25 Desember
2012. Aku, Raka, dan Riyan mengantar Sony ke Gereja. Ia tidak bergabung dengan
keluarganya yang ada di Malang. Gereja ramai penuh sesak. Sony terlihat ingin
kabur dari sana. Tapi Raka dengan cepat mencegahnya.
“Setahun
sekali, Bro. Apa kamu rela tidak memeluk Tuhan,”
“Badanku
terlampu besar untuk berada di sana, Kawan,” sahut Sony berkilah.
“Siapa tahu
kamu mendadak langsing sepulang dari sana,” Riyan menimpali. Aku menahan tawa.
“Benar, Son.
Ini peristiwa penting. Tiap begadang kamu menemaniku salat Subuh. Tolong jangan
kecewakan aku,” kataku sedikit bertausiah. Riyan dan Raka menelan tawanya yang
akan meledak.
Sony gamang.
Tapi akhirnya ia memutar badan. Lalu menuju tempat yang suci itu. Ia akan
tenggelam di sana. Bersama pelukan Tuhan Yang Maha Perkasa.
Aku bertiga
menunggunya dengan sabar. Sebab kami yakin, Sony akan membawa banyak makanan.
Satu jam
terlewat. Sony berjalan dengan gagah menuju tempat kami menunggunya merayakan
Natal. Senyumnya sumringah. Ada banyak bintang di sana. Sony seperti terlahir
kembali. Dosa-dosa itu menguap bersama embusan napasnya.
Tapi mata kami
menatap sesuatu yang ganjil pada diri Sony. Sebab ayunan tangan Sony tampak
sangat ringan. Riyan sudah mengusap keningnya yang sebenarnya masih kering.
Peluh hanya muncul satu dua saja. Raka mengibas-ibaskan tangannya pertanda ia
sudah kepanasan. Sedangkan aku, menatap keduanya bahagia.
Sony sudah di
depan kami.
“Hai, Sobat.
Maaf lama. Tadi bertemu dengan teman Bapak. Jadi diajak ngobrol dulu. Dan kabar
baiknya, aku diajak makan.” Tenang dan bahagia, Sony menyapa kami. Riyan
menelan ludah. Dua mata Raka mendelik. Sementara aku mendapat jatah tertawa.
Sebab, mimpi baik kami tidak hanya berantakan, tapi pesona Sony dalam
menceritakan acara makannya membuat kami luluh lantak. Benar kata pepatah: “Jangan pernah
membayangkan mendapat sesuatu, sebab kadang sesuatu itu diberikan dalam
bayanganmu juga”.
Kami pulang.
Tapi bahagia. Sebab, Sony tidak jadi menjadi umat pembangkang.
***
Akhir Desember
2012. Kami berada di Batu. Saudara jauh Sony berkenan meminjamkan vilanya untuk
kami. Rencananya, kami akan meniup terompet di sana. Bersama serbuan dingin
yang gila. Ujar Raka penuh semangat. Padahal menurutku, dinginnya biasa saja.
Kami sudah
berkumpul di depan televisi. Ada banyak cairan kopi di depan kami. Sony juga
tidak lupa membawa kartu remi. Malam itu, jarum jam masih berhenti di angka
delapan malam.
Tiba-tiba saja
Raka membuat usulan.
“Kita jangan
habiskan 2012 hanya dengan main kartu remi. Kita ini mahasiswa. Ada baiknya
kita mengulas balik tahun yang sebentar lagi akan mampus ini.”
“Kamu apa
sedang kerasukan, Sobat?” tanyaku cepat.
“Tidak.
Barangkali kita bisa ingat kembali sebuah peristiwa yang membuat kita tertawa
dan juga menangis. Apa kalian setuju?”
“Ide yang
lumayan,” sahut Riyan. Sony juga mengangguk.
“Di Indonesia
saja atau seluruh dunia?” tanya Sony.
“Dunia dulu.
Setelah itu baru dalam negeri.” Sok bijaksana, Raka menjawab. Aku memilih untuk
menikmati kopi.
Suasana sungguh
sangat menyenangkan. Ternyata malam tidak selalu harus dihabiskan dengan kartu
remi. Ide Raka memang keren. Dan aku sangat suka.
“Siapa yang
mulai?”
“Aku.” Tegas,
Sony menjawab. Ia tidak lupa mengacungkan tangan. Mirip saat aku SMA dulu. “Ada
peristiwa yang begitu mengejutkan di penghujung tahun ini. Dan baru saja
terjadi kemarin. Dunia begitu riuh dengan ulah Suku Maya. Menurut mereka
tanggal 21 Desember 2012 adalah hari di
mana dunia ini tutup usia, alias kiamat. Kalian percaya?” Ia menghela napas
sejenak. “Untung saja aku tidak percaya ketika itu. Coba saja aku percaya,
pasti kalian akan mem-bully-ku habis-habisan,” tukasnya sambil
meledakkan tawa. Raka tampak mengangguk serius.
“Apa kalian
bisa jujur?” aku menyumbang pertanyaan. Sony membusungkan dadanya. Ia
merasa memiliki pendukung yang militan.
“Hayo jujur!”
kata Sony menimpali. Raka dan Riyan saling pandang. Kemudian mengangkat bahu
bersamaan.
“Tidak ada yang
percaya!” jawab keduanya kompak.
“Meski aku
tidak beragama, tapi aku lebih percaya Tuhan. Daripada ramalan Suku Maya. Tapi
dugaanku, mereka juga tidak akan percaya dengan kiamat. Aku yakin sekali,” urai
Riyan.
“Kamu punya
dasar yang kuat?” todongku cepat.
“Tidak!”
“Semlohai!”
“Tahun ini
adalah tahun yang sangat menyedihkan untukku,” tiba-tiba saja Sony menyambung
dengan cerita lain. “Aku belajar banyak darinya. Ia penyanyi hebat. Tapi ia
kurus, langsing. Sedangkan aku mirip gajah. Gereja kurang suka jika aku pamer
suara di sana.” Sony mengubah model duduknya. Sekarang ia bersila. Ia tampak
memaksa. “Kejadiannya 11 Februari 2012. Whitney
Houston meninggal dunia karena tenggelam di
bak mandi (bathtub) dan penggunaan kokain di Beverly Hilton Hotel kamar
434. Ia matinya tidak baik. Tapi ia terlanjur dielu-elukan
umat. Dunia mengenalnya. Suaranya mampu menggapai surga.”
“Ada yang
bilang ia dibunuh, Son! Apakah itu benar?” tanyaku.
“Apa peduli
kita, Bro? Faktanya ia sudah mati. Dunia bungkam. Hanya bisa meneteskan
air mata.”
“Iya juga, sih.
Ngapain kita susah-susah memikirkannya. Ha ha ha.” Aku hanya bisa tergelak.
“Kalau aku
lebih suka menyorti berita tentang lagu “Gangnam
Style” yang dibawakan oleh penyanyi Korea Selatan, PSY (Park
Jae-sang). Sebab lagu itu masuk dalam Guinness World Records
sebagai video di Youtube yang banyak disukai. Tarian “Gangnam Style” juga sangat populer dan menjadi salah satu gaya
tari saat melakukan “flash mob“. Gangnam
Style sendiri berasal dari kata “Gangnam” yang merupakan nama wilayah di Korea
Selatan.” Tenang, Raka bertutur. “Tapi kukira, ia seperti badut.
Lihat saja pakaiannya. Apa, sih, yang menarik dari lagu itu?”
“Ha ha ha.
Siapa yang kamu marahi, Sobat?” Riyan bertanya.
“Nah, itu
masalahnya. Ha ha ha.” Raka hanya bisa terbahak. “Bagaimana denganmu, Choi?”
“Aku tidak bisa
melupakan trailer
film Innocence of Muslims di Youtube yang -konon- menghina Nabi Muhammad. Gejolak ini
diikuti dengan aksi anarkis anti Amerika di Libia dengan menewaskan Duta Besar
Amerika Serikat untuk Libia, J. Christopher Stevens. Kesannya,
Islam-Kristen bertikai. Saling bunuh. Tidak bisa akur. Padahal faktanya, kedua
agama masih bersaudara. Sama-sama agama langit. Tapi menurutku, pembuat film
itu juga keterlaluan. Apa ia tidak mengerti jika akhir-akhir ini, warga muslim
suka mendidih. Huft. Jika sudah begini, siapa yang rugi, coba?”
Dua mata Sony
menyipit. Ia baru menyadari jika kegelisahan yang ia alami terjadi juga padaku.
“Tapi ada juga
yang membuatku senang, Sobat. Karena di tahun ini, Perserikatan Bangsa-Bangsa
menyetujui meningkatkan status Palestina sebagai Pengamat Majelis Umum
Perserikatan Bangsa-Bangsa Bukan Anggota. Resolusi Majelis Umum Perserikatan
Bangsa-Bangsa 67/19 menetapkan masuknya Palestina sebagai negara non-anggota
Perserikatan Bangsa-Bangsa. Resolusi ini disahkan oleh Sidang Majelis Umum
Perserikatan Bangsa-Bangsa ke-67,” kataku panjang. Sony tampak
sangat serius memperhatikanku, “dengan begitu, bangsa Palestina bisa sedikit
bernapas lega. Aku kira warga dunia ingin sekali melihat bangsa Palestina bebas
dari segala bentuk penjajahan. Sebab mereka sadar, polemik Palestina-Israel
bukan masalah agama. Itu murni masalah pencaplokan wilayah. Dan perlu kita
tahu, banyak non-muslim yang hidup di Palestina juga terkena kebiadaban
Israel.” Mlogo, Sony memandangiku. Riyan dan Raka terlihat sepakat sekali
dengan apa yang aku uraikan.
“Aku sepakat
sekali dengan uraian kamu, Choi. Aku juga melihat, bahwa mereka bertikai bukan
berlatarbelakang agama, tapi lebih ke masalah penjajahan. Perebutan wliayah.
Tapi sayang, dunia Barat seolah tidak peduli dengan mereka. Dan yang terjadi
saat ini adalah buah panjang dari kesabaran mereka.” Berkaca-kaca, Riyan
mempertegas uraianku.
“Jangan lebay
begitu dong, Bro,” seloroh Raka.
“Bagaimana
dengan kamu, Raka? Apa cerita yang kamu punya?” todong Sony. Raka belum siap.
“Apa yang akan
kuceritakan sudah kalian uraiakan.” Tenang, Raka menjawab todongan Sony.
“Menurutku sudah cukup. Sekarang ganti kejadian lokal. Setuju?”
“Boleh juga,”
sahut Sony gembira. Aku dan Riyan hanya bisa mengamini kegembiraan Sony.
“Aku yang
pertama. Kalian masih ingat bulan Desember tahun lalu?”
“Ingat. Ada
Natal di sana!” jawabku bercanda.
“Ah. Bukan itu.
Ini tentang kejadian yang memilukan di Mesuji. Kalian pasti ingat, kan?”
“Oh. Benar.
Mesuji!” Riyan berseru. Sony dan aku membulatkan bibir.
“Kamu tahu
kasus itu, Riyan?” tanya Raka cepat.
“Aku kurang
tahu. Aku hanya mendengar, itu tragedi yang memilukan,” jawab Riyan sambil
menaikkan dua bahunya, “jika kamu tahu, bagi dengan kita!” pinta Riyan selanjutnya.
“Yang aku
dengar, konflik itu meledak di tiga
kawasan, yakni Register 45, Desa Sritanjung Kabupaten Mesuji Lampung, serta
Desa Sodong Kecamatan Mesuji, Sumatra Selatan,” urai Raka sambil mengernyitkan
dahi. Ia seperti sedang membongkar memori yang ada di kepalanya.
“Apa akar masalahnya?” tanya Sony cepat.
“Menurut Wamenkumham, ada pembiayaan dari perusahaan dalam penertiban
kawasan hutan dan pengamanan perkebunan. Kasus ini terjadi medio Desember
2011-Januari 2012. Dari tujuh orang yang tewas, lima dari pihak PT SWA (Sumber
Wangi Alam), selaku pengamanan swasta dan dan dua dari masyarakat. Kasus ini
adalah cerminan buruknya hubungan korporat dengan masyarakat. Tata kelola perusahaan
yang buruk dan rumitnya eksekusi penanganan konflik di lapangan. Hm, harapanku,
semoga kasus-kasus seperti ini tidak terulang di kemudian hari.” Wajah Sony
Raka menjadi sangat murung. “Ada yang lain?” tanyanya kemudian.
“Ada,” sahut Sony cepat. “Bagaimana dengan demo buruh di Cakarang? Apa itu
termasuk peristiwa yang hot di sepanjang tahun ini?”
“Ceritkana dulu, Bro!” seruku cepat.
“Menurutku, tidak ada tindakan yang jauh lebih berani dan sangat radikal,
ketimbang pemblokiran tol Cikarang. Benar-benar gila, nekad, tapi sungguh luar
biasa dampaknya. Unjuk rasa ini berlangsung di lima titik. Terjadi pada Jumat
27 Januari 2012. Kondisi ini menyebabkan lumpuhnya transportasi yang mengambil
jalur melalui Cikarang Barat. Termasuk tertutupnya akses Tol Cibitung dan
Cikarang Barat. Akibat peristiwa ini, buruh menempati posisi yang
diperhitungkan dalam percaturan politik dalam negeri. Isu-isu perburuhan
menjadi topik yang hangat sepanjang tahun. Serikat buruh mulai dianggap
keberadaaannya dan langkah-langkahnya. Kasus ini menjadi populer, karena inilah
masalah klasik yang akan terus terjadi. Ketegasan pemerintah menjadi solusi. Di
lain pihak, pengusaha pun mulai berani bersikap jujur, tentang Overhead Cost
yang ternyata menjadi masalah utama upah buruh murah,” urai Sony panjang.
Ia tampak kehabisan napas.
“Sebaiknya kamu minum dulu, Son. Biar nyawamu tetap pada tempatnya,” sahut
Raka usil. Sony hanya bisa tersenyum kecil. Sebab ia merasa berhasil menyihir
kami.
“Peristiswa yang sangat luar biasa menurutku. Tapi aku punya peristiwa yang
lebih dahsyat lagi. Apakah kalian bersedia mendengarnya, Kawan?” tanyaku. Raka
dan Riyan kompak menguap. Sementara Sony bergaya orang yang sedang ngantuk.
“Baiklah. Tampaknya kalian sudah ngantuk. Tapi bagaimana dengan FPI?”
Sony, Raka, Riyan kembali khidmat.
“Apa? FPI?” tanya Sony heran.
“Benar. FPI. Kok, kamu kaget banget, Son? Apa kamu pernah tertangkap saat
mereka melakukan sweeping? Ha ha ha.”
“Asu!”
“Apa yang bisa kamu ceritakan?” tanya Raka antusias. Kepura-puraannya
sebagai orang yang sedang mengantuk berat berantakan.
“Katanya kalian mengantuk? Mau tidur?” Aku merasa seperti di atas angin.
“Bagaimana dengan kamu, Son? Kamu berminat?”
“Ceritakan sekarang!"
“Baiklah. Jadi begini, aku tidak akan menyoroti bagaimana sepak terjang FPI
dalam mewujudkan cita-cita sucinya.”
“Lalu?” sahut Riyan cepat.
“Hm. Bersabarlah kalian,” kataku sambil mengambil napas. “Tapi aku hanya
ingin menyoroti pemerintah yang menurutku begitu tidak dewasa dalam menyikapi
FPI. Lihat saja, bagaimana Pak Menteri yang hanya bisa tersenyum ganteng
setelah kantornya dirusak. Belum lagi kasus di Monas. Ah. Langkah pemerintah
cuma angin-anginan. Tapi, ya tidak sepenuhnya salah Pak Menteri. Aku yakin,
beliau sadar betapa solidnya FPI dan betapa kuatnya orang-orang yang ada di
belakang FPI. Masalah ini adalah contoh konflik horisontal yang melibatkan
lintas agama dan suku. Dan pertanyannya sekarang adalah bagaimana diplomasi
pemerintah menengahi pro kontra FPI? Apa kalian bisa menjawab? Hah?” tanyaku
serius. Semua yang ada di depanku hanya bisa bungkam. “Yang bisa menjawab
hanyalah waktu. Kita tunggu saja dengan sabar, Kawan.” Aku menukasi ceritaku.
Sony masih dalam diamnnya. Posisinya yang minoritas membuat dirinya memendam
trauma terhadap kelompok-kelompok yang menyebut dirinya sebagai representasi Tuhan.
Sony tidak bisa seperti Riyan dan Raka. Keduanya begitu tenang, santai, dan
damai menjadi minoritas di negeri ini. Sementara Sony tidak bisa seperti
keduanya. “Son. Kamu ada cerita yang lain?” tanyaku tiba-tiba. Ia tampak
terkejut. Tapi ia sudah siap dengan ceritanya.
“Siap. Apa kalian masih ingat dengan si cantik jelita Angelina Sondakh?”
Sony bertanya. Senyumnya mengembang. Aku dan Raka menabrakkan pandangan.
Sedangkan Riyan lebih asik dengan aktivitasnya mencari upil dari lubang
hidungnya yang mulai melebar seukuran jempolnya.
“Siapa yang tidak tahu perempuan itu? Putri Indonesia itu?” sahut Raka
cepat.
“Aku tahu. Senyumnya bikin hatiku meleleh,” gurauku.
“Tidak lucu. Garing, Coi!” Riyan ikutan buka suara. “Sudah. Sudah. Sekarang
ceritakan pada kami, Bos!” pinta Riyan. Jempolnya masih bersarang di lubang
hidungnya.
“Angelina Sondakh. Cantik, pintar, dan terkenal. Ia juga baik hati, dan semuanya
disempurnakan oleh terpilihnya ia menjadi anggota DPR. Tapi yang terjadi justru
kepahitan. Angelina ditahan karena keterlibataannya dalam kasus suap. Ia
terbukti menerima suap Rp 5 miliar dalam pemenangan proyek pembangunan wisma
atlit SEA GAMES XVI dan pengadaan peralatan laboratorium di sejumlah
universitas di Kementerian Pendidikan Nasional. Kasus ini tidak hanya pukulan
telak bagi karir hidupnya, tapi juga sangat mengharukan, sebab Angie sedang memiliki
anak kecil (Keeanu). Selain itu, ia juga belum lama ditinggal suaminya (Alm.
Adjie), dan yang paling parah, ia dipecat dari Partai Demokrat. Kasian sekali
memang, tapi tak mungkin ada api jika tidak ada asap.” Dengan satu helaan
napas, Sony menyudahi ceritanya. Kami bertiga mengangguk takzim. Kami tetap
solid, meski berita itu terdengar nyaring di telinga kami sebelumnya. “Ada
cerita lain?” tanya Sony berikutnya.
“Aku rasa, semua belum bisa melupakan peristiwa berdarah yang terjadi di
Sampang, Madura. Itu tragedi kemanusiaan.” Tenang dan penuh wibawa, Riyan
menyambung cerita. Aku antusias. Begitu juga dengan Sony dan Raka.
“Tragedi Syi’ah?” tanya Sony cepat. Riyan mengangguk.
“Massa membakar pemukiman kaum Syiah. Tidak ada satu pun yang tersisa.
Mereka begitu bengis. Dikuasai nafsu membunuh. Tapi sayang, mereka selalu
melibatkan agama. Lagi-lagi agama,” ujar Riyan geram.
“Kamu tahu akar masalahnya, Yan?” tanyaku cepat.
“Akar masalahnya beragam. Ada versinya masing-masing. Yang aku dengar, bentrokan
tersebut dipicu karena ketidaksenangan warga Sunni terhadap kepulangan sejumlah
santri Syiah dari Pesantren Yapi, Pasuruan. Berita ini aku baca dari Antara. Konflik
yang paling mengerikan dan menyedihkan menurutku. Coba bayangkan! Konflik dalam
satu keluarga yang berbeda mahzab meluas menjadi konflik kampung dan konflik
agama. Dalam eskalasi nasional, sekali lagi, ini adalah tragedi kemanusiaan. Aku
hanya bisa berdoa, Kawan. Semoga peristiwa ini bisa menjadi pelajaran berharga
bahwa perbedaan tidak harus diselesaikan dengan kekerasan. Perbedaan adalah
anugerah.” Riyan tampak mengembuskan napas yang berat. Rasa prihatinnya begitu
mencolok mata.
“Pasti ada pihak ketiga!” kata Sony yakin.
Kami bertiga mengernyitkan dahi.
“Benar!” seru kami kompak.
“Kira-kira siapa pihak ketiganya, Bos?” Raka melempar sebuah pertanyaan
yang sangat sulit untuk dijawab. Itu pertanyaan yang sangat sensitiv.
“Terlalu sulit untuk dijawab. Pengadu domba memang selalu ada. Tidak akan
musnah sebelum dunia ini tutup mata.” Bijak, Sony menyumbang kalimat. Aku
mengangguk. “Ada yang lain?”
“Aku kira sudah cukup, Kawan. Begitu banyak peristiwa. Jika kita bahas satu
per satu, maka kita tidak akan sempat menyalakan kembang api. Lihat! Sudah
hampir jam dua belas,” kataku sambil menunjuk jam dinding yang menempel
kedinginan.
“Tumben kamu waras, Bro?” tanya Sony usil.
Tahun baru telah datang. Kembang api terdengar di mana-mana. Kami berempat
meletupkan harap masing-masing. Kami melihat malam mengamini harapan kami.
Malam yang indah. Pergantian tahun yang syahdu. Dan hawa dingin kota Batu yang
menggila.
Sudah pukul dua dini hari. Dingin yangmenjadi-jadi memaksa kami menguap.
Kami sepakat mengentikan acara begadang. Kami memilih untuk segera tidur. Sebab
esok hari, kami sudah harus berada di Cangar. Kami akan memanjakan tubuh dingin
kami di sana. Sebab, terbungkus kabut semalaman kurang menyehatkan badan kami.
Dan sumber mata air panas Cangar adalah solusinya. Selamat tidur. Semoga kami
mimpi indah.