waktu. Lalu kamu
bisa berbuat apa saja. Mengintip orang mandi!”
Tiba-tiba
saja, Lintang tertawa keras. Dan diikuti oleh kedua temannya. Sebab, hanya
tertawa cara paling sakti mengalihkan perhatian.
“Aku
memang bisa menghentikan waktu. Tapi aku tidak pernah melakukan seperti yang
kamu pikirkan.”
Ketiganya
kompak lagi. Tertawa sekeras-kerasnya.
***
Ruang
kelas tampak sepi. Hanya ada Fatimah yang membenamkan wajahnya di meja. Sejak dulu,
Lintang akan membeku jika melihat Fatimah. Bahkan, mendengar namanya saja,
Lintang sudah salah tingkah. Cinta memang begitu. Membuat yang biasa menjadi
istimewa.
Lintang
ingin saja menyapanya, tapi bibirnya terkunci rapat. Tubuhnya bergetar hebat. Panas
dingin bertemu dalam satu titik dalam tubuhnya. Bumi serasa banyak gempa. Ia hanya
berjarak tiga langkah dengan Fatimah. Tapi ia merasa sedang berada di Sabang,
dan gadis itu berada di Merauke. Cinta memang begitu. Membuat yang biasa
menjadi istimewa.
Ia
menatap tajam ujung kepala Fatimah. Kerudungnya yang putih tidak seperti biasa.
Ada sesuatu yang sedang mengerubutinya. Seperti semut yang berjumpa dengan
taburan gula.
Ia
ingin sekali menyapa dan bertanya: Apa kamu baik-baik saja?
Oh.
Aku tak ingin Cinta yang seperti ini. Aku tidak ingin ada Cinta di antara kita.
Sebab kita adalah satu. Kita senapas. Kita sejantung. Kita senadi.
Lintang
merapal kalimat Qais yang ia produksi sendiri.
Ia
memutuskan untuk menghentikan waktu. Semua membeku. Terdiam.
Ia
melangkah pelan menuju meja Fatimah. Ia tidak menyentuhnya. Ia hanya
mendekatkan tubuhnya ke tubuh Fatimah. Ia memejamkan dua matanya. Dan,
tiba-tiba saja air mata itu tumpah. Lintang terjatuh di depan Fatimah.
Lalu,
ia meracau. Kalimat-kalimatnya adalah kepedihan.
Fatimahku.
Fatimah penghias malam. Fatimah yang menghidupkan jantungku. Fatimah yang mampu
mematikan detak nadiku. Andai aku seberani seperti ia yang kamu tokohkan di
bukumu. Andai aku seberani senja menantang Matahari. Andai aku seberani gulungan ombak.
Nyawaku
adalah kepedihan. Hidupku adalah wakaf atas semua senyummu. Air matamu adalah
dosa-dosaku.
Waktu
berputar kembali. Lintang terdiam di kursinya. Sampai Ranu datang, ia masih
dalam penjara air mata Fatimah.
***
Kiyai
Aji masih menggigil kedinginan. Selimut tebal yang membalut tubuhnya tidak bisa
menghangatkan lagi. Dengan dua mata yang mengatub, ia menyebut-nyebut nama Mbah
Diro.
***
Andine
masih menangis. Ia menyesal mengetahui semuanya namun tidak bisa
menghentikannya. Dan mulai detik itu, bibirnya mengucap satu nama: Tuhan.
***
Jingga
termenung panjang. Dari balik jendela, ia melihat Abi yang tersenyum dan melambaikan
tangan: Selamat tinggal. Air mata Jingga sudah memadat. Tidak bisa lagi
menetes. Ia menyadari satu hal saat itu, Abi memang segalanya baginya.
Kepergian Abi adalah kepergian separuh lebih jiwanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar