Senin, 24 Agustus 2020

Universitas Negeri Malang (IV)


Pagi menjelang kembali. Ternyata belum juga kiamat. Celetuk Sony saat ia membuka mata. Aku tersenyum. Itu ungkapan terima kasih kepada Sang Pemberi pagi? Aku hanya bertanya dalam hati.
Sony lalu berdiri.
“Aku tidak ingin mandi. Sebab belum ada perintah Tuhan untuk mandi pagi-pagi. Apa lagi Tuhan tahu udara di Malang,” katanya sambil berlalu dariku.
Sak karepmu!
Aku suka gayanya. Menurutku itu unik. Sesuai yang kumau. Ia jenaka. Tapi ia penyuara kegetiran hati yang baik. Ia telah mengenal semesta. Sebab ia lahir tidak sama. Tidak sepertiku.
Malang membuat sentuhan manja di lenganku. Hawa sejuk pagi serupa pertunjukan musik jazz. Aku menyepadankannya. Sebab aku suka musik jazz. Bagiku, musik itu lahir dari rahim yang suci. Orang-orang klasik dulu telah memainkannya. Melantunkan bait-bait eloknya. Musik itu membawaku pada sebuah waktu di mana para penyair Arab praislam menggantungkan karya agungnya di dinding Kabah. Lalu mereka menari-nari sambil berpuisi. Musik jazz mengalun di sana. Mengiringi peluh mereka.
Sony telah kembali. Mukanya yang bundar terlihat basah. Pucuk rambutnya menggantung beberap butir air. Tapi jari-jari kakinya tetap kering. Apa yang kamu lakukan di kamar mandi, Son?
“Kamu mau mandi apa menjadi pengikutku?” tanyanya padaku. Aku bungkam. Lalu berdiri mengambil handuk yang tergelatak di atas meja.
“Lihat saja nanti. Tapi aku tergelitik atas ucapanmu,” jawabku.
“Yang mana?” tanyanya cepat. Ia memasang wajah heran.
“Tuhan tidak memerintahkan kita untuk mandi pagi.”
“Aku paham maksudmu. Orang sesat itu memang mudah diikuti. Sementara orang baik susah sekali. Itu seperti perjanjian yang tidak pernah ditulis oleh semesta.” Panjang, Sony menyahut.
“Bukan saatnya kuliah. Dah. Aku ke kamar mandi dulu,” tukasku.
***
“Sudah kamu telepon?”
“Belum. Kurasa itu tidak perlu. Paling sebentar lagi mereka nongol. Minum saja kopimu. Biar gelisahmu berkurang.”
“Geli-geli basah!” candanya.
Kami sudah hampir setengah jama di WS. Kopi kami juga hampir tandas. Tapi mereka juga belum datang. Aku melihat kegelisahan Sony. Aku kelabakan mencari cara menundanya untut beranjak dari warung itu.
Tapi tiba-tiba saja situasi berubah. Mereka datang. Kemudian menyalami kami. Senyum sumringah membuka pertemuan kami.
“Maaf menunggu, Choi. Tadi mampir beli pulsa. Tapi tidak masuk-masuk jadi kami menunggu,” kata Raka beralasan.
“Tidak masalah, Bro. Tidak jadi soal, alias oke-oke saja,” sahutku cepat. “Jadi gini, aku gabung denganmu sekarang juga. Temanku ini juga ikut. Apa masih kurang orang?”
“Oh. Tidak, Choi. Empat orang sudah sangat cukup. Bagaimana? Kalian butuh lihat kontrakan sekarang?” Raka bertanya.
Aku dan Sony mengangguk.
“Iya.”
Berikutnya, aku dan Sony mengekor di belakang Riyan dan Raka. Seperti yang mereka bilang jika mereka ngontrak di jalan Veteran. Kata Raka tempatnya tidak terlalu jauh. Dari WS hanya kisaran setengah kilometer.
Kami diajak menyusuri gang-gang sempit di belakang UM. Kami melewati jalan Ambarawa. Dan setelah berjalan tanpa berhenti, kami sampai juga di rumah kontarakan mereka.
Rumahnya memang lumayan besar. Jika ditempati sepuluh orang juga muat. Ada dua kamar besar dan satu kamar kecil. Lengkap dengan kamar mandi dan dapur. Dari sisi kenyamanan, rumah itu sangat nyaman.
Sony sepakat denganku. Kami sama-sama jatuh cinta. Riyan dan Raka menatap kamai bahagia. Di samping bertambah teman, mereka juga akan bertambah ringan beban kontraknya.
“Kamarku sebelah mana, Mas?” tanya Sony.
“Masih ada dua kamar tersisa. Besar dan kecil. Tapi aku sarankan, Sony memilih kamar yang besar saja. Biar tidak sesak napas,” jawab Raka sambil bercanda. Aku dan Sony kompak tertawa.
“Saran yang sangat keren,” sahut Sony.
Aku berbisik kepada Sony. Aku mengajaknya pulang sebentar. Sebab, jika bisa hari itu juga aku sudah pindah. Sony ternyata memendam hasrat yang sama.
Kami lalu mohon pamit kepada mereka. Kemudian segera menghilang dari rumah itu. Aku menoleh sejenak, senyum bahagia mereka masih saja tampak mata. Tersungging indah.
***
Malam yang indah. Padat. Dan penuh agenda. Seminggu sudah aku berada di kontrakan itu. Dari ke hari, persahabatan kami semakin kental. Tidak terpisahkan. Dinding kamar bukan lagi menjadi simbol privasi. Kami adalah saudara.
Raka suka sekali tidur di kamarku. Sony sering juga bertukar tempat menghabiskan malam dengan Riyan. Tapi paling sering, kami tidur berempat di depan televisi. Dan sebagai pengantarnya, kami bermain kartu remi. Berdiskusi tentang bangsa ini. Dan biasanya ditutup dengan membincangkan tokoh idola.
Malam itu, adalah hari Sabtu. Kami sudah menyeduh kopi ekstra banyak. Sebab, kami berencana begadang sampai pagi.
“Bangsa ini seperti melahirkan permata.” Pelan, Raka membuka obrolan.
“Permata jenis apa?” tanya Sony cepat.
“Iya. Permata yang mana?” tanyaku menimpali.
Raka tersenyum.
“Coba perhatikan berita akhir-akhir ini. Tidak ada satu media pun yang tidak membincangkan Pak Jokowi. Bahkan filmnya juga sudah rilis. Masyarakat luas begitu antusias dengan beliau. Tidak hanya orang Jakarta saja,” urai Raka panjang. “Sebab mereka yakin, jika Jakarta sudah benar maka daerah lain juga ikutan benar,” imbuhnya sambil meraih jatah kopinya.
“Pendapat masyarakat beraragam, Bro.” Riyan menyahut. “Tidak semua melihat beliau dengan pandangan positif. Banyak dari mereka yang mengatakan bahwa Pak Jokowi tokoh bentukan media. Penuh pencitraan.”
“Kalau menurutku, itu wajar saja. Sebab politik itu dinamis. Tidak mengenal intuisi. Jika hari ini Pak Jokowi raja, maka besok beliau akan menjadi sudra. Sebab, beliau dianggap telah menghianati ekpektasi partai pendukungnya. Meski pada kenyataannya, kebenaran yang beliau perjuangkan. Itulah politik. Tidak perlu heran dan kaget,” timpalku. “Dan media begitu asik menikmati kedinamisan itu,” imbuhku.
“Hai, Bung!” Sony berseru. Pandangan mata kami tertuju kepadanya seketika. Ia tampak kaget. Sementara kami menampakkan wajah menunggu. “Kenapa kalian menatapku seperti itu?” tanya Sony berikutnya.
“Wajahmu bundar kayak kelereng,” jawab Raka jenaka. Aku dan Riyan kompak tertawa. Sony sedikit terlambat. Ia kurang paham dengan candaan Riyan. “Setan,” umpatnya. Kami kompak tertawa lagi.
“Kamu mau berfatwa apa, Son?” tanyaku.
“Harusnya kalian tidak hanya perhatian dengan gosip politik, Kawan. Sebab, isu radikalisme agama juga sangat penting. Coba perhatikan, bagaimana diskrimnasi yang terjadi di negeri ini? Bagaimana kaum minoritas hidup dalam bayang-bayang kekerasan yang setiap saat bisa meledak?” Sony menembaki kami dengan kegelisahan hatinya.
“Aku juga minoritas, Son. Kita tidak boleh pesimis. Kita jangan menyerah. Kita jadikan persahabatan ini sebagai simbol keberagaman. Kita bungkam mereka yang suka membenturkan keberagaman kita.” Penuh semangat, Riyan menjawab kegelisahan Sony,
“Aku setuju dengan Riyan!” aku berseru tak kalah semangat. Sementara Sony masih menampakkan wajahnya yang gelisah. Ia seperti meragukan pendapat Riyan.
“Percayalah sobat. Tuhan itu Mahabaik. Ia tidak akan rela mahkluk-Nya hidup untuk saling menyakiti,” ujar Raka sambil menepuk pundak Sony.
“Aku ada ide!” kataku membuat kejutan. Sony menatapku cepat. Wajah gelisahnya berganti penasaran. Tidak ketinggalan Raka dan Riyan. Keduanya bernasib sama dengan Sony.
“Apa?” tanya mereka berbarengan.
“Bagaimana kalau kita bangun tempat ibadah di rumah ini?”
Ketiganya melongo. Tapi sedetik berikutnya, Sony cepat-cepat setuju.
“Aku setuju!” teriaknya penuh semangat.
“Ide keren,” Raka menyahut.
Namu ada penampilan yang berbeda dalam wajah Riyan. Ia menjadi murung. Ada mendung bergelayutan di sana.
“Kamu kenapa, Riyan?” tanyaku cepat.
“Aku hanya bingung, tempat ibadahku seperti apa?”
Aku dan Sony sepakat menelan ludah bersamaan. Pertanyaan Riyan seperti godam. Kami hampir saja rubuh karena hantamannya. Sementara Raka hanya menaikkan bahunya sedikit. Ia sudah menduga jika Riyan akan bertanya seperti itu.
“Lah, kamu menganut agama apa, Yan?” tanyaku polos.
“Aku tidak tidak mempunyai agama. Tapi aku punya Tuhan, kok. Jadi kalian tidak perlu menuduhku kafir,” jawabnya sambil tergelak. Aku dan Sony melongo.
“Kamu ada usul, Son?”
Sony tidak bisa menjawab. Ia hanya bersendawa keras. Riyan dan Raka terbahak. Sampai-sampai air matanya sedikit tumpah.
Aku menjadi paling salah tingkah. Itu pengalaman baru. Aku bukan hanya berada dalam lingkuan yang beragam. Tapi aku juga berada dalam dunia tanpa agama.
Namun aku tetap tidak peduli. Ia memang tidak beragama. Tapi ia bertuhan. Ia baik. Ia mampu menjadi Tuhan. Sebab Tuhan adalah kebaikan.
“Hm. Jika begitu, Riyan tidak perlu membuat tempat ibadah. Ia bisa di tempat ibadahku, di tempat ibadah Sony, dan Raka. Pokoknya Riyan tamu kehormatan.” Terbahak, aku membuat usulan.
“Aku setuju.” Semangat, Riyan menyahut usulanku.
Perbincangan berhenti. Jarum jam sudah berada di angka dua pagi. Kopi ekstra kami juga tinggal sedikit. Sony beberapa kali menguap. Tapi ia bertahan untuk tidak tidur. Sebab ia malu dengan yang lain.
Kartu remi masih kami mainkan. Kulirik sejenak telinga Raka. Merah menyala. Penjepit baju menggantung bangga di daunnya. Riyan sesekali datang untuk meledek.
Waktu terus berputar. Yang awalnya jam dua, sekarang sudah manjadi jam setengah empat. Raka sudah menunjukkan rasa kantukanya. Riyan juga. Apa lagi Sony. Sementara aku harus bertahan. Sebab Subuh sebentar lagi menjelang.
“Kita tidak boleh tidur sebelum Choi Subuh-an,” kata Riyan penuh semangat. Kalimatnya sebenarnya adalah paradoks dari dua bola matanya yang sudah mulai merah. Raka dan Sony megangguk setuju. Sama semangatnya dengan Riyan. Aku hanya bisa terharu biru. Oh, kalian.
“Silakan tidur, Sobat. Ini masih setengah empat. Subuh datang jam empat lebih. Mata kalian sudah berair,” ujarku. Ada sedikit muatan basa-basi. Sebab pada dasarnya aku merasakan kebahagiaan dengan suasana seperti itu.
“Kami tidak terima jika hanya kamu yang mendapat pahala, Choi. Barangkali dengan menemanimu salat, kami juga kecipratan pahalanya,” sahut Riyan sambil tertawa. Tapi rasa kantuknya tetap mencolok mata.
“Mudah-mudahan Tuhan setuju denganmu,” kataku menimpali.
Waktu merambat lagi. Azan Subuh sudah menggema. Aku terkesiap. Begitu juga dengan ketiga temanku.
Aku segera mengambil air wudu. Kemudian segera mendirikan salat. Mereka berada persis di belakangku. Ketiganya berjuang untuk menjaga dua matanya agar tetap utuh.
Setelah itu, kami terlelap.

4 komentar:

Mengapa Saya Lebih Memilih Ikut Perlombaan Burung Lovebird?

  Mengapa Saya Lebih Memilih Ikut Perlombaan Burung Lovebird? Di tengah hiruk-pikuk kehidupan modern yang penuh tekanan dan tuntutan, mencar...