Mengapa -Kemarin- Saya Berhenti Menulis?
Ada masa dalam hidup saya ketika menulis bukan sekadar hobi, tapi napas. Setiap pagi, sebelum matahari benar-benar bangun, tangan saya sudah menari di atas keyboard, mengalirkan pikiran, perasaan, dan imajinasi ke dalam rangkaian kata yang tak pernah habis. Saya percaya, menulis adalah jalan saya untuk memahami dunia, menyampaikan kebenaran, dan mungkin—walau hanya sedikit—mengubahnya. Namun, suatu hari, tiba-tiba saja, saya berhenti. Tidak dramatis, tidak dengan pengumuman, hanya sunyi. Layar kosong. Pikiran beku. Tangan yang enggan bergerak. Banyak yang bertanya, “Kenapa kamu berhenti menulis?” Jawabannya bukan satu kalimat sederhana. Ini adalah kisah tentang ambisi, kegagalan, penyerahan, dan akhirnya—pemulihan.
Awalnya, saya terlalu berani. Terlalu percaya diri. Tanpa pengalaman bisnis, tanpa pemahaman mendalam tentang manajemen keuangan, pemasaran, atau bahkan strategi —saya nekat. Saya pikir, karena saya bisa menulis dengan baik, maka saya juga bisa mengelola bisnis -yang- dalam pandangan saya ketika itu, bisa dipelajari melalui tulisan. Itu kesalahan besar. Terlebih, over dosis percaya dengan rekan bisnis yang -tetiba- saja menjelma Superman.
Lalu, bisnis itu runtuh. Bukan perlahan, tapi seperti gempa bumi yang menghancurkan segalanya dalam semalam. Utang menumpuk. Bank menagih. Saya harus membayar cicilan 30 juta rupiah setiap bulan selama beberapa tahun. Angka itu seperti bayangan yang tak pernah pergi. Setiap pagi, saya bangun dengan beban yang sama: “Hari ini, uang dari mana?” Menulis, yang dulu menjadi pelarian, kini terasa seperti kemewahan yang tak bisa saya nikmati. Bagaimana mungkin saya bisa merangkai kata indah ketika pikiran dipenuhi tagihan, rasa bersalah, dan keputusasaan?
Tapi, di tengah kehancuran itu, saya justru banyak mendapatkan pengalaman baru. Saya belajar tentang dunia nyata. Tentang betapa rapuhnya rencana manusia. Saya belajar tentang uang—bukan hanya cara menghasilkannya, tapi juga bagaimana uang bisa menghancurkan harga diri. Saya belajar tentang hubungan—banyak teman menghilang saat saya bangkrut, tetapi justru orang-orang yang tak pernah saya duga yang tetap berdiri di samping saya. Saya belajar tentang diri saya sendiri: bahwa saya bukan sekuat yang saya kira, tapi juga tidak selemah yang saya kira.
Di titik terendah, saya mulai pasrah. Bukan menyerah, tapi pasrah. Ada perbedaan besar antara keduanya. Menyerah adalah menghentikan perjuangan. Pasrah adalah mengakui bahwa ada hal-hal di luar kendali saya. Saya mulai memahami bahwa takdir bukan sesuatu yang bisa saya bentuk sekehendak hati. Dulu, saya percaya bahwa saya bisa menciptakan takdir saya sendiri. Saya bisa menulis nasib saya dengan tinta impian. Tapi kini, saya sadar: saya hanyalah manusia kecil yang berjalan di atas tanah yang digerakkan oleh kekuatan yang jauh lebih besar.
Dalam kepasrahan itu, saya menemukan Tuhan. Bukan dalam cara yang dramatis atau religius yang kaku, tapi dalam keheningan malam-malam tanpa tidur, saat saya duduk di depan jendela, memandang bintang, dan berkata, “Aku lelah. Aku tidak tahu harus ke mana.” Di situlah saya merasakan kehadiran-Nya. Bukan sebagai penolong ajaib, tapi sebagai kehadiran yang menenangkan. Saya mulai memahami bahwa Tuhan Maha segalanya—bukan hanya dalam arti kuasa, tapi juga dalam arti kasih, pengertian, dan rencana yang tak selalu bisa saya pahami. Saya mulai percaya bahwa setiap kegagalan, setiap luka, setiap tangisan, adalah bagian dari sebuah skenario yang lebih besar. Dan saya bukan sutradaranya.
Dari sanalah, saya mulai berdamai dengan keadaan. Saya tidak lagi membandingkan diri dengan siapa pun. Tidak lagi merasa malu karena gagal. Saya belajar menerima bahwa kegagalan bukan akhir dari segalanya, tapi bagian dari proses menjadi manusia yang lebih utuh. Saya mulai merawat diri saya—bukan dengan kemewahan, tapi dengan kejujuran. Saya berhenti menuntut diri untuk segera bangkit, dan membiarkan diri saya sembuh perlahan, seperti luka yang butuh waktu untuk menutup.
Dan kemudian, suatu hari, saya menulis lagi. Tidak untuk uang. Tidak untuk viral. Tidak untuk membuktikan apa pun. Saya menulis karena saya rindu. Karena kata-kata itu masih ada di dalam dada, menunggu untuk dilahirkan. Saya menulis tentang kegagalan. Tentang rasa bersalah. Tentang rindu yang tak terucap. Tentang doa yang terlambat. Saya menulis seperti dulu—dengan hati. Dan untuk pertama kalinya dalam bertahun-tahun, saya merasa bahagia.
Menulis kembali bukan berarti semua masalah selesai. Utang masih ada. Hidup masih keras. Tapi yang berubah adalah saya. Saya tidak lagi menulis untuk membentuk dunia, tapi untuk memahami diri saya di dalam dunia. Saya tidak lagi menulis untuk menjadi siapa-siapa, tapi untuk menjadi diri saya sendiri—yang rapuh, yang pernah jatuh, tapi masih berani berdiri.
Saya berhenti menulis bukan karena kehilangan cinta, tapi karena terlalu sibuk mengejar sesuatu yang bukan milik saya. Saya berhenti karena terlalu percaya bahwa saya bisa mengatur segalanya. Dan saya kembali menulis karena akhirnya saya mengerti: menulis bukan tentang kontrol, tapi tentang kerentanan. Bukan tentang kesuksesan, tapi tentang kejujuran.
Kini, saya menulis bukan untuk menyelamatkan dunia, tapi untuk menyelamatkan diri saya sendiri. Dan dalam proses itu, saya menemukan kebahagiaan yang dulu saya kira hanya bisa datang dari pencapaian. Ternyata, kebahagiaan itu tumbuh dari penerimaan. Dari rasa syukur atas hal-hal kecil: secangkir kopi pagi, sinar matahari di meja kerja, dan sebuah kalimat yang lahir dari ketulusan.
Jadi, mengapa saya berhenti menulis? Karena saya terlalu sibuk menjadi manusia yang ingin segalanya. Dan mengapa saya kembali? Karena saya akhirnya belajar menjadi manusia yang cukup dengan apa adanya.
Menulis bukan lagi ambisi. Ia adalah napas. Ia adalah doa. Ia adalah cara saya berdamai dengan hidup. Dan untuk pertama kalinya, saya menulis tanpa beban. Hanya dengan hati. Dan itu—lebih dari cukup.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar