Rabu, 08 September 2021

Sausan Azalia

 


Sausan Azalia

 

Sejak tahu ia sejurusan denganku, aku selalu mencari alasan untuk berkunjung ke kampus. Tujuanku pasti; gedung E-6.

Pagi itu, aku sudah rapi. Jo melihatku heran. Kepalanya menggeleng sebentar. Ia menembakku,

“Ini kamis, Sam! Kamu terserang alzaimer?”

“Apa yang salah dengan Kamis?” tanyaku balik.

“Bukannya kamu bilang kamu sudah alergi dengan jurusanmu?” ia bertanya lagi. Aku hadiahi ia senyum. Ia tidak bereaksi apa-apa. Senyumku untuknya menguap bersama udara.

“Aku sudah sembuh. Sejak ia ada.

“Gila. Kamu mencintai imajinasimu. Ia terbentuk sebab imajinasimu. Sadarlah, Sam!

“Maaf, Jo. Saranmu menyesatkan. Sungguh menyesatkan.”

Aku menyalakan Belalang Tempur. Suaranya berhasil membungkam keusilan Jo.

Belalang Tempur menyatakan diri siap berpetualang lagi. Segera kutuntun ia. Melewati gang kecil lagi. Melewati kios loundre Pak Ramon lagi.

Kios loundre Pak Ramon sudah terlihat. Aku tidak menunduk. Sebab pagi itu, aku akan menyapanya. Semoga ia ada. Semoga ia baik-baik saja.

Sekarang, jarakku hanya beberapa langkah dari kios loundre Pak Ramon. Aku hanya melihat kesepian di sana. Barangkali dua petugasnya belum datang. Tapi bisa saja Pak Ramon menginginkan itu. Sepi. Kesepian. Suasana yang membuatnya cepat mati.

Dahiku menari. Ada keganjilan dalam diri Pak Ramon. Ia seperti melihat akhirat. Banyak bidadari yang mulus. Tapi juga ada gada para malaikat. Ia sendiri. Berjalan menuju mahsyar yang –konon- sangat panas itu. Sebab, matahari hanya berjarak satu kilan. Sehingga, manusia-manusia itu kebanjiran keringatnya sendiri.

Pak Ramon seperti mempunyai nalar gaib. Ia tahu barzah. Ia tahu hari kebangkitan. Dan ia tahu timbangan itu; mizan itu. Ia berujar, jika kadang malaikat tampak sumringah. Tapi juga menakutkan.

Kulihat ia mematung di kursi sebelah kiosnya. Pakaiannya sudah rapi.

“Pagi, Pak,” aku menyapanya. Ia mengangkat wajahnya. Menatapku heran. Bahkan ia seperti tidak mengenaliku.

“Pagi, Nak ...” Ia memanggilku ‘nak’ lagi. Itu kali kedua sejak aku berkenalan dengannya. Empat tahun yang lalu.

“Pegawai Bapak belum datang?” tanyaku basa-basi.

“Belum. Mau ke mana, Nak? Mau ke akhirat?” Ia bertanya sesuatu yang ganjil. Ia ganjil. Ia aneh. Aku memicingkan dua mata. Merangkai kata. Membuat jawaban yang sehat.

“Ke kampus, Pak. Aku tidak tahu jalan menuju akhirat, Pak,” jawabku sambil tersenyum. Lalu ia memintaku untuk duduk di sebelahnya. Aku menurut. Karena aku punya banyak waktu.

“Aku tahu jalan menuju akhirat.” Pak Ramon berbisik di kupingku. Aku tahu. Itu hari Kamis. Pak Ramon sehat-sehat saja di hari itu. Aku yakin sekali.

“Dari mana Bapak tahu?”

“Aku tahu segalanya. Bahkan aku tahu jika para penghuni kubur itu sering menangis. Mereka menyesal. Sebab banyak keluarganya yang lupa.

“Seperti Bapak kelak?” tanyaku bercanda. Namun ia semakin serius.

“Iya. Aku takut itu. Tapi sekarang aku tidak takut. Aku akan menjebak malaikat kubur.

“Haah!” Aku ternganga. “Bagaimana caranya?”

“Itu rahasia. Jika kamu ingin mati, hubungi aku!” Ia menepuk dada kusutnya.

“Memangnya Bapak tidak jadi ingin mati? Sekarang? Besok? Lusa?”

Ia belum menjawab. Tapi ponselku berbunyi. Satu SMS masuk. Pak Ramon pengertian.

Segera kubuka,

“Aku di Jangkar. Hilal.” Bunyi SMS itu.

“Nomor baru?” balasku.

“Iya. Kamu tak pesankan kopi. Harus datang!”

“Siap. I love you!

Ia membalas. Tapi bukan dengan kalimat. Gambar celana dalam renda-renda sebagai gantinya.

“Ada yang baru saja dipakai?”

Ia bungkam. Tidak ada balasan.

Pak Ramon ingin menjawab pertanyaanku. Tapi itu tidak mungkin. Sebab ia melihatku berdiri. Ia hanya diam memperhatikanku. Ia melihat bagaimana aku akan pergi darinya. Barangkali akan serupa kematian.

“Saya ke kampus dulu, Pak,” pamitku.

Pak Ramon hanya diam. Wajahnya seperti ditekuk.

Aku menuntun Belalang Tempur lagi. Ia tiba-tiba berteriak,

“Kematian itu sangat dekat denganmu, denganku. Hari ini kamu akan melihat kematian.

Suara Pak Ramon membuatku resah. Kematian? Benar. Aku akan bertemu kematian? Iya. Dekat? Sangat. Di mana? Di tiap embusan napasmu.

Langit sangat cerah. Hangat matahari menyusup ke semua sendi tubuhku. Tubuh semua orang. Jalan Surabaya tidak pernah sepi. Hampir pasti padat merayap. Aku siap melaju dengan Belalang Tempur-ku.

Ia tidak berpesan apa-apa. Sebab ia tahu. Aku tidak suka bokong berlegging itu lagi. Sebab aku menantikan cahaya itu. Tetesan mukjizat itu. Ia yang di sana. Ia yang sedang melangkahkan dua kakinya.

Aku melaju. Karpet hitam itu sangat bersahabat.

Hanya lima menit. Gerbang kampus terlihat lagi. Ada semut yang menyemut lagi.

Setelah mengambil karcis parkir, aku melaju lagi. Gedung Pascasarjana terlihat suram. Halamannya tampak belum terbelai sapu. Mungkin masih terlampau pagi. Tapi tidak juga. Sebab sudah jam delapan.

Kutinggalkan gedung Pasca itu dengan tanda tanya. Namun aku tidak butuh jawabnya. Aku hanya bertanya. Sebab, jawabannya sudah tentu aku tahu.

Masjid Al Hikmah tidak kulihat saat itu. Aku hanya ingin secepat mungkin sampai ke Jangkar.

Parkiran masih sepi. Belalang Tempur sangat leluasa memilih peraduannya. Saat itu, ia memilih parkir khusus untuk dosen. Padahal sudah kularang. Tapi ia memaksa. Ya sudahlah. Sekali-kali biar ia membuat pilihan sendiri.

Belalang Tempur sudah berdiri dengan nyaman, tenang. Aku segera meninggalkannya. Jalanku seperti terburu.

Jangkar belum terlalu ramai. Aku melihat Hilal duduk sendiri. Di depannya ada dua gelas kopi yang masih ada asapnya.

Aku segera menjumpainya.

Kutepuk bahu kanannya. Ia tidak menoleh. Sebab katanya, aku tidak punya cara lain untuk membuatnya terkejut. Aku tertawa. Kemudian memeluknya. Tapi ia menghindar dengan baik.

Piye kabarmu?” tanyanya.

“Kayak kita berpisah lama saja, Sayang!” godaku. Ia ingin muntah katanya.

“Vina akan ke sini juga.

“Mana Nunung?”

“Di kosan.

“Kok, tidak ente ajak?”

“Kasihan kamu.

“Kok, bisa?”

“Nanti kamu pingin.

Hilal. Temanku yang satu itu kadang misterius. Kadang juga banyol. Kadang juga mendadak pandai membuat puisi. Ia penggila Nahwu. Tapi jarang sekali masuk saat materi itu disampaikan dosen.

Ia menikah dengan Nunung saat kami semester lima. Diam-diam. Tidak ada yang tahu. Terkesan mencurigakan. Tapi ia Hilal. Bukan Vina atau Sugeng. Semua tahu keimanannya. Aku juga.

Hilal berdarah Madura. Buyutnya berasal dari Sampang. Desanya ketapang. Kata ia, di sana panas. Darah mudah mendidih. Sebab itu, keluarganya hijrah ke Bondowoso.

Aku berkarib dengannya. Sebab kegantengan kami sama. Tapi ia tidak setuju. Ia bilang, ia paling ganteng satu jurusan. Ia juga banyak digilai mahasiswi-mahasiswi jurusan. Ini serius.

“Gimana, Lin. Masih ingin jomblo?”

“Sebentar lagi tidak. Tunggu kejutannya, Gus.

Aku suka memanggil Hilal dengan sebutan Gus –kependekan dari Den Bagus-. Bukan karena ia ganteng. Tapi karena ia putra Kiyai. Vina yang membisikkan itu padaku. Fonem kiyai menjadi sangat limited di jurusanku. Itu info yang kudapat.

“Ah masak?” Ia menggoda.

“Dua hari yang lalu aku bertemu dengannya. Vina saksi hidupnya.

“Siapa ia?” selidiknya.

“Tidak tahu. Namun aku tahu ia. Ia magnet, aku serbuk logam yang siap lengket.

Ia tidak merespon. Sebab baginya aku lagi kesurupan. Ia kemudian mengajakku ke SAC. Karena Vina tidak datang. Kami sudah menunggunya agak lama. Hilal kurang sabaran.

Dua alisku saling mendekat. Ajakan Hilal sangat pas dengan keinginan hatiku. SAC? Iya, SAC. Pasti ia di sana? Mungkin saja. Jika tidak? Aku tetap gemetaran. Sebab ia pernah di sana. Bahkan sering. Itu ruang kuliahnya.

Kami berjalan beriringan. Mesra. Ia membuka obrolan lagi,

“Bagaimana skripsimu?”

“BAB III.

“Sudah beres.

“Masih dikoreksi Ustaz Hanafi.

“Kamu, Gus?”

“Lebih enak kelonan!”

Kimpet!

“Katanya mau ada pemilihan Kajur?”

“Menurutku itu bukan pemilihan, Gus!”

“Lalu?”

“Dosen-dosen kita itu seperti tidak ingin mempunyai jabatan di jurusan. Bukan lantaran mereka enggan berpeluh lebih. Tapi mereka itu saling menganggap dirinya tidak lebih baik dari dosen yang lain. Coba lihat Prof. Irhamni!”

“Kenapa memangnya?”

“Beliau selalu kabur saat dicalonkan. Kata beliau, masih banyak yang lebih alim dari beliau.

“Iya juga, sih.

“Itulah mereka. Kita beruntung dididik oleh mereka.

“Tapi mereka tidak beruntung. Karena mendidik kita.

Tawa kami meledak bersama. Ada mahasiswi berkerudung merah menoleh. Ia terkejut dengan ulah kami. Hilal membalasnya dengan kerlingan mata. Ia tampak malu-malu. Kemudian berpura-pura sibuk dengan ponselnya.

Pintu SAC menutup rapat. Itu pasti ulah Vina. Bisik Hilal di kupingku. Aku mengangguk setuju.

“Kita dobrak?”

“Jangan. Nanti Vina tidak cantik lagi”

Ora nyambung blas!

Aku berusaha membuka pintu SAC. Tidak dikunci. Hanya ditutup. Kemudian kami masuk. Vina sedang sibuk. Ia sedang berhadapan dengan tiga mahasiswi. Kutahu mereka Maba. Hilal juga mengatakan hal yang sama.

“Sebab ini aku memilih Nunung.” Ia berbisik di telingaku. Hembusan napasnya membuatku geli.

“Ahai. Tapi, kan, rasanya sama,” timpalku sekenanya. Ia tertawa. Vina membuat isyarat supaya kami diam. Kemudian jarinya menunjuk sebuah ruangan di dalam SAC yang pintunya menutup. Di pintunya tertempel tulisan: Imtihan; yang berarti ujian.

Kami patuh padanya. Hilal mengajakku masuk ke ruangan sebelahnya. Ruangan itu berisi buku referensi, skripsi mahasiswa jurusan, komputer siap pakai, dan tentu saja tempat tidur yang nyaman.

Kami masuk. Ruangan itu lumayan ramai. Para mahasiswa sibuk dengan yang di depannya masing-masing. Dua mataku segera bergerilya. Sebab aku berharap menemukannya di sana. Tapi kenyataannya ia memang tidak di sana. Hilal seperti curiga. Tapi aku segera mengalihkan perhatiannya.

Alisku bergerak. Aku mendapatkan sesuatu. Aku melihat Buroq di sana. Ia tidak melihatku. Ia menghadap layar komputer dengan sangat serius. Di sebelahnya ada Faidah. Tapi aku memanggilnya ‘Udud’. Ia tidak marah. Sebab ia tidak tahu artinya.

Buroq dan Udud tidak melihat dan merasakan kehadiranku. Sebab itu, aku enggan menyapanya. Aku memilih menemani Hilal berbaring di bawah meja. Dingin dan menidurkan. Katanya.

“Ada Udud, Gus.

Hilal diam. Tidak bersuara. Kutoleh sejenak. Ia sudah di tempat yang berbeda. Sepertinya semalaman ia ‘bekerja’. Jadi ia pasti lelah sekali.

Aku berbaring. Mengatubkan mata. Tapi gagal tidur. Ia selalu datang. Atau memang ia sudah berada di dua mataku sejak peristiwa itu? Mungkin saja iya!

Aku bangkit dari baringanku. Kuputuskan menyapa Buroq dan Udud. Siapa tahu mereka membuatku ngantuk.

“Hai, Dud!” sapaku pada Udud. Ia menoleh. Begitu juga dengan Buroq. Senyum Udud masih sama. Tidak manis juga tidak pahit. Sementara senyum Buroq tidak bisa kurasakan. Aneh.

“Tumben ke sini?” tanya Udud cepat.

“Aku rajin. Tapi kamu tidak pernah melihatnya, Sayang.” Aku menggodanya. Buroq tertawa. Tapi dua matanya masih terpaku di layar komputer.

“Preet ...” Udud membalas. Itu ciri khas bahasanya. Norak!

“Bur, piye skripsimu?” Aku bertanya pada Buroq. Ia menoleh.

“Ini lagi tak ketik. Ente gimana?” Ia bertanya balik.

“Mau ke BAB IV.

“Wuih. Sudah mau rampung, dong?” Buroq pasang ekpresi seolah-olah terkejut. Padahal aku tahu, ia tidak begitu. Setan. Kenapa aku jadi menuduhnya?

Jek sowe, Sam,” sahutku cepat.

Udud berdiri dari duduknya. Kemudian ia berjalan menuju meja yang di bawahnya ada Hilal sedang berkencan dengan Paris Hilton. Ia idolanya. Hilal sering mengatakan jika dirinya beberapa kali mimpi basah bersama Paris Hilton. Tapi ia tidak sekalipun menceritakannya pada Nunung.

Udud duduk. Ia masih sama. Gaya duduknya selalu dibuat secantik mungkin. Namun selalu gagal di mataku. Tapi ia berkilah, duduknya bukan untukku tapi untuk Hasan. Laki-laki –yang katanya- akan mencarinya. Sebab ia tulang rusuknya. Aku segera ingin muntah. Tapi segera saja kurungkan. Sebab cinta memang begitu. Keindahan dan imajinasinya tidak akan pernah bisa dilogikakan. Itu cinta. Itu keajaiban. Sebab Tuhan menciptakannya dengan percikan telaga surga. Membuatmu hidup, membuat mereka merasa teduh. Penyegar dahaga.

Aku bosan melihat Buroq yang tampak bingung dengan pekerjaan. Kutinggalkan ia sendirian. Karena aku lebih tertarik berbincang dengan Udud. Karena Udud selalu menjadi terpidana joke-joke nakalku. Ia selalu menerimanya sepenuh hati.

Aku mengambil duduk persis di depan Udud. Ia cuek. Seperti tidak melihatku di depannya.

“Angkatan 2003 siapa yang lulus?”

“Fauzan and friends,” jawabnya genit.

“Ente kapan?” aku bertanya lagi.

“Maret. Bareng Buroq. Ente?”

“Mungkin maret juga. Tapi belum pasti.

Ia tidak melihatku lagi. Sialan. Penyakit lamanya belum terobati. Ia selalu mengobral pandangan tiap kali ada lawan bicara di depannya. Beberapa teman sempat protes. Tapi ia tenang-tenang saja. Sebab itu sudah menjadi nilai lebihnya. Tapi ia tidak akan seperti itu jika lawan bicaranya adalah Hasan.

Obrolan dengan Udud dengan terpaksa kuhentikan. Sebab ia terlihat malas memberikan respon. Ia memilih buku sebagai pelariannya. Aku makan kacang. Bukan. Yang benar aku dikacangin.

Hening tercipta.

Ruangan itu membisu. Desau napas seperti lenyap. Sudut-sudutnya yang menghias mata, hanya menampilkan warna cat yang tidak baru lagi.

Manusia di depanku menjadi patung. Aku membayangkan, satu butir debu akan terdengar sangat nyaring.

Aku ingin beranjak dari ruangan itu. Tapi aku menundanya beberapa saat. Aku tidak mempunyai tujuan tertentu. Hanya menunda.

Sedetik berikutnya. Aku mendengar beberapa langkah kaki menuju pintu utama SAC. Mereka bergerombol. Ada tawa renyah. Canda yang lezat. Serta keluh tentang mata kuliah. Mereka semakin dekat. Aku terkesiap.

“Mas ...,” sapa mereka pada Vina. Aku yakin sekali.

Pintu ruanganku bergerak. Aku menatapnya lekat. Kemudian sepenuhnya terbuka. Mereka masuk.

Aku tegang. Sebab mereka pernah melintas di depanku. Dulu. Saat di portal dulu. Mereka manusia ‘berpendingin’ sehingga tatapan matanya dingin. Langkah kakinya dingin. Ayunan tangannya dingin. Terlebih sikapnya.

Mereka sama. Baju mereka seperti kesepakatan. Panjang, namun kurang menawan. Seperti berada dalam musim dingin. Silakan bayangkan!

Aku mengamatinya satu-satu. Aku semakin tegang. Sebab pikiranku tertuju padanya. Ia yang di sana. Entah. Barangkali akan segera muncul. Menyusul mereka.

Jumlah mereka ada lima. Satu melihatku dengan wajah curiga. Sebab ia bertemu denganku saat aku mengisap rokok di portal. Dua bola matanya seperti tertulis: dilarang merokok. Aku sambut sorotnya. Ia kalah. Ia lekas memalingkan wajahnya. Merdeka!

Kelimanya kemudian membuat dirinya sibuk. Tiga duduk di depan komputer. Dua memilih buku. Udud juga tetap tidak peduli dengan mereka.

Lalu satu dari mereka menyapa,

“Mbak ...”

Udud menoleh. Ia tersenyum. Tapi tetap tidak manis. Tidak lentur. Tidak bersahabat.

Mereka bersalaman. Cipika-cipiki. Di depanku.

Hilal belum membuka mata. Ia masih berkencan dengan Paris Hilton.

Aku berdiri. Aku ingin sibuk. Tekadku. Untuk apa? Biar disangka mahasiswa. Rak buku kupandangi dengan penuh cinta. Lalu kupilih satu; yang menurutku layak dimanfaatkan untuk beraksi. Judulnya: Laila Majnun. Tapi satu kurang keren. Aku mengambil satu lagi. Judulnya: Magdalena. Karya Al Manfaluthi.

Aku tidak semeja lagi dengan Udud. Sebab aku terkudeta. Udud tampak akrab. Barangkali dengusan napas mereka sama. Atau mungkin juga gaya senyumnya.

Dua buku yang ada di tanganku saat itu sebenarnya membosankan. Sebab keduanya sudah kulahap saat aku SMA. Saat itu, motivasiku hanya Merry. Bukan tentang rasa haus akan sastra atau nama besar penulis yang terlahir di distrik Manfaluth itu.

Aku buka lagi. Lembar pertama berisi prolog yang –menurutku- membosankan. Tapi paling membosankan adalah pengantar penerbit.

Lalu, aku merasakan sesuatu yang tidak biasa. Mataku terekat kuat di pintu itu. Pintu itu bergerak. Pelan. Tidak berderit.

Lalu, terbuka dengan utuh.

Dua bukuku tahu diri. Keduanya lantas menutup lembarannya dengan sukarela.

Lalu, ia masuk. Tubuhku bergetar dengan getaran yang sama. Mulutku menganga. Ia ... Ia ada. Gumamku tanpa kontrol. Degup jantung. Ulu hati. Lalu ...

Ia mendekat. Aku kaku.

Ia masih sama. Oh keindahan. Peneduh kepala-kepala yang panas. Pencair batu es amarah. Pengkristal almond, kemudian membasahi tanah-tanah yang gersang. Ia, ia berbaju dengan warna teka-teki. Bukan merah. Bukan kuning. Lagi-lagi: Semburat.

Ia tersenyum. Ruangan terasa sejuk. Buku-buku itu menghamburkan kalimat-kalimatnya. Mereka berbaris. Menundukkan kepala. Memuja-memuji. Oh keindahan.

Oh keindahan ... Oh keindahan. Maha Karya Tuhan. Maha Cipta Tuhan. Demi Nun yang berdengung. Demi Pena yang menggaris semesta. Wa maa yasturuun. Aku persembahkan ruh. Untukmu; ia yang melambaikan tangan.

Ia kemudian duduk. Ia menyatu dengan takdir keindahan.

Ia menyapa. Bersuara.

Kamu tahu takdir keindahan? Tidak.

Mereka berbincang. Renyah. Udud kembali sendiri. Manusia di depannya meninggalkannya.

Mereka lalu kompak memperhatikanku. Mereka tentu saja heran. Sebab aku adalah anak Sastra Arab. Sebab aku bukan penampilan Sastra Arab. Sebab celanaku jeans. Bau. Ada robek di dengkul. Itu aurat, kata mereka. Apa peduliku? Apa peduli kalian?

Namun ia beda. Sorot matanya beda. Ia tidak mengancamku. Ia tidak heran denganku. Dengan penampilanku. Ia mengangguk setuju. Ia mengayomi. Ia takdir keindahan. Kalian tahu takdir keindahan? Tidak.

Ia membuatku bertanya. Mengapa? Kenapa? Sebab aku beda. Itu katanya. Ia masih menatapku. Oh, keindahan. Oh, surga. Aku adalah daun maple yang berjatuhan saat musim gugur datang berkunjung.

Aku jadi membayangkan. Kita sepayung berdua. Sebab daun maple yang jatuh akan membuat kita semakin disatukan. Ada senja menyapa. Udara sejuk menerpa. Genggaman tangan kita semakin erat.

Aku terus memandangmu. Apakah kau tahu?

Hening tercipta lagi. Mereka mulai menebakku. Ada apa denganku? Andai kau tahu! Aku adalah bulir-bulir rindu yang segera ingin pulang. Jendela itu harusnya terbuka untukku. Tapi siapa aku? Begitu tanyamu. Aku memilih diam.

Mereka kompak berdiri. Kemudian membuat janji bertemu lagi. Tapi ia masih di sana. Sendiri. Sepi. Baju-baju yang bersepakat itu raib.

Ia berjalan menuju Buroq. Senyumnya hangat. Tapi Buroq berpura-pura tidak melihat. Lagu lama! Picisan! Kampret!

Mereka kemudian berbincang. Akrab. Seperti sudah menahun mereka bersama. Banyak kisah yang musti mereka ulas. Kenapa mereka akrab? Entah! Bukankah cinta itu mengakrabkan? Bukan! Cinta bukan mereka yang akrab. Tapi cinta adalah kesamaan intuisi. Kesamaan hati. Kesesuaian cara pandang. Tapi juga beda. Melengkapi lebih tepatnya. Cinta itu melengkapi.

Mereka bukan berbincang tentang cinta. Tapi ia –Buroq- tahu bagaimana menyuarakan cinta. Tapi ia bungkam. Aku yakin. Yakin sekali.

Lalu ia menoleh. Udud melempar senyum. Ia juga. Senyum beradu senyum. Hangat bertemu hangat. Tapi salah. Senyum tidak pernah hangat. Senyumnya absurd.

Ia mendekatinya. Kemudian menyapa,

“Mbak ...,” sapanya. Suaranya halus. Tapi melukiskan keramaian. Aku tidak melepasnya.

“Hai ...,” sahut Udud. Aku tahu, ia hanya punya sahutan itu. Tidak ada yang lain.

Mereka duduk berhadapan. Aku berdiri,

“Hm ... Boleh kenalan, Mbak?” Aku menyapanya. Aku adalah daun maple yang berguguran.

Bodoh. Bodoh. Siapa yang menyuruhmu begitu. Ah ...

“Boleh, Mas ...” Ia menyahut. Suaranya halus. Aku daun maple yang berguguran.

“Jangan. Kamu akan menyesal!” Udud menyebar racun. Tapi ia adalah penawar. Ia membuat senyum untukku. Seperti khomer; memabukkan. Menghanyutkan. Oh, keindahan. Oh, surga. Ilalang. Bianglala.

“Kalau boleh tahu namanya siapa?” Aku bertanya namanya. Aku daun maple yang berguguran. Ia menjelma salju. Dingin membekukan. Oh, bianglala.

“Azalia.

“Lengkapnya?”

“Sausan Azalia ...”

Aku mabuk. Aku mabuk.

Gulali,

Aku berkidung.

Ini tentang gulali. Manis.

Membuatmu tak bisa jauh.

Keramahanmu sungguh sakti.

Mengandung jutaan ajian yang pernah ada ribuan tahun yang lalu.

Oh, gulali. Manismu membuatku terekat.

“Mas siapa?”

“Lintang. Aku Lin. Tapi mereka juga memanggilku Tan.

Ia tersenyum lagi. Duh, Gusti. Dzat yang membuat takdir keindahan. Ia datang dengan buah surga. Aku adalah maple yang berguguran. Ini musim gugur? Bukan. Ia musim gugur.

“Aslinya mana?”

“Gresik!”

Alisku bertemu,

“Gresik mana?”

“Gresik kota,” katanya manja. Tiap detik, ayunya bertambah. Aku adalah daun maple yang berguguran.

Lalu ia meninggalkanku,

“Mas, maaf. Aku ada kelas.

Ia berlalu. Sementara aku masih menjadi daun maple yang berguguran.

Ia hilang. Ia menghilang. Tapi tidak. Wajahnya ia pinjamkan ke hatiku. Aku memilikimu sekarang. Kau rapat. Tersimpan. Oh, keindahan.

Udud kembali membaca buku. Ia sendiri lagi. Aku tahu ia akrab dengan Azalia. Bukan. Aku lebih suka memanggilnya musim gugur. Dua mata Udud mengancamku. Ia membuat suara.

“Apa? Ente suka ya sama ia?”

“Siapa, sih, yang merelakan detik tanpanya? Tanpa wajahnya?” Aku menyahut. Namun ia kurang nyaman mendengarnya.

“Gombal!” Ia kemudian berseru.

“Jika ia keindahan, maka aku wakafkan diriku untuk memujanya.

Aku mabuk? Iya. Lalu? Aku adalah daun maple yang berguguran.

“Gila. Kamu bermimpi!” Ia berseru lagi. Kemudian mengatur napas. “Ia sudah ada yang punya.

“Semesta merasa memilikinya. Sebab ia keindahan.

“Lalu kamu ingin apa?”

“Kamu ada nomor ponselnya?”

“Ada.

“Boleh minta?”

“Izin yang punya!”

“Ia di mana? Ke mana? Ia sudah hilang.

“Itu!” Ia menunjuk pada punggung Buroq yang sibuk merangkai kalimat yang indah. Menggiurkan untuk dosen pembimbing.

“Haah ...” Aku hampir tidak percaya. “Memang, ia bapaknya? Bukan, kan?”

“Aku mau memberi nomornya. Jika kamu sudah dapat restu darinya!”

Udud tidak peduli lagi denganku. Ia benamkan wajahnya ke lautan kata. Buku itu tebal sekali. Setebal alis Udud. Huft.

Aku dalam persimpangan jurang keangkuhan hatiku. Jika aku menuruti permintaan Udud maka secara tidak langsung aku mengakui jika ia memang miliknya Buroq. Itu jelas membuat dadaku penuh. Banyak molekul yang pasti akan meledak. Ah, itu tidak akan terjadi.

Jika aku menuruti permintaan Udud, pengukuhan atas legalitas hubungan keduanya terjadi saat itu juga. Jika sudah begitu, pantang bagi laki-laki untuk membuat kekacauan atas legalitas hubungan mereka. Aku pun begitu. Meski aku miskin, egoku ternyata kaya raya.

Opsi kedua. Jika aku tidak menuruti permintaannya maka aku telah melepasnya. Ia tidak akan menjadi payung lagi. Ia tidak akan meneduhiku lagi. Maka aku akan gersang. Sebab dua mata almondnya tidak akan meneteskan air kristalnya lagi. Aku akan mati. Mereka akan mati. Dunia kering. Tandus. Oh, Tuhan. Andai saja ia tahu tentang tanah yang gersang itu.

Aku merenung sejenak. Sebab aku akan membuat keputusan besar dan penting. Pertimbangan yang mendalam sangat kubutuhkan ketika itu. Jika aku meminta pertimbangan Hilal, tentu saja aku akan menghambat orgasmenya dengan Paris Hilton. Jika itu terjadi, ia akan mendiamkanku banyak hari.

Aku masih merenung. Dua buku di depanku menjadi badut. Ia menjulurkan lidahnya yang panjang. Ia menggoyang-goyangkan hidungnya yang besar. Ia meledekku. Ia berbicara. Katanya aku adalah pecundang. Miskin. Nista.

Badut itu berlalu. Ia kemudian datang. Aku tahu ia penyair. Meski syairnya tidak pernah laku. Apa syair itu harus laku? Tidak. Syair adalah penghayatan. Percuma jika jiwamu gersang. Huruf-hurufnya tidak akan tumbuh subur di kepalamu. Syair adalah jiwa. Jiwa adalah syair. Keduanya adalah satu. Seperti Tuhan adalah aku, dan aku adalah Tuhan.

Oh, gulali.

Bagaimana aku membiarkanmu pergi,

Sedang rasa hausku sudah menahun.

Bagaimana aku tidak memujamu,

Sedang kau adalah keindahan ...

Aku bangkit dari dudukku. Aku menjelma pahlawan. Ego kusimpan rapat. Aku akan menemui Buroq.

Aku menepuk bahu kanannya. Ia menoleh kaget.

“Ada apa, Sam?” tanyanya cepat. Aku mengambil napas.

Aku seperti abdi ndalem yang harus ngesot untuk mengatakan sesuatu kepada junjungannya atau yang maha raja. Begitulah aku saat itu. Buroq menatapku penuh curiga. Kupaksa aku sebagai orang yang dalam sakaratul maut, sedang ia adalah jarum suntik yang berisi penenang. Penunda kematian. Jadi aku sangat membutuhkannya.

Kubuka kalimatku. Aku mengatakan padanya jika aku meminta izin untuk meminta nomor kontaknya Sausan. Ia seperti terusik. Tapi ia bersikap dewasa. Ia melemparkan senyum untukku. Tapi aku tidak tahu jenis senyuman itu. Misterius.

“Silakan ...,” katanya pelan. Bibirnya seperti bergetar. Ia tampak tidak rela. Tapi semunya adalah takdir. Sudah menjadi takdirnya untuk merelakan diriku menjadi deretan pemujanya. Ia baik-baik saja.

“Terima kasih,” kataku. Kemudian memutar badan. Aku menang? Tidak! Sebab itu bukan peperangan. Sebab peperangan baru saja dimulai. Detik itu juga.

Aku mendatangi Udud lagi. Ia sudah tahu tujuanku. Sebab itu, ia segera mencatatkan nomor ponselnya. Ia yang di sana. Ia yang memberikan bekas surga. Harum sekali jejak langkahnya.

“Nih ...,” kata Udud sambil menyerahkan sesobek kertas kecil. Isinya nomor itu. Keindahan. Takdir keindahan. Dunia seperti bianglala. Penu warna. Memikat mata. Aku tidak mengucapkan terima kasih untuknya. Meski jasanya teramat besar.

Aku menggenggam keindahan? Iya, benar! Bagaimana rasanya? Aku seperti berjalan mendaki. Desau udara mengajakku bercanda. Bahasa indah dan lucu sekali. Begitu kira-kira. Saat itu, sajian terbaikku adalah aku merasa bahagia di depan mata-mata itu.

Aku tidak mempedulikan Hilal yang harus melayani Paris Hilton. Napasnya terengah-engah. Namun ia belum orgasme. Pun dengan Paris Hilton. Itu gejala figrid, canda Hilal renyah.

Aku meninggalkannya. Meninggalkan ruangan yang penuh dengan wajah monoton itu. Terutama Udud. Mereka kutinggalkan dengan tenang. Tapi aku bahagia. Sebab aku menggenggam keindahan.

Ia di mana? Di genggaman tanganku. Wajahnya? Iya, wajahnya! Bagaimana dengan bintang-bintang yang menyala untuknya? Aku akan menjadi bintang yang paling menyala. Akan kubuktikan itu. Aku janji.

Aku sudah berada di depan gedung E-6. Aku duduk menghadap bunga-bunga yang tumbuh subur, tapi belum berbunga. Mereka seperti mandul.

Aku catat nomor itu di ponselku. Namanya: Nawang Wulan.

***

Hari sudah mulai siang. Jo tidak mengirimkan SMS. Jika begini, berarti Jo sedang di fakultas. Aku memilih duduk di portal.

Aku membolak-balik ponselku. Di dalamnya ada ia. Ia yang begitu menawan mata. Nomor ponselnya cantik, unik. Aku mudah sekali menghafalnya. Tapi aku belum berani membuat keputusan.

Aku menunggu Jo. Dalam situasi seperti itu, Jo akan sangat membantuku. Hilal tampaknya masih tenggelam dalam mimpi sensualnya. Sebab tiga puluh terlewat semenjak aku meninggalkan SAC, ia tidak menyusulku. Tapi tidak. Jikalaupun ia menyusulku, aku akan menghindar. Sebab aku ingin sendiri. Bukan. Bukan sendiri. Tapi aku ingin bersamanya. Ia pemilik keindahan itu. Aku berlebihan? Tidak. Sebab jatuh cinta pada jumpa pertama itu seperti sulap. Tidak bisa dilogikakan. Ajaib.

Aku memutuskan untuk berkirim SMS kepada Jo. Tapi ada laporan menunda. Dugaanku benar. Jo sedang merayu dosen pembimbing di fakultas.

Aku masih di portal. Hangatnya embusan angin membelai keningku.

Aku terbang. Terbang ke suatu tempat yang sangat jauh. Tidak ramai. Tidak bising. Tidak ada Jo, Pak Ramon, Hilal atau teman-teman akrabku. Di tempat itu aku hanya melihat keindahan. Semburat warna. Melukis cahaya. Ia memintalnya. Kemudian menebarkan ke mana-mana. Ia tersenyum. Aku melihatnya.

Aku mabuk? Bukan hanya mabuk.

Aku kembali. Tubuhku terasa sangat segar. Seperti ada tiupan energi. Tapi itu juga serupa not-not nada dalam permainan piano. Teratur. Harmoni. Tidak ganjil.

Lalu? Sepertinya aku memang harus membuat sebab. Sebab tanpa sebab, akan seperti itu-itu saja. Sebab tanpa sebab, aku tidak akan mempunyai jembatan lagi. Rumah itu memang terbuka, namun mustahil aku masuk ke dalamnya jika jalan menuju ke sana buram. Tidak tergambar. Dua mataku seperti menangkap gelap. Hanya itu saja.

Aku mengambil ponselku. Nomor itu ada. Aku membuat sejarah, sebab itu kali pertama aku membuat jalan menuju rumahmu. Rumah indahmu. Rumah bianglalamu. Semoga pintumu belum terkunci. Itu harapku.

Aku berkirim SMS untuknya,

“Ternyata dunia ini memang teramat luas. Ada permata sepertimu aku tidak melihatnya.

Ia membalas,

“Maaf. Ini siapa?”

Aku membalas,

“Bukan siapa-sapa.

Aku jadi tergagap. Kalimatku menjadi tidak beraturan.

“Hantu?” ia bertanya.

“Sejenis,” aku semakin tergagap. Sialan. Kenapa harus hantu. Kenapa ia tidak bertanya Sang Penenun. Jika tidak demikian, tanyalah tentang Sang Penyair.

“Siapa, sih, ini?” ia mulai kesal. Aku tahu.

Aku jujur,

“Aku yang baru saja mengenalmu. Masih ingat?”

Ia tidak membalas. Aku maklum dan mafhum. Barangkali ia sedang di kelas. Bisa juga ia sedang di dalam kamar mandi.

Tiga puluh menit terlewat lagi. Namun layar ponselku belum bereaksi. Ia menyudahinya. Menyudahiku membuat jembatan. Mungkin pikirnya aku sudah sangat letih. Mungkin juga ia tidak ingin aku menua. Atau bahkan menenun mimpi, imajinasi yang sulit terbukti. Memang, keadaan yang hening selalu bisa membuatku berpikir yang beraneka ragam.

Tapi ia di sana baik-baik saja. Semoga.

Aku memutuskan untuk segera meninggalkan kampus. Ada Jo yang harus kupinjam kupingnya untuk ceritaku. Cerita tentang ia yang sudah bernama. Jo harus tahu. Sebab Jo tidak akan meledekku lagi. Aku tidak mencintai bayangan. Aku tidak mencintai bayang. Tapi aku mencintainya, ia, Nawang Wulan.

Belalang Tempur sudah kukeluarkan dari tempat peraduannya. Ia membaca hatiku. Wajah garangnya menghamburkan senyum. Ia juga tampak bersemangat. Aku membelainya. Ia meresponnya dengan meraung-raung ganas.

Aku memacunya.

Hanya tiga menit. Belalang Tempur sudah berada di luar gerbang UM. Tiba-tiba Jo menelepon.

“Di mana, Sam?” tanyanya dari seberang sana.

“Depan kampus!”

“Mau ke mana?” ia bertanya lagi.

“Pulang.

“Ok,” tukasnya. Telepon mati. Jo menghilang cepat. Semoga ia tidak mati.

Aku segera menuju kosan. Jalan Surabaya masih tampak padat. Hilir-mudik mahasiswa masih menjadi hiasan utama.

Belalang Tempur melaju dengan damai. Pun begitu juga denganku.

Aku sampai. Aku memasuki gang menuju kosanku. Belalang Tempur kumatikan sejenak. Kemudian kutuntun masuk.

Aku jadi teringat kata-kata Pak Ramon tadi pagi. Ia mengatakan tentang kematian. Aku hampir melewati kios loundrenya. Kiosnya buka. Tapi terlihat sepi. Dua karyawannya juga tidak tercium.

Aku terus menuntun Belalang Tempur.

Aku sekarang berada tepat di depan kiosnya. Ia mematung. Dua matanya kosong. Wajahnya buram sekali. Aku menjadi iba. Aku mendekatinya.

“Pak ...,” sapaku. Ia menoleh pelan. Tidak terkejut. Dua matanya masih kosong. Namun bibirnya bersuara.

“Iya ...”

“Pegawai Pak Ramon libur?”

“Aku liburkan. Sebab aku tidak ingin mereka mati!” serunya tegas.

Aku menabrakkan dua alis.

“Kenapa bisa begitu, Pak?”

“Aku melihat kematian itu. Aku melihatnya. Pakaiannya putih. Ia membawa teman. Jadi jumlahnya empat.

“Maksud, Pak Ramon?”

“Saat kamu mati, akan ada empat malaikat mendatangiku. Mereka memberitahumu jika jatah hidupmu sudah habis. Tubuhmu akan menggigil. Sebab kamu ketakutan. Wajahnya menyeramkan sekali,” jelas Pak Ramon panjang. Aku menelan ludah. Kemiringan otak Pak Ramon sudah sangat parah. Ia mendongeng ilusi.

Namun aku menjadi penasaran.

“Mereka siapa? Siapa malaikat-malaikat itu?” pancingku.

“Mereka datang dari empat penjuru. Utara, selatan, barat, dan timur.

“Mereka mempunyai nama?”

“Tidak. Mereka tidak bernama. Tapi mereka membawa kabar!” Pak Ramon berseru. Sepertinya ia sedikit tersinggung dengan ulahku.

“Kabar? Bukankah mereka pencabut nyawa?”

“Bukan. Mereka datang berkabar. Tentang kematian. Tentang jatah hidup yang sudah habis,” Pak Ramon diam sejenak, kemudian berbicara lagi, “Setiap mereka membawa kabar dari penjurunya masing-masing. Lalu, tubuhmu melemas. Sebab kabar itu duka. Ketakutan. Ancaman. Melebihi takutmu kepada iblis.

“Pak Ramon pernah didatangi mereka?”

“Pernah.

“Kapan?”

“Aku lupa. Tapi aku pernah mati. Mati itu sungguh menyakitkan!”

“Mereka berkabar apa kepada Pak Ramon?” tanyaku sedikit geli. Tapi Pak Ramon tidak melihat wajah konyolku.

“Mereka berkabar tentang jatah udaraku yang habis. Rezekiku yang sudah tidak ada lagi. Air yang menyembuhkan hausku juga sudah tidak ada. Dan bumi yang sudah enggan kupijak. Mereka mengatakan itu. Dua matanya merah besar. Embusan napasnya adalah api. Mereka bertubuh aneh. Aku ingin lari. Tapi aku seperti bangkai.

“Tapi kenapa Pak Ramon masih hidup?”

“Sebab aku belum mau mati saat itu!”

“Jadi, Pak Ramon mensomasi Tuhan?”

“Tidak”

“Lalu?”

“Aku membohongi malaikat-malaikat itu.

Pak Ramon tertawa lebar. Aku terdiamkan. Aku tidak percaya apa yang ia katakan. Sebab Pak Ramon kadang gila.

“Kemudian aku bermimpi. Malaikat-malaikat itu mengajakku bermain domino. Jika menang, maka mereka akan membawaku kembali ke dunia. Aku terima tantangan mereka. Dan aku menang. Maka itu caraku hidup kembali. Tapi sekarang, aku ingin mati.

“Kenapa Pak Ramon ingin mati?”

“Sebab mati itu enak. Aku bisa bermain domino. Di dunia ini, tidak ada yang mau bermain domino denganku. Sebab mereka menganggapku gila. Termasuk kamu!”

Pak Ramon menusukku. Aku terdiamkan lagi. Kemudian membuat tawaran untuk meredam geramnya padaku.

“Bukan begitu, Pak. Aku tahu Pak Ramon tidak ingin sendiri. Tidak ingin kesepian. Tapi aku sering ada acara di kampus. Jika Pak Ramon mau, bagaimana jika akhir pekan ini kita jalan-jalan. Biar Pak Ramon tidak sepi lagi.

Pak Ramon tersentak,

“Ke mana? Ke akhirat?”

“Akhirat terlalu jauh, Pak?”

“Lalu kemana?” tanyanya cepat.

“Ke sebuah tempat yang tidak jauh dan tidak dekat. Di sana akan ada tawa-tangis, bahagia-sedih. Tapi kehidupan adalah tujuan mereka. Pak Ramon berkenan?”

Ia diam. Tidak menjawab. Namun kepalanya mengangguk. Ia setuju.

Aku segera pamit. Ia tidak menoleh. Ia seperti melihat sesuatu yang lain.

Aku menuntun Belalang Tempur dengan sedikit tergesa. Sebab ia sudah terlihat sangat ingin kabur dari wilayah Pak Ramon.

***

Malam yang indah, menggoda. Aku menerawang. Aku berpikir tentang sebuah tempat yang kujanjikan kepada Pak Ramon. Mungkin kali ini, akan menjadi persembahan terbesarku kepada Pak Ramon sebelum ia bertamasya ke akhirat kemudian bermain domino dengan para malaikat.

Tiba-tiba aku teringat sebuah tempat. Letaknya lumayan jauh dari kampus. Tempat itu berada di pedalaman. Di tempat itu, air mataku mengucur deras.

Namanya adalah Surga Teduh. Tempat itu adalah rumah harapan. Banyak anak bermain riang di sana. Mereka adalah penggenap semesta, meski mereka sendiri terlahir tidak genap.

Pikiranku melayang cepat ke sana. Aku melihat mereka. Aku melihat kedamaian itu.

Malam semakin pekat. Dingin juga semakin memaksaku untuk mengatub. Selamat tinggal hari ini. Semoga kita bertemu lagi.

***

          Pagi-pagi sekali. Aku menyapa Nawang Wulan. Di depan Tuhan. Di depan malaikat-malaikat.

 

3 komentar:

Mereka itu, EMAS!

Mereka itu, EMAS! (Sebuah Pengantar) Tuhan Yang Mahakuat, Puji-puji ini untuk Engkau. Kepada Sang Nabi, saya haturkan Salawat: Semoga ka...