***
“Aku minta maaf, Bay,” kataku di sela-sela makan malam kami.
“Sudah lupakan saja. Itu tidak penting. Yang penting kamu
masih laki-laki,” sahutnya santai. “Apakah Spanyol sudah tidak menarik lagi?” tanyanya kemudian.
“Bukan itu.” Pelan, aku menjawab pertanyaannya.
“Hanna?”
Aku tak kuasa menjawab. Nama indah itu membuatku kaku. Abay sahabat yang selalu bisa mengerti isi hatiku. Aku menunduk.
Kemudian pamit untuk meninggalkan meja makan. Aku lihat, Abay menyusulku.
Aku mengambil duduk di beranda. Udara malam yang sejuk
menyentuh keningku.
“Kamu jangan cengeng, Faya! Apa gunanya sepuluh tahun sembunyi
di Spanyol jika kamu masih saja seperti ini,” ujar Abay sambil menepuk bahu kananku.
Lalu mengambil duduk di sebelahku.
“Nama itu, Bay. Nama itu. Hanna. Andai kamu tahu!” Suaraku parau.
“Aku tahu. Tapi aku muak lihat kamu seperti itu. Aku tanya,
kenapa kamu tiba-tiba saja meninggalkannya? Bukankah ia sangat butuh dirimu
ketika itu?”
Abay bukan saja tidak iba, tapi ia juga menyalahkanku.
Kepergianku ke Spanyol adalah keputusan bodoh di matanya. Tidak. Tidak, Kawan.
Bukan begitu kebenarannya. Banyak hal yang sengaja kusimpan.
Terjadi perdebatan yang sangat hebat dalam hatiku. Tentang kejujuran, atau tetap menyimpan rapat rahasia
itu. Kepergianku. Atau, kenapa aku harus meninggalkan Hanna.
Aku jujur, maka aku melanggar sumpahku. Aku tetap menyimpan rahasia ini, maka Abay
akan terus menyalahkanku.
“Kenapa kamu diam?” tanyanya galak. Aku berkeringat dingin.
“Bagaimana kamu bertanggungjawab? Faya!
Kamu dengar aku ngomong, kan?”
“Iya. Iya aku dengar. Sebaiknya kamu jangan terus
menyalahkanku, Bay. Silakan duduk. Mari kita bicara baik-baik,” ajakku. Aku ingin mendinginkan suasana. Abay menurut. Tapi wajahku hanya bisa
menatap langit. Tak mampu menatap wajahnya.
“Apa yang ingin kamu katakan?” desaknya lagi.
“Saat itu, saat menjelang petang. Hanna datang menemuiku. Ia
tidak berbicara apa-apa. Hanya diam. Aku mendesaknya. Ia tetap bungkam. Lalu
pergi meninggalkanku. Aku mengejarnya. Ia sudah tidak ada. Dan pada pagi buta,
besoknya, aku ke rumahnya. Namun rumah itu tidak berpenghuni lagi. Rumah itu
bukan rumahnya lagi. Rumah itu sudah berpindah tangan. Aku sangat putus asa. Aku tak tahu harus
mencarinya ke mana lagi ketika itu,” uraiku panjang. Abay diam. Tidak
menyela sedikit pun. Tampaknya, ia sedikit menyesal karena sudah menyalahkanku.
“Ketika itu, aku sudah mati. Benar-benar
mati, Bay!” sambungku emosional.
“Kenapa kamu tidak mengubungiku?”
“Ketika itu, aku hanya bisa terlentang. Kak Sameera sangat
ketakutan. Dan aku tak ingat siapa pun. Aku hanya bertanya, kenapa Hanna bisa
begitu tega meninggalkanku?”
“Jadi, kamu menyalahkan Hanna?”
“Bukan begitu maksudku. Aku tidak pernah menyalahkannya. Aku
hanya terus bertanya. Kenapa Hanna harus meninggalkanku?”
Abay menepuk bahuku. Ia melunak. Rasa ibanya mulai berjatuhan
seperti rintik hujan di depan kami.
“Lalu bagaimana kamu bisa pergi tanpa kabar? Apa aku tidak
kamu anggap teman lagi?” Abay terus mengintrogasiku.
“Kak Sameera, Bay. Ia yang menginisiai kepergianku ke Spanyol.
Itu memang pilihan yang paling baik. Kak Sameera tahu, jika aku memaksa diri
untuk terus bertahan di Malang, maka aku bisa gila. Kak Sameera tidak ingin itu
terjadi. Kami hanya dua bersaudara. Ia yang merawatku sejak kecil.”
“Dengan jalan tidak pamit?”
“Semua terjadi begitu cepat. Aku tidak ingin membuatmu susah
dengan keadaanku. Aku merahasiakan ini darimu. Bahkan, Kak Sameera juga harus
berjanji menelan semuanya. Dan kamu tahu?”
“Apa?”
“Sepuluh tahun itu tidak bisa menyembuhkanku. Aku semakin gila.
Hanna, Hanna, dan Hanna. Ia membara di sini.” Aku menunjuk dadaku.
“Lalu tujuanmu ke sini?”
“Hanya kamu sahabatku. Aku tidak memiliki siapa-siapa lagi
selain Hanna, Kak Sameera, dan kamu. Aku minta maaf. Aku akui, aku memang
salah. Tapi semoga, kamu bisa mengerti,” kataku memohon. “Aku ingin mencari Hanna. Di mana pun ia
berada,” lanjutku.
“Jika ia sudah tidak ada?” Abay melemparkan pertanyaan yang sangat
menakutkan. Hatiku bergetar hebat. Itu tidak mungkin, Hanna. Kau pasti sedang
baik-baik saja. Aku pasti menemukanmu.
“Aku tidak ingin menjawab. Aku hanya ingin mencarinya.”
“Apa yang bisa kubantu?”
“Jika tidak keberatan, kita temukan Hanna bersama-sama. Ia
juga mengenalmu dengan sangat baik. Hanna adalah kita. Kita bertiga. Kita hidup
di dunia yang sama. Kamu tentu masih ingat, saat kita makan bertiga di kantin
sekolah itu? Kita selalu di sana saat bel istirahat berteriak kencang.”
“Tidak perlu bernarasi Panjang lagi. Besok, kita temukan Hanna!”
Menembus
Batas
Aku merasakan malam yang sangat panjang. Tak sedetik pun mata
ini mengatup. Aku hanya melihatmu, Hanna. Kau tersenyum manja. Seperti yang
dulu. Lalu mengajakku menikmati hari yang sudah menua. Saat udara dingin, aku
meminjamkan jaketku. Lalu kau berbisik tentang esok hari yang tak pernah sepi.
Waktu yang berjalan merambat, dan bianglala selalu hadir di sore hari. Kau juga
kadang menari. Gerak tubuhmua adalah bahasa. Kau seoalah berbicara: Panjangkan
umur kami!
Pagi menjelang. Aku menatap ke atas langit. Awan sudah
berkejaran di atas sana. Abay sudah siap segalanya. Kami berangkat.
“Kita ke Malang. Sekarang juga.” Dingin, Abay membuat keputusan.
“Naik kereta?”
“Bus. Sampai di Malang, kita pinjam mobil Kak Sameera.”
“Iya.” Aku mengangguk.
Kami bergegas ke Malang. Kami menumpang bus jurusan Surabaya.
Aku seperti mengulang perjalananku kemarin hari. Tapi bedanya, pagi itu kami
turun di Jombang. Dan dari Jombang, kami akan menumpang bus mini jurusan
Malang. Rencananya, kami akan meminjam mobil Kak Sameera. Entah sampai kapan.
Aku tidak peduli. Sebab, aku hanya mempunyai satu tujuan: Hanna!
Bus menuju Malang begitu lambat. Rasa gelisahku susah sekali
didiamkan. Abay seperti patung. Ia pulas, meski bus sesak dengan napas manusia. Sejak dulu. Ia selalu
seperti itu.
Aku mengenalnya saat kami menjadi siswa baru di SMA 6 Malang.
Ia pendatang. Sementara aku tuan rumah. Ia memang tidak boros bicara. Ia selalu
tenang. Tapi akan menjadi sangat marah jika ia diusik.
Aku langsung klop dengannya. Aku suka diamnya.
Perhitungannya. Ia adalah pelengkap kami; aku dan Hanna. Ia datang sebagai
penyeimbang. Ia menjadi tujuan kami saat kami dalam masalah. Ia bicara adil.
Tidak pernah memihak. Katanya, ia hanya ingin kami baik-baik saja. Tidak saling
menyakiti dan hidup bahagia selamanya.
“Kamu istirahat dulu. Pencarian ini akan memakan banyak waktu
dan tenaga. Jangan sampai kamu sakit. Sebab itu akan menjadikan pencarian ini
sia-sia. Tenangkan dirimu.” Abay menasihatiku di sela-sela tidurnya. Aku menduga,
semalaman ia juga terjaga. Ia ingin memastikan aku baik-baik saja. Ia tidak
berubah. Persahabatan adalah saling mengasihi dan menjaga. Kalimat ini kerap
kali ia perdengarkan pada kami. Dan, hari ini aku melihatnya lagi. Jika Hanna tahu, ia pasti sangat bahagia.
Tapi kau di mana, Hanna?
Tidak terasa. Dua jam terlewat sudah. Perjalanan kami sudah
sampai di Batu. Jika tidak ada halangan, maka setengah jam lagi kami sudah
berada di Ladungsari Malang. Dari terminal itu, kami akan menumpang angkot
menuju Gadang; rumah Kak Sameera.
“Aku tidak bisa tidur. Mata ini tidak ingin mengatub. Keduanya
menatap lekat Hanna. Ia sedang menari.” Aku menerawang.
“Jangan gila, Faya. Kamu jangan gila! Hanna tidak ingin kamu
seperti ini. Aku yakin. Ia ingin kamu kuat.” Ia menasihatiku lagi. “Aku tidak menasihatimu, Faya. Jangan
pernah berpikir seperti itu. Aku hanya ingin, kamu baik-baik saja. Tapi jika ternyata
kamu memilih gila, ya silakan. Itu bukan urusanku.” Suaranya sedikit meninggi.
“Aku tahu itu, Bay. Aku tahu,” sergahku cepat.
Bus akhirnya belok ke terminal. Dan berhenti. Kami lekas
turun. Dan langsung mencari angkot jurusan Gadang.
Angkot masih sepi. Penumpangnya hanya aku dan Abay. Ditambah
satu ibu-ibu. Biasanya, angkot akan melaju setengah jam lagi. Waktu yang lama,
gumam Abay pelan.
Angkot melaju. Pelan. Penuh perhitungan. Abay kembali
mengatubkan dua matanya. Ia tidak peduli dengan bising sekitar. Baginya, semua
tempat adalah ranjang yang empuk. Bisa menelan semua kantuk yang tidak bisa
dibendung lagi.
Landungsari-Gadang lumayan jauh. Jika sepi, empat puluh lima
menit bisa sampai. Tapi jika jalanan padat, maka bisa membengkak sampai satu
setengah jam.
Hanna. Kita sering melintasi jalan ini. Kita suka sekali
iseng menumpang angkot tanpa tujuan yang pasti. Ke mana pun angkot itu
berjalan, di situlah tujuan kita. Kita tidak pernah peduli dengan waktu yang
membabat habis hari. Saat gelap datang, kita baru pulang. Dan di rumah, kita
sama-sama kena omelan yang –menurutku- serupa hiburan.
Hanna. Apakah kau masih akan mengingatnya? Ketika dulu, saat
kita melakukan keisengan, kita pernah dituduh oleh sopir angkot sebagai
pasangan yang sedang sibuk mecari peginapan untuk berzinah. Kau tertawa lebar.
Tidak ada kemarahan sedikit pun dalam wajahmu. Kau anggap itu sebagai guyonan
yang sangat lucu. Pak Sopir mengerutkan keningnya melihat kau tertawa. Ia
pikir, kita juga sudah gila. Tapi aku buru-buru menjelaskan padanya tentang
cara kita menikmati kebersamaan. Pak Sopir lantas tersenyum. Lalu malah
mengajak kita mengumpulkan penumpang. Sebagai gratifikasinya, kita tidak perlu
membayar ‘argo’ angkot. Sejauh apa pun angkot melangkah. Ah. Menyenangkan
sekali, Hanna. Tapi sekarang kau di mana? Apakah kau tahu, langit akan segera
runtuh?
Angkot menepi. Kami turun. Rumah Kak Sameera masih setengah
kilo lagi. Gadang Regency nama perumahannya.
“Aku lihat tubuhmu semakin habis,” komentar Abay tentang tubuhku. Aku
hanya bisa mengulum senyum. Banyak hari yang tidak bisa kunikmati di negara
Matador itu, Kawan. Hari berlalu, yang ada hanya kepedihan yang silih berganti.
Hingga pada suatu malam, peristiwa itu terjadi. Rose dan Wine merupakan
lembaran yang baru.
“Iklim di sana kurang cocok dengan tubuhku,” sahutku sekenanya. Abay kembali diam.
Hanya kakinya yang sibuk melangkah.
Rumah Kak Sameera sudah terlihat. Abay bertambah semangat.
Aku yakin, bukan karena Hanna. Ia hanya ingin bernostalgia dengan keluarga
kami. Khusunya kepada Kak Sameera. Aku menduga, sejak aku hidup di Spanyol Abay
jarang berkunjung ke Malang.
Kami sampai. Aku langsung masuk ke halaman rumah. Pagar tidak
pernah dikunci. Aku tahu itu.
Pintu menutup rapat. Aku mengetuknya. Baru sekali saja.
Gagangnya kemudian berputar dan pintu terbuka lebar. Kak Sameera menyambutku.
Wajahnya sedikit berpeluh. Aku tahu, ia pasti baru saja Yoga. Itu hobinya sejak
dulu. Kata Kak Azka, tubuh Kak Sameera sangat indah.
“Kok, sudah kembali?” tanyanya heran padaku. “Katanya akan pergi lama,” sindirnya kemudian.
“Kak ...,” sapa Abay cepat.
“Siapa?” tanya Kak Sameera cepat. Ia tidak menyadari ada orang lain
selain aku. Kak Sameera bergegas melongokkan kepala mencari sumber suara.
“Eh. Abay. Apa kabar?” sapanya ramah. Aku menelan ludah. “Masuk-masuk. Kakak ganti pakaian dulu.”
“Ini rumah baru?” tanya Abay sambil mengedarkan pandangan ke semua sudut
rumah. “Rumahnya asri. Dingin. Pasti aku banyak
tidur jika tinggal di sini,” ujarnya menambahi. Wajahnya begitu ceria. Kontras sekali
saat kami berada di bus dan angkot. Aneh. Aku tidak bisa menjangkaunya. Ia
selalu begitu sejak dulu.
Tiba-tiba saja aku memikirkan sesuatu yang selama ini tidak
pernah ada rencana untuk memikirkannya. Sebab itu sangat mustahil terjadi. Abay
tidak mungkin memiliki perasaan itu. Memang, usia mereka terpaut agak jauh.
Tapi cinta apa pernah mengenal logika? Tidak. Ketika itu Hanna menjawab sangat
tegas. Dari dulu, aku tidak pernah mempercayainya. Tapi kali ini, apa yang
diprediksi Hanna mulai jelas. Aku tidak ragu lagi.
“Kamu selalu ceria saat melihat kakakku. Apa yang kamu
pikirkan tentangnya?” Aku menodongnya cepat. Abay tampak gelapan. Ia terlihat
begitu terpojok.
“Aku tidak pernah berpikir apa-apa. Wajar jika aku ceria.
Kalian sudah lama kukenal. Bahkan lama sekali,” jawabnya tenang. Aku kehabisan cara.
Biarlah, bujukku dalam hati. Masih banyak waktu untuk membincangkan ini. Aku
hanya butuh kamu, Hanna. Kau di mana?
Kak Sameera sudah kembali. Tapi Zaidan tampak tidak ada.
“Zaidan di mana, Kak?” tanyaku.
“Jalan-jalan ke Matos sama Abinya,” jawab Kak Sameera pelan. Lalu mengambil
duduk berhadapan dengan kami. “Sebaiknya kalian makan dulu. Belum makan, kan?”
“Tidak, Kak,” jawabku cepat. “Mobil Kak Azka ada, Kak?”
“Ada.”
“Tak pakai dulu, ya, Kak. Mungkin sampai semingguan.”
“Pakai saja. Mas Azka tidak terlalu butuh. Hanya pas liburan
saja mobil itu dipakai,” sahut Kak Sameera tenang. “Apa kabar Abay?” tanyanya kemudian.
“Baik, Kak. Kak Sameera sendiri bagaimana?”
“Juga baik. Kapan kalian berangkat?”
“Sekarang!” sahutku cepat. Kak Sameera mengangguk.
“Sebentar. Aku ambil kuncinya dulu,” kata Kak Sameera sambil berlalu dari
kami.
Aku melirik Abay kemudian. Wajahnya masih berseri bahagia.
Dua ekor matanya tidak lelah memungut langkah pelan Kak Sameera. Kenapa kau
tidak mau jujur, Kawan?
Aku semakin tidak sabar dengan pencarian ini. Semoga Tuhan
masih memberiku kesempatan. Hanna, semoga kau baik-baik saja. Semoga kau mau
memaafkanku.
Hari terus merambat. Zuhur menjelang. Kak Sameera kembali
dengan membawa kunci mobil. Lalu memberikannya kepadaku. Abay terpaku. Matanya
tidak bisa lepas dari Kak Sameera.
“Berangkatlah kalian. Semoga Hanna bisa kalian temukan. Aku
mendukungmu, Faya. Maafkan Kakak jika dulu aku meragukan pilihanmu. Dan maafkan
juga jika dulu aku memaksamu menjauh dari kota ini,” ujar Kak Sameera panjang. Aku hanya
terdiam. Kemudian pamit. Begitu juga dengan Abay. Langkah kakinya begitu berat.
Aku tahu itu. Tapi semuanya sudah terlambat. Kak Sameera sudah berkeluarga. Kak
Azka memang laki-laki baik. Tapi rasa curigaku terhadapnya belum juga pupus.
Semoga kau selalu bahagia, Kak Sameera. Doaku dalam hati.
Hardtop warna kuning itu berdiri gagah di garasi. Penampilannya yang
garang, semakin mengukukuhkan kegagahannya. Mobil itu telah menjelajah ke
mana-mana. Dan kali ini, ia akan kuajak mencarimu, Hanna. Di mana pun kau
berada.
Mobil kunyalakan segera. Butuh seperempat jam untuk
membuatnya siap jalan. Abay menunggu dengan gelisah. Gelagat tubuhnya
memberitahuku, jika ia enggan sekali berpisah dengan Kak Sameera.
“Bagaimana jika pencarian ini gagal?” tanyaku ragu. Abay segera menabrakkan
dua alisnya.
“Dari dulu kamu selalu begitu, Faya. Kita jalan saja.
Selebihnya kita pasrahkan kepada Tuhan. Ia Maha Baik.” Bijak, Abay menelorkan sebuah nasihat
untukku.
“Bagaimana dengan Kak Sameera?” todongku.
“Sebaiknya kamu jangan menuduhku yang aneh-aneh,” jawabnya tegas. “Segera jalan. Mumpung hari masih siang,” tukasnya. Aku hanya bisa mengangguk.
Kemudian melajukan mobil. Tujuan kami adalah rumah Hanna yang dulu. Rumah yang
sering membuatku bergetar saat melintas di depannya. Rumah yang dulu menyemai
benih-benih rasa ini. Aku masih ingat semuanya. Terbingkai rapi
di kepala ini. Semuanya. Tidak ada yang terhapus.
***
Belokan itu tidak berubah. Tetap telanjang. Terlalu menikung.
Siku bentuknya. Jika malam, belokan itu terlihat seperti jalan lurus karena
saking gelapnya. Banyak orang yang melintas tiba-tiba saja jatuh di belokan
itu. Tapi masyarakat terlanjur mempercayai mitos itu. Kata mereka, belokan itu
ada penunggunya. Aku katakan pada Hanna, jika penunggu belokan itu adalah
Tuyul. Ia tidak khitan. Kerjaannya begitu rendah. Ia hanya bisa mencuri uang
dengan nominal yang sama. Ia juga nyaris telanjang. Hanna hanya
terpingkal-pingkal ketika itu.
Hari masih terang, belum terlihat tua. Kami telah melewati
belokan itu. Abay menangkap gelagat aneh di keningku. Bibirnya yang dingin
tiba-tiba saja mencetak senyum.
“Tentu kamu masih ingat dengan belokan itu? Belokan mitos.” Senyum itu berganti tawa. Sejak
kemarin, aku belum melihat tawa itu. Dari kemarin ia hanya membatu. Keras, kukuh, siap meremukkan kepala. Aku
juga melihat iba di garis matanya. Jangan. Jangan kamu iba kepadaku. Aku masih
kuat. Aku bisa mengatasi keadaanku. Tenang saja. Kamu tenang saja, Kawan.
Selama laut masih biru. Selama awan masih memiliki gulungan. Maka, aku masih bisa berdiri. Itu
janjiku.
Aku menarik napasku pelan. “Aku pernah membuat Hanna tertawa di
belokan itu. Kamu tahu?” seruku penuh semangat. Ada kekuatan lebih mengalir dalam
nadiku. “Saat itu, aku katakan padanya. Jika
penunggu belokan itu adalah Tuyul.” Aku tegaskan kepadanya. Abay tidak
merespon. Ia hanya menggantung senyum. Percayalah, Kawan. Apa yang aku katakan
padamu itu fakta. Aku tidak pernah bicara dusta jika menyangkut Hanna.
Abay tiba-tiba saja menatapku sangat lekat. “Sebentar lagi kamu gila. Huft.
Betapa membosankannya, jika tiap Minggu aku harus datang ke Lawang.
Mengunjungimu di rumah sakit Dr. Supratman. Aku pasti melihatmu berpenampilan
kayak tuyul. Hanya mengenakan cawat.” Menusuk sekali kata-katamu, Bay. Tapi
aku melihat wajahmu menampilkan canda. Atau, mungkin kamu memang sengaja
membuatku tertawa? Sulit. Sulit sekali, Kawan. Apa aku bisa tertawa jika Hanna
entah di mana? Jawab! Jawab sekarang, Kawan!
Abay menggeser tubuhnya. Sedikit menempel. Lalu berkata
lirih, “Baru kali ini aku salut kepadamu. Kamu
tidak sia-sia menghilang ke Spanyol jika nyata-nyatanya kamu begitu rapat
menggenggam harap itu. Cinta itu.” Seperti guyuran hujan di musim panas. Kejadian yang sangat
paradoks. Tapi Abay tidak main-main mengatakan itu. Dingin sekali, Kawan.
Hujanmu tidak hanya membasahi kemarau ini. Tapi rintiknya juga menganak sungai.
Jernih sekali airnya.
Aku terpaku. Abay menggeser kembali tubuhnya. Deru mesin
paling bersemangat di antara kami. Lalu semuanya menjadi hening. Sebab sebentar
lagi, kami sampai di rumah Hanna.
Mobil berhenti. Abay turun dengan sangat yakin. Sementara aku
tersandera oleh perasaan ragu yang sangat besar. Aku menatap rumah itu sangat
lekat. Seperti sebuah kesunyian. Hanya itu yang aku temukan.
Abay menoleh kepadaku dengan cepat. “Apa yang kamu tunggu?” ia berseru kencang. Aku menggeleng.
Seperti anak kecil yang tidak mengerti harus memberikan jawaban apa. Sejuk
semilir menerpa keningku. Lalu mengajakku untuk lekas turun dari mobil gunung
milik Kak Azka itu.
Aku menurut. “Sudah kubilang kemarin. Rumah itu sudah berpindah tangan.”
“Memang itu tujuan kita. Dari mereka, kita bisa melacak
pemilik rumah itu sebelumnya; yang mudah-mudahan adalah Hanna. Baru saja aku
salut kepadamu. Tapi sekarang kamu membuatku jadi manusia yang teramat bodoh.
Waktu kita tidak panjang. Mari kita masuk!”
Aku terdiamkan oleh semangat yang membara di dada Abay. Ini
menjadi paradoks lagi. Aku menjadi lemah. Tenaga itu di mana? Keraguan memang
serupa bencana.
Kami berdiri di depan rumah Hanna. Pagar seperti sengaja
dibiarkan terbuka. Kami masuk dan langsung mengetuk pintu. Satu ketukan, pintu
membuka. Tubuhku seperti tersengat listrik. Hampir saja aku tidak bisa
menguasai diriku. Abay menatapku penuh amarah. Lirikan matanya sangat tajam. Pandangan yang sangat mengancam. Aku goyah. Abay seperti memberiku isyarat untuk
berbicara. Tapi aku menjawabnya dengan mengunci bibirku yang kelu rapat-rapat.
Sekilas, aku melihat Abay ingin segera kabur dari rumah itu.
“Nyari siapa?” tanyanya sangat ramah. Suaranya sejuk. Seorang ibu melongkokkan
kepalanya sopan. Rambutnya sudah ada ubannya. Tapi matanya begitu tegas. “Silakan duduk.” Ia mengajak kami untuk masuk dan duduk
di ruang tamu. Sementara ia izin untuk masuk ke dalam sebentar.
Beberapa detik, ia kembali. Sebuah kerudung warna merah
menutup kepalanya. Kami melempar senyum segan.
“Kami mohon maaf sebelumnya. Jika tidak keberatan, apakah kami
boleh tahu siapa pemilik rumah ini sebelum Ibu?” Abay bertanya langsung. Tidak ada
keraguan yang terpancar dari rangkaian kalimatnya. Udara sejuk menggoda kami.
Sejuk. Menidurkan mata.
“Pak Syaif.” Ibu itu mengamati kami lekat-lekat. Mendeteksi niatan kami.
Dan juga memastikan jika kami bukan perampok. Kau benar, Ibu. Kami bukan
perampok. Namun, satu di antara kami sedang sakit parah. Berikan jawaban itu,
Ibu. Berikan air itu. Rasa haus ini ingin membunuhku segera. “Tapi sayang sekali. Saya lupa menyimpan
nomor teleponnya. Tapi tunggu sebentar!” Ibu itu membuka ingatannya. Dua matanya
menerawang sesuatu. “Saya masih ingat. Pak Syaif pindah ke Banyuwangi.” Lalu, Ibu itu berdiri. Kemudian
meninggalkan kami dalam ketermenungan. Abay melihatku prihatin. Mendengar kota
Banyuwangi, aku semakin kecil. Kota itu nun jauh di sana. Tapi apa aku peduli?
Selama embusan angin masih bisa membuatku sejuk, maka dua kaki ini tidak akan
pernah berhenti melangkah. Hanna, sejauh apa pun kau meninggalkanku, aku
berjanji akan tetap menemukanmu. Hati ini sudah terlalu penuh luka. Dan kau
menggenggam obatnya. Semuanya.
Ibu itu kembali. “Ia di desa Lemah Abang. Kecamatan
Kedayan,” katanya.
Kami mengangguk. “Terima kasih banyak, Ibu. Kami segera
pamit. Maaf, telah merepotkan, Ibu.”
“Tidak ada yang direpotkan. Semoga kalian berhasil
menemukannya.”
Kami mengangguk lagi. “Permisi. Assalamualaikum.”
“Waalaikum Salam,” jawabnya.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar