Kamis, 27 Agustus 2020

Universitas Negeri Malang (V)


25 Desember 2012. Aku, Raka, dan Riyan mengantar Sony ke Gereja. Ia tidak bergabung dengan keluarganya yang ada di Malang. Gereja ramai penuh sesak. Sony terlihat ingin kabur dari sana. Tapi Raka dengan cepat mencegahnya.
“Setahun sekali, Bro. Apa kamu rela tidak memeluk Tuhan,”
“Badanku terlampu besar untuk berada di sana, Kawan,” sahut Sony berkilah.
“Siapa tahu kamu mendadak langsing sepulang dari sana,” Riyan menimpali. Aku menahan tawa.
“Benar, Son. Ini peristiwa penting. Tiap begadang kamu menemaniku salat Subuh. Tolong jangan kecewakan aku,” kataku sedikit bertausiah. Riyan dan Raka menelan tawanya yang akan meledak.
Sony gamang. Tapi akhirnya ia memutar badan. Lalu menuju tempat yang suci itu. Ia akan tenggelam di sana. Bersama pelukan Tuhan Yang Maha Perkasa.
Aku bertiga menunggunya dengan sabar. Sebab kami yakin, Sony akan membawa banyak makanan.
Satu jam terlewat. Sony berjalan dengan gagah menuju tempat kami menunggunya merayakan Natal. Senyumnya sumringah. Ada banyak bintang di sana. Sony seperti terlahir kembali. Dosa-dosa itu menguap bersama embusan napasnya.
Tapi mata kami menatap sesuatu yang ganjil pada diri Sony. Sebab ayunan tangan Sony tampak sangat ringan. Riyan sudah mengusap keningnya yang sebenarnya masih kering. Peluh hanya muncul satu dua saja. Raka mengibas-ibaskan tangannya pertanda ia sudah kepanasan. Sedangkan aku, menatap keduanya bahagia.
Sony sudah di depan kami.
“Hai, Sobat. Maaf lama. Tadi bertemu dengan teman Bapak. Jadi diajak ngobrol dulu. Dan kabar baiknya, aku diajak makan.” Tenang dan bahagia, Sony menyapa kami. Riyan menelan ludah. Dua mata Raka mendelik. Sementara aku mendapat jatah tertawa. Sebab, mimpi baik kami tidak hanya berantakan, tapi pesona Sony dalam menceritakan acara makannya membuat kami luluh lantak. Benar kata pepatah: Jangan pernah membayangkan mendapat sesuatu, sebab kadang sesuatu itu diberikan dalam bayanganmu juga.
Kami pulang. Tapi bahagia. Sebab, Sony tidak jadi menjadi umat pembangkang.
***
Akhir Desember 2012. Kami berada di Batu. Saudara jauh Sony berkenan meminjamkan vilanya untuk kami. Rencananya, kami akan meniup terompet di sana. Bersama serbuan dingin yang gila. Ujar Raka penuh semangat. Padahal menurutku, dinginnya biasa saja.
Kami sudah berkumpul di depan televisi. Ada banyak cairan kopi di depan kami. Sony juga tidak lupa membawa kartu remi. Malam itu, jarum jam masih berhenti di angka delapan malam.
Tiba-tiba saja Raka membuat usulan.
“Kita jangan habiskan 2012 hanya dengan main kartu remi. Kita ini mahasiswa. Ada baiknya kita mengulas balik tahun yang sebentar lagi akan mampus ini.”
“Kamu apa sedang kerasukan, Sobat?” tanyaku cepat.
“Tidak. Barangkali kita bisa ingat kembali sebuah peristiwa yang membuat kita tertawa dan juga menangis. Apa kalian setuju?”
“Ide yang lumayan,” sahut Riyan. Sony juga mengangguk.
“Di Indonesia saja atau seluruh dunia?” tanya Sony.
“Dunia dulu. Setelah itu baru dalam negeri.” Sok bijaksana, Raka menjawab. Aku memilih untuk menikmati kopi.
Suasana sungguh sangat menyenangkan. Ternyata malam tidak selalu harus dihabiskan dengan kartu remi. Ide Raka memang keren. Dan aku sangat suka.
“Siapa yang mulai?”
“Aku.” Tegas, Sony menjawab. Ia tidak lupa mengacungkan tangan. Mirip saat aku SMA dulu. “Ada peristiwa yang begitu mengejutkan di penghujung tahun ini. Dan baru saja terjadi kemarin. Dunia begitu riuh dengan ulah Suku Maya. Menurut mereka tanggal 21 Desember 2012 adalah hari di mana dunia ini tutup usia, alias kiamat. Kalian percaya?” Ia menghela napas sejenak. “Untung saja aku tidak percaya ketika itu. Coba saja aku percaya, pasti kalian akan mem-bully-ku habis-habisan,” tukasnya sambil meledakkan tawa. Raka tampak mengangguk serius.
“Apa kalian bisa jujur?” aku menyumbang pertanyaan. Sony membusungkan dadanya. Ia merasa memiliki pendukung yang militan.
“Hayo jujur!” kata Sony menimpali. Raka dan Riyan saling pandang. Kemudian mengangkat bahu bersamaan.
“Tidak ada yang percaya!” jawab keduanya kompak.
“Meski aku tidak beragama, tapi aku lebih percaya Tuhan. Daripada ramalan Suku Maya. Tapi dugaanku, mereka juga tidak akan percaya dengan kiamat. Aku yakin sekali,” urai Riyan.
“Kamu punya dasar yang kuat?” todongku cepat.
“Tidak!”
Semlohai!
“Tahun ini adalah tahun yang sangat menyedihkan untukku,” tiba-tiba saja Sony menyambung dengan cerita lain. “Aku belajar banyak darinya. Ia penyanyi hebat. Tapi ia kurus, langsing. Sedangkan aku mirip gajah. Gereja kurang suka jika aku pamer suara di sana.” Sony mengubah model duduknya. Sekarang ia bersila. Ia tampak memaksa. “Kejadiannya 11 Februari 2012. Whitney Houston meninggal dunia karena tenggelam di bak mandi (bathtub) dan penggunaan kokain di Beverly Hilton Hotel kamar 434. Ia matinya tidak baik. Tapi ia terlanjur dielu-elukan umat. Dunia mengenalnya. Suaranya mampu menggapai surga.”
“Ada yang bilang ia dibunuh, Son! Apakah itu benar?” tanyaku.
“Apa peduli kita, Bro? Faktanya ia sudah mati. Dunia bungkam. Hanya bisa meneteskan air mata.”
“Iya juga, sih. Ngapain kita susah-susah memikirkannya. Ha ha ha.” Aku hanya bisa tergelak.
“Kalau aku lebih suka menyorti berita tentang lagu Gangnam Style yang dibawakan oleh penyanyi Korea Selatan, PSY (Park Jae-sang). Sebab lagu itu masuk dalam Guinness World Records sebagai video di Youtube yang banyak disukai. Tarian “Gangnam Style” juga sangat populer dan menjadi salah satu gaya tari saat melakukan “flash mob“. Gangnam Style sendiri berasal dari kata “Gangnam” yang merupakan nama wilayah di Korea Selatan.” Tenang, Raka bertutur. “Tapi kukira, ia seperti badut. Lihat saja pakaiannya. Apa, sih, yang menarik dari lagu itu?”
“Ha ha ha. Siapa yang kamu marahi, Sobat?” Riyan bertanya.
“Nah, itu masalahnya. Ha ha ha.” Raka hanya bisa terbahak. “Bagaimana denganmu, Choi?”
“Aku tidak bisa melupakan trailer film Innocence of Muslims di Youtube yang -konon- menghina Nabi Muhammad. Gejolak ini diikuti dengan aksi anarkis anti Amerika di Libia dengan menewaskan Duta Besar Amerika Serikat untuk Libia, J. Christopher Stevens. Kesannya, Islam-Kristen bertikai. Saling bunuh. Tidak bisa akur. Padahal faktanya, kedua agama masih bersaudara. Sama-sama agama langit. Tapi menurutku, pembuat film itu juga keterlaluan. Apa ia tidak mengerti jika akhir-akhir ini, warga muslim suka mendidih. Huft. Jika sudah begini, siapa yang rugi, coba?”
Dua mata Sony menyipit. Ia baru menyadari jika kegelisahan yang ia alami terjadi juga padaku.
“Tapi ada juga yang membuatku senang, Sobat. Karena di tahun ini, Perserikatan Bangsa-Bangsa menyetujui meningkatkan status Palestina sebagai Pengamat Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa Bukan Anggota. Resolusi Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa 67/19 menetapkan masuknya Palestina sebagai negara non-anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa. Resolusi ini disahkan oleh Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa ke-67,” kataku panjang. Sony tampak sangat serius memperhatikanku, “dengan begitu, bangsa Palestina bisa sedikit bernapas lega. Aku kira warga dunia ingin sekali melihat bangsa Palestina bebas dari segala bentuk penjajahan. Sebab mereka sadar, polemik Palestina-Israel bukan masalah agama. Itu murni masalah pencaplokan wilayah. Dan perlu kita tahu, banyak non-muslim yang hidup di Palestina juga terkena kebiadaban Israel.” Mlogo, Sony memandangiku. Riyan dan Raka terlihat sepakat sekali dengan apa yang aku uraikan.
“Aku sepakat sekali dengan uraian kamu, Choi. Aku juga melihat, bahwa mereka bertikai bukan berlatarbelakang agama, tapi lebih ke masalah penjajahan. Perebutan wliayah. Tapi sayang, dunia Barat seolah tidak peduli dengan mereka. Dan yang terjadi saat ini adalah buah panjang dari kesabaran mereka.” Berkaca-kaca, Riyan mempertegas uraianku.
“Jangan lebay begitu dong, Bro,” seloroh Raka.
“Bagaimana dengan kamu, Raka? Apa cerita yang kamu punya?” todong Sony. Raka belum siap.
“Apa yang akan kuceritakan sudah kalian uraiakan.” Tenang, Raka menjawab todongan Sony. “Menurutku sudah cukup. Sekarang ganti kejadian lokal. Setuju?”
“Boleh juga,” sahut Sony gembira. Aku dan Riyan hanya bisa mengamini kegembiraan Sony.
“Aku yang pertama. Kalian masih ingat bulan Desember tahun lalu?”
“Ingat. Ada Natal di sana!” jawabku bercanda.
“Ah. Bukan itu. Ini tentang kejadian yang memilukan di Mesuji. Kalian pasti ingat, kan?”
“Oh. Benar. Mesuji!” Riyan berseru. Sony dan aku membulatkan bibir.
“Kamu tahu kasus itu, Riyan?” tanya Raka cepat.
“Aku kurang tahu. Aku hanya mendengar, itu tragedi yang memilukan,” jawab Riyan sambil menaikkan dua bahunya, “jika kamu tahu, bagi dengan kita!” pinta Riyan selanjutnya.
“Yang aku dengar, konflik itu meledak di tiga kawasan, yakni Register 45, Desa Sritanjung Kabupaten Mesuji Lampung, serta Desa Sodong Kecamatan Mesuji, Sumatra Selatan,” urai Raka sambil mengernyitkan dahi. Ia seperti sedang membongkar memori yang ada di kepalanya.
“Apa akar masalahnya?” tanya Sony cepat.
“Menurut Wamenkumham, ada pembiayaan dari perusahaan dalam penertiban kawasan hutan dan pengamanan perkebunan. Kasus ini terjadi medio Desember 2011-Januari 2012. Dari tujuh orang yang tewas, lima dari pihak PT SWA (Sumber Wangi Alam), selaku pengamanan swasta dan dan dua dari masyarakat. Kasus ini adalah cerminan buruknya hubungan korporat dengan masyarakat. Tata kelola perusahaan yang buruk dan rumitnya eksekusi penanganan konflik di lapangan. Hm, harapanku, semoga kasus-kasus seperti ini tidak terulang di kemudian hari.” Wajah Sony Raka menjadi sangat murung. “Ada yang lain?” tanyanya kemudian.
“Ada,” sahut Sony cepat. “Bagaimana dengan demo buruh di Cakarang? Apa itu termasuk peristiwa yang hot di sepanjang tahun ini?”
“Ceritkana dulu, Bro!” seruku cepat.
“Menurutku, tidak ada tindakan yang jauh lebih berani dan sangat radikal, ketimbang pemblokiran tol Cikarang. Benar-benar gila, nekad, tapi sungguh luar biasa dampaknya. Unjuk rasa ini berlangsung di lima titik. Terjadi pada Jumat 27 Januari 2012. Kondisi ini menyebabkan lumpuhnya transportasi yang mengambil jalur melalui Cikarang Barat. Termasuk tertutupnya akses Tol Cibitung dan Cikarang Barat. Akibat peristiwa ini, buruh menempati posisi yang diperhitungkan dalam percaturan politik dalam negeri. Isu-isu perburuhan menjadi topik yang hangat sepanjang tahun. Serikat buruh mulai dianggap keberadaaannya dan langkah-langkahnya. Kasus ini menjadi populer, karena inilah masalah klasik yang akan terus terjadi. Ketegasan pemerintah menjadi solusi. Di lain pihak, pengusaha pun mulai berani bersikap jujur, tentang Overhead Cost yang ternyata menjadi masalah utama upah buruh murah,” urai Sony panjang. Ia tampak kehabisan napas.
“Sebaiknya kamu minum dulu, Son. Biar nyawamu tetap pada tempatnya,” sahut Raka usil. Sony hanya bisa tersenyum kecil. Sebab ia merasa berhasil menyihir kami.
“Peristiswa yang sangat luar biasa menurutku. Tapi aku punya peristiwa yang lebih dahsyat lagi. Apakah kalian bersedia mendengarnya, Kawan?” tanyaku. Raka dan Riyan kompak menguap. Sementara Sony bergaya orang yang sedang ngantuk. “Baiklah. Tampaknya kalian sudah ngantuk. Tapi bagaimana dengan FPI?”
Sony, Raka, Riyan kembali khidmat.
“Apa? FPI?” tanya Sony heran.
“Benar. FPI. Kok, kamu kaget banget, Son? Apa kamu pernah tertangkap saat mereka melakukan sweeping? Ha ha ha.”
Asu!
“Apa yang bisa kamu ceritakan?” tanya Raka antusias. Kepura-puraannya sebagai orang yang sedang mengantuk berat berantakan.
“Katanya kalian mengantuk? Mau tidur?” Aku merasa seperti di atas angin. “Bagaimana dengan kamu, Son? Kamu berminat?”
“Ceritakan sekarang!"
“Baiklah. Jadi begini, aku tidak akan menyoroti bagaimana sepak terjang FPI dalam mewujudkan cita-cita sucinya.”
“Lalu?” sahut Riyan cepat.
“Hm. Bersabarlah kalian,” kataku sambil mengambil napas. “Tapi aku hanya ingin menyoroti pemerintah yang menurutku begitu tidak dewasa dalam menyikapi FPI. Lihat saja, bagaimana Pak Menteri yang hanya bisa tersenyum ganteng setelah kantornya dirusak. Belum lagi kasus di Monas. Ah. Langkah pemerintah cuma angin-anginan. Tapi, ya tidak sepenuhnya salah Pak Menteri. Aku yakin, beliau sadar betapa solidnya FPI dan betapa kuatnya orang-orang yang ada di belakang FPI. Masalah ini adalah contoh konflik horisontal yang melibatkan lintas agama dan suku. Dan pertanyannya sekarang adalah bagaimana diplomasi pemerintah menengahi pro kontra FPI? Apa kalian bisa menjawab? Hah?” tanyaku serius. Semua yang ada di depanku hanya bisa bungkam. “Yang bisa menjawab hanyalah waktu. Kita tunggu saja dengan sabar, Kawan.” Aku menukasi ceritaku. Sony masih dalam diamnnya. Posisinya yang minoritas membuat dirinya memendam trauma terhadap kelompok-kelompok yang menyebut dirinya sebagai representasi Tuhan. Sony tidak bisa seperti Riyan dan Raka. Keduanya begitu tenang, santai, dan damai menjadi minoritas di negeri ini. Sementara Sony tidak bisa seperti keduanya. “Son. Kamu ada cerita yang lain?” tanyaku tiba-tiba. Ia tampak terkejut. Tapi ia sudah siap dengan ceritanya.
“Siap. Apa kalian masih ingat dengan si cantik jelita Angelina Sondakh?” Sony bertanya. Senyumnya mengembang. Aku dan Raka menabrakkan pandangan. Sedangkan Riyan lebih asik dengan aktivitasnya mencari upil dari lubang hidungnya yang mulai melebar seukuran jempolnya.
“Siapa yang tidak tahu perempuan itu? Putri Indonesia itu?” sahut Raka cepat.
“Aku tahu. Senyumnya bikin hatiku meleleh,” gurauku.
“Tidak lucu. Garing, Coi!” Riyan ikutan buka suara. “Sudah. Sudah. Sekarang ceritakan pada kami, Bos!” pinta Riyan. Jempolnya masih bersarang di lubang hidungnya.
“Angelina Sondakh. Cantik, pintar, dan terkenal. Ia juga baik hati, dan semuanya disempurnakan oleh terpilihnya ia menjadi anggota DPR. Tapi yang terjadi justru kepahitan. Angelina ditahan karena keterlibataannya dalam kasus suap. Ia terbukti menerima suap Rp 5 miliar dalam pemenangan proyek pembangunan wisma atlit SEA GAMES XVI dan pengadaan peralatan laboratorium di sejumlah universitas di Kementerian Pendidikan Nasional. Kasus ini tidak hanya pukulan telak bagi karir hidupnya, tapi juga sangat mengharukan, sebab Angie sedang memiliki anak kecil (Keeanu). Selain itu, ia juga belum lama ditinggal suaminya (Alm. Adjie), dan yang paling parah, ia dipecat dari Partai Demokrat. Kasian sekali memang, tapi tak mungkin ada api jika tidak ada asap.” Dengan satu helaan napas, Sony menyudahi ceritanya. Kami bertiga mengangguk takzim. Kami tetap solid, meski berita itu terdengar nyaring di telinga kami sebelumnya. “Ada cerita lain?” tanya Sony berikutnya.
“Aku rasa, semua belum bisa melupakan peristiwa berdarah yang terjadi di Sampang, Madura. Itu tragedi kemanusiaan.” Tenang dan penuh wibawa, Riyan menyambung cerita. Aku antusias. Begitu juga dengan Sony dan Raka.
“Tragedi Syi’ah?” tanya Sony cepat. Riyan mengangguk.
“Massa membakar pemukiman kaum Syiah. Tidak ada satu pun yang tersisa. Mereka begitu bengis. Dikuasai nafsu membunuh. Tapi sayang, mereka selalu melibatkan agama. Lagi-lagi agama,” ujar Riyan geram.
“Kamu tahu akar masalahnya, Yan?” tanyaku cepat.
“Akar masalahnya beragam. Ada versinya masing-masing. Yang aku dengar, bentrokan tersebut dipicu karena ketidaksenangan warga Sunni terhadap kepulangan sejumlah santri Syiah dari Pesantren Yapi, Pasuruan. Berita ini aku baca dari Antara. Konflik yang paling mengerikan dan menyedihkan menurutku. Coba bayangkan! Konflik dalam satu keluarga yang berbeda mahzab meluas menjadi konflik kampung dan konflik agama. Dalam eskalasi nasional, sekali lagi, ini adalah tragedi kemanusiaan. Aku hanya bisa berdoa, Kawan. Semoga peristiwa ini bisa menjadi pelajaran berharga bahwa perbedaan tidak harus diselesaikan dengan kekerasan. Perbedaan adalah anugerah.” Riyan tampak mengembuskan napas yang berat. Rasa prihatinnya begitu mencolok mata.
“Pasti ada pihak ketiga!” kata Sony yakin.
Kami bertiga mengernyitkan dahi.
“Benar!” seru kami kompak.
“Kira-kira siapa pihak ketiganya, Bos?” Raka melempar sebuah pertanyaan yang sangat sulit untuk dijawab. Itu pertanyaan yang sangat sensitiv.
“Terlalu sulit untuk dijawab. Pengadu domba memang selalu ada. Tidak akan musnah sebelum dunia ini tutup mata.” Bijak, Sony menyumbang kalimat. Aku mengangguk. “Ada yang lain?”
“Aku kira sudah cukup, Kawan. Begitu banyak peristiwa. Jika kita bahas satu per satu, maka kita tidak akan sempat menyalakan kembang api. Lihat! Sudah hampir jam dua belas,” kataku sambil menunjuk jam dinding yang menempel kedinginan.
“Tumben kamu waras, Bro?” tanya Sony usil.
Tahun baru telah datang. Kembang api terdengar di mana-mana. Kami berempat meletupkan harap masing-masing. Kami melihat malam mengamini harapan kami. Malam yang indah. Pergantian tahun yang syahdu. Dan hawa dingin kota Batu yang menggila.
Sudah pukul dua dini hari. Dingin yangmenjadi-jadi memaksa kami menguap. Kami sepakat mengentikan acara begadang. Kami memilih untuk segera tidur. Sebab esok hari, kami sudah harus berada di Cangar. Kami akan memanjakan tubuh dingin kami di sana. Sebab, terbungkus kabut semalaman kurang menyehatkan badan kami. Dan sumber mata air panas Cangar adalah solusinya. Selamat tidur. Semoga kami mimpi indah.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mengapa Saya Lebih Memilih Ikut Perlombaan Burung Lovebird?

  Mengapa Saya Lebih Memilih Ikut Perlombaan Burung Lovebird? Di tengah hiruk-pikuk kehidupan modern yang penuh tekanan dan tuntutan, mencar...