Sausan Azalia
Sejak tahu ia sejurusan denganku, aku selalu mencari alasan untuk
berkunjung ke kampus. Tujuanku pasti; gedung E-6.
Pagi itu, aku sudah rapi. Jo melihatku heran. Kepalanya menggeleng
sebentar. Ia menembakku,
“Ini kamis, Sam! Kamu terserang alzaimer?”
“Apa yang salah dengan Kamis?” tanyaku balik.
“Bukannya kamu bilang kamu sudah alergi dengan jurusanmu?” ia bertanya
lagi. Aku hadiahi ia senyum. Ia tidak bereaksi apa-apa. Senyumku untuknya
menguap bersama udara.
“Aku sudah sembuh. Sejak ia ada.”
“Gila. Kamu mencintai imajinasimu. Ia terbentuk sebab imajinasimu.
Sadarlah, Sam!”
“Maaf, Jo. Saranmu menyesatkan. Sungguh menyesatkan.”
Aku menyalakan Belalang Tempur. Suaranya berhasil
membungkam keusilan Jo.
Belalang Tempur menyatakan diri siap berpetualang lagi. Segera kutuntun ia.
Melewati gang kecil lagi. Melewati kios loundre Pak Ramon lagi.
Kios loundre Pak Ramon sudah terlihat. Aku tidak menunduk. Sebab pagi itu,
aku akan menyapanya. Semoga ia ada. Semoga ia baik-baik saja.
Sekarang, jarakku hanya beberapa langkah dari kios loundre Pak Ramon. Aku
hanya melihat kesepian di sana. Barangkali dua petugasnya belum datang. Tapi
bisa saja Pak Ramon menginginkan itu. Sepi. Kesepian. Suasana yang membuatnya
cepat mati.
Dahiku menari. Ada keganjilan dalam diri Pak Ramon. Ia seperti melihat
akhirat. Banyak bidadari yang mulus. Tapi juga ada gada para malaikat. Ia
sendiri. Berjalan menuju mahsyar yang –konon- sangat panas itu. Sebab, matahari hanya berjarak satu kilan. Sehingga,
manusia-manusia itu kebanjiran keringatnya sendiri.
Pak Ramon seperti mempunyai nalar gaib. Ia tahu barzah. Ia tahu hari
kebangkitan. Dan ia tahu timbangan itu; mizan itu. Ia berujar, jika kadang
malaikat tampak sumringah. Tapi juga menakutkan.
Kulihat ia mematung di kursi sebelah kiosnya. Pakaiannya sudah rapi.
“Pagi, Pak,” aku menyapanya. Ia mengangkat wajahnya. Menatapku heran. Bahkan ia
seperti tidak mengenaliku.
“Pagi, Nak ...” Ia memanggilku ‘nak’ lagi. Itu kali kedua sejak aku
berkenalan dengannya. Empat tahun yang lalu.
“Pegawai Bapak belum datang?” tanyaku basa-basi.
“Belum. Mau ke mana, Nak? Mau ke akhirat?” Ia bertanya sesuatu yang ganjil.
Ia ganjil. Ia aneh. Aku memicingkan dua mata. Merangkai kata. Membuat jawaban
yang sehat.
“Ke kampus, Pak. Aku tidak tahu jalan menuju akhirat, Pak,” jawabku sambil tersenyum. Lalu ia memintaku
untuk duduk di sebelahnya. Aku menurut. Karena aku punya banyak waktu.
“Aku tahu jalan menuju akhirat.” Pak Ramon berbisik di kupingku. Aku tahu. Itu
hari Kamis. Pak Ramon sehat-sehat saja di hari itu. Aku yakin sekali.
“Dari mana Bapak tahu?”
“Aku tahu segalanya. Bahkan aku tahu jika para penghuni kubur itu sering
menangis. Mereka menyesal. Sebab banyak keluarganya yang lupa.”
“Seperti Bapak kelak?” tanyaku bercanda. Namun ia semakin serius.
“Iya. Aku takut itu. Tapi sekarang aku tidak takut. Aku akan menjebak
malaikat kubur.”
“Haah!” Aku ternganga. “Bagaimana caranya?”
“Itu rahasia. Jika kamu ingin mati, hubungi aku!” Ia menepuk dada kusutnya.
“Memangnya Bapak tidak jadi ingin mati? Sekarang? Besok? Lusa?”
Ia belum menjawab. Tapi ponselku berbunyi. Satu SMS masuk. Pak Ramon
pengertian.
Segera kubuka,
“Aku di Jangkar. Hilal.” Bunyi SMS itu.
“Nomor baru?” balasku.
“Iya. Kamu tak pesankan kopi. Harus datang!”
“Siap. I love you!”
Ia membalas. Tapi bukan dengan kalimat. Gambar celana dalam renda-renda
sebagai gantinya.
“Ada yang baru saja dipakai?”
Ia bungkam. Tidak ada balasan.
Pak Ramon ingin menjawab pertanyaanku. Tapi itu tidak mungkin. Sebab ia
melihatku berdiri. Ia hanya diam memperhatikanku. Ia melihat bagaimana aku akan
pergi darinya. Barangkali akan serupa kematian.
“Saya ke kampus dulu, Pak,” pamitku.
Pak Ramon hanya diam. Wajahnya seperti ditekuk.
Aku menuntun Belalang Tempur lagi. Ia tiba-tiba berteriak,
“Kematian itu sangat dekat denganmu, denganku. Hari ini kamu akan melihat
kematian.”
Suara Pak Ramon membuatku resah. Kematian? Benar. Aku akan bertemu
kematian? Iya. Dekat? Sangat. Di mana? Di tiap embusan napasmu.
Langit sangat cerah. Hangat matahari menyusup ke semua sendi tubuhku. Tubuh
semua orang. Jalan Surabaya tidak pernah sepi. Hampir pasti padat merayap. Aku
siap melaju dengan Belalang Tempur-ku.
Ia tidak berpesan apa-apa. Sebab ia tahu. Aku tidak suka bokong berlegging
itu lagi. Sebab aku menantikan cahaya itu. Tetesan mukjizat itu. Ia yang di
sana. Ia yang sedang melangkahkan dua kakinya.
Aku melaju. Karpet hitam itu sangat bersahabat.
Hanya lima menit. Gerbang kampus terlihat lagi. Ada semut yang menyemut
lagi.
Setelah mengambil karcis parkir, aku melaju lagi. Gedung Pascasarjana
terlihat suram. Halamannya tampak belum terbelai sapu. Mungkin masih terlampau
pagi. Tapi tidak juga. Sebab sudah jam delapan.
Kutinggalkan gedung Pasca itu dengan tanda tanya. Namun aku tidak butuh
jawabnya. Aku hanya bertanya. Sebab, jawabannya sudah tentu aku tahu.
Masjid Al Hikmah tidak kulihat saat itu. Aku hanya ingin secepat mungkin
sampai ke Jangkar.
Parkiran masih sepi. Belalang Tempur sangat leluasa memilih peraduannya.
Saat itu, ia memilih parkir khusus untuk dosen. Padahal sudah kularang. Tapi ia
memaksa. Ya sudahlah. Sekali-kali biar ia membuat pilihan sendiri.
Belalang Tempur sudah berdiri dengan nyaman, tenang. Aku segera meninggalkannya.
Jalanku seperti terburu.
Jangkar belum terlalu ramai. Aku melihat Hilal duduk sendiri. Di depannya
ada dua gelas kopi yang masih ada asapnya.
Aku segera menjumpainya.
Kutepuk bahu kanannya. Ia tidak menoleh. Sebab katanya, aku tidak punya cara
lain untuk membuatnya terkejut. Aku tertawa. Kemudian memeluknya. Tapi ia
menghindar dengan baik.
“Piye kabarmu?” tanyanya.
“Kayak kita berpisah lama saja, Sayang!” godaku. Ia ingin muntah katanya.
“Vina akan ke sini juga.”
“Mana Nunung?”
“Di kosan.”
“Kok, tidak ente ajak?”
“Kasihan kamu.”
“Kok, bisa?”
“Nanti kamu pingin.”
Hilal. Temanku yang satu itu kadang misterius. Kadang juga banyol.
Kadang juga mendadak pandai membuat puisi. Ia penggila Nahwu. Tapi jarang
sekali masuk saat materi itu disampaikan dosen.
Ia menikah dengan Nunung saat kami semester lima. Diam-diam. Tidak ada yang
tahu. Terkesan mencurigakan. Tapi ia Hilal. Bukan Vina atau Sugeng. Semua tahu
keimanannya. Aku juga.
Hilal berdarah Madura. Buyutnya berasal dari Sampang. Desanya ketapang.
Kata ia, di sana panas. Darah mudah mendidih. Sebab itu, keluarganya hijrah ke
Bondowoso.
Aku berkarib dengannya. Sebab kegantengan kami sama. Tapi ia tidak setuju.
Ia bilang, ia paling ganteng satu jurusan. Ia juga banyak digilai mahasiswi-mahasiswi
jurusan. Ini serius.
“Gimana, Lin. Masih ingin jomblo?”
“Sebentar lagi tidak. Tunggu kejutannya, Gus.”
Aku suka memanggil Hilal dengan sebutan Gus –kependekan dari Den Bagus-.
Bukan karena ia ganteng. Tapi karena ia putra Kiyai. Vina yang membisikkan itu padaku. Fonem
kiyai menjadi sangat limited di jurusanku. Itu info yang kudapat.
“Ah masak?” Ia menggoda.
“Dua hari yang lalu aku bertemu dengannya. Vina saksi hidupnya.”
“Siapa ia?” selidiknya.
“Tidak tahu. Namun aku tahu ia. Ia magnet, aku serbuk logam yang siap
lengket.”
Ia tidak merespon. Sebab baginya aku lagi kesurupan. Ia kemudian mengajakku
ke SAC. Karena Vina tidak datang. Kami sudah menunggunya agak lama. Hilal
kurang sabaran.
Dua alisku saling mendekat. Ajakan Hilal sangat pas dengan keinginan
hatiku. SAC? Iya, SAC. Pasti ia di sana? Mungkin saja. Jika
tidak? Aku tetap gemetaran. Sebab ia pernah di sana. Bahkan sering. Itu ruang
kuliahnya.
Kami berjalan beriringan. Mesra. Ia membuka obrolan lagi,
“Bagaimana skripsimu?”
“BAB III.”
“Sudah beres.”
“Masih dikoreksi Ustaz Hanafi.”
“Kamu, Gus?”
“Lebih enak kelonan!”
“Kimpet!”
“Katanya mau ada pemilihan Kajur?”
“Menurutku itu bukan pemilihan, Gus!”
“Lalu?”
“Dosen-dosen kita itu seperti tidak ingin mempunyai jabatan di jurusan.
Bukan lantaran mereka enggan berpeluh lebih. Tapi mereka itu saling menganggap
dirinya tidak lebih baik dari dosen yang lain. Coba lihat Prof. Irhamni!”
“Kenapa memangnya?”
“Beliau selalu kabur saat dicalonkan. Kata beliau, masih banyak yang lebih alim
dari beliau.”
“Iya juga, sih.”
“Itulah mereka. Kita beruntung dididik oleh mereka.”
“Tapi mereka tidak beruntung. Karena mendidik kita.”
Tawa kami meledak bersama. Ada mahasiswi berkerudung merah menoleh. Ia
terkejut dengan ulah kami. Hilal membalasnya dengan kerlingan mata. Ia tampak
malu-malu. Kemudian berpura-pura sibuk dengan ponselnya.
Pintu SAC menutup rapat. Itu pasti ulah Vina. Bisik Hilal di
kupingku. Aku mengangguk setuju.
“Kita dobrak?”
“Jangan. Nanti Vina tidak cantik lagi”
“Ora nyambung blas!”
Aku berusaha membuka pintu SAC. Tidak dikunci. Hanya ditutup.
Kemudian kami masuk. Vina sedang sibuk. Ia sedang berhadapan dengan tiga
mahasiswi. Kutahu mereka Maba. Hilal juga mengatakan hal yang sama.
“Sebab ini aku memilih Nunung.” Ia berbisik di telingaku. Hembusan napasnya
membuatku geli.
“Ahai. Tapi, kan, rasanya sama,” timpalku sekenanya. Ia tertawa. Vina membuat
isyarat supaya kami diam. Kemudian jarinya menunjuk sebuah ruangan di dalam SAC
yang pintunya menutup. Di pintunya tertempel tulisan: Imtihan; yang
berarti ujian.
Kami patuh padanya. Hilal mengajakku masuk ke ruangan sebelahnya. Ruangan
itu berisi buku referensi, skripsi mahasiswa jurusan, komputer siap pakai, dan
tentu saja tempat tidur yang nyaman.
Kami masuk. Ruangan itu lumayan ramai. Para mahasiswa sibuk dengan yang di
depannya masing-masing. Dua mataku segera bergerilya. Sebab aku berharap menemukannya di sana.
Tapi kenyataannya ia memang tidak di sana. Hilal seperti curiga. Tapi aku
segera mengalihkan perhatiannya.
Alisku bergerak. Aku mendapatkan sesuatu. Aku melihat Buroq di sana. Ia
tidak melihatku. Ia menghadap layar komputer dengan sangat serius. Di
sebelahnya ada Faidah. Tapi aku memanggilnya ‘Udud’. Ia tidak marah. Sebab ia
tidak tahu artinya.
Buroq dan Udud tidak melihat dan merasakan kehadiranku. Sebab itu, aku
enggan menyapanya. Aku memilih menemani Hilal berbaring di bawah meja. Dingin
dan menidurkan. Katanya.
“Ada Udud, Gus.”
Hilal diam. Tidak bersuara. Kutoleh sejenak. Ia sudah di tempat yang
berbeda. Sepertinya semalaman ia ‘bekerja’. Jadi ia pasti lelah sekali.
Aku berbaring. Mengatubkan mata. Tapi gagal tidur. Ia selalu datang. Atau
memang ia sudah berada di dua mataku sejak peristiwa itu? Mungkin saja iya!
Aku bangkit dari baringanku. Kuputuskan menyapa Buroq dan Udud. Siapa tahu
mereka membuatku ngantuk.
“Hai, Dud!” sapaku pada Udud. Ia menoleh. Begitu juga dengan Buroq. Senyum
Udud masih sama. Tidak manis juga tidak pahit. Sementara senyum Buroq tidak
bisa kurasakan. Aneh.
“Tumben ke sini?” tanya Udud cepat.
“Aku rajin. Tapi kamu tidak pernah melihatnya, Sayang.” Aku menggodanya. Buroq tertawa. Tapi dua
matanya masih terpaku di layar komputer.
“Preet ...” Udud membalas. Itu ciri khas bahasanya. Norak!
“Bur, piye skripsimu?” Aku bertanya pada Buroq. Ia menoleh.
“Ini lagi tak ketik. Ente gimana?” Ia bertanya balik.
“Mau ke BAB IV.”
“Wuih. Sudah mau rampung, dong?” Buroq pasang ekpresi seolah-olah terkejut.
Padahal aku tahu, ia tidak begitu. Setan. Kenapa aku jadi menuduhnya?
“Jek sowe, Sam,” sahutku cepat.
Udud berdiri dari duduknya. Kemudian ia berjalan menuju meja yang di
bawahnya ada Hilal sedang berkencan dengan Paris Hilton. Ia idolanya. Hilal
sering mengatakan jika dirinya beberapa kali mimpi basah bersama Paris Hilton.
Tapi ia tidak sekalipun menceritakannya pada Nunung.
Udud duduk. Ia masih sama. Gaya duduknya selalu dibuat secantik mungkin.
Namun selalu gagal di mataku. Tapi ia berkilah, duduknya bukan untukku tapi
untuk Hasan. Laki-laki –yang katanya- akan mencarinya. Sebab ia tulang
rusuknya. Aku segera ingin muntah. Tapi segera saja kurungkan. Sebab cinta
memang begitu. Keindahan dan imajinasinya tidak akan pernah bisa dilogikakan.
Itu cinta. Itu keajaiban. Sebab Tuhan menciptakannya dengan percikan telaga
surga. Membuatmu hidup, membuat mereka merasa teduh. Penyegar dahaga.
Aku bosan melihat Buroq yang tampak bingung dengan pekerjaan. Kutinggalkan
ia sendirian. Karena aku lebih tertarik berbincang dengan Udud. Karena Udud
selalu menjadi terpidana joke-joke nakalku. Ia selalu menerimanya sepenuh hati.
Aku mengambil duduk persis di depan Udud. Ia cuek. Seperti tidak melihatku
di depannya.
“Angkatan 2003 siapa yang lulus?”
“Fauzan and friends,” jawabnya genit.
“Ente kapan?” aku bertanya lagi.
“Maret. Bareng Buroq. Ente?”
“Mungkin maret juga. Tapi belum pasti.”
Ia tidak melihatku lagi. Sialan. Penyakit lamanya belum terobati. Ia selalu
mengobral pandangan tiap kali ada lawan bicara di depannya. Beberapa teman
sempat protes. Tapi ia tenang-tenang saja. Sebab itu sudah menjadi nilai
lebihnya. Tapi ia tidak akan seperti itu jika lawan bicaranya adalah Hasan.
Obrolan dengan Udud dengan terpaksa kuhentikan. Sebab ia terlihat malas
memberikan respon. Ia memilih buku sebagai pelariannya. Aku makan kacang.
Bukan. Yang benar aku dikacangin.
Hening tercipta.
Ruangan itu membisu. Desau napas seperti lenyap. Sudut-sudutnya yang
menghias mata, hanya menampilkan warna cat yang tidak baru lagi.
Manusia di depanku menjadi patung. Aku membayangkan, satu butir debu akan
terdengar sangat nyaring.
Aku ingin beranjak dari ruangan itu. Tapi aku menundanya beberapa saat. Aku
tidak mempunyai tujuan tertentu. Hanya menunda.
Sedetik berikutnya. Aku mendengar beberapa langkah kaki menuju pintu utama SAC.
Mereka bergerombol. Ada tawa renyah. Canda yang lezat. Serta keluh tentang mata
kuliah. Mereka semakin dekat. Aku terkesiap.
“Mas ...,” sapa mereka pada Vina. Aku yakin sekali.
Pintu ruanganku bergerak. Aku menatapnya lekat. Kemudian sepenuhnya
terbuka. Mereka masuk.
Aku tegang. Sebab mereka pernah melintas di depanku. Dulu. Saat di portal
dulu. Mereka manusia ‘berpendingin’ sehingga tatapan matanya dingin. Langkah
kakinya dingin. Ayunan tangannya dingin. Terlebih sikapnya.
Mereka sama. Baju mereka seperti kesepakatan. Panjang, namun kurang
menawan. Seperti berada dalam musim dingin. Silakan bayangkan!
Aku mengamatinya satu-satu. Aku semakin tegang. Sebab pikiranku tertuju
padanya. Ia yang di sana. Entah. Barangkali akan segera muncul. Menyusul
mereka.
Jumlah mereka ada lima. Satu melihatku dengan wajah curiga. Sebab ia
bertemu denganku saat aku mengisap rokok di portal. Dua bola matanya seperti
tertulis: dilarang merokok. Aku
sambut sorotnya. Ia kalah. Ia lekas memalingkan wajahnya. Merdeka!
Kelimanya kemudian membuat dirinya sibuk. Tiga duduk di depan komputer. Dua
memilih buku. Udud juga tetap tidak peduli dengan mereka.
Lalu satu dari mereka menyapa,
“Mbak ...”
Udud menoleh. Ia tersenyum. Tapi tetap tidak manis. Tidak lentur. Tidak
bersahabat.
Mereka bersalaman. Cipika-cipiki. Di depanku.
Hilal belum membuka mata. Ia masih berkencan dengan Paris Hilton.
Aku berdiri. Aku ingin sibuk. Tekadku. Untuk apa? Biar disangka mahasiswa.
Rak buku kupandangi dengan penuh cinta. Lalu kupilih satu; yang menurutku layak
dimanfaatkan untuk beraksi. Judulnya: Laila Majnun. Tapi satu kurang keren. Aku
mengambil satu lagi. Judulnya: Magdalena. Karya Al Manfaluthi.
Aku tidak semeja lagi dengan Udud. Sebab aku terkudeta. Udud tampak akrab.
Barangkali dengusan napas mereka sama. Atau mungkin juga gaya senyumnya.
Dua buku yang ada di tanganku saat itu sebenarnya membosankan. Sebab
keduanya sudah kulahap saat aku SMA. Saat itu, motivasiku hanya Merry. Bukan
tentang rasa haus akan sastra atau nama besar penulis yang terlahir di distrik
Manfaluth itu.
Aku buka lagi. Lembar pertama berisi prolog yang –menurutku- membosankan.
Tapi paling membosankan adalah pengantar penerbit.
Lalu, aku merasakan sesuatu yang tidak biasa. Mataku terekat kuat di pintu
itu. Pintu itu bergerak. Pelan. Tidak berderit.
Lalu, terbuka dengan utuh.
Dua bukuku tahu diri. Keduanya lantas menutup lembarannya dengan sukarela.
Lalu, ia masuk. Tubuhku bergetar dengan getaran yang sama. Mulutku
menganga. Ia ... Ia ada. Gumamku tanpa kontrol. Degup jantung. Ulu hati. Lalu
...
Ia mendekat. Aku kaku.
Ia masih sama. Oh keindahan. Peneduh kepala-kepala yang panas. Pencair batu
es amarah. Pengkristal almond, kemudian membasahi tanah-tanah yang gersang. Ia, ia berbaju dengan
warna teka-teki. Bukan merah. Bukan kuning. Lagi-lagi: Semburat.
Ia tersenyum. Ruangan terasa sejuk. Buku-buku itu menghamburkan
kalimat-kalimatnya. Mereka berbaris. Menundukkan kepala. Memuja-memuji. Oh keindahan.
Oh keindahan ... Oh keindahan. Maha Karya Tuhan. Maha Cipta Tuhan. Demi Nun
yang berdengung. Demi Pena yang menggaris semesta. Wa maa yasturuun.
Aku persembahkan ruh. Untukmu; ia yang melambaikan tangan.
Ia kemudian duduk. Ia menyatu dengan takdir keindahan.
Ia menyapa. Bersuara.
Kamu tahu takdir keindahan? Tidak.
Mereka berbincang. Renyah. Udud kembali sendiri. Manusia di depannya meninggalkannya.
Mereka lalu kompak memperhatikanku. Mereka tentu saja heran. Sebab aku
adalah anak Sastra Arab. Sebab aku bukan penampilan Sastra Arab. Sebab celanaku
jeans. Bau. Ada robek di dengkul. Itu aurat, kata mereka. Apa peduliku? Apa
peduli kalian?
Namun ia beda. Sorot matanya beda. Ia tidak mengancamku. Ia tidak heran
denganku. Dengan penampilanku. Ia mengangguk setuju. Ia mengayomi. Ia takdir
keindahan. Kalian tahu takdir keindahan? Tidak.
Ia membuatku bertanya. Mengapa? Kenapa? Sebab aku beda. Itu katanya. Ia
masih menatapku. Oh, keindahan. Oh, surga. Aku adalah daun maple yang
berjatuhan saat musim gugur datang berkunjung.
Aku jadi membayangkan. Kita sepayung berdua. Sebab daun maple yang jatuh
akan membuat kita semakin disatukan. Ada senja menyapa. Udara sejuk menerpa.
Genggaman tangan kita semakin erat.
Aku terus memandangmu. Apakah kau tahu?
Hening tercipta lagi. Mereka mulai menebakku. Ada apa denganku? Andai kau
tahu! Aku adalah bulir-bulir rindu yang segera ingin pulang. Jendela itu
harusnya terbuka untukku. Tapi siapa aku? Begitu tanyamu. Aku memilih diam.
Mereka kompak berdiri. Kemudian membuat janji bertemu lagi. Tapi ia masih
di sana. Sendiri. Sepi. Baju-baju yang bersepakat itu raib.
Ia berjalan menuju Buroq. Senyumnya hangat. Tapi Buroq berpura-pura tidak
melihat. Lagu lama! Picisan! Kampret!
Mereka kemudian berbincang. Akrab. Seperti sudah menahun mereka bersama.
Banyak kisah yang musti mereka ulas. Kenapa mereka akrab? Entah! Bukankah cinta
itu mengakrabkan? Bukan! Cinta bukan mereka yang akrab. Tapi cinta adalah
kesamaan intuisi. Kesamaan hati. Kesesuaian cara pandang. Tapi juga beda.
Melengkapi lebih tepatnya. Cinta itu melengkapi.
Mereka bukan berbincang tentang cinta. Tapi ia –Buroq- tahu bagaimana
menyuarakan cinta. Tapi ia bungkam. Aku yakin. Yakin sekali.
Lalu ia menoleh. Udud melempar senyum. Ia juga. Senyum beradu senyum.
Hangat bertemu hangat. Tapi salah. Senyum tidak pernah hangat. Senyumnya
absurd.
Ia mendekatinya. Kemudian menyapa,
“Mbak ...,” sapanya. Suaranya halus. Tapi melukiskan keramaian. Aku tidak melepasnya.
“Hai ...,” sahut Udud. Aku tahu, ia hanya punya sahutan itu. Tidak ada yang lain.
Mereka duduk berhadapan. Aku berdiri,
“Hm ... Boleh kenalan, Mbak?” Aku menyapanya. Aku adalah daun maple yang
berguguran.
Bodoh. Bodoh. Siapa yang menyuruhmu begitu. Ah ...
“Boleh, Mas ...” Ia menyahut. Suaranya halus. Aku daun maple yang
berguguran.
“Jangan. Kamu akan menyesal!” Udud menyebar racun. Tapi ia adalah penawar.
Ia membuat senyum untukku. Seperti khomer; memabukkan. Menghanyutkan.
Oh, keindahan. Oh, surga. Ilalang. Bianglala.
“Kalau boleh tahu namanya siapa?” Aku bertanya namanya. Aku daun maple yang
berguguran. Ia menjelma salju. Dingin membekukan. Oh, bianglala.
“Azalia.”
“Lengkapnya?”
“Sausan Azalia ...”
Aku mabuk. Aku mabuk.
Gulali,
Aku berkidung.
Ini tentang gulali. Manis.
Membuatmu tak bisa jauh.
Keramahanmu sungguh sakti.
Mengandung jutaan ajian yang pernah ada ribuan tahun yang
lalu.
Oh, gulali. Manismu membuatku terekat.
“Mas siapa?”
“Lintang. Aku Lin. Tapi mereka juga memanggilku Tan.”
Ia tersenyum lagi. Duh, Gusti. Dzat yang membuat takdir keindahan. Ia
datang dengan buah surga. Aku adalah maple yang berguguran. Ini musim gugur?
Bukan. Ia musim gugur.
“Aslinya mana?”
“Gresik!”
Alisku bertemu,
“Gresik mana?”
“Gresik kota,” katanya manja. Tiap detik, ayunya bertambah. Aku adalah daun maple yang
berguguran.
Lalu ia meninggalkanku,
“Mas, maaf. Aku ada kelas.”
Ia berlalu. Sementara aku masih menjadi daun maple yang berguguran.
Ia hilang. Ia menghilang. Tapi tidak. Wajahnya ia pinjamkan ke hatiku. Aku
memilikimu sekarang. Kau rapat. Tersimpan. Oh, keindahan.
Udud kembali membaca buku. Ia sendiri lagi. Aku tahu ia akrab dengan
Azalia. Bukan. Aku lebih suka memanggilnya musim gugur. Dua mata Udud
mengancamku. Ia membuat suara.
“Apa? Ente suka ya sama ia?”
“Siapa, sih, yang merelakan detik tanpanya? Tanpa wajahnya?” Aku menyahut.
Namun ia kurang nyaman mendengarnya.
“Gombal!” Ia kemudian berseru.
“Jika ia keindahan, maka aku wakafkan diriku untuk memujanya.”
Aku mabuk? Iya. Lalu? Aku adalah daun maple yang berguguran.
“Gila. Kamu bermimpi!” Ia berseru lagi. Kemudian mengatur napas. “Ia sudah
ada yang punya.”
“Semesta merasa memilikinya. Sebab ia keindahan.”
“Lalu kamu ingin apa?”
“Kamu ada nomor ponselnya?”
“Ada.”
“Boleh minta?”
“Izin yang punya!”
“Ia di mana? Ke mana? Ia sudah hilang.”
“Itu!” Ia menunjuk pada punggung Buroq yang sibuk merangkai kalimat yang
indah. Menggiurkan untuk dosen pembimbing.
“Haah ...” Aku hampir tidak percaya. “Memang, ia bapaknya? Bukan, kan?”
“Aku mau memberi nomornya. Jika kamu sudah dapat restu darinya!”
Udud tidak peduli lagi denganku. Ia benamkan wajahnya ke lautan kata. Buku
itu tebal sekali. Setebal alis Udud. Huft.
Aku dalam persimpangan jurang keangkuhan hatiku. Jika aku menuruti
permintaan Udud maka secara tidak langsung aku mengakui jika ia memang miliknya
Buroq. Itu jelas membuat dadaku penuh. Banyak molekul yang pasti akan meledak.
Ah, itu tidak akan terjadi.
Jika aku menuruti permintaan Udud, pengukuhan atas legalitas hubungan
keduanya terjadi saat itu juga. Jika sudah begitu, pantang bagi laki-laki untuk
membuat kekacauan atas legalitas hubungan mereka. Aku pun begitu. Meski aku
miskin, egoku ternyata kaya raya.
Opsi kedua. Jika aku tidak menuruti permintaannya maka aku telah
melepasnya. Ia tidak akan menjadi payung lagi. Ia tidak akan meneduhiku lagi. Maka aku akan gersang. Sebab dua
mata almondnya tidak akan meneteskan air kristalnya lagi. Aku akan mati. Mereka
akan mati. Dunia kering. Tandus. Oh, Tuhan. Andai saja ia tahu tentang tanah
yang gersang itu.
Aku merenung sejenak. Sebab aku akan membuat keputusan besar dan penting.
Pertimbangan yang mendalam sangat kubutuhkan ketika itu. Jika aku meminta
pertimbangan Hilal, tentu saja aku akan menghambat orgasmenya dengan Paris
Hilton. Jika itu terjadi, ia akan mendiamkanku banyak hari.
Aku masih merenung. Dua buku di depanku menjadi badut. Ia menjulurkan
lidahnya yang panjang. Ia menggoyang-goyangkan hidungnya yang besar. Ia
meledekku. Ia berbicara. Katanya aku adalah pecundang. Miskin. Nista.
Badut itu berlalu. Ia kemudian datang. Aku tahu ia penyair. Meski syairnya
tidak pernah laku. Apa syair itu harus laku? Tidak. Syair adalah penghayatan.
Percuma jika jiwamu gersang. Huruf-hurufnya tidak akan tumbuh subur di
kepalamu. Syair adalah jiwa. Jiwa adalah syair. Keduanya adalah satu. Seperti
Tuhan adalah aku, dan aku adalah Tuhan.
Oh, gulali.
Bagaimana aku membiarkanmu pergi,
Sedang rasa hausku sudah menahun.
Bagaimana aku tidak memujamu,
Sedang kau adalah keindahan ...
Aku bangkit dari dudukku. Aku menjelma pahlawan. Ego kusimpan rapat. Aku
akan menemui Buroq.
Aku menepuk bahu kanannya. Ia menoleh kaget.
“Ada apa, Sam?” tanyanya cepat. Aku mengambil napas.
Aku seperti abdi ndalem yang harus ngesot untuk mengatakan sesuatu
kepada junjungannya atau yang maha raja. Begitulah aku saat itu. Buroq
menatapku penuh curiga. Kupaksa aku sebagai orang yang dalam sakaratul maut,
sedang ia adalah jarum suntik yang berisi penenang. Penunda kematian. Jadi aku
sangat membutuhkannya.
Kubuka kalimatku. Aku mengatakan padanya jika aku meminta izin untuk
meminta nomor kontaknya Sausan. Ia seperti terusik. Tapi ia bersikap dewasa. Ia
melemparkan senyum untukku. Tapi aku tidak tahu jenis senyuman itu. Misterius.
“Silakan ...,” katanya pelan. Bibirnya seperti bergetar. Ia tampak tidak rela. Tapi
semunya adalah takdir. Sudah menjadi takdirnya untuk merelakan diriku menjadi
deretan pemujanya. Ia baik-baik saja.
“Terima kasih,” kataku. Kemudian memutar badan. Aku menang? Tidak! Sebab itu bukan
peperangan. Sebab peperangan baru saja dimulai. Detik itu juga.
Aku mendatangi Udud lagi. Ia sudah tahu tujuanku. Sebab itu, ia segera
mencatatkan nomor ponselnya. Ia yang di sana. Ia yang memberikan bekas surga.
Harum sekali jejak langkahnya.
“Nih ...,” kata Udud sambil menyerahkan sesobek kertas kecil. Isinya nomor itu.
Keindahan. Takdir keindahan. Dunia seperti bianglala. Penu warna. Memikat mata.
Aku tidak mengucapkan terima kasih untuknya. Meski jasanya teramat besar.
Aku menggenggam keindahan? Iya, benar! Bagaimana rasanya? Aku seperti
berjalan mendaki. Desau udara mengajakku bercanda. Bahasa indah dan lucu
sekali. Begitu kira-kira. Saat itu, sajian terbaikku adalah aku merasa bahagia
di depan mata-mata itu.
Aku tidak mempedulikan Hilal yang harus melayani Paris Hilton. Napasnya
terengah-engah. Namun ia belum orgasme. Pun dengan Paris Hilton. Itu gejala
figrid, canda Hilal renyah.
Aku meninggalkannya. Meninggalkan ruangan yang penuh dengan wajah monoton
itu. Terutama Udud. Mereka kutinggalkan dengan tenang. Tapi aku bahagia. Sebab
aku menggenggam keindahan.
Ia di mana? Di genggaman tanganku. Wajahnya? Iya, wajahnya! Bagaimana
dengan bintang-bintang yang menyala untuknya? Aku akan menjadi bintang yang
paling menyala. Akan kubuktikan itu. Aku janji.
Aku sudah berada di depan gedung E-6. Aku duduk menghadap bunga-bunga yang tumbuh
subur, tapi belum berbunga. Mereka seperti mandul.
Aku catat nomor itu di ponselku. Namanya: Nawang Wulan.
***
Hari sudah mulai siang. Jo tidak mengirimkan SMS. Jika begini, berarti Jo
sedang di fakultas. Aku memilih duduk di portal.
Aku membolak-balik ponselku. Di dalamnya ada ia. Ia yang begitu menawan
mata. Nomor ponselnya cantik, unik. Aku mudah sekali menghafalnya. Tapi aku
belum berani membuat keputusan.
Aku menunggu Jo. Dalam situasi seperti itu, Jo akan sangat membantuku.
Hilal tampaknya masih tenggelam dalam mimpi sensualnya. Sebab tiga puluh
terlewat semenjak aku meninggalkan SAC, ia tidak menyusulku. Tapi tidak.
Jikalaupun ia menyusulku, aku akan menghindar. Sebab aku ingin sendiri. Bukan.
Bukan sendiri. Tapi aku ingin bersamanya. Ia pemilik keindahan itu. Aku
berlebihan? Tidak. Sebab jatuh cinta pada jumpa pertama itu seperti sulap.
Tidak bisa dilogikakan. Ajaib.
Aku memutuskan untuk berkirim SMS kepada Jo. Tapi ada laporan menunda.
Dugaanku benar. Jo sedang merayu dosen pembimbing di fakultas.
Aku masih di portal. Hangatnya embusan angin membelai keningku.
Aku terbang. Terbang ke suatu tempat yang sangat jauh. Tidak ramai. Tidak
bising. Tidak ada Jo, Pak Ramon, Hilal atau teman-teman akrabku. Di tempat itu
aku hanya melihat keindahan. Semburat warna. Melukis cahaya. Ia memintalnya.
Kemudian menebarkan ke mana-mana. Ia tersenyum. Aku melihatnya.
Aku mabuk? Bukan hanya mabuk.
Aku kembali. Tubuhku terasa sangat segar. Seperti ada tiupan energi. Tapi
itu juga serupa not-not nada dalam permainan piano. Teratur. Harmoni. Tidak
ganjil.
Lalu? Sepertinya aku memang harus membuat sebab. Sebab tanpa sebab, akan
seperti itu-itu saja. Sebab tanpa sebab, aku tidak akan mempunyai jembatan
lagi. Rumah itu memang terbuka, namun mustahil aku masuk ke dalamnya jika jalan
menuju ke sana buram. Tidak tergambar. Dua mataku seperti menangkap gelap.
Hanya itu saja.
Aku mengambil ponselku. Nomor itu ada. Aku membuat sejarah, sebab itu kali pertama aku
membuat jalan menuju rumahmu. Rumah indahmu. Rumah bianglalamu. Semoga pintumu
belum terkunci. Itu harapku.
Aku berkirim SMS untuknya,
“Ternyata dunia ini memang teramat luas. Ada permata sepertimu aku tidak
melihatnya.”
Ia membalas,
“Maaf. Ini siapa?”
Aku membalas,
“Bukan siapa-sapa.”
Aku jadi tergagap. Kalimatku menjadi tidak beraturan.
“Hantu?” ia bertanya.
“Sejenis,” aku semakin tergagap. Sialan. Kenapa harus hantu. Kenapa ia tidak
bertanya Sang Penenun. Jika tidak demikian, tanyalah tentang Sang Penyair.
“Siapa, sih, ini?” ia mulai kesal. Aku tahu.
Aku jujur,
“Aku yang baru saja mengenalmu. Masih ingat?”
Ia tidak membalas. Aku maklum dan mafhum. Barangkali ia sedang di kelas.
Bisa juga ia sedang di dalam kamar mandi.
Tiga puluh menit terlewat lagi. Namun layar ponselku belum bereaksi. Ia
menyudahinya. Menyudahiku membuat jembatan. Mungkin pikirnya aku sudah sangat
letih. Mungkin juga ia tidak ingin aku menua. Atau bahkan menenun mimpi,
imajinasi yang sulit terbukti. Memang, keadaan yang hening selalu bisa
membuatku berpikir yang beraneka ragam.
Tapi ia di sana baik-baik saja. Semoga.
Aku memutuskan untuk segera meninggalkan kampus. Ada Jo yang harus kupinjam
kupingnya untuk ceritaku. Cerita tentang ia yang sudah bernama. Jo harus tahu.
Sebab Jo tidak akan meledekku lagi. Aku tidak mencintai bayangan. Aku tidak
mencintai bayang. Tapi aku mencintainya, ia, Nawang Wulan.
Belalang Tempur sudah kukeluarkan dari tempat peraduannya. Ia membaca
hatiku. Wajah garangnya menghamburkan senyum. Ia juga tampak bersemangat. Aku
membelainya. Ia meresponnya dengan meraung-raung ganas.
Aku memacunya.
Hanya tiga menit. Belalang Tempur sudah berada di luar gerbang UM.
Tiba-tiba Jo menelepon.
“Di mana, Sam?” tanyanya dari seberang sana.
“Depan kampus!”
“Mau ke mana?” ia bertanya lagi.
“Pulang.”
“Ok,” tukasnya. Telepon mati. Jo menghilang cepat. Semoga ia tidak mati.
Aku segera menuju kosan. Jalan Surabaya masih tampak padat. Hilir-mudik
mahasiswa masih menjadi hiasan utama.
Belalang Tempur melaju dengan damai. Pun begitu juga denganku.
Aku sampai. Aku memasuki gang menuju kosanku. Belalang Tempur kumatikan
sejenak. Kemudian kutuntun masuk.
Aku jadi teringat kata-kata Pak Ramon tadi pagi. Ia mengatakan tentang
kematian. Aku hampir melewati kios loundrenya. Kiosnya buka. Tapi terlihat
sepi. Dua karyawannya juga tidak tercium.
Aku terus menuntun Belalang Tempur.
Aku sekarang berada tepat di depan kiosnya. Ia mematung. Dua matanya
kosong. Wajahnya buram sekali. Aku menjadi iba. Aku mendekatinya.
“Pak ...,” sapaku. Ia menoleh pelan. Tidak terkejut. Dua matanya masih kosong. Namun
bibirnya bersuara.
“Iya ...”
“Pegawai Pak Ramon libur?”
“Aku liburkan. Sebab aku tidak ingin mereka mati!” serunya tegas.
Aku menabrakkan dua alis.
“Kenapa bisa begitu, Pak?”
“Aku melihat kematian itu. Aku melihatnya. Pakaiannya putih. Ia membawa
teman. Jadi jumlahnya empat.”
“Maksud, Pak Ramon?”
“Saat kamu mati, akan ada empat malaikat mendatangiku. Mereka
memberitahumu jika jatah hidupmu sudah habis. Tubuhmu akan menggigil. Sebab
kamu ketakutan. Wajahnya menyeramkan sekali,” jelas Pak Ramon panjang. Aku menelan ludah.
Kemiringan otak Pak Ramon sudah sangat parah. Ia mendongeng ilusi.
Namun aku menjadi penasaran.
“Mereka siapa? Siapa malaikat-malaikat itu?” pancingku.
“Mereka datang dari empat penjuru. Utara, selatan, barat, dan timur.”
“Mereka mempunyai nama?”
“Tidak. Mereka tidak bernama. Tapi mereka membawa kabar!” Pak Ramon
berseru. Sepertinya ia sedikit tersinggung dengan ulahku.
“Kabar? Bukankah mereka pencabut nyawa?”
“Bukan. Mereka datang berkabar. Tentang kematian. Tentang jatah hidup yang
sudah habis,” Pak Ramon diam sejenak, kemudian berbicara lagi, “Setiap mereka membawa kabar dari penjurunya
masing-masing. Lalu, tubuhmu melemas. Sebab kabar itu duka. Ketakutan. Ancaman.
Melebihi takutmu kepada iblis.”
“Pak Ramon pernah didatangi mereka?”
“Pernah.”
“Kapan?”
“Aku lupa. Tapi aku pernah mati. Mati itu sungguh menyakitkan!”
“Mereka berkabar apa kepada Pak Ramon?” tanyaku sedikit geli. Tapi Pak
Ramon tidak melihat wajah konyolku.
“Mereka berkabar tentang jatah udaraku yang habis. Rezekiku yang sudah
tidak ada lagi. Air yang menyembuhkan hausku juga sudah tidak ada. Dan bumi
yang sudah enggan kupijak. Mereka mengatakan itu. Dua matanya merah besar.
Embusan napasnya adalah api. Mereka bertubuh aneh. Aku ingin lari. Tapi aku
seperti bangkai.”
“Tapi kenapa Pak Ramon masih hidup?”
“Sebab aku belum mau mati saat itu!”
“Jadi, Pak Ramon mensomasi Tuhan?”
“Tidak”
“Lalu?”
“Aku membohongi malaikat-malaikat itu.”
Pak Ramon tertawa lebar. Aku terdiamkan. Aku tidak percaya apa yang ia
katakan. Sebab Pak Ramon kadang gila.
“Kemudian aku bermimpi. Malaikat-malaikat itu mengajakku bermain domino.
Jika menang, maka mereka akan membawaku kembali ke dunia. Aku terima tantangan
mereka. Dan aku menang. Maka itu caraku hidup kembali. Tapi sekarang, aku ingin
mati.”
“Kenapa Pak Ramon ingin mati?”
“Sebab mati itu enak. Aku bisa bermain domino. Di dunia ini, tidak ada yang
mau bermain domino denganku. Sebab mereka menganggapku gila. Termasuk kamu!”
Pak Ramon menusukku. Aku terdiamkan lagi. Kemudian membuat tawaran untuk
meredam geramnya padaku.
“Bukan begitu, Pak. Aku tahu Pak Ramon tidak ingin sendiri. Tidak ingin
kesepian. Tapi aku sering ada acara di kampus. Jika Pak Ramon mau, bagaimana
jika akhir pekan ini kita jalan-jalan. Biar Pak Ramon tidak sepi lagi.”
Pak Ramon tersentak,
“Ke mana? Ke akhirat?”
“Akhirat terlalu jauh, Pak?”
“Lalu kemana?” tanyanya cepat.
“Ke sebuah tempat yang tidak jauh dan tidak dekat. Di sana akan ada tawa-tangis, bahagia-sedih. Tapi kehidupan adalah tujuan mereka. Pak
Ramon berkenan?”
Ia diam. Tidak menjawab. Namun kepalanya mengangguk. Ia setuju.
Aku segera pamit. Ia tidak menoleh. Ia seperti melihat sesuatu yang lain.
Aku menuntun Belalang Tempur dengan sedikit tergesa. Sebab ia sudah
terlihat sangat ingin kabur dari wilayah Pak Ramon.
***
Malam yang indah, menggoda. Aku menerawang. Aku berpikir tentang sebuah
tempat yang kujanjikan kepada Pak Ramon. Mungkin kali ini, akan menjadi
persembahan terbesarku kepada Pak Ramon sebelum ia bertamasya ke akhirat
kemudian bermain domino dengan para malaikat.
Tiba-tiba aku teringat sebuah tempat. Letaknya lumayan jauh dari kampus.
Tempat itu berada di pedalaman. Di tempat itu, air mataku mengucur deras.
Namanya adalah Surga Teduh. Tempat itu adalah rumah harapan. Banyak anak
bermain riang di sana. Mereka adalah penggenap semesta, meski mereka sendiri
terlahir tidak genap.
Pikiranku melayang cepat ke sana. Aku melihat mereka. Aku melihat kedamaian
itu.
Malam semakin pekat. Dingin juga semakin memaksaku untuk mengatub. Selamat
tinggal hari ini. Semoga kita bertemu lagi.
***
Pagi-pagi
sekali. Aku menyapa Nawang Wulan. Di depan Tuhan. Di depan malaikat-malaikat.
Topss....joosh🏊
BalasHapusSaya tunggu cerita selanjutnya. Mantab
BalasHapusSiyap Bunda. Hari ini saya post. Alurnya mundur-maju
Hapus