Tulisan
Yang Tak -Pernah- Usai (Ng-Ainun Naim)
Prolog
Masih segar dalam ingatan saya. Saat itu, 2015. Saya kali
pertama menjadi bagian keluarga besar kampus tercinta ini, UIN SATU Tulungagung
(dulu IAIN-TA). Sebagai keluarga baru, waktu senggang setelah mengajar saya
manfaatkan untuk mengamati banyak hal baru yang ada di depan mata saya. Semua
serba menjajikan keajaiban. Saya menghela napas lega. Tuhan selalu tepat waktu
memberikan apa yang terbaik untuk hamba-hamba-Nya. Saya didaratkan di sebuah kampus
yang revolusioner, membangun peradaban, dan pelopor dakwah; setelah sebelumnya
saya merasa sangat lelah dengan sejarah panjang hidup yang saya habiskan di
jalan –menggelandang-, dan tak punya jangkar yang bisa saya gunakan
untuk mengantisipasi saat waktu benar-benar sadis menghabisi saya. Sebab itu,
sembah sujud syukur saya haturkan pada-Nya, pada semesta, dan pada tanah yang
saya pijak hingga hari ini. Dan terima kasih yang tak terukur untuk rumah besar
ini; terima kasih atas selimut pengetahuan yang menghangatkan tubuh saya.
Sekali lagi terima kasih.
Lalu, saya duduk di sebuah warung kopi yang tidak pernah saya
kenal sebelumnya. Warung berpetak itu terletak di depan gedung tempat saya
mengajar. Saya segera mengeluarkan sebuah buku yang sejak kemarin sore terlelap
di tas hitam saya. Buku itu sederhana. Tidak tebal. Tidak mengejutkan. Akan
tetapi mampu menyita perhatian saya; mengurung kegemaran saya membaca. Saya
baca pengantarnya. Beberapa nama keren nampang dalam pengantar. Lalu saya
melanjutkan ke bagian daftar isi. Dan dari sinilah saya tahu bahwa ternyata
buku itu terpolarisasi menjadi dua kubu besar: menolak dan mempertimbangkan.
Menolak yang dimaksud adalah menolak konsep pemikiran yang kala itu –diangggap-
sangat kontroversi, dan jahat. Sementara mempertimbangkan dalam hal ini
–menurut saya- hanya “mencari selamat” dari beragam komentar destruktif yang
kelak berdatangan kepada penulisnya. Tapi terlepas dari pendapat “gila” saya,
beberapa tulisan yang masuk dalam kubu mempertimbangkan ini adalah upaya
memaklumi pemikiran dari sudut pandang akademis; melepaskan konsep surga dan
neraka. Pemikiran ya pemikiran, hasil kerja cantik Tuhan yang
dianugerahkan kepada manusia.
Saya seperti sedang berada dalam proses de javu;
saya kembali terbang ke sebuah waktu dimana saya masih galak-galaknya menjadi
seorang mahasiswa. Dalam sebuah forum besar, yang ketika itu mendatangkan
seorang pemateri dari unsur agamawan, beliau adalah KH. Luthfi Bashori. Saya
yang masih bau kencur -tapi kata teman saya, bau kemiskinan
:D-, dengan berapi-api menolak apa yang disampaikan oleh beliau. Beberapa teman
saya menepuk bahu saya dan mengatakan: “Sudah. Kamu suul adab!”
Kemudian saya menyudahinya sambil menggerutu dan menampilkan wajah seolah-olah
saya menerima semua “kekalahan” saya. Mereka yang menepuk bahu saya, melempar
senyum aneh dan mengamini kekalahan saya.
Lalu, di mana benang merahnya?
Begini, buku yang saya baca ketika itu memiliki tema yang sama
dengan forum besar yang diisi oleh KH. Luthfi Bashori tersebut. Satu tema yang
sama: tentang JIL, Jaringan Islam Liberal, yang digagas oleh Ulil Abshor
Abdalla (Cendekiawan muda NU). Dan tiba-tiba saya tertawa. Menertawai
“kelucuan” saya ketika suul adab dengan beliau, KH. Luthfi
Bashori. Saya tidak pernah kenal dengan Ulil Abshor Abdalla. Tidak pernah
bertemu. Tidak pernah ditraktir ngopi. Tapi saya membela
habis-habisan saat ia dikatakan halal darahnya hanya gegara pemikiran JIL-nya.
Dan sekarang, lupakan de javu saya. Mari
terbang lagi ke 2015. Ke hamparan buku yang saya baca di warung kopi depan
gedung tempat saya mengajar. Jujur, setelah beberapa halaman saya baca, rasa
bosan saya mulai muncul. Sebab, di bagian yang pertama, kubu yang menolak
narasi-narasi yang disampaikan hampir sama: menghakimi dan menghukum. Akan
tetapi, kebosanan saya tiba-tiba menguap. Ada satu penulis yang membuat saya
tidak jadi menutup buku itu. Nama dari penulis itu begitu asing, sederhana,
kolot, dan –kayak-kayaknya- tidak banyak menjajikan kejutan. Namun, instansi
tempat penulis itu mengabdi membuat saya menganulir niat saya untuk segera
beranjak dari tempat itu. Penulis itu bernama Ngainun Naim. Dan
saya langsung bergumam: “Sudah tahun 2015 masih saja tidak tanggap EYD.”
Tapi saya tidak peduli dengan nama itu. Saya hanya peduli dengan tempat beliau
bekerja: IAIN Tulungagung. Paragraf demi paragraf saya kunyah habis. Aneh,
tidak menyangka jika paragraf-paragraf yang saya kunyah habis itu menghasilkan
banyak energi dalam kepala saya. Tulisan-tulisan beliau sangat diplomatis,
segar, tapi juga terkesan “cari aman”. Melalui tulisan itu, beliau mencoba
memaklumi gagasan JIL. Sebab, kerangka pemikiran yang diajukan JIL ternyata
sudah ada sejak dahulu kala. Menurut beliau, para pemikir Islam dulu juga sudah
berdebat hebat perihal sebuah gagasan atau pemikiran, misalnya saja perdebatan
antara Ibnu Rush dengan Hujjatul Islam Imam Ghazali. Atau tentang gagasan
Salman Rushdie melalui ayat-ayat setannya (The Satanic Verse); yang menjadikan
ia diburu banyak orang dan harus dihabisi. Artinya, gagasan JIL ini adalah hal
biasa. Tidak ada yang mengejutkan bagi beberapa kalangan. Perihal penolakan,
itu adalah bonus, yang pada akhirnya dalam jangka panjang banyak orang akan
“terangsang” otaknya –setidaknya- meng-counter gagasan itu, atau sebaliknya,
menguatkan dan memperkaya gagasannya. Tapi sekarang, lupakan tentang buku itu
dan tempat saya menumpang membaca. Mari saya ajak kembali pada masa sekarang.
Silakan nikmati apa yang saya tulis tentang nama yang dulu pernah saya serapahi
dengan kalimat “tidak tanggap EYD”.
Keramatnya Nama “Ng-Ainun
Naim”
Tuhan membayar lunas
gumaman saya. Kira-kira begitu jika apa yang saya rasakan menjadi headline surat
kabar berkelas nasional. Ini tidak berlebihan. Saya hanya mengatakan: Nama itu
punya keramat: Ngainun Naim.
Saya lahir di
keluarga pesantren salaf. Sejak kecil, kata keramat sudah keseringan hinggap di
telinga saya. Keramat -sementara ini- bisa dimaknai sakti, bertuah. Tapi kata
ibu saya, keramat itu malati. Setelah saya beranjak dewasa, saya
riang gembira sebab kata keramat mulai tereduksi di keluarga saya. Tapi
“sialnya” kata keramat itu -sekarang- lebih sering berdengung di telinga saya
tatkala saya menikah dengan perempuan Arab, dan aktif berinteraksi dengan
keluarga besarnya. Di keluarga Arab, kata keramat akan disebut puluhan kali
dalam sehari. Apa pun itu, jika memliki sejarah, pasti dikatakan keramat.
Kebetulan, Ayah mertua saya ini adalah “juru kunci” dua makam yang tiap hari
tidak pernah sepi pengunjung. Tiap tahun puluhan ribu orang datang berkumpul di
rumah untuk mengikuti acara Haul. Jelas, ini keramat, kata istri saya, dan
batin saya. Sudah meninggal ratusan tahun yang lalu masih saja bisa memberi
manfaat ke orang lain. Itu hanya satu contoh. Masih banyak yang lain yang tidak
bisa saya absen satu-satu. Yang jelas, saya sekarang sering mendengar kalimat:
keramatnya ini, keramatnya itu. The Miracle of Keramat.
Hahaha.
Sudah. Sekarang
kita Kembali ke nama yang saya sebut tadi. Anda semua pasti bertanya: di mana
keramatnya? Atau bagaimana keramatnya? Begini kawan. Saat saya mengatakan jika
Ngainun Naim adalah nama yang tidak tanggap EYD, saya sudah tidak
peduli lagi dengan nama itu. Toh, selang beberapa hari setelah saya
mengatakannya, saya juga tidak merasakan apa-apa. Nafsu makan saya baik-baik
saja. Nabeela Syakieb juga tetap cantik di mata saya. Mata saya tetap normal.
Serapahan saya tidak mendatangkan ke-malati-an seperti istilah Ibu saya.
Artinya, jiwa dan ruh saya tidak terganggu. Sehat-sehat saja.
Lalu di mana
keramatnya?
Waktu begitu cepat
berputar. 2015 menuju 2018 seperti kedipan mata. Tahun 2017, novel pertama saya
diterbitkan LKiS Jogjakarta. Dan ajaibnya, orang pertama yang memberi kritikan
novel saya adalah Ngainun Naim.
Kok bisa?
Kala itu, saya
mengajar di kelas PAI, dan salah satu mahasiswa saya bernama Ngainul Yakin. Ia
dekat dengan saya. Tapi tak sekalipun ia bercerita bahwa ia sefrekuensi dengan
Ngainun Naim. Ia tidak pernah mengatakan jika ia adik kandung dari sebuah nama
yang tidak tanggap EYD itu. Ia hanya mengenalkan dirinya, bahwa ia bernama
Ngainul Yakin yang Ketika saya tanya hobinya adalah membaca. Dan saat novel
saya mulai beredar, Ngainul Yakin membeli novel saya, lalu minta tanda tangan.
Saya minta pendapatnya, tapi ia mengatakan jika ada seseorang yang mengkritik
novel saya. Tapi ia tidak pernah meyebut nama Ngainun Naim. Ia hanya
menyebutnya “seseorang”.
Saya ingat betul
sabda seseorang itu. Katanya, saya adalah penulis pemula, jika menulis jangan
ambisius. Ketebalan buku dan harga harus diperhitungkan. Saya berusaha
mati-matian mencetak senyum di depan Ngainul Yakin. Menunjukkan jika kritikan
itu sangat lezat, mengalahkan Hoka-Hoka Bento Blackpepper Miso Chicken.
Dan saya akan berusaha keras untuk tidak terus-terusan menjadi penulis pemula.
Ngainul Yakin undur dari dari hadapan saya. Kepala saya penuh dengan kurcaci
yang bertanya: Siapakah seseorang itu?
Setelah mengabisi
ribuan detik. Saya mulai bermain ilmu cocokologi. Ngainul Yakin dan Ngainun
Naim rasa-rasanya terlahir dari rahim yang sama. Juga sama-sama tidak tanggap
EYD. Sejak saat itu, saya mulai bergerilya. Bertanya ke banyak mahasiswa
tentang keduanya. Dan akhirnya, misteri itu terpecahkan juga. Keduanya
benar-benar satu frekuensi. Jika di republik ini ada gen Halilintar (Ashiyaaaap
Hahaha), maka di kampus ini ada gen Ngainun.
Saya mulai
memungut satu persatu puzzle yang berserekan itu. Saya mulai menatanya untuk
menjadi jalinan yang utuh. Ada rasa malu yang sangat dahsyat menyerbu perasaan
saya. Sejurus dengan itu, jiwa kolot saya juga berteriak: Ini Keramat.
Setelah kejadian
itu. Ada dorongan kuat dari dalam diri saya untuk membaca ulang tulisan beliau
di buku tentang JIL yang saa baca dulu. Terhitung 4x saya tuntas membacanya.
Tidak berhenti di situ. Saya mulai bergerilya mencari tulisan-tulisan beliau
yang lain. Saya memang beruntung, -dan mungkin- saya sedang dalam keramat
beliau. Banyak tulisan beliau saya dapatkan, meski tidak semuanya saya baca.
Sebab tetiba saja ada misi baru muncul dalam hati saya. Saya harus nekat
mendekat ke beliau. Seperti kata Jet Lee dalam satu filmnya: Belajarlah kepada
orang yang sudah purna melaksanakannya. Itu tekad saya. Saya harus dekat dengan
beliau. Saya tidak ingin terus-terusan mejadi penulis pemula. Saya akan
mengatakan kepada beliau jika nama yang tidak tanggap EYD itu ternyata
“keramat”. Dan saya adalah saksi hidupnya. Sejak beliau tahu nama asli saya,
saya langsung memohon kepada beliau untuk dibaiat menjadi pengikut setia
beliau. Dan lamaran saya ditolak. Hahaha. Tapi tidak lama setelah itu, saya diizinkan
menumpang kapal besar beliau untuk bersama-sama belajar menulis. Kapal itu
bernama: SPK (Sahabat Pena Kita). Tuhan Maha Asik. Dia membuka mata saya jika
saya -ternyata- sedang bermain-main dengan nama yang penuh keramat.
Akhirnya. Saya
benar-benar merasakan bahwa nama beliau benar-benar keramat. Sejak mendapat
siraman ilmu beliau, saya sudah tidak peduli lagi dengan cita-ciata saya
menghapus predikat saya sebagai penulis pemula. Beliau menyadarkan saya, tidak
penting pemula atau profesional, yang terpenting menulis, lalu menulis, dan
menulis lagi. Kalimat sakti ini persis dengan apa yang disampaikan oleh Ernest
Miller Hemingway (Juranalis Senior USA, Novelis): Tidak Ada Tips Dalam
Menulis, Kau Tinggal Duduk Di Depan Mesin Tik Dan Berdarah.
Kini, nama yang
tidak tanggap EYD itu menjadi lentera. Menerangi. Membuka jalan bagi kebekuan
akal. Ribuan paragraf lahir dari jemari lentiknya. Nama itu adalah oase. Para
musafir ilmu akan mendekat, lalu merasa dekat. Meminun air keramatnya. Siapa
pun yang mengenalnya, seolah-olah sudah bersahabat ribuan tahun yang lalu.
Seperti saya ini. Meski saya adalah ‘korban’ dari keramatnya nama itu, saya
sekarang adalah orang yang beruntung. Lentera itu terus ada di depan saya. Tak
pernah redup. Selalu mencipta terang. Dan selalu membuat saya, mereka, adalah
orang yang sangat dekat dengannya.
Epilog
Beberapa waktu
yang lalu saya dan istri menonton Film terbarunya Angga Dwimas Sasongko yang
berjudul Mencuri Raden Saleh. Film ini berkisah tentang kejahatan yang dikalahkan
oleh kejahatan. Diperankan oleh aktor-aktor kekinian, semisal Angga yananda dan
Iqbal Ramadhan serta diperkuat oleh aktor senior Tiyo Pakusadewo. Film ini
sangat menarik meski tidak pernah usai. Ending-nya masih nggantung,
dan tentu saja menyisakan pertanyaan: Kapan lanjutannya akan tayang?
Persis dengan nama
keramat itu. Beliau tidak pernah usai. Beliau selalu membawa kisah yang akan
terus bersambung. Beliau tahu, masih banyak dari kami yang kehausan. Banyak
dari kami yang berada di ujung Lorong kegelapan. Sebab itulah, lentera itu akan
selalu menyala. Di mana saja. Dan kampus ini beruntung, telah lebih dulu
membingkainya.
Sekian. Jangan
lupa Bahagia. ^_^
*Tulisan ini
sebenarnya saya persembahkan untuk beliau saat pengukuhan guru besar. Tapi tetiba
saja saya sakit. Aksara di kepala lenyap semua. Beruntung saya masih hidup. Dan
akan terus memaksa beliau untuk mengangkat saya sebagai murid setia beliau :D
:D :D