Rabu, 25 Januari 2023

Tulisan Yang Tak -Pernah- Usai (Ng-Ainun Naim)

 

Tulisan Yang Tak -Pernah- Usai (Ng-Ainun Naim)

Prolog

Masih segar dalam ingatan saya. Saat itu, 2015. Saya kali pertama menjadi bagian keluarga besar kampus tercinta ini, UIN SATU Tulungagung (dulu IAIN-TA). Sebagai keluarga baru, waktu senggang setelah mengajar saya manfaatkan untuk mengamati banyak hal baru yang ada di depan mata saya. Semua serba menjajikan keajaiban. Saya menghela napas lega. Tuhan selalu tepat waktu memberikan apa yang terbaik untuk hamba-hamba-Nya. Saya didaratkan di sebuah kampus yang revolusioner, membangun peradaban, dan pelopor dakwah; setelah sebelumnya saya merasa sangat lelah dengan sejarah panjang hidup yang saya habiskan di jalan –menggelandang-, dan tak punya jangkar yang bisa saya gunakan untuk mengantisipasi saat waktu benar-benar sadis menghabisi saya. Sebab itu, sembah sujud syukur saya haturkan pada-Nya, pada semesta, dan pada tanah yang saya pijak hingga hari ini. Dan terima kasih yang tak terukur untuk rumah besar ini; terima kasih atas selimut pengetahuan yang menghangatkan tubuh saya. Sekali lagi terima kasih.

Lalu, saya duduk di sebuah warung kopi yang tidak pernah saya kenal sebelumnya. Warung berpetak itu terletak di depan gedung tempat saya mengajar. Saya segera mengeluarkan sebuah buku yang sejak kemarin sore terlelap di tas hitam saya. Buku itu sederhana. Tidak tebal. Tidak mengejutkan. Akan tetapi mampu menyita perhatian saya; mengurung kegemaran saya membaca. Saya baca pengantarnya. Beberapa nama keren nampang dalam pengantar. Lalu saya melanjutkan ke bagian daftar isi. Dan dari sinilah saya tahu bahwa ternyata buku itu terpolarisasi menjadi dua kubu besar: menolak dan mempertimbangkan. Menolak yang dimaksud adalah menolak konsep pemikiran yang kala itu –diangggap- sangat kontroversi, dan jahat. Sementara mempertimbangkan dalam hal ini –menurut saya- hanya “mencari selamat” dari beragam komentar destruktif yang kelak berdatangan kepada penulisnya. Tapi terlepas dari pendapat “gila” saya, beberapa tulisan yang masuk dalam kubu mempertimbangkan ini adalah upaya memaklumi pemikiran dari sudut pandang akademis; melepaskan konsep surga dan neraka. Pemikiran ya pemikiran, hasil kerja cantik Tuhan yang dianugerahkan kepada manusia.

Saya seperti sedang berada dalam proses de javu; saya kembali terbang ke sebuah waktu dimana saya masih galak-galaknya menjadi seorang mahasiswa. Dalam sebuah forum besar, yang ketika itu mendatangkan seorang pemateri dari unsur agamawan, beliau adalah KH. Luthfi Bashori. Saya yang masih bau kencur -tapi kata teman saya, bau kemiskinan :D-, dengan berapi-api menolak apa yang disampaikan oleh beliau. Beberapa teman saya menepuk bahu saya dan mengatakan: “Sudah. Kamu suul adab!” Kemudian saya menyudahinya sambil menggerutu dan menampilkan wajah seolah-olah saya menerima semua “kekalahan” saya. Mereka yang menepuk bahu saya, melempar senyum aneh dan mengamini kekalahan saya.

Lalu, di mana benang merahnya?

Begini, buku yang saya baca ketika itu memiliki tema yang sama dengan forum besar yang diisi oleh KH. Luthfi Bashori tersebut. Satu tema yang sama: tentang JIL, Jaringan Islam Liberal, yang digagas oleh Ulil Abshor Abdalla (Cendekiawan muda NU). Dan tiba-tiba saya tertawa. Menertawai “kelucuan” saya ketika suul adab dengan beliau, KH. Luthfi Bashori. Saya tidak pernah kenal dengan Ulil Abshor Abdalla. Tidak pernah bertemu. Tidak pernah ditraktir ngopi. Tapi saya membela habis-habisan saat ia dikatakan halal darahnya hanya gegara pemikiran JIL-nya.

Dan sekarang, lupakan de javu saya. Mari terbang lagi ke 2015. Ke hamparan buku yang saya baca di warung kopi depan gedung tempat saya mengajar. Jujur, setelah beberapa halaman saya baca, rasa bosan saya mulai muncul. Sebab, di bagian yang pertama, kubu yang menolak narasi-narasi yang disampaikan hampir sama: menghakimi dan menghukum. Akan tetapi, kebosanan saya tiba-tiba menguap. Ada satu penulis yang membuat saya tidak jadi menutup buku itu. Nama dari penulis itu begitu asing, sederhana, kolot, dan –kayak-kayaknya- tidak banyak menjajikan kejutan. Namun, instansi tempat penulis itu mengabdi membuat saya menganulir niat saya untuk segera beranjak dari tempat itu. Penulis itu bernama Ngainun Naim. Dan saya langsung bergumam: “Sudah tahun 2015 masih saja tidak tanggap EYD.” Tapi saya tidak peduli dengan nama itu. Saya hanya peduli dengan tempat beliau bekerja: IAIN Tulungagung. Paragraf demi paragraf saya kunyah habis. Aneh, tidak menyangka jika paragraf-paragraf yang saya kunyah habis itu menghasilkan banyak energi dalam kepala saya. Tulisan-tulisan beliau sangat diplomatis, segar, tapi juga terkesan “cari aman”. Melalui tulisan itu, beliau mencoba memaklumi gagasan JIL. Sebab, kerangka pemikiran yang diajukan JIL ternyata sudah ada sejak dahulu kala. Menurut beliau, para pemikir Islam dulu juga sudah berdebat hebat perihal sebuah gagasan atau pemikiran, misalnya saja perdebatan antara Ibnu Rush dengan Hujjatul Islam Imam Ghazali. Atau tentang gagasan Salman Rushdie melalui ayat-ayat setannya (The Satanic Verse); yang menjadikan ia diburu banyak orang dan harus dihabisi. Artinya, gagasan JIL ini adalah hal biasa. Tidak ada yang mengejutkan bagi beberapa kalangan. Perihal penolakan, itu adalah bonus, yang pada akhirnya dalam jangka panjang banyak orang akan “terangsang” otaknya –setidaknya- meng-counter gagasan itu, atau sebaliknya, menguatkan dan memperkaya gagasannya. Tapi sekarang, lupakan tentang buku itu dan tempat saya menumpang membaca. Mari saya ajak kembali pada masa sekarang. Silakan nikmati apa yang saya tulis tentang nama yang dulu pernah saya serapahi dengan kalimat “tidak tanggap EYD”.

Keramatnya Nama “Ng-Ainun Naim

Tuhan membayar lunas gumaman saya. Kira-kira begitu jika apa yang saya rasakan menjadi headline surat kabar berkelas nasional. Ini tidak berlebihan. Saya hanya mengatakan: Nama itu punya keramat: Ngainun Naim.

Saya lahir di keluarga pesantren salaf. Sejak kecil, kata keramat sudah keseringan hinggap di telinga saya. Keramat -sementara ini- bisa dimaknai sakti, bertuah. Tapi kata ibu saya, keramat itu malati. Setelah saya beranjak dewasa, saya riang gembira sebab kata keramat mulai tereduksi di keluarga saya. Tapi “sialnya” kata keramat itu -sekarang- lebih sering berdengung di telinga saya tatkala saya menikah dengan perempuan Arab, dan aktif berinteraksi dengan keluarga besarnya. Di keluarga Arab, kata keramat akan disebut puluhan kali dalam sehari. Apa pun itu, jika memliki sejarah, pasti dikatakan keramat. Kebetulan, Ayah mertua saya ini adalah “juru kunci” dua makam yang tiap hari tidak pernah sepi pengunjung. Tiap tahun puluhan ribu orang datang berkumpul di rumah untuk mengikuti acara Haul. Jelas, ini keramat, kata istri saya, dan batin saya. Sudah meninggal ratusan tahun yang lalu masih saja bisa memberi manfaat ke orang lain. Itu hanya satu contoh. Masih banyak yang lain yang tidak bisa saya absen satu-satu. Yang jelas, saya sekarang sering mendengar kalimat: keramatnya ini, keramatnya itu. The Miracle of Keramat. Hahaha.

Sudah. Sekarang kita Kembali ke nama yang saya sebut tadi. Anda semua pasti bertanya: di mana keramatnya? Atau bagaimana keramatnya? Begini kawan. Saat saya mengatakan jika Ngainun Naim adalah nama yang tidak tanggap EYD, saya sudah tidak peduli lagi dengan nama itu. Toh, selang beberapa hari setelah saya mengatakannya, saya juga tidak merasakan apa-apa. Nafsu makan saya baik-baik saja. Nabeela Syakieb juga tetap cantik di mata saya. Mata saya tetap normal. Serapahan saya tidak mendatangkan ke-malati-an seperti istilah Ibu saya. Artinya, jiwa dan ruh saya tidak terganggu. Sehat-sehat saja.

Lalu di mana keramatnya?

Waktu begitu cepat berputar. 2015 menuju 2018 seperti kedipan mata. Tahun 2017, novel pertama saya diterbitkan LKiS Jogjakarta. Dan ajaibnya, orang pertama yang memberi kritikan novel saya adalah Ngainun Naim.

Kok bisa?

Kala itu, saya mengajar di kelas PAI, dan salah satu mahasiswa saya bernama Ngainul Yakin. Ia dekat dengan saya. Tapi tak sekalipun ia bercerita bahwa ia sefrekuensi dengan Ngainun Naim. Ia tidak pernah mengatakan jika ia adik kandung dari sebuah nama yang tidak tanggap EYD itu. Ia hanya mengenalkan dirinya, bahwa ia bernama Ngainul Yakin yang Ketika saya tanya hobinya adalah membaca. Dan saat novel saya mulai beredar, Ngainul Yakin membeli novel saya, lalu minta tanda tangan. Saya minta pendapatnya, tapi ia mengatakan jika ada seseorang yang mengkritik novel saya. Tapi ia tidak pernah meyebut nama Ngainun Naim. Ia hanya menyebutnya “seseorang”.

Saya ingat betul sabda seseorang itu. Katanya, saya adalah penulis pemula, jika menulis jangan ambisius. Ketebalan buku dan harga harus diperhitungkan. Saya berusaha mati-matian mencetak senyum di depan Ngainul Yakin. Menunjukkan jika kritikan itu sangat lezat, mengalahkan Hoka-Hoka Bento Blackpepper Miso Chicken. Dan saya akan berusaha keras untuk tidak terus-terusan menjadi penulis pemula. Ngainul Yakin undur dari dari hadapan saya. Kepala saya penuh dengan kurcaci yang bertanya: Siapakah seseorang itu?

Setelah mengabisi ribuan detik. Saya mulai bermain ilmu cocokologi. Ngainul Yakin dan Ngainun Naim rasa-rasanya terlahir dari rahim yang sama. Juga sama-sama tidak tanggap EYD. Sejak saat itu, saya mulai bergerilya. Bertanya ke banyak mahasiswa tentang keduanya. Dan akhirnya, misteri itu terpecahkan juga. Keduanya benar-benar satu frekuensi. Jika di republik ini ada gen Halilintar (Ashiyaaaap Hahaha), maka di kampus ini ada gen Ngainun.

Saya mulai memungut satu persatu puzzle yang berserekan itu. Saya mulai menatanya untuk menjadi jalinan yang utuh. Ada rasa malu yang sangat dahsyat menyerbu perasaan saya. Sejurus dengan itu, jiwa kolot saya juga berteriak: Ini Keramat.

Setelah kejadian itu. Ada dorongan kuat dari dalam diri saya untuk membaca ulang tulisan beliau di buku tentang JIL yang saa baca dulu. Terhitung 4x saya tuntas membacanya. Tidak berhenti di situ. Saya mulai bergerilya mencari tulisan-tulisan beliau yang lain. Saya memang beruntung, -dan mungkin- saya sedang dalam keramat beliau. Banyak tulisan beliau saya dapatkan, meski tidak semuanya saya baca. Sebab tetiba saja ada misi baru muncul dalam hati saya. Saya harus nekat mendekat ke beliau. Seperti kata Jet Lee dalam satu filmnya: Belajarlah kepada orang yang sudah purna melaksanakannya. Itu tekad saya. Saya harus dekat dengan beliau. Saya tidak ingin terus-terusan mejadi penulis pemula. Saya akan mengatakan kepada beliau jika nama yang tidak tanggap EYD itu ternyata “keramat”. Dan saya adalah saksi hidupnya. Sejak beliau tahu nama asli saya, saya langsung memohon kepada beliau untuk dibaiat menjadi pengikut setia beliau. Dan lamaran saya ditolak. Hahaha. Tapi tidak lama setelah itu, saya diizinkan menumpang kapal besar beliau untuk bersama-sama belajar menulis. Kapal itu bernama: SPK (Sahabat Pena Kita). Tuhan Maha Asik. Dia membuka mata saya jika saya -ternyata- sedang bermain-main dengan nama yang penuh keramat.

Akhirnya. Saya benar-benar merasakan bahwa nama beliau benar-benar keramat. Sejak mendapat siraman ilmu beliau, saya sudah tidak peduli lagi dengan cita-ciata saya menghapus predikat saya sebagai penulis pemula. Beliau menyadarkan saya, tidak penting pemula atau profesional, yang terpenting menulis, lalu menulis, dan menulis lagi. Kalimat sakti ini persis dengan apa yang disampaikan oleh Ernest Miller Hemingway (Juranalis Senior USA, Novelis): Tidak Ada Tips Dalam Menulis, Kau Tinggal Duduk Di Depan Mesin Tik Dan Berdarah.

Kini, nama yang tidak tanggap EYD itu menjadi lentera. Menerangi. Membuka jalan bagi kebekuan akal. Ribuan paragraf lahir dari jemari lentiknya. Nama itu adalah oase. Para musafir ilmu akan mendekat, lalu merasa dekat. Meminun air keramatnya. Siapa pun yang mengenalnya, seolah-olah sudah bersahabat ribuan tahun yang lalu. Seperti saya ini. Meski saya adalah ‘korban’ dari keramatnya nama itu, saya sekarang adalah orang yang beruntung. Lentera itu terus ada di depan saya. Tak pernah redup. Selalu mencipta terang. Dan selalu membuat saya, mereka, adalah orang yang sangat dekat dengannya.

Epilog

Beberapa waktu yang lalu saya dan istri menonton Film terbarunya Angga Dwimas Sasongko yang berjudul Mencuri Raden Saleh. Film ini berkisah tentang kejahatan yang dikalahkan oleh kejahatan. Diperankan oleh aktor-aktor kekinian, semisal Angga yananda dan Iqbal Ramadhan serta diperkuat oleh aktor senior Tiyo Pakusadewo. Film ini sangat menarik meski tidak pernah usai. Ending-nya masih nggantung, dan tentu saja menyisakan pertanyaan: Kapan lanjutannya akan tayang?

Persis dengan nama keramat itu. Beliau tidak pernah usai. Beliau selalu membawa kisah yang akan terus bersambung. Beliau tahu, masih banyak dari kami yang kehausan. Banyak dari kami yang berada di ujung Lorong kegelapan. Sebab itulah, lentera itu akan selalu menyala. Di mana saja. Dan kampus ini beruntung, telah lebih dulu membingkainya.

Sekian. Jangan lupa Bahagia. ^_^

 *Tulisan ini sebenarnya saya persembahkan untuk beliau saat pengukuhan guru besar. Tapi tetiba saja saya sakit. Aksara di kepala lenyap semua. Beruntung saya masih hidup. Dan akan terus memaksa beliau untuk mengangkat saya sebagai murid setia beliau :D :D :D

 

 

 

Minggu, 22 Januari 2023

Pembekalan DPL KKN

 

Pembekalan DPL KKN

(16 Januari 2023)

 

Mendung bergelayutan di lengan langit sejak pagi tadi. 16 Januari 2023. Dan agenda hari itu adalah Pembekalan DPL KKN Gelombang I Tahun 2023. Bahkan, di setengah hari menjelang pukul 12 siang, atau satu jam menuju pelaksanaan pembekalan, hujan deras mengguyur rata di sekitar kampus UIN SATU Tulungagung. Saya yang berada di sekitar 2 kilometer, dan sedang berada di atas kasur dalam posisi PW, saya bergumam: “Hujan Memang Kenal Waktu”. Dengan derasnya yang tampaknya akan berhenti sore hari, saya hampir pasti mempunyai alasan syar’i untuk tidak hadir di acara pembekalan tersebut. Tapi nyatanya, hari itu, saya memang ditakdirkan untuk menjadi DPL yang baik. Hujan berangsur mereda. Dan tepat jam 1 lebih 10 menit hujan berhenti total. Saya tancap gas menuju Rektorat Lantai-3. Acara masih belum dimulai. Saya menghela napas lega. Segera saja saya menyapa yang hadir di sana. Wajah mereka sama. Tetap penuh semangat. Di atas kepala mereka sedang terangkai berbagai macam rencana ajaib untuk dilaksanakan pada kelompok KKN mereka masing-masing.

Setengah 2 siang tepat. Para pejabat LP2M selaku pemegang otoritas pelaksanaan KKN sudah siap di meja masing-masing. Tampak di sana Prof. Dr. Ngainun Naim. M.H.I.; yang merupakan ketua LP2M, sedang membetulkan kerah baju beliau yang sebenarnya sedang baik-baik saja. Juga ada Kiyai Nafis, yang saat ini menjabat sebagai Kapus Pengabdian Kepada Masyarakat, duduk bersebelahan dengan beliau. Dua tokoh hebat; kreator di balik suksesnya LP2M UIN SATU Tulungagung menjadi pelaksana KKN terbaik di tingkat PTKIN tingkat Nasional. Di samping kedua tokoh tersebut, ada Mas Ahmad Natsir sebagai pemandu jalannya pembukaan Pembekalan DPL KKN siang itu.

Acara dibuka oleh Mas Natsir dengan senyum khasnya yang menggoda iman. Kami terkesiap. Beberapa di antara kami bahkan tampak hening; menebak-menebak kira-kira apa yang akan dibekalkan pada kami tahun ini. Apakah de javu; mengulang yang sudah-sudah, ataukah ada hal baru yang bakalan menjadi modal kami untuk berimprovisasi di lapangan. Setelah Mas Natsir selesai membuka acara, kesempatan pertama diberikan kepada Kiyai Nafis. Dalam kesempatan kali ini, beliau tampak kelihatan sedikit lebih pening. Tapi tetap saja, wajah bersahaja beliau tetap menempel kuat di sana. Beliau menyampaikan beberapa hal, di antaranya adalah jumlah peserta KKN yang tidak hanya membengkak tapi juga meledak. Tercatat ada sekitar 4 ribu lebih peserta KKN yang tersebar di semua sektor Program KKN Tahun 2023, termasuk KKN yang berbasis komunitas yang dipusatkan di daerah-daerah potensial, semisal lereng Bromo yang berada di Kawasan Probolinggo atau lereng Ngaliman yang berada di wilayah Kabupaten Nganjuk. Kiyai Nafis, dengan helaan napas pendek, beliau menyampaikan bahwa membludaknya peserta KKN ini karena faktor aplikasi yang sedang bermasalah. Tapi beliau dengan cepat menyampaikan juga, bahwa membludaknya peserta KKN ini membawa berkah yang banyak, khususnya di periode KKN selanjutnya. Artinya, jika periode ini peserta KKN banyak, maka periode berikutnya akan menjadi mudah bagi pengelola KKN, karena -tentu saja- jumlahnya akan mengecil. Selain itu, Kiyai Nafis tidak pernah bosan mengingatkan kami akan tagihan-tagihan wajib sebagai DPL, terutama masalah nilai dan hasil pendampingan. Jangan sampai dua tugas ini terlambat dengan tenggat waktu yang lama. Sebab keterlambatan ini akan berimbas pada program Fakultas. Kami semua mengangguk patuh. Lalu kami berjanji dalam hatil kecil kami untuk tepat waktu dalam segara urusan. Sebagai penutup, Kiyai Nafis menyampaikan bahwa sebagai DPL, kita semua harus terus melakukan pendampingan kepada peserta KKN masing-masing. DPL harus sering-sering memberikan wawasan tentang kondisi alam dan cuaca pada tahun ini. Jangan sampai kejadian-kejadian pada KKN periode sebelumnya terulang lagi. Beliau juga berpesan kepada DPL untuk terus mengingatkan kepada mahiswa terkait kesalahan-kesalan berulang yang dibuat oleh peserta KKN, misalnya tidak membayar listrik kontrakan yang dijadikan Posko KKN, peserta KKN tidak mau serawung dengan masyarakat setempat, dan jika terjadi masalah di lingkungan KKN, peserta diwanti-wanti untuk tidak tergesa-gesa mengunggah ke media sosial. Kiyai Nafis menyudahi pengarahan beliau dengan berpesan bahwa DPL dan peserta KKN jangan pernah menjajikan kepada masyarakat yang berkaitan dengan finansial. Jika ditanya tentang modal yang dibawa, maka jawab saja dengan modal iman dan takwa. Penutup Kiyai Nafis disambut riuh para DPL; yang sebagian tidak menyimak, tapi ikutan bersuara karena yang lain bersuara :D

Mas Ahmad Natsir kembali memegang kendali. Berikutnya, beliau mempersilakan kepada Prof. Naim (begitu sapaan akrab beliau), untuk memberikan prakata yang bisa memotivasi kami. Segera saja beliau memanfaatkan kesempatan yang diberikan. Wajah beliau selalu berseri. Saya tahu sejak dulu. Begitu pula dengan kami semua. Kami tidak sabar mendegar pesan-pesan beliau. Namun alih-alih memberikan pesan, beliau malah bercerita tentang beliau yang akan dilaporkan ke pihak yang berwajib karena dianggap “memaksa” mahasiswa untuk ikut program KKN. Dengan gaya bercerita beliau yang khas, beliau mengatakan bahwa dulu pernah ada peserta KKN yang mengalami keguguran. Dan kebetulan, suami dari peserta KKN tersebut adalah seorang aparat. Sehingga, dengan tabiat keaparatannya, aparat tersebut bersikeras akan membawa kasus keguguran ini ke ranah hukum, dengan tersangka utamanya Prof. Naim. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana jadinya Prof. Naim harus diinterogasi pihak yang berwajib. Jelas pemadangan yang sangat kontradiktif. Masak iya, tukang interogasi (baca: reviewer) harus diinterogasi. Saya tertawa kecil dalam hati. “Ada-ada saja,” gumam saya dalam hati. Tapi pada akhirnya, semua kesalahpahaman itu bisa terselesaikan dengan baik setelah pihak yang merasa dirugikan ditunjukkan surat pernyataan persetujuan ikut KKN yang ditandatangani di atas materai. Sang aparat ternyata tidak pernah menadatangani surat tersebut. “Nah,” kata Prof. Naim. Jangan sampai kejadian lucu ini terulang lagi. Maka sebagai respon dari kasus tersebut, pihak LP2M membentuk sebuah organ baru dalam KKN dengan nama KKN Inklusi. KKN ini khusus untuk mengakomodasi peserta KKN yang sedang hamil atau menyusui.

Meskipun disampaikan dengan model jenaka, cerita dari Prof. Naim tersebut memuat pesan yang sangat berharga untuk kami para DPL. Saya menangkap, Prof. Naim dalam ceritanya tersebut, sedang “mendakwahi” DPL agar selalu teliti dalam setiap administrasi yang berkaitan dengan kegiatan KKN. Jangan sampai ada rekayasa surat-menyurat atau pemalsuan tanda tangan. Untuk selanjutnya, Prof. Naim berbicara banyak tentang tagihan-tagihan para peserta KKN sekaligus para DPL. Beliau bepesan, tagihan tersebut jika dikerjakan bertahap pasti akan selesai tepat waktu. Jangan diborong dalam semalam. Prof. Naim, yang memang passion beliu di dunia literasi, beliau mengatakan bahwa program KKN ini sangat bagus untuk para DPL. Setidaknya, dengan adanya program KKN ini DPL “dipaksa” untuk terbiasa menulis. Bisa berupa catatan harian (diary) atau laporan PKM (Pengabdian Kepada Masyarakat) yang bisa membantu Prodi dalam kegiatan Akreditasi. Ringkas, padat, dan sangat mengena. Begitu komentar saya atas prakata beliau. Setelah, sekali lagi, melempar harapan besar kepada kami; para DPL, Prof. Naim menyudahi prakata beliau. Beliau menutup dengan salam hangat, dan kami menjawab sambil bertepuk tangan.

Mas Natsir yang mengetahui Prof. Naim menyudahi prakata segera mengambil alih kendali lagi. Beliau berkata, acara berikutnya adalah tanya jawab. Setelah sesi tanya jawab dibuka, banyak DPL yang melemparkan pertanyaan. Mulai masalah KKN yang berkelanjutan, penghargaan bagi DPL terbaik, sampai Jamak-Qoshor kunjungan KKN. Semua pertanyaan terjawab dengan sangat baik dan memuaskan. Setelah sesi tanya jawab selesai, maka acara pembekalan DPL KKN dinyatak selesai. Sebagai penutup, kami yang hadir di sana melakukan sesi foto dokumentasi, dan puncaknya, kami makan nasi kotak yang disediakan oleh panitia.

Sabtu, 14 Januari 2023

Secangkir Kopi Untuk Hanna (Novel Series) - Luthfi Madu

***

Aku minta maaf, Bay, kataku di sela-sela makan malam kami.

Sudah lupakan saja. Itu tidak penting. Yang penting kamu masih laki-laki, sahutnya santai. Apakah Spanyol sudah tidak menarik lagi? tanyanya kemudian.

Bukan itu. Pelan, aku menjawab pertanyaannya.

Hanna?

Aku tak kuasa menjawab. Nama indah itu membuatku kaku. Abay sahabat yang selalu bisa mengerti isi hatiku. Aku menunduk. Kemudian pamit untuk meninggalkan meja makan. Aku lihat, Abay menyusulku.

Aku mengambil duduk di beranda. Udara malam yang sejuk menyentuh keningku.

Kamu jangan cengeng, Faya! Apa gunanya sepuluh tahun sembunyi di Spanyol jika kamu masih saja seperti ini, ujar Abay sambil menepuk bahu kananku. Lalu mengambil duduk di sebelahku.

Nama itu, Bay. Nama itu. Hanna. Andai kamu tahu! Suaraku parau.

Aku tahu. Tapi aku muak lihat kamu seperti itu. Aku tanya, kenapa kamu tiba-tiba saja meninggalkannya? Bukankah ia sangat butuh dirimu ketika itu?

Abay bukan saja tidak iba, tapi ia juga menyalahkanku. Kepergianku ke Spanyol adalah keputusan bodoh di matanya. Tidak. Tidak, Kawan. Bukan begitu kebenarannya. Banyak hal yang sengaja kusimpan.

Terjadi perdebatan yang sangat hebat dalam hatiku. Tentang kejujuran, atau tetap menyimpan rapat rahasia itu. Kepergianku. Atau, kenapa aku harus meninggalkan Hanna.

Aku jujur, maka aku melanggar sumpahku. Aku tetap menyimpan rahasia ini, maka Abay akan terus menyalahkanku.

Kenapa kamu diam? tanyanya galak. Aku berkeringat dingin. Bagaimana kamu bertanggungjawab? Faya! Kamu dengar aku ngomong, kan?

Iya. Iya aku dengar. Sebaiknya kamu jangan terus menyalahkanku, Bay. Silakan duduk. Mari kita bicara baik-baik, ajakku. Aku ingin mendinginkan suasana. Abay menurut. Tapi wajahku hanya bisa menatap langit. Tak mampu menatap wajahnya.

Apa yang ingin kamu katakan? desaknya lagi.

Saat itu, saat menjelang petang. Hanna datang menemuiku. Ia tidak berbicara apa-apa. Hanya diam. Aku mendesaknya. Ia tetap bungkam. Lalu pergi meninggalkanku. Aku mengejarnya. Ia sudah tidak ada. Dan pada pagi buta, besoknya, aku ke rumahnya. Namun rumah itu tidak berpenghuni lagi. Rumah itu bukan rumahnya lagi. Rumah itu sudah berpindah tangan. Aku sangat putus asa. Aku tak tahu harus mencarinya ke mana lagi ketika itu, uraiku panjang. Abay diam. Tidak menyela sedikit pun. Tampaknya, ia sedikit menyesal karena sudah menyalahkanku. Ketika itu, aku sudah mati. Benar-benar mati, Bay! sambungku emosional.

Kenapa kamu tidak mengubungiku?

Ketika itu, aku hanya bisa terlentang. Kak Sameera sangat ketakutan. Dan aku tak ingat siapa pun. Aku hanya bertanya, kenapa Hanna bisa begitu tega meninggalkanku?

Jadi, kamu menyalahkan Hanna?

Bukan begitu maksudku. Aku tidak pernah menyalahkannya. Aku hanya terus bertanya. Kenapa Hanna harus meninggalkanku?

Abay menepuk bahuku. Ia melunak. Rasa ibanya mulai berjatuhan seperti rintik hujan di depan kami.

Lalu bagaimana kamu bisa pergi tanpa kabar? Apa aku tidak kamu anggap teman lagi?Abay terus mengintrogasiku.

Kak Sameera, Bay. Ia yang menginisiai kepergianku ke Spanyol. Itu memang pilihan yang paling baik. Kak Sameera tahu, jika aku memaksa diri untuk terus bertahan di Malang, maka aku bisa gila. Kak Sameera tidak ingin itu terjadi. Kami hanya dua bersaudara. Ia yang merawatku sejak kecil.

Dengan jalan tidak pamit?

Semua terjadi begitu cepat. Aku tidak ingin membuatmu susah dengan keadaanku. Aku merahasiakan ini darimu. Bahkan, Kak Sameera juga harus berjanji menelan semuanya. Dan kamu tahu?

Apa?

Sepuluh tahun itu tidak bisa menyembuhkanku. Aku semakin gila. Hanna, Hanna, dan Hanna. Ia membara di sini. Aku menunjuk dadaku.

Lalu tujuanmu ke sini?

Hanya kamu sahabatku. Aku tidak memiliki siapa-siapa lagi selain Hanna, Kak Sameera, dan kamu. Aku minta maaf. Aku akui, aku memang salah. Tapi semoga, kamu bisa mengerti, kataku memohon. Aku ingin mencari Hanna. Di mana pun ia berada, lanjutku.

Jika ia sudah tidak ada?Abay melemparkan pertanyaan yang sangat menakutkan. Hatiku bergetar hebat. Itu tidak mungkin, Hanna. Kau pasti sedang baik-baik saja. Aku pasti menemukanmu.

Aku tidak ingin menjawab. Aku hanya ingin mencarinya.

Apa yang bisa kubantu?

Jika tidak keberatan, kita temukan Hanna bersama-sama. Ia juga mengenalmu dengan sangat baik. Hanna adalah kita. Kita bertiga. Kita hidup di dunia yang sama. Kamu tentu masih ingat, saat kita makan bertiga di kantin sekolah itu? Kita selalu di sana saat bel istirahat berteriak kencang.

Tidak perlu bernarasi Panjang lagi. Besok, kita temukan Hanna!

 

Menembus Batas

Aku merasakan malam yang sangat panjang. Tak sedetik pun mata ini mengatup. Aku hanya melihatmu, Hanna. Kau tersenyum manja. Seperti yang dulu. Lalu mengajakku menikmati hari yang sudah menua. Saat udara dingin, aku meminjamkan jaketku. Lalu kau berbisik tentang esok hari yang tak pernah sepi. Waktu yang berjalan merambat, dan bianglala selalu hadir di sore hari. Kau juga kadang menari. Gerak tubuhmua adalah bahasa. Kau seoalah berbicara: Panjangkan umur kami!

Pagi menjelang. Aku menatap ke atas langit. Awan sudah berkejaran di atas sana. Abay sudah siap segalanya. Kami berangkat.

Kita ke Malang. Sekarang juga. Dingin, Abay membuat keputusan.

Naik kereta?

Bus. Sampai di Malang, kita pinjam mobil Kak Sameera.

Iya. Aku mengangguk.

Kami bergegas ke Malang. Kami menumpang bus jurusan Surabaya. Aku seperti mengulang perjalananku kemarin hari. Tapi bedanya, pagi itu kami turun di Jombang. Dan dari Jombang, kami akan menumpang bus mini jurusan Malang. Rencananya, kami akan meminjam mobil Kak Sameera. Entah sampai kapan. Aku tidak peduli. Sebab, aku hanya mempunyai satu tujuan: Hanna!

Bus menuju Malang begitu lambat. Rasa gelisahku susah sekali didiamkan. Abay seperti patung. Ia pulas, meski bus sesak dengan napas manusia. Sejak dulu. Ia selalu seperti itu.

Aku mengenalnya saat kami menjadi siswa baru di SMA 6 Malang. Ia pendatang. Sementara aku tuan rumah. Ia memang tidak boros bicara. Ia selalu tenang. Tapi akan menjadi sangat marah jika ia diusik.

Aku langsung klop dengannya. Aku suka diamnya. Perhitungannya. Ia adalah pelengkap kami; aku dan Hanna. Ia datang sebagai penyeimbang. Ia menjadi tujuan kami saat kami dalam masalah. Ia bicara adil. Tidak pernah memihak. Katanya, ia hanya ingin kami baik-baik saja. Tidak saling menyakiti dan hidup bahagia selamanya.

Kamu istirahat dulu. Pencarian ini akan memakan banyak waktu dan tenaga. Jangan sampai kamu sakit. Sebab itu akan menjadikan pencarian ini sia-sia. Tenangkan dirimu.Abay menasihatiku di sela-sela tidurnya. Aku menduga, semalaman ia juga terjaga. Ia ingin memastikan aku baik-baik saja. Ia tidak berubah. Persahabatan adalah saling mengasihi dan menjaga. Kalimat ini kerap kali ia perdengarkan pada kami. Dan, hari ini aku melihatnya lagi. Jika Hanna tahu, ia pasti sangat bahagia. Tapi kau di mana, Hanna?

Tidak terasa. Dua jam terlewat sudah. Perjalanan kami sudah sampai di Batu. Jika tidak ada halangan, maka setengah jam lagi kami sudah berada di Ladungsari Malang. Dari terminal itu, kami akan menumpang angkot menuju Gadang; rumah Kak Sameera.

Aku tidak bisa tidur. Mata ini tidak ingin mengatub. Keduanya menatap lekat Hanna. Ia sedang menari. Aku menerawang.

Jangan gila, Faya. Kamu jangan gila! Hanna tidak ingin kamu seperti ini. Aku yakin. Ia ingin kamu kuat. Ia menasihatiku lagi. Aku tidak menasihatimu, Faya. Jangan pernah berpikir seperti itu. Aku hanya ingin, kamu baik-baik saja. Tapi jika ternyata kamu memilih gila, ya silakan. Itu bukan urusanku. Suaranya sedikit meninggi.

Aku tahu itu, Bay. Aku tahu, sergahku cepat.

Bus akhirnya belok ke terminal. Dan berhenti. Kami lekas turun. Dan langsung mencari angkot jurusan Gadang.

Angkot masih sepi. Penumpangnya hanya aku dan Abay. Ditambah satu ibu-ibu. Biasanya, angkot akan melaju setengah jam lagi. Waktu yang lama, gumam Abay pelan.

Angkot melaju. Pelan. Penuh perhitungan. Abay kembali mengatubkan dua matanya. Ia tidak peduli dengan bising sekitar. Baginya, semua tempat adalah ranjang yang empuk. Bisa menelan semua kantuk yang tidak bisa dibendung lagi.

Landungsari-Gadang lumayan jauh. Jika sepi, empat puluh lima menit bisa sampai. Tapi jika jalanan padat, maka bisa membengkak sampai satu setengah jam.

Hanna. Kita sering melintasi jalan ini. Kita suka sekali iseng menumpang angkot tanpa tujuan yang pasti. Ke mana pun angkot itu berjalan, di situlah tujuan kita. Kita tidak pernah peduli dengan waktu yang membabat habis hari. Saat gelap datang, kita baru pulang. Dan di rumah, kita sama-sama kena omelan yang –menurutku- serupa hiburan.

Hanna. Apakah kau masih akan mengingatnya? Ketika dulu, saat kita melakukan keisengan, kita pernah dituduh oleh sopir angkot sebagai pasangan yang sedang sibuk mecari peginapan untuk berzinah. Kau tertawa lebar. Tidak ada kemarahan sedikit pun dalam wajahmu. Kau anggap itu sebagai guyonan yang sangat lucu. Pak Sopir mengerutkan keningnya melihat kau tertawa. Ia pikir, kita juga sudah gila. Tapi aku buru-buru menjelaskan padanya tentang cara kita menikmati kebersamaan. Pak Sopir lantas tersenyum. Lalu malah mengajak kita mengumpulkan penumpang. Sebagai gratifikasinya, kita tidak perlu membayar ‘argo’ angkot. Sejauh apa pun angkot melangkah. Ah. Menyenangkan sekali, Hanna. Tapi sekarang kau di mana? Apakah kau tahu, langit akan segera runtuh?

Angkot menepi. Kami turun. Rumah Kak Sameera masih setengah kilo lagi. Gadang Regency nama perumahannya.

Aku lihat tubuhmu semakin habis, komentar Abay tentang tubuhku. Aku hanya bisa mengulum senyum. Banyak hari yang tidak bisa kunikmati di negara Matador itu, Kawan. Hari berlalu, yang ada hanya kepedihan yang silih berganti. Hingga pada suatu malam, peristiwa itu terjadi. Rose dan Wine merupakan lembaran yang baru.

Iklim di sana kurang cocok dengan tubuhku, sahutku sekenanya. Abay kembali diam. Hanya kakinya yang sibuk melangkah.

Rumah Kak Sameera sudah terlihat. Abay bertambah semangat. Aku yakin, bukan karena Hanna. Ia hanya ingin bernostalgia dengan keluarga kami. Khusunya kepada Kak Sameera. Aku menduga, sejak aku hidup di Spanyol Abay jarang berkunjung ke Malang.

Kami sampai. Aku langsung masuk ke halaman rumah. Pagar tidak pernah dikunci. Aku tahu itu.

Pintu menutup rapat. Aku mengetuknya. Baru sekali saja. Gagangnya kemudian berputar dan pintu terbuka lebar. Kak Sameera menyambutku. Wajahnya sedikit berpeluh. Aku tahu, ia pasti baru saja Yoga. Itu hobinya sejak dulu. Kata Kak Azka, tubuh Kak Sameera sangat indah.

Kok, sudah kembali? tanyanya heran padaku. Katanya akan pergi lama, sindirnya kemudian.

Kak ..., sapa Abay cepat.

Siapa? tanya Kak Sameera cepat. Ia tidak menyadari ada orang lain selain aku. Kak Sameera bergegas melongokkan kepala mencari sumber suara.

Eh. Abay. Apa kabar? sapanya ramah. Aku menelan ludah. Masuk-masuk. Kakak ganti pakaian dulu.

Ini rumah baru? tanya Abay sambil mengedarkan pandangan ke semua sudut rumah. Rumahnya asri. Dingin. Pasti aku banyak tidur jika tinggal di sini, ujarnya menambahi. Wajahnya begitu ceria. Kontras sekali saat kami berada di bus dan angkot. Aneh. Aku tidak bisa menjangkaunya. Ia selalu begitu sejak dulu.

Tiba-tiba saja aku memikirkan sesuatu yang selama ini tidak pernah ada rencana untuk memikirkannya. Sebab itu sangat mustahil terjadi. Abay tidak mungkin memiliki perasaan itu. Memang, usia mereka terpaut agak jauh. Tapi cinta apa pernah mengenal logika? Tidak. Ketika itu Hanna menjawab sangat tegas. Dari dulu, aku tidak pernah mempercayainya. Tapi kali ini, apa yang diprediksi Hanna mulai jelas. Aku tidak ragu lagi.

Kamu selalu ceria saat melihat kakakku. Apa yang kamu pikirkan tentangnya? Aku menodongnya cepat. Abay tampak gelapan. Ia terlihat begitu terpojok.

Aku tidak pernah berpikir apa-apa. Wajar jika aku ceria. Kalian sudah lama kukenal. Bahkan lama sekali, jawabnya tenang. Aku kehabisan cara. Biarlah, bujukku dalam hati. Masih banyak waktu untuk membincangkan ini. Aku hanya butuh kamu, Hanna. Kau di mana?

Kak Sameera sudah kembali. Tapi Zaidan tampak tidak ada.

Zaidan di mana, Kak? tanyaku.

Jalan-jalan ke Matos sama Abinya, jawab Kak Sameera pelan. Lalu mengambil duduk berhadapan dengan kami. Sebaiknya kalian makan dulu. Belum makan, kan?

Tidak, Kak, jawabku cepat. Mobil Kak Azka ada, Kak?

Ada.

Tak pakai dulu, ya, Kak. Mungkin sampai semingguan.

Pakai saja. Mas Azka tidak terlalu butuh. Hanya pas liburan saja mobil itu dipakai,sahut Kak Sameera tenang. Apa kabar Abay? tanyanya kemudian.

Baik, Kak. Kak Sameera sendiri bagaimana?

Juga baik. Kapan kalian berangkat?

Sekarang! sahutku cepat. Kak Sameera mengangguk.

Sebentar. Aku ambil kuncinya dulu, kata Kak Sameera sambil berlalu dari kami.

Aku melirik Abay kemudian. Wajahnya masih berseri bahagia. Dua ekor matanya tidak lelah memungut langkah pelan Kak Sameera. Kenapa kau tidak mau jujur, Kawan?

Aku semakin tidak sabar dengan pencarian ini. Semoga Tuhan masih memberiku kesempatan. Hanna, semoga kau baik-baik saja. Semoga kau mau memaafkanku.

Hari terus merambat. Zuhur menjelang. Kak Sameera kembali dengan membawa kunci mobil. Lalu memberikannya kepadaku. Abay terpaku. Matanya tidak bisa lepas dari Kak Sameera.

Berangkatlah kalian. Semoga Hanna bisa kalian temukan. Aku mendukungmu, Faya. Maafkan Kakak jika dulu aku meragukan pilihanmu. Dan maafkan juga jika dulu aku memaksamu menjauh dari kota ini, ujar Kak Sameera panjang. Aku hanya terdiam. Kemudian pamit. Begitu juga dengan Abay. Langkah kakinya begitu berat. Aku tahu itu. Tapi semuanya sudah terlambat. Kak Sameera sudah berkeluarga. Kak Azka memang laki-laki baik. Tapi rasa curigaku terhadapnya belum juga pupus. Semoga kau selalu bahagia, Kak Sameera. Doaku dalam hati.

Hardtop warna kuning itu berdiri gagah di garasi. Penampilannya yang garang, semakin mengukukuhkan kegagahannya. Mobil itu telah menjelajah ke mana-mana. Dan kali ini, ia akan kuajak mencarimu, Hanna. Di mana pun kau berada.

Mobil kunyalakan segera. Butuh seperempat jam untuk membuatnya siap jalan. Abay menunggu dengan gelisah. Gelagat tubuhnya memberitahuku, jika ia enggan sekali berpisah dengan Kak Sameera.

Bagaimana jika pencarian ini gagal? tanyaku ragu. Abay segera menabrakkan dua alisnya.

Dari dulu kamu selalu begitu, Faya. Kita jalan saja. Selebihnya kita pasrahkan kepada Tuhan. Ia Maha Baik. Bijak, Abay menelorkan sebuah nasihat untukku.

Bagaimana dengan Kak Sameera? todongku.

Sebaiknya kamu jangan menuduhku yang aneh-aneh, jawabnya tegas. Segera jalan. Mumpung hari masih siang, tukasnya. Aku hanya bisa mengangguk. Kemudian melajukan mobil. Tujuan kami adalah rumah Hanna yang dulu. Rumah yang sering membuatku bergetar saat melintas di depannya. Rumah yang dulu menyemai benih-benih rasa ini. Aku masih ingat semuanya. Terbingkai rapi di kepala ini. Semuanya. Tidak ada yang terhapus.

***

Belokan itu tidak berubah. Tetap telanjang. Terlalu menikung. Siku bentuknya. Jika malam, belokan itu terlihat seperti jalan lurus karena saking gelapnya. Banyak orang yang melintas tiba-tiba saja jatuh di belokan itu. Tapi masyarakat terlanjur mempercayai mitos itu. Kata mereka, belokan itu ada penunggunya. Aku katakan pada Hanna, jika penunggu belokan itu adalah Tuyul. Ia tidak khitan. Kerjaannya begitu rendah. Ia hanya bisa mencuri uang dengan nominal yang sama. Ia juga nyaris telanjang. Hanna hanya terpingkal-pingkal ketika itu.

Hari masih terang, belum terlihat tua. Kami telah melewati belokan itu. Abay menangkap gelagat aneh di keningku. Bibirnya yang dingin tiba-tiba saja mencetak senyum.

Tentu kamu masih ingat dengan belokan itu? Belokan mitos. Senyum itu berganti tawa. Sejak kemarin, aku belum melihat tawa itu. Dari kemarin ia hanya membatu.  Keras, kukuh, siap meremukkan kepala. Aku juga melihat iba di garis matanya. Jangan. Jangan kamu iba kepadaku. Aku masih kuat. Aku bisa mengatasi keadaanku. Tenang saja. Kamu tenang saja, Kawan. Selama laut masih biru. Selama awan masih memiliki gulungan. Maka, aku masih bisa berdiri. Itu janjiku.

Aku menarik napasku pelan. Aku pernah membuat Hanna tertawa di belokan itu. Kamu tahu? seruku penuh semangat. Ada kekuatan lebih mengalir dalam nadiku. Saat itu, aku katakan padanya. Jika penunggu belokan itu adalah Tuyul. Aku tegaskan kepadanya. Abay tidak merespon. Ia hanya menggantung senyum. Percayalah, Kawan. Apa yang aku katakan padamu itu fakta. Aku tidak pernah bicara dusta jika menyangkut Hanna.

Abay tiba-tiba saja menatapku sangat lekat. Sebentar lagi kamu gila. Huft. Betapa membosankannya, jika tiap Minggu aku harus datang ke Lawang. Mengunjungimu di rumah sakit Dr. Supratman. Aku pasti melihatmu berpenampilan kayak tuyul. Hanya mengenakan cawat. Menusuk sekali kata-katamu, Bay. Tapi aku melihat wajahmu menampilkan canda. Atau, mungkin kamu memang sengaja membuatku tertawa? Sulit. Sulit sekali, Kawan. Apa aku bisa tertawa jika Hanna entah di mana? Jawab! Jawab sekarang, Kawan!

Abay menggeser tubuhnya. Sedikit menempel. Lalu berkata lirih, Baru kali ini aku salut kepadamu. Kamu tidak sia-sia menghilang ke Spanyol jika nyata-nyatanya kamu begitu rapat menggenggam harap itu. Cinta itu. Seperti guyuran hujan di musim panas. Kejadian yang sangat paradoks. Tapi Abay tidak main-main mengatakan itu. Dingin sekali, Kawan. Hujanmu tidak hanya membasahi kemarau ini. Tapi rintiknya juga menganak sungai. Jernih sekali airnya.

Aku terpaku. Abay menggeser kembali tubuhnya. Deru mesin paling bersemangat di antara kami. Lalu semuanya menjadi hening. Sebab sebentar lagi, kami sampai di rumah Hanna.

Mobil berhenti. Abay turun dengan sangat yakin. Sementara aku tersandera oleh perasaan ragu yang sangat besar. Aku menatap rumah itu sangat lekat. Seperti sebuah kesunyian. Hanya itu yang aku temukan.

Abay menoleh kepadaku dengan cepat. Apa yang kamu tunggu? ia berseru kencang. Aku menggeleng. Seperti anak kecil yang tidak mengerti harus memberikan jawaban apa. Sejuk semilir menerpa keningku. Lalu mengajakku untuk lekas turun dari mobil gunung milik Kak Azka itu.

Aku menurut. Sudah kubilang kemarin. Rumah itu sudah berpindah tangan.

Memang itu tujuan kita. Dari mereka, kita bisa melacak pemilik rumah itu sebelumnya; yang mudah-mudahan adalah Hanna. Baru saja aku salut kepadamu. Tapi sekarang kamu membuatku jadi manusia yang teramat bodoh. Waktu kita tidak panjang. Mari kita masuk!

Aku terdiamkan oleh semangat yang membara di dada Abay. Ini menjadi paradoks lagi. Aku menjadi lemah. Tenaga itu di mana? Keraguan memang serupa bencana.

Kami berdiri di depan rumah Hanna. Pagar seperti sengaja dibiarkan terbuka. Kami masuk dan langsung mengetuk pintu. Satu ketukan, pintu membuka. Tubuhku seperti tersengat listrik. Hampir saja aku tidak bisa menguasai diriku. Abay menatapku penuh amarah. Lirikan matanya sangat tajam. Pandangan yang sangat mengancam. Aku goyah. Abay seperti memberiku isyarat untuk berbicara. Tapi aku menjawabnya dengan mengunci bibirku yang kelu rapat-rapat. Sekilas, aku melihat Abay ingin segera kabur dari rumah itu.

Nyari siapa? tanyanya sangat ramah. Suaranya sejuk. Seorang ibu melongkokkan kepalanya sopan. Rambutnya sudah ada ubannya. Tapi matanya begitu tegas. Silakan duduk. Ia mengajak kami untuk masuk dan duduk di ruang tamu. Sementara ia izin untuk masuk ke dalam sebentar.

Beberapa detik, ia kembali. Sebuah kerudung warna merah menutup kepalanya. Kami melempar senyum segan.

Kami mohon maaf sebelumnya. Jika tidak keberatan, apakah kami boleh tahu siapa pemilik rumah ini sebelum Ibu?Abay bertanya langsung. Tidak ada keraguan yang terpancar dari rangkaian kalimatnya. Udara sejuk menggoda kami. Sejuk. Menidurkan mata.

Pak Syaif. Ibu itu mengamati kami lekat-lekat. Mendeteksi niatan kami. Dan juga memastikan jika kami bukan perampok. Kau benar, Ibu. Kami bukan perampok. Namun, satu di antara kami sedang sakit parah. Berikan jawaban itu, Ibu. Berikan air itu. Rasa haus ini ingin membunuhku segera. Tapi sayang sekali. Saya lupa menyimpan nomor teleponnya. Tapi tunggu sebentar! Ibu itu membuka ingatannya. Dua matanya menerawang sesuatu. Saya masih ingat. Pak Syaif pindah ke Banyuwangi. Lalu, Ibu itu berdiri. Kemudian meninggalkan kami dalam ketermenungan. Abay melihatku prihatin. Mendengar kota Banyuwangi, aku semakin kecil. Kota itu nun jauh di sana. Tapi apa aku peduli? Selama embusan angin masih bisa membuatku sejuk, maka dua kaki ini tidak akan pernah berhenti melangkah. Hanna, sejauh apa pun kau meninggalkanku, aku berjanji akan tetap menemukanmu. Hati ini sudah terlalu penuh luka. Dan kau menggenggam obatnya. Semuanya.

Ibu itu kembali. Ia di desa Lemah Abang. Kecamatan Kedayan, katanya.

Kami mengangguk. Terima kasih banyak, Ibu. Kami segera pamit. Maaf, telah merepotkan, Ibu.

Tidak ada yang direpotkan. Semoga kalian berhasil menemukannya.

Kami mengangguk lagi. Permisi. Assalamualaikum.

Waalaikum Salam, jawabnya.


Mereka itu, EMAS!

Mereka itu, EMAS! (Sebuah Pengantar) Tuhan Yang Mahakuat, Puji-puji ini untuk Engkau. Kepada Sang Nabi, saya haturkan Salawat: Semoga ka...