Kamis, 27 Agustus 2020

Universitas Negeri Malang (V)


25 Desember 2012. Aku, Raka, dan Riyan mengantar Sony ke Gereja. Ia tidak bergabung dengan keluarganya yang ada di Malang. Gereja ramai penuh sesak. Sony terlihat ingin kabur dari sana. Tapi Raka dengan cepat mencegahnya.
“Setahun sekali, Bro. Apa kamu rela tidak memeluk Tuhan,”
“Badanku terlampu besar untuk berada di sana, Kawan,” sahut Sony berkilah.
“Siapa tahu kamu mendadak langsing sepulang dari sana,” Riyan menimpali. Aku menahan tawa.
“Benar, Son. Ini peristiwa penting. Tiap begadang kamu menemaniku salat Subuh. Tolong jangan kecewakan aku,” kataku sedikit bertausiah. Riyan dan Raka menelan tawanya yang akan meledak.
Sony gamang. Tapi akhirnya ia memutar badan. Lalu menuju tempat yang suci itu. Ia akan tenggelam di sana. Bersama pelukan Tuhan Yang Maha Perkasa.
Aku bertiga menunggunya dengan sabar. Sebab kami yakin, Sony akan membawa banyak makanan.
Satu jam terlewat. Sony berjalan dengan gagah menuju tempat kami menunggunya merayakan Natal. Senyumnya sumringah. Ada banyak bintang di sana. Sony seperti terlahir kembali. Dosa-dosa itu menguap bersama embusan napasnya.
Tapi mata kami menatap sesuatu yang ganjil pada diri Sony. Sebab ayunan tangan Sony tampak sangat ringan. Riyan sudah mengusap keningnya yang sebenarnya masih kering. Peluh hanya muncul satu dua saja. Raka mengibas-ibaskan tangannya pertanda ia sudah kepanasan. Sedangkan aku, menatap keduanya bahagia.
Sony sudah di depan kami.
“Hai, Sobat. Maaf lama. Tadi bertemu dengan teman Bapak. Jadi diajak ngobrol dulu. Dan kabar baiknya, aku diajak makan.” Tenang dan bahagia, Sony menyapa kami. Riyan menelan ludah. Dua mata Raka mendelik. Sementara aku mendapat jatah tertawa. Sebab, mimpi baik kami tidak hanya berantakan, tapi pesona Sony dalam menceritakan acara makannya membuat kami luluh lantak. Benar kata pepatah: Jangan pernah membayangkan mendapat sesuatu, sebab kadang sesuatu itu diberikan dalam bayanganmu juga.
Kami pulang. Tapi bahagia. Sebab, Sony tidak jadi menjadi umat pembangkang.
***
Akhir Desember 2012. Kami berada di Batu. Saudara jauh Sony berkenan meminjamkan vilanya untuk kami. Rencananya, kami akan meniup terompet di sana. Bersama serbuan dingin yang gila. Ujar Raka penuh semangat. Padahal menurutku, dinginnya biasa saja.
Kami sudah berkumpul di depan televisi. Ada banyak cairan kopi di depan kami. Sony juga tidak lupa membawa kartu remi. Malam itu, jarum jam masih berhenti di angka delapan malam.
Tiba-tiba saja Raka membuat usulan.
“Kita jangan habiskan 2012 hanya dengan main kartu remi. Kita ini mahasiswa. Ada baiknya kita mengulas balik tahun yang sebentar lagi akan mampus ini.”
“Kamu apa sedang kerasukan, Sobat?” tanyaku cepat.
“Tidak. Barangkali kita bisa ingat kembali sebuah peristiwa yang membuat kita tertawa dan juga menangis. Apa kalian setuju?”
“Ide yang lumayan,” sahut Riyan. Sony juga mengangguk.
“Di Indonesia saja atau seluruh dunia?” tanya Sony.
“Dunia dulu. Setelah itu baru dalam negeri.” Sok bijaksana, Raka menjawab. Aku memilih untuk menikmati kopi.
Suasana sungguh sangat menyenangkan. Ternyata malam tidak selalu harus dihabiskan dengan kartu remi. Ide Raka memang keren. Dan aku sangat suka.
“Siapa yang mulai?”
“Aku.” Tegas, Sony menjawab. Ia tidak lupa mengacungkan tangan. Mirip saat aku SMA dulu. “Ada peristiwa yang begitu mengejutkan di penghujung tahun ini. Dan baru saja terjadi kemarin. Dunia begitu riuh dengan ulah Suku Maya. Menurut mereka tanggal 21 Desember 2012 adalah hari di mana dunia ini tutup usia, alias kiamat. Kalian percaya?” Ia menghela napas sejenak. “Untung saja aku tidak percaya ketika itu. Coba saja aku percaya, pasti kalian akan mem-bully-ku habis-habisan,” tukasnya sambil meledakkan tawa. Raka tampak mengangguk serius.
“Apa kalian bisa jujur?” aku menyumbang pertanyaan. Sony membusungkan dadanya. Ia merasa memiliki pendukung yang militan.
“Hayo jujur!” kata Sony menimpali. Raka dan Riyan saling pandang. Kemudian mengangkat bahu bersamaan.
“Tidak ada yang percaya!” jawab keduanya kompak.
“Meski aku tidak beragama, tapi aku lebih percaya Tuhan. Daripada ramalan Suku Maya. Tapi dugaanku, mereka juga tidak akan percaya dengan kiamat. Aku yakin sekali,” urai Riyan.
“Kamu punya dasar yang kuat?” todongku cepat.
“Tidak!”
Semlohai!
“Tahun ini adalah tahun yang sangat menyedihkan untukku,” tiba-tiba saja Sony menyambung dengan cerita lain. “Aku belajar banyak darinya. Ia penyanyi hebat. Tapi ia kurus, langsing. Sedangkan aku mirip gajah. Gereja kurang suka jika aku pamer suara di sana.” Sony mengubah model duduknya. Sekarang ia bersila. Ia tampak memaksa. “Kejadiannya 11 Februari 2012. Whitney Houston meninggal dunia karena tenggelam di bak mandi (bathtub) dan penggunaan kokain di Beverly Hilton Hotel kamar 434. Ia matinya tidak baik. Tapi ia terlanjur dielu-elukan umat. Dunia mengenalnya. Suaranya mampu menggapai surga.”
“Ada yang bilang ia dibunuh, Son! Apakah itu benar?” tanyaku.
“Apa peduli kita, Bro? Faktanya ia sudah mati. Dunia bungkam. Hanya bisa meneteskan air mata.”
“Iya juga, sih. Ngapain kita susah-susah memikirkannya. Ha ha ha.” Aku hanya bisa tergelak.
“Kalau aku lebih suka menyorti berita tentang lagu Gangnam Style yang dibawakan oleh penyanyi Korea Selatan, PSY (Park Jae-sang). Sebab lagu itu masuk dalam Guinness World Records sebagai video di Youtube yang banyak disukai. Tarian “Gangnam Style” juga sangat populer dan menjadi salah satu gaya tari saat melakukan “flash mob“. Gangnam Style sendiri berasal dari kata “Gangnam” yang merupakan nama wilayah di Korea Selatan.” Tenang, Raka bertutur. “Tapi kukira, ia seperti badut. Lihat saja pakaiannya. Apa, sih, yang menarik dari lagu itu?”
“Ha ha ha. Siapa yang kamu marahi, Sobat?” Riyan bertanya.
“Nah, itu masalahnya. Ha ha ha.” Raka hanya bisa terbahak. “Bagaimana denganmu, Choi?”
“Aku tidak bisa melupakan trailer film Innocence of Muslims di Youtube yang -konon- menghina Nabi Muhammad. Gejolak ini diikuti dengan aksi anarkis anti Amerika di Libia dengan menewaskan Duta Besar Amerika Serikat untuk Libia, J. Christopher Stevens. Kesannya, Islam-Kristen bertikai. Saling bunuh. Tidak bisa akur. Padahal faktanya, kedua agama masih bersaudara. Sama-sama agama langit. Tapi menurutku, pembuat film itu juga keterlaluan. Apa ia tidak mengerti jika akhir-akhir ini, warga muslim suka mendidih. Huft. Jika sudah begini, siapa yang rugi, coba?”
Dua mata Sony menyipit. Ia baru menyadari jika kegelisahan yang ia alami terjadi juga padaku.
“Tapi ada juga yang membuatku senang, Sobat. Karena di tahun ini, Perserikatan Bangsa-Bangsa menyetujui meningkatkan status Palestina sebagai Pengamat Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa Bukan Anggota. Resolusi Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa 67/19 menetapkan masuknya Palestina sebagai negara non-anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa. Resolusi ini disahkan oleh Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa ke-67,” kataku panjang. Sony tampak sangat serius memperhatikanku, “dengan begitu, bangsa Palestina bisa sedikit bernapas lega. Aku kira warga dunia ingin sekali melihat bangsa Palestina bebas dari segala bentuk penjajahan. Sebab mereka sadar, polemik Palestina-Israel bukan masalah agama. Itu murni masalah pencaplokan wilayah. Dan perlu kita tahu, banyak non-muslim yang hidup di Palestina juga terkena kebiadaban Israel.” Mlogo, Sony memandangiku. Riyan dan Raka terlihat sepakat sekali dengan apa yang aku uraikan.
“Aku sepakat sekali dengan uraian kamu, Choi. Aku juga melihat, bahwa mereka bertikai bukan berlatarbelakang agama, tapi lebih ke masalah penjajahan. Perebutan wliayah. Tapi sayang, dunia Barat seolah tidak peduli dengan mereka. Dan yang terjadi saat ini adalah buah panjang dari kesabaran mereka.” Berkaca-kaca, Riyan mempertegas uraianku.
“Jangan lebay begitu dong, Bro,” seloroh Raka.
“Bagaimana dengan kamu, Raka? Apa cerita yang kamu punya?” todong Sony. Raka belum siap.
“Apa yang akan kuceritakan sudah kalian uraiakan.” Tenang, Raka menjawab todongan Sony. “Menurutku sudah cukup. Sekarang ganti kejadian lokal. Setuju?”
“Boleh juga,” sahut Sony gembira. Aku dan Riyan hanya bisa mengamini kegembiraan Sony.
“Aku yang pertama. Kalian masih ingat bulan Desember tahun lalu?”
“Ingat. Ada Natal di sana!” jawabku bercanda.
“Ah. Bukan itu. Ini tentang kejadian yang memilukan di Mesuji. Kalian pasti ingat, kan?”
“Oh. Benar. Mesuji!” Riyan berseru. Sony dan aku membulatkan bibir.
“Kamu tahu kasus itu, Riyan?” tanya Raka cepat.
“Aku kurang tahu. Aku hanya mendengar, itu tragedi yang memilukan,” jawab Riyan sambil menaikkan dua bahunya, “jika kamu tahu, bagi dengan kita!” pinta Riyan selanjutnya.
“Yang aku dengar, konflik itu meledak di tiga kawasan, yakni Register 45, Desa Sritanjung Kabupaten Mesuji Lampung, serta Desa Sodong Kecamatan Mesuji, Sumatra Selatan,” urai Raka sambil mengernyitkan dahi. Ia seperti sedang membongkar memori yang ada di kepalanya.
“Apa akar masalahnya?” tanya Sony cepat.
“Menurut Wamenkumham, ada pembiayaan dari perusahaan dalam penertiban kawasan hutan dan pengamanan perkebunan. Kasus ini terjadi medio Desember 2011-Januari 2012. Dari tujuh orang yang tewas, lima dari pihak PT SWA (Sumber Wangi Alam), selaku pengamanan swasta dan dan dua dari masyarakat. Kasus ini adalah cerminan buruknya hubungan korporat dengan masyarakat. Tata kelola perusahaan yang buruk dan rumitnya eksekusi penanganan konflik di lapangan. Hm, harapanku, semoga kasus-kasus seperti ini tidak terulang di kemudian hari.” Wajah Sony Raka menjadi sangat murung. “Ada yang lain?” tanyanya kemudian.
“Ada,” sahut Sony cepat. “Bagaimana dengan demo buruh di Cakarang? Apa itu termasuk peristiwa yang hot di sepanjang tahun ini?”
“Ceritkana dulu, Bro!” seruku cepat.
“Menurutku, tidak ada tindakan yang jauh lebih berani dan sangat radikal, ketimbang pemblokiran tol Cikarang. Benar-benar gila, nekad, tapi sungguh luar biasa dampaknya. Unjuk rasa ini berlangsung di lima titik. Terjadi pada Jumat 27 Januari 2012. Kondisi ini menyebabkan lumpuhnya transportasi yang mengambil jalur melalui Cikarang Barat. Termasuk tertutupnya akses Tol Cibitung dan Cikarang Barat. Akibat peristiwa ini, buruh menempati posisi yang diperhitungkan dalam percaturan politik dalam negeri. Isu-isu perburuhan menjadi topik yang hangat sepanjang tahun. Serikat buruh mulai dianggap keberadaaannya dan langkah-langkahnya. Kasus ini menjadi populer, karena inilah masalah klasik yang akan terus terjadi. Ketegasan pemerintah menjadi solusi. Di lain pihak, pengusaha pun mulai berani bersikap jujur, tentang Overhead Cost yang ternyata menjadi masalah utama upah buruh murah,” urai Sony panjang. Ia tampak kehabisan napas.
“Sebaiknya kamu minum dulu, Son. Biar nyawamu tetap pada tempatnya,” sahut Raka usil. Sony hanya bisa tersenyum kecil. Sebab ia merasa berhasil menyihir kami.
“Peristiswa yang sangat luar biasa menurutku. Tapi aku punya peristiwa yang lebih dahsyat lagi. Apakah kalian bersedia mendengarnya, Kawan?” tanyaku. Raka dan Riyan kompak menguap. Sementara Sony bergaya orang yang sedang ngantuk. “Baiklah. Tampaknya kalian sudah ngantuk. Tapi bagaimana dengan FPI?”
Sony, Raka, Riyan kembali khidmat.
“Apa? FPI?” tanya Sony heran.
“Benar. FPI. Kok, kamu kaget banget, Son? Apa kamu pernah tertangkap saat mereka melakukan sweeping? Ha ha ha.”
Asu!
“Apa yang bisa kamu ceritakan?” tanya Raka antusias. Kepura-puraannya sebagai orang yang sedang mengantuk berat berantakan.
“Katanya kalian mengantuk? Mau tidur?” Aku merasa seperti di atas angin. “Bagaimana dengan kamu, Son? Kamu berminat?”
“Ceritakan sekarang!"
“Baiklah. Jadi begini, aku tidak akan menyoroti bagaimana sepak terjang FPI dalam mewujudkan cita-cita sucinya.”
“Lalu?” sahut Riyan cepat.
“Hm. Bersabarlah kalian,” kataku sambil mengambil napas. “Tapi aku hanya ingin menyoroti pemerintah yang menurutku begitu tidak dewasa dalam menyikapi FPI. Lihat saja, bagaimana Pak Menteri yang hanya bisa tersenyum ganteng setelah kantornya dirusak. Belum lagi kasus di Monas. Ah. Langkah pemerintah cuma angin-anginan. Tapi, ya tidak sepenuhnya salah Pak Menteri. Aku yakin, beliau sadar betapa solidnya FPI dan betapa kuatnya orang-orang yang ada di belakang FPI. Masalah ini adalah contoh konflik horisontal yang melibatkan lintas agama dan suku. Dan pertanyannya sekarang adalah bagaimana diplomasi pemerintah menengahi pro kontra FPI? Apa kalian bisa menjawab? Hah?” tanyaku serius. Semua yang ada di depanku hanya bisa bungkam. “Yang bisa menjawab hanyalah waktu. Kita tunggu saja dengan sabar, Kawan.” Aku menukasi ceritaku. Sony masih dalam diamnnya. Posisinya yang minoritas membuat dirinya memendam trauma terhadap kelompok-kelompok yang menyebut dirinya sebagai representasi Tuhan. Sony tidak bisa seperti Riyan dan Raka. Keduanya begitu tenang, santai, dan damai menjadi minoritas di negeri ini. Sementara Sony tidak bisa seperti keduanya. “Son. Kamu ada cerita yang lain?” tanyaku tiba-tiba. Ia tampak terkejut. Tapi ia sudah siap dengan ceritanya.
“Siap. Apa kalian masih ingat dengan si cantik jelita Angelina Sondakh?” Sony bertanya. Senyumnya mengembang. Aku dan Raka menabrakkan pandangan. Sedangkan Riyan lebih asik dengan aktivitasnya mencari upil dari lubang hidungnya yang mulai melebar seukuran jempolnya.
“Siapa yang tidak tahu perempuan itu? Putri Indonesia itu?” sahut Raka cepat.
“Aku tahu. Senyumnya bikin hatiku meleleh,” gurauku.
“Tidak lucu. Garing, Coi!” Riyan ikutan buka suara. “Sudah. Sudah. Sekarang ceritakan pada kami, Bos!” pinta Riyan. Jempolnya masih bersarang di lubang hidungnya.
“Angelina Sondakh. Cantik, pintar, dan terkenal. Ia juga baik hati, dan semuanya disempurnakan oleh terpilihnya ia menjadi anggota DPR. Tapi yang terjadi justru kepahitan. Angelina ditahan karena keterlibataannya dalam kasus suap. Ia terbukti menerima suap Rp 5 miliar dalam pemenangan proyek pembangunan wisma atlit SEA GAMES XVI dan pengadaan peralatan laboratorium di sejumlah universitas di Kementerian Pendidikan Nasional. Kasus ini tidak hanya pukulan telak bagi karir hidupnya, tapi juga sangat mengharukan, sebab Angie sedang memiliki anak kecil (Keeanu). Selain itu, ia juga belum lama ditinggal suaminya (Alm. Adjie), dan yang paling parah, ia dipecat dari Partai Demokrat. Kasian sekali memang, tapi tak mungkin ada api jika tidak ada asap.” Dengan satu helaan napas, Sony menyudahi ceritanya. Kami bertiga mengangguk takzim. Kami tetap solid, meski berita itu terdengar nyaring di telinga kami sebelumnya. “Ada cerita lain?” tanya Sony berikutnya.
“Aku rasa, semua belum bisa melupakan peristiwa berdarah yang terjadi di Sampang, Madura. Itu tragedi kemanusiaan.” Tenang dan penuh wibawa, Riyan menyambung cerita. Aku antusias. Begitu juga dengan Sony dan Raka.
“Tragedi Syi’ah?” tanya Sony cepat. Riyan mengangguk.
“Massa membakar pemukiman kaum Syiah. Tidak ada satu pun yang tersisa. Mereka begitu bengis. Dikuasai nafsu membunuh. Tapi sayang, mereka selalu melibatkan agama. Lagi-lagi agama,” ujar Riyan geram.
“Kamu tahu akar masalahnya, Yan?” tanyaku cepat.
“Akar masalahnya beragam. Ada versinya masing-masing. Yang aku dengar, bentrokan tersebut dipicu karena ketidaksenangan warga Sunni terhadap kepulangan sejumlah santri Syiah dari Pesantren Yapi, Pasuruan. Berita ini aku baca dari Antara. Konflik yang paling mengerikan dan menyedihkan menurutku. Coba bayangkan! Konflik dalam satu keluarga yang berbeda mahzab meluas menjadi konflik kampung dan konflik agama. Dalam eskalasi nasional, sekali lagi, ini adalah tragedi kemanusiaan. Aku hanya bisa berdoa, Kawan. Semoga peristiwa ini bisa menjadi pelajaran berharga bahwa perbedaan tidak harus diselesaikan dengan kekerasan. Perbedaan adalah anugerah.” Riyan tampak mengembuskan napas yang berat. Rasa prihatinnya begitu mencolok mata.
“Pasti ada pihak ketiga!” kata Sony yakin.
Kami bertiga mengernyitkan dahi.
“Benar!” seru kami kompak.
“Kira-kira siapa pihak ketiganya, Bos?” Raka melempar sebuah pertanyaan yang sangat sulit untuk dijawab. Itu pertanyaan yang sangat sensitiv.
“Terlalu sulit untuk dijawab. Pengadu domba memang selalu ada. Tidak akan musnah sebelum dunia ini tutup mata.” Bijak, Sony menyumbang kalimat. Aku mengangguk. “Ada yang lain?”
“Aku kira sudah cukup, Kawan. Begitu banyak peristiwa. Jika kita bahas satu per satu, maka kita tidak akan sempat menyalakan kembang api. Lihat! Sudah hampir jam dua belas,” kataku sambil menunjuk jam dinding yang menempel kedinginan.
“Tumben kamu waras, Bro?” tanya Sony usil.
Tahun baru telah datang. Kembang api terdengar di mana-mana. Kami berempat meletupkan harap masing-masing. Kami melihat malam mengamini harapan kami. Malam yang indah. Pergantian tahun yang syahdu. Dan hawa dingin kota Batu yang menggila.
Sudah pukul dua dini hari. Dingin yangmenjadi-jadi memaksa kami menguap. Kami sepakat mengentikan acara begadang. Kami memilih untuk segera tidur. Sebab esok hari, kami sudah harus berada di Cangar. Kami akan memanjakan tubuh dingin kami di sana. Sebab, terbungkus kabut semalaman kurang menyehatkan badan kami. Dan sumber mata air panas Cangar adalah solusinya. Selamat tidur. Semoga kami mimpi indah.


Senin, 24 Agustus 2020

Universitas Negeri Malang (IV)


Pagi menjelang kembali. Ternyata belum juga kiamat. Celetuk Sony saat ia membuka mata. Aku tersenyum. Itu ungkapan terima kasih kepada Sang Pemberi pagi? Aku hanya bertanya dalam hati.
Sony lalu berdiri.
“Aku tidak ingin mandi. Sebab belum ada perintah Tuhan untuk mandi pagi-pagi. Apa lagi Tuhan tahu udara di Malang,” katanya sambil berlalu dariku.
Sak karepmu!
Aku suka gayanya. Menurutku itu unik. Sesuai yang kumau. Ia jenaka. Tapi ia penyuara kegetiran hati yang baik. Ia telah mengenal semesta. Sebab ia lahir tidak sama. Tidak sepertiku.
Malang membuat sentuhan manja di lenganku. Hawa sejuk pagi serupa pertunjukan musik jazz. Aku menyepadankannya. Sebab aku suka musik jazz. Bagiku, musik itu lahir dari rahim yang suci. Orang-orang klasik dulu telah memainkannya. Melantunkan bait-bait eloknya. Musik itu membawaku pada sebuah waktu di mana para penyair Arab praislam menggantungkan karya agungnya di dinding Kabah. Lalu mereka menari-nari sambil berpuisi. Musik jazz mengalun di sana. Mengiringi peluh mereka.
Sony telah kembali. Mukanya yang bundar terlihat basah. Pucuk rambutnya menggantung beberap butir air. Tapi jari-jari kakinya tetap kering. Apa yang kamu lakukan di kamar mandi, Son?
“Kamu mau mandi apa menjadi pengikutku?” tanyanya padaku. Aku bungkam. Lalu berdiri mengambil handuk yang tergelatak di atas meja.
“Lihat saja nanti. Tapi aku tergelitik atas ucapanmu,” jawabku.
“Yang mana?” tanyanya cepat. Ia memasang wajah heran.
“Tuhan tidak memerintahkan kita untuk mandi pagi.”
“Aku paham maksudmu. Orang sesat itu memang mudah diikuti. Sementara orang baik susah sekali. Itu seperti perjanjian yang tidak pernah ditulis oleh semesta.” Panjang, Sony menyahut.
“Bukan saatnya kuliah. Dah. Aku ke kamar mandi dulu,” tukasku.
***
“Sudah kamu telepon?”
“Belum. Kurasa itu tidak perlu. Paling sebentar lagi mereka nongol. Minum saja kopimu. Biar gelisahmu berkurang.”
“Geli-geli basah!” candanya.
Kami sudah hampir setengah jama di WS. Kopi kami juga hampir tandas. Tapi mereka juga belum datang. Aku melihat kegelisahan Sony. Aku kelabakan mencari cara menundanya untut beranjak dari warung itu.
Tapi tiba-tiba saja situasi berubah. Mereka datang. Kemudian menyalami kami. Senyum sumringah membuka pertemuan kami.
“Maaf menunggu, Choi. Tadi mampir beli pulsa. Tapi tidak masuk-masuk jadi kami menunggu,” kata Raka beralasan.
“Tidak masalah, Bro. Tidak jadi soal, alias oke-oke saja,” sahutku cepat. “Jadi gini, aku gabung denganmu sekarang juga. Temanku ini juga ikut. Apa masih kurang orang?”
“Oh. Tidak, Choi. Empat orang sudah sangat cukup. Bagaimana? Kalian butuh lihat kontrakan sekarang?” Raka bertanya.
Aku dan Sony mengangguk.
“Iya.”
Berikutnya, aku dan Sony mengekor di belakang Riyan dan Raka. Seperti yang mereka bilang jika mereka ngontrak di jalan Veteran. Kata Raka tempatnya tidak terlalu jauh. Dari WS hanya kisaran setengah kilometer.
Kami diajak menyusuri gang-gang sempit di belakang UM. Kami melewati jalan Ambarawa. Dan setelah berjalan tanpa berhenti, kami sampai juga di rumah kontarakan mereka.
Rumahnya memang lumayan besar. Jika ditempati sepuluh orang juga muat. Ada dua kamar besar dan satu kamar kecil. Lengkap dengan kamar mandi dan dapur. Dari sisi kenyamanan, rumah itu sangat nyaman.
Sony sepakat denganku. Kami sama-sama jatuh cinta. Riyan dan Raka menatap kamai bahagia. Di samping bertambah teman, mereka juga akan bertambah ringan beban kontraknya.
“Kamarku sebelah mana, Mas?” tanya Sony.
“Masih ada dua kamar tersisa. Besar dan kecil. Tapi aku sarankan, Sony memilih kamar yang besar saja. Biar tidak sesak napas,” jawab Raka sambil bercanda. Aku dan Sony kompak tertawa.
“Saran yang sangat keren,” sahut Sony.
Aku berbisik kepada Sony. Aku mengajaknya pulang sebentar. Sebab, jika bisa hari itu juga aku sudah pindah. Sony ternyata memendam hasrat yang sama.
Kami lalu mohon pamit kepada mereka. Kemudian segera menghilang dari rumah itu. Aku menoleh sejenak, senyum bahagia mereka masih saja tampak mata. Tersungging indah.
***
Malam yang indah. Padat. Dan penuh agenda. Seminggu sudah aku berada di kontrakan itu. Dari ke hari, persahabatan kami semakin kental. Tidak terpisahkan. Dinding kamar bukan lagi menjadi simbol privasi. Kami adalah saudara.
Raka suka sekali tidur di kamarku. Sony sering juga bertukar tempat menghabiskan malam dengan Riyan. Tapi paling sering, kami tidur berempat di depan televisi. Dan sebagai pengantarnya, kami bermain kartu remi. Berdiskusi tentang bangsa ini. Dan biasanya ditutup dengan membincangkan tokoh idola.
Malam itu, adalah hari Sabtu. Kami sudah menyeduh kopi ekstra banyak. Sebab, kami berencana begadang sampai pagi.
“Bangsa ini seperti melahirkan permata.” Pelan, Raka membuka obrolan.
“Permata jenis apa?” tanya Sony cepat.
“Iya. Permata yang mana?” tanyaku menimpali.
Raka tersenyum.
“Coba perhatikan berita akhir-akhir ini. Tidak ada satu media pun yang tidak membincangkan Pak Jokowi. Bahkan filmnya juga sudah rilis. Masyarakat luas begitu antusias dengan beliau. Tidak hanya orang Jakarta saja,” urai Raka panjang. “Sebab mereka yakin, jika Jakarta sudah benar maka daerah lain juga ikutan benar,” imbuhnya sambil meraih jatah kopinya.
“Pendapat masyarakat beraragam, Bro.” Riyan menyahut. “Tidak semua melihat beliau dengan pandangan positif. Banyak dari mereka yang mengatakan bahwa Pak Jokowi tokoh bentukan media. Penuh pencitraan.”
“Kalau menurutku, itu wajar saja. Sebab politik itu dinamis. Tidak mengenal intuisi. Jika hari ini Pak Jokowi raja, maka besok beliau akan menjadi sudra. Sebab, beliau dianggap telah menghianati ekpektasi partai pendukungnya. Meski pada kenyataannya, kebenaran yang beliau perjuangkan. Itulah politik. Tidak perlu heran dan kaget,” timpalku. “Dan media begitu asik menikmati kedinamisan itu,” imbuhku.
“Hai, Bung!” Sony berseru. Pandangan mata kami tertuju kepadanya seketika. Ia tampak kaget. Sementara kami menampakkan wajah menunggu. “Kenapa kalian menatapku seperti itu?” tanya Sony berikutnya.
“Wajahmu bundar kayak kelereng,” jawab Raka jenaka. Aku dan Riyan kompak tertawa. Sony sedikit terlambat. Ia kurang paham dengan candaan Riyan. “Setan,” umpatnya. Kami kompak tertawa lagi.
“Kamu mau berfatwa apa, Son?” tanyaku.
“Harusnya kalian tidak hanya perhatian dengan gosip politik, Kawan. Sebab, isu radikalisme agama juga sangat penting. Coba perhatikan, bagaimana diskrimnasi yang terjadi di negeri ini? Bagaimana kaum minoritas hidup dalam bayang-bayang kekerasan yang setiap saat bisa meledak?” Sony menembaki kami dengan kegelisahan hatinya.
“Aku juga minoritas, Son. Kita tidak boleh pesimis. Kita jangan menyerah. Kita jadikan persahabatan ini sebagai simbol keberagaman. Kita bungkam mereka yang suka membenturkan keberagaman kita.” Penuh semangat, Riyan menjawab kegelisahan Sony,
“Aku setuju dengan Riyan!” aku berseru tak kalah semangat. Sementara Sony masih menampakkan wajahnya yang gelisah. Ia seperti meragukan pendapat Riyan.
“Percayalah sobat. Tuhan itu Mahabaik. Ia tidak akan rela mahkluk-Nya hidup untuk saling menyakiti,” ujar Raka sambil menepuk pundak Sony.
“Aku ada ide!” kataku membuat kejutan. Sony menatapku cepat. Wajah gelisahnya berganti penasaran. Tidak ketinggalan Raka dan Riyan. Keduanya bernasib sama dengan Sony.
“Apa?” tanya mereka berbarengan.
“Bagaimana kalau kita bangun tempat ibadah di rumah ini?”
Ketiganya melongo. Tapi sedetik berikutnya, Sony cepat-cepat setuju.
“Aku setuju!” teriaknya penuh semangat.
“Ide keren,” Raka menyahut.
Namu ada penampilan yang berbeda dalam wajah Riyan. Ia menjadi murung. Ada mendung bergelayutan di sana.
“Kamu kenapa, Riyan?” tanyaku cepat.
“Aku hanya bingung, tempat ibadahku seperti apa?”
Aku dan Sony sepakat menelan ludah bersamaan. Pertanyaan Riyan seperti godam. Kami hampir saja rubuh karena hantamannya. Sementara Raka hanya menaikkan bahunya sedikit. Ia sudah menduga jika Riyan akan bertanya seperti itu.
“Lah, kamu menganut agama apa, Yan?” tanyaku polos.
“Aku tidak tidak mempunyai agama. Tapi aku punya Tuhan, kok. Jadi kalian tidak perlu menuduhku kafir,” jawabnya sambil tergelak. Aku dan Sony melongo.
“Kamu ada usul, Son?”
Sony tidak bisa menjawab. Ia hanya bersendawa keras. Riyan dan Raka terbahak. Sampai-sampai air matanya sedikit tumpah.
Aku menjadi paling salah tingkah. Itu pengalaman baru. Aku bukan hanya berada dalam lingkuan yang beragam. Tapi aku juga berada dalam dunia tanpa agama.
Namun aku tetap tidak peduli. Ia memang tidak beragama. Tapi ia bertuhan. Ia baik. Ia mampu menjadi Tuhan. Sebab Tuhan adalah kebaikan.
“Hm. Jika begitu, Riyan tidak perlu membuat tempat ibadah. Ia bisa di tempat ibadahku, di tempat ibadah Sony, dan Raka. Pokoknya Riyan tamu kehormatan.” Terbahak, aku membuat usulan.
“Aku setuju.” Semangat, Riyan menyahut usulanku.
Perbincangan berhenti. Jarum jam sudah berada di angka dua pagi. Kopi ekstra kami juga tinggal sedikit. Sony beberapa kali menguap. Tapi ia bertahan untuk tidak tidur. Sebab ia malu dengan yang lain.
Kartu remi masih kami mainkan. Kulirik sejenak telinga Raka. Merah menyala. Penjepit baju menggantung bangga di daunnya. Riyan sesekali datang untuk meledek.
Waktu terus berputar. Yang awalnya jam dua, sekarang sudah manjadi jam setengah empat. Raka sudah menunjukkan rasa kantukanya. Riyan juga. Apa lagi Sony. Sementara aku harus bertahan. Sebab Subuh sebentar lagi menjelang.
“Kita tidak boleh tidur sebelum Choi Subuh-an,” kata Riyan penuh semangat. Kalimatnya sebenarnya adalah paradoks dari dua bola matanya yang sudah mulai merah. Raka dan Sony megangguk setuju. Sama semangatnya dengan Riyan. Aku hanya bisa terharu biru. Oh, kalian.
“Silakan tidur, Sobat. Ini masih setengah empat. Subuh datang jam empat lebih. Mata kalian sudah berair,” ujarku. Ada sedikit muatan basa-basi. Sebab pada dasarnya aku merasakan kebahagiaan dengan suasana seperti itu.
“Kami tidak terima jika hanya kamu yang mendapat pahala, Choi. Barangkali dengan menemanimu salat, kami juga kecipratan pahalanya,” sahut Riyan sambil tertawa. Tapi rasa kantuknya tetap mencolok mata.
“Mudah-mudahan Tuhan setuju denganmu,” kataku menimpali.
Waktu merambat lagi. Azan Subuh sudah menggema. Aku terkesiap. Begitu juga dengan ketiga temanku.
Aku segera mengambil air wudu. Kemudian segera mendirikan salat. Mereka berada persis di belakangku. Ketiganya berjuang untuk menjaga dua matanya agar tetap utuh.
Setelah itu, kami terlelap.

Minggu, 23 Agustus 2020

Universitas Negeri Malang (III)


“Aku boleh menginap di sini, Choi?” tanyanya padaku.
“Silakan, Son. Tapi selimutku hanya satu. Sarungku juga tidak akan muat untuk menutup tubuhmu. Jika kedinginan jangan salahkan aku.” Panjang, aku menjawab pertanyaannya. Sony diam. Tidak membalas. Ia memilih menikmati kopi yang kubuatkan.
Sore itu, jarum jam sudah menunjuk ke angka lima tepat. Sebagai penghuni pemula di Malang, di waktu seperti itu dingin akan terasa menyiksa. Tapi tidak bagi Sony. Lemak di tubuhnya serupa kompor.
“Sore adalah waktu paling sakral untuk membuat puisi,” celetuk Sony. Aku menahan senyum. “Sebaiknya kamu salat dulu. Asar itu waktunya tidak panjang!” imbuhnya. Dahiku mengernyit.
“Kenapa Tuhan membuat Asar begitu pendek?” tanyaku tidak penting.
“Koplak!” Sony berseru. “Memangnya aku bisa menjawab, hah?”
“Iya juga, sih. Kamu tidak sembahyang, Son?”
“Memangnya Tuhanmu bisa menerimanya, atau minimal memakluminya? Ha ha ha.” Tawa Sony memenuhi kamar. “Aku bisa saja salat bersamamu. Asar itu empat rakaat. Aku takut dibilang penyusup,” tukasnya.
“Kenapa bisa begitu?”
“Lah iya, to! Di Gereja aku tidak pernah memakai rakaat. Jika tiba-tiba aku beribadah dengan rakaat, takutnya aku sedang menyadap ibadahmu. Masuk akal tidak, Choi?” Sony mengembuskan napas sejenak. Lalu melanjutkan, “Jalan kita sudah beda. Meski tujuan kita sama.”
“Kamu sadar, Sony?”
“Sadar apa, Choi?” tanyanya balik.
“Kamu sedang mendadak ‘Ustaz’! Ha ha ha.”
Sony terbengong. Ia diam. Tidak menyahut lagi. Kalimat terakhirku membuatnya migrain. Ia tergagap. Ketika ia menoleh ke arahku, aku sudah melangkah meninggalkannya. Sony akhirnya merebah. Memilih menidurkan tubuh tambunnya.
Aku sudah selesai membersihkan sebagian anggota badan dengan berwudu. Sony terlihat pulas sekali. Sebab itu, kamar segera kukunci dari luar. Aku memilih pergi ke Musalla. Di sana, aku juga akan menunggu Magrib. Sebab pikirku, orang gemuk seperti Sony tidurnya akan lama.
Musalla itu terlihat sepi. Tidak ada satu pun manusia di dalamnya. Aku melangkah masuk seperti penyusup. Tulisan: ‘Dilarang Tidur di Musalla’ menyambut kedatanganku. Aku mengulum senyum sebagai imbalan sambutan itu.
Aku memulai salat. Empat rakaat, seperti kata Sony. Dan doaku Asar itu adalah: Semoga Tuhan selalu mempertemukanku dengan orang-orang yang setiap saat bisa mengingatkan kealpaanku. Amin.
Jarum jam Musalla menunjukkan pukul setengah enam kurang lima menit. Aku bergegas melihat jadwal salat yang dikeluarkan oleh Tim Ahli Hisab salah satu ormas Islam yang ada di Malang. Kudapati, ternyata Magrib terjadi pukul setengah enam lebih lima menit. Berarti sebentar lagi.
Waktu terus merambat. Orang-orang sudah pada datang. Dan saat waktunya tiba, azan segera dikumandangkan. Begitu selesai, Musalla sudah sesak dengan para jamaah. Aku kebagian di shaf dua.
Azan sudah selesai berkumandang. Kemudian disusul iqomat dengan cepat. Jamaah sudah pada berdiri. Merapatkan barisan. Sang Imam menoleh kami sejenak sambil berucap: ‘Sowwu Sufufakum. Fainna Tasfiyakum Min Tamaamis Salah’. Lalu takbir. Dan ibadah salat Magrib resmi dimulai. Kami hanyut. Tuhan hadir bersama kami. Teduh. Begitu teduh.
Sang Imam sudah menunaikan tugasnya dengan sempurna. Para jamaah ada yang langsung meninggalkan Musalla. Ada juga yang masih tenggelam dalam lautan doa. Mereka menundukkan kepala takzim. Sementara aku, terngiang-ngiang wajah lucu Sony yang kelabakan karena terkunci di kamar. Aku segera menutup doaku. Kemudian memutar badan. Dan pergi dari Musalla.
Aku berjalan agak cepat menuju kosan. Aku khawatir Sony kehabisan oksigen. Kamar yang kusewa terlampau sempit. Tapi tiba-tiba saja, “Brak!”. Aku menabrak seorang perempuan. Berkerudung kuning. Ia tertunduk malu. Meski aku tahu wajahnya menyimpan kesal. Tubrukan itu menyebabkan bungkusan di tangannya terlepas dan jatuh bebas ke tanah.
Aku memandangnya sejenak. Dan segera bertindak mengambil bungkusan itu. Tapi ia mencegah. Aku merasa bersalah. Ia malah melempar senyum cantik. Wajahku mendadak merah. Aku menjadi malu. Sangat malu. Sebab, senyum itu seperti mendung. Dan aku menjadi tidak kepanasan karena keberadaannya.
Ia melangkah pergi. Tapi aku mencegahnya. Sejenak.
“Mbak .... Saya benar-benar minta maaf. Tadi saya berjalan terburu. Jadi saya tidak melihat sampeyan.” Gemetar, aku berusaha berbicara dengannya.
Ia tersenyum lagi. Aku seperti lumpuh.
“Tidak apa-apa, Mas. Saya tadi juga tidak melihat. Saya juga minta maaf,” ujarnya lirih. Suaranya seperti harpa. Mengalun merdu. Aku melihat angin berhenti sejenak. Aku semakin tidak mampu menguasai tubuh. Gemetar terus menyerbu.
“Jika berkenan, bungkusan itu mau saya ganti, Mbak. Saya merasa tidak nyaman sekali jika tidak menggantinya,” ujarku terbata.
“Tidak perlu, Mas. Bungkusan itu tidak penting. Terima kasih banyak atas niat baik, Mas,” tolaknya halus. Aku tersihir. Aku tidak memiliki kalimat lagi.
“Saya Choi,” kataku sambil mengulurkan tangan.
“Saya Rembulan,” balasnya sambil menangkupkan dua tangannya ke dada. Tanganku bersalaman dengan angin.
Ia lalu pergi. Aku masih terpaku di tempat itu. Memungut sisa-sisa senyumnya yang tertinggal di sana. Ia sudah tidak terlihat. Ia ditelan jarak pandang.
Aku kembali teringat dengan Sony. Aku berjalan setengah berlari. Sebab aku takut oksigen tidak cukup menggerakkan paru-parunya.
Aku sudah sampai kosan. Dengan cepat kubuka pintu kamarku. Sony masih mengatubkan dua matanya. Ia lelap sekali. Ada dengkuran yang menggema. Syukurlah.
“Son ...” Aku menggoyang-goyangkan perut besarnya. Tapi ia tetap mendengkur. Aku segera ke dapur untuk mengambil air.
Aku menjatuhkan beberapa butir ke wajahnya. Ia geragapan. Dan langsung duduk. Dua matanya juga terbuka lebar.
“Hujan ...” teriaknya. Ia tampak linglung. Separuh kesadarannya masih di alam sana.
“Di mana?” tanyaku cepat.
“Di kosan ini!” jawabnya serius. Aku mengulum senyum.
“Sudah malam. Mari kita makan, Son. Mumpung kamu tidak jadi mati. Ha ha ha.” Aku tertawa sambil berlalu darinya. Dua matanya menangkap tanganku yang memegang gelas berisi air putih.
“Koplak. Jadi kamu yang melempar air ke wajahku?”
“Bukan.” Tenang, aku menjawab sambil berjalan meninggalkannya.
“Lalu?” Ia masih penasaran.
“Tuhan.”
Sony terdiam.
***
“Di sini, di jalan ini, makanan masih relatif terjangkau. Lalapan ayam enam ribu. Nasinya banyak,” kataku membuka obrolan di sela-sela makan malam kami. Sony mengangguk pelan. Perutnya sudah tidak bisa diajak menjeda makan. “Makanmu seperti orang kelaparan,” lanjutku.
“Sejak sebelum tidur aku sudah lapar. Ngomong-ngomong, tadi siang yang kamu ajak ngobrol siapa?” Sony bertanya. Keningku bergerak. Prediksiku salah total. Sebab faktanya, Sony memperhatikan perbincanganku dengan Raka dan Riyan.
“Raka dan Riyan. Aku baru kenal. Mereka kakak angkat kita. Fakultas MIPA. Hal ini juga yang mau aku bicarakan denganmu, Son!”
“Tentang apa?” sahut Sony cepat. Beberapa butir nasi meloncat bahagia dari mulutnya. Sony bereaksi cepat. Ia berpura-pura sedang bermain kunyahan. Ah. Klasik sekali.
“Jadi begini. Mereka itu tinggal di kontrakan. Tapi mereka kekurangan personil. Mereka hanya berdua. Mereka keberatan di ongkos. Mereka mengajakku bergabung. Tapi aku terlanjur membayar kos satu semester. Mubazir jika pindah sekarang. Akhirnya, mereka mau menungguku satu semester. Bagaimana dengan kamu, Son?”
“Tawaran yang sangat bagus. Aku di jalan Semarang tinggal bersama budeku. Serba sungkan. Serba rumahan. Kan, aku sudah mahasiswa. Boleh, kan? Jika aku nakal-nakal dikit. Ha ha ha.”
“Kamu mending gabung duluan saja,” kataku murung.
“Ha ha ha. Kenapa kamu jadi murung, Choi. Kamu ingin bergabung ya? Tapi juga berat kehilangan uang kos satu semester. Berapa, sih, uangnya?”
“1.700.000 ribu, Son.” Wajahku masih terlihat murung. Tapi Sony menatapku dengan tatapan bahagia. Aku menduga, ia mempunyai rencana.
“Bagaimana jika kamu jual keperjakaanmu! Tapi, masak iya, kamu masih perjaka, Choi?”
“Koplak. Pacaran saja belum pernah. Aku ini anak saleh, Son. Ha ha ha.”
“Kasihan tanganmu, Choi. Ia tidak kamu akui sebagai perenggut keperjakaanmu. Ha ha ha.”
“Maksud kamu, Son?”
“Onani, Choi. Onani. Ha ha ha.”
Dobol. Lambemu dobol. Kamu memang tidak berperikemanusiaan, Son. Sudah tahu aku sedang dilanda gundah-gulana begini, kok, masih bisa kamu bercanda. Tidak penting lagi.”
Edan mangan semir. Penggila Sastra itu aku. Bukan kamu. Tapi kamu sering sekali bikin puisi menjijikkan di depanku. Dangdut pula.”
“Lalu solusinya bagaimana, Son, hah? Kamu ada solusi? Atau mulutmu saja yang besar. Eh, tapi, memang besar beneran,” kataku sambil mengukur mulut Sony yang kelihatan sibuk mengunyah makanan.
“Tuhan itu Mahakaya, Sobat. Jangan pernah meremehkan-Nya.” Bijak, Sony meletupkan satu nasihat. “Jangan pernah menghina Tuhan, Choi. Jangan pernah,” tutupnya.
“Coba, dari kalimat mana yang menunjukkan aku menghina Tuhan?”
“Itulah manusia. Gampang sekali tidak sadar. Menghina Tuhan itu tidak perlu memaki-maki-Nya. Tidak perlu berbuat jahat atas nama-Nya. Tidak perlu juga memfitnah-Nya,” urainya tenang.
“Lalu?”
“Sebab, merasa khawatir akan kekurangan sesuatu saja itu sudah sangat menghina Tuhan. Kamu kira Tuhan itu akan kehabisan uang. Kamu kira Tuhan berat mengganti uang kosmu. Kamu kira Tuhan itu masuk kategori Prasejahtera, hah?”
Aku terdiam. Sony menamparku. Memukulku. Menusuk ulu hatiku. Intuisiku memang tepat. Sony memang teman yang bisa diandalkan.
“Lah, terus siapa yang mengganti uang kosku, Son?” tanyaku lugu, polos. Sony menggelengkan kepalanya. Ia terlihat pening mendengar kalimatku yang terakhir.
“Puji Tuhan. Puji Yesus. Puji Ruh Kudus. Tuhan, kenapa Kau menciptakan manusia bernama Choi ini?”
Aku semakin kerdil. Aku tidak paham dengan ceracaunya yang dibungkus tawa itu.
“Kamu jangan bermain imajinasi bodong, Son!”
“Memangnya ada imajinasi yang tidak bodong? Ha ha ha.” Sony tertawa lagi. “Sudah. Sudah. Uang kosmu tak ganti separuh. Bagaimana?”
“Nah. Itu maksudku tadi. Itu jawaban yang kuharapkan tadi.”
Jancuk. Asu!
Tawa kami meledak bagai mesiu. Suaranya menggelegar di mana-mana. Tuhan Mahaasik. Tuhan Mahabaik. Tuhan Mahakaya.
Kami meninggalkan warung dengan perut yang sesak dengan nasi. Dari gerak tubuhnya, Sony memang berniat menginap di kosanku. Ia tidak ingin pulang. Tekadnya menjadi anak yang rada-rada nakal sudah bulat.
“Coba kamu hubungi mereka. Siapa tahu, lusa kita sudah pindah,” pintanya di sela-sela perjalanan kami.
Oke. Kamu yakin mau tidur di kosku? Sudah tahu, kan, kamarku sempit?”
“Iya. Aku menginap di kosmu saja. Aku besok juga malas untuk ikut agenda ospek. Kelak, saat aku jadi Menteri Pendidikan, maka kegiatan itu akan kuhapus. Mahasiswa miskin dan berprestasi tidak akan kutakuti lagi. Mereka akan tetap bisa lulus dan bisa mengajukan beasiswa meski tidak memiliki sertifikat ospek.” Panjang, Sony berceloteh. Perut yang kenyang membuatnya memiliki banyak ide.
“Aku setuju denganmu, Son. Doakan, yah. Semoga aku terpilih menjadi Presiden. Aku janji, aku kuwujudkan mimpimu menjadi Menteri Pendidikan.”
Asu!
“Sebentar. Aku tak menelepon mereka. Sebaiknya kamu duduk dulu. Biar emosimu mereda. Dan mimpimu menjadi Menteri Pendidikan terwujud.”
Aku segera mengeluarkan telepon genggam. Kucari kontak Raka. Nomornya segera kutekan. Dan tersambung dengan cepat.
“Halo,” sapa Raka dari sana.
“Ini Choi, Mas. Besok kita bisa bertemu?”
“Bisa. Di WS. Jam ngopi. Bagaimana?”
Oke.
Setelah itu senyap. Telepon sudah terputus.
“Bagaimana, Choi?” todong Sony cepat.
“Beres. Besok kita ketemu di WS pada jam ngopi,” jawabku cepat.
“Nah. Berarti jam Ospek?”
“Begitulah,”
“Masih jam sembilan. Kita ke mana lagi?” tanya Sony.
“Dingin sekali, Son. Aku juga mulai mengantuk. Jika kita tidur saja bagaimana? Atau ngobrol di kamar sampai kita menguap bagaimana?”
“Sebelum ke Malang kamu anak rumahan, yah?”
“Kamu menuduh atau bertanya? Jika itu tuduhan, maka kamu salah. Sebab, aku bukan anak rumahan. Tapi anak Masjid-an. Sebab, tiap malam aku tidur di Masjid,” jawabku bangga. Sony menyipitkan dua matanya.
“Kamu serius? Memangnya rumah ibadah boleh dibuat tidur?”
“Siapa yang melarang, Son? Tuhan itu Mahabaik. Juga Maha Melindungi. Aku terasa terlindungi tidur di rumah-Nya. Memangnya rumah Tuhan-mu tidak boleh dibuat tidur?” tanyaku balik. Sony tampak bingung dan heran.
“Tidak. Ada asramanya, kok. Tapi masih berdekatan dengan Gereja. Kukira sama saja. Sama seperti tidur di dalam Gereja.” Serius, Sony menguraikan jawabannya.
“Ya kalau menurutku beda, Son. Asrama dan Gereja dua tempat yang berbeda. Pantas saja ...” Kubuat kalimatku menggantung. Sony menggeliat. Ia sangat penasaran.
“Pantas apa, Choi?” kejarnya.
“Pantas saja burung gereja pada eksodus ke Masjid. Ternyata mereka umat yang terbuang. Ha ha ha,”
“Koplak. Gendeng. Edan mangan semir,” umpatnya lantang.
“Ha ha ha.”
Kami memutuskan untuk pulang ke kos. Sebagai pemula di Malang, aku belum terlalu bisa menerima dinginnya. Ketika itu bulan September. Suhu di Malang bisa turun di bawah 20 derajat.
Aneh. Aku merasa ada sebuah keganjilan. Kami bertemu di pagi hari sebagai mahkluk asing yang sama-sama malas mengikuti agenda Ospek. Tapi sampai malam itu, kami rasanya sudah berteman puluhan tahun yang lalu. Sepeti tiada batas di antara kami. Aku terbuka. Begitu juga dengannya. Guyonan kami sebagai orang Jawa Timur juga kerap menghiasi percakapan di antara kami. Bahkan, yang kata orang itu umpatan selalu terselip di antara kalimat-kalimat yang keluar dari bibir kami. Aku jatuh cinta dengan Malang. Aku jatuh cinta dengan pertemanan kami. Intuisi membawa kami saling bertemu. Mata tajamnya membuat kami satu tubuh.
“Aku salat Isya dulu, Son. Kamu masuk saja duluan. Ini kuncinya!” kataku sambil menyerahkan kunci kos kepada Sony. Aku memilih beribadah di Musalla. Sony menerimanya dengan kening berkerut.
“Kenapa?” tanyanya.
“Aku tidak punya alasan. Ha ha ha,” jawabku sambil tertawa. Sony manyun. Kemudian melanjutkan langkah kakiknya. Sony terlihat capek.
Aku memang sengaja memilih salat di Musalla. Setidaknya ada tiga hal yang melatarbelakanginya. Pertama. Ringkas dan mudah. Air buat wudu tersedia. Tinggal putar kran beres. Sementara di kos, aku harus memompa air dulu. Sebab, pompa air listrik sedang dalam perbaikan. Kedua. Di Musalla aku bisa leluasa bercerita kepada Tuhan tentang anugerah hari ini. Dan ketiga. Aku berharap bisa bertemu Rembulan lagi. Bisa bertegur sapa lagi. Wajahnya selalu melintas. Aku seperti sedang dipenjara rindu. Meski aku tahu, ia juga makhluk asing dalam duniaku.
Aku segera kembali ke kos. Aku tidak ingin Sony menunggu lama. Aku juga tidak ingin berpikiran aneh tentangku.
Langkah kakiku cepat. Sehingga hanya dalam satu menit aku sudah sampai di depan kos. Kamarku menutup rapat. Di dalamnya juga tampak sepi. Tuduhan pertamaku, Sony terjebak dalam kantuk. Kemudian tertidur pulas.
Aku segera memutar gagang pintu kamar. Pintu membuka lebar. Sony nyengir. Giginya yang tidak beraturan ia hadiahkan kepadaku. Tuduhanku meleset. Dua mata Sony masih utuh. Bundar. Menyala.
“Tak kira kamu sudah tidur, Son,” sapaku.
“Belum. Pasti itu perintah untukku. Kamu ingin aku segera tidur. Biar kamu leluasa,” sahutnya tanpa melihatku.
Asu. Aku ada kaus. Sebaiknya kamu ganti pakaian dulu. Tapi aku tidak tahu. Cukup atau tidak di badanmu,” tawarku.
“Boleh. Mana?” tanyanya antusias.
Sony segera membuka bajunya yang sudah berkalang keringat. Ada aroma masam menyeruak. Tapi tidak masalah. Sebab, hadiah bermacam rupa bentuknya.
Aku sedikit terbelalak saat melihat perutnya. Banyak lekukan yang sepertinya bolot sangat nyaman beristirahat di sana. Penghangat tubuh Sony yang berupa lemak juga mencolok mata. Aku tidak kuat lagi memandanginya. Kaus segera kulempar kepadanya. Ia menyambar tepat. Sedetik berikutnya kaus itu melekat di tubuhnya. Dan aku yakin, Sony mengalami sedikit sesak napas.
“Akhir-akhir ini televisi suka menyuguhkan aksi kekerasan. Atau istilahnya radikalisme. Ini sudah tahun 2012, harusnya kita semua sudah maju dalam berpikir. Menghargai keragaman. Menghormati perbedaan.” Serius, Sony memulai perbincangan.
“Benar. Tapi usia kita terlampau muda untuk memikirkan itu, Son,” sahutku.
“Apa? Harusnya bangsa ini cukup menyesal ada manusia seperti kamu hidup bebas di wilayahnya. Kamu sudah onani. Berarti kamu sudah saatnya berpikir tentang itu. Kamu beruntung, sebab kamu adalah mayoritas. Sementara aku?” Sony menatapku sangat tajam. Aku merasa sedikit ngeri. Aku sadar, ia sedang tidak main-main dengan materi perbincangannya.
Oke-oke. Aku paham. Aku tadi hanya bercanda, Son. Tidak perlu kamu anggap serius. Memang, bangsa ini sedang sakit. Banyak problem. Mulai lapar, sampai kekerasan. Aku juga mendengar, bangsa ini sudah saatnya berganti sistem.” Pelan, aku meredam kekesalan Sony.
Sony mengangguk setuju. Biji matanya juga berbinar. Sorot mata tajamnya meneduh. Peluh-peluh juga berhenti jatuh. Sebuah senyum kecil dari bibirnya mengisyaratkan jika ia berhenti mengeluh.
“Kamu bahagia dengan Islam?” tanyanya tiba-tiba. Aku tersentak.
“Bahagia. Bahagia sekali. Ini rumahku. Aku nyaman hidup di dalamnya. Apa kamu tidak bahagia dengan agamamu?” tanyaku balik.
“Sama sepertimu. Aku bahagia. Bahkan sangat bahagia. Tapi terkadang aku bersedih. Miris. Aku melihat sorot mata mereka penuh kecurigaan. Juga ancaman. Seolah-olah aku adalah bajingan,” jawabnya panjang. Ia menghela napas sejenak. “Apa lagi aku mendengar berita pembunuhan atau perang Islam-Kristen. Aku pasti menangis. Kita ini bersaudara. Kenapa kita harus saling menghabisi?” imbuhnya lirih. Suara Sony terdengar parau.
“Kita bersaudara. Aku saudaramu. Kamu saudaraku,” kataku menenangkannya. “Jika Islam-Kristen masih saja bertengkar, maka pasti ada pihak ketiga yang merencanakan. Bagaimana menurutmu?”
“Itu pasti.” Pendek, Sony menjawab. Ia tampak tidak ingin melanjutkan perbincangan lagi. Dua matanya terlihat lelah. Ia mengantuk. Ia akan tidur. Perbincangan kami menggantung. Tapi tidak mengapa. Sebab, masih banyak waktu yang bisa kugunakan untuk berdiskusi dengannya.
Malam terus merambat. Pekatnya bikin ngeri. Gemintang ada, tapi tidak sesemangat biasanya. Keresahan Sony adalah penyebabnya. Gemintang itu merasakannya.
Aku belum bisa tidur. Aku masih memikirkan banyak hal. Mulai pertemuanku dengan Sony, menabrak tubuh Rembulan, sampai persahabatanku yang lintas iman. Menurutku itu bukan hal biasa. Sebab, sebelumnya aku seragam. Teman-temanku satu iman. Satu Tuhan. Namun, kali itu aku menemukan kehidupan yang beda.
Dua mataku mulai terasa lelah. Hening malam menjadi-jadi. Pintu-pintu kamar kosan juga mulai mengatub. Jarum jam berhenti tepat di angka sebelas.
Aku melepas beberapa harap. Di antaranya adalah, lintas iman bukan lagi menjadi alasan bagi manusia untuk saling menghabisi. Aku melihat Sony sejenak. Ia pulas. Tapi isi kepalanya tidak pernah berhenti bekerja. Hatinya tidak pernah berhenti prihatin. Ketakutan itu masih ada.
Sony sahabatku. Perlu kamu tahu. Apa pun yang kamu rasakan, aku juga merasakannya. Kegamangan ini milik kita.
Selamat tidur. Aku mengatubkan dua mata. Lalu gelap. Selebihnya aku hanya melihat Masjid, Gereja, Pura, Wihara berdiri sejajar. Ramah. Meneduhi.

Mereka itu, EMAS!

Mereka itu, EMAS! (Sebuah Pengantar) Tuhan Yang Mahakuat, Puji-puji ini untuk Engkau. Kepada Sang Nabi, saya haturkan Salawat: Semoga ka...