Pagi menjelang
kembali. Ternyata belum juga kiamat. Celetuk Sony saat ia membuka mata. Aku
tersenyum. Itu ungkapan terima kasih kepada Sang Pemberi pagi? Aku hanya
bertanya dalam hati.
Sony lalu
berdiri.
“Aku tidak
ingin mandi. Sebab belum ada perintah Tuhan untuk mandi pagi-pagi. Apa lagi
Tuhan tahu udara di Malang,” katanya sambil berlalu dariku.
“Sak
karepmu!”
Aku suka
gayanya. Menurutku itu unik. Sesuai yang kumau. Ia jenaka. Tapi ia penyuara
kegetiran hati yang baik. Ia telah mengenal semesta. Sebab ia lahir tidak sama.
Tidak sepertiku.
Malang membuat
sentuhan manja di lenganku. Hawa sejuk pagi serupa pertunjukan musik jazz. Aku
menyepadankannya. Sebab aku suka musik jazz. Bagiku, musik itu lahir dari rahim
yang suci. Orang-orang klasik dulu telah memainkannya. Melantunkan bait-bait
eloknya. Musik itu membawaku pada sebuah waktu di mana para penyair Arab praislam
menggantungkan karya agungnya di dinding Kabah. Lalu mereka menari-nari sambil
berpuisi. Musik jazz mengalun di sana. Mengiringi peluh mereka.
Sony telah
kembali. Mukanya yang bundar terlihat basah. Pucuk rambutnya menggantung
beberap butir air. Tapi jari-jari kakinya tetap kering. Apa yang kamu lakukan
di kamar mandi, Son?
“Kamu mau mandi
apa menjadi pengikutku?” tanyanya padaku. Aku bungkam. Lalu berdiri mengambil
handuk yang tergelatak di atas meja.
“Lihat saja
nanti. Tapi aku tergelitik atas ucapanmu,” jawabku.
“Yang mana?”
tanyanya cepat. Ia memasang wajah heran.
“Tuhan tidak
memerintahkan kita untuk mandi pagi.”
“Aku paham
maksudmu. Orang sesat itu memang mudah diikuti. Sementara orang baik susah
sekali. Itu seperti perjanjian yang tidak pernah ditulis oleh semesta.”
Panjang, Sony menyahut.
“Bukan saatnya
kuliah. Dah. Aku ke kamar mandi dulu,” tukasku.
***
“Sudah kamu
telepon?”
“Belum. Kurasa
itu tidak perlu. Paling sebentar lagi mereka nongol. Minum saja kopimu. Biar
gelisahmu berkurang.”
“Geli-geli
basah!” candanya.
Kami sudah
hampir setengah jama di WS. Kopi kami juga hampir tandas. Tapi mereka juga
belum datang. Aku melihat kegelisahan Sony. Aku kelabakan mencari cara
menundanya untut beranjak dari warung itu.
Tapi tiba-tiba
saja situasi berubah. Mereka datang. Kemudian menyalami kami. Senyum sumringah
membuka pertemuan kami.
“Maaf menunggu,
Choi. Tadi mampir beli pulsa. Tapi tidak masuk-masuk jadi kami menunggu,” kata
Raka beralasan.
“Tidak masalah,
Bro. Tidak jadi soal, alias oke-oke saja,” sahutku cepat. “Jadi
gini, aku gabung denganmu sekarang juga. Temanku ini juga ikut. Apa masih
kurang orang?”
“Oh. Tidak,
Choi. Empat orang sudah sangat cukup. Bagaimana? Kalian butuh lihat kontrakan
sekarang?” Raka bertanya.
Aku dan Sony
mengangguk.
“Iya.”
Berikutnya, aku
dan Sony mengekor di belakang Riyan dan Raka. Seperti yang mereka bilang jika
mereka ngontrak di jalan Veteran. Kata Raka tempatnya tidak terlalu
jauh. Dari WS hanya kisaran setengah kilometer.
Kami diajak
menyusuri gang-gang sempit di belakang UM. Kami melewati jalan Ambarawa. Dan
setelah berjalan tanpa berhenti, kami sampai juga di rumah kontarakan mereka.
Rumahnya memang
lumayan besar. Jika ditempati sepuluh orang juga muat. Ada dua kamar besar dan
satu kamar kecil. Lengkap dengan kamar mandi dan dapur. Dari sisi kenyamanan,
rumah itu sangat nyaman.
Sony sepakat
denganku. Kami sama-sama jatuh cinta. Riyan dan Raka menatap kamai bahagia. Di
samping bertambah teman, mereka juga akan bertambah ringan beban kontraknya.
“Kamarku
sebelah mana, Mas?” tanya Sony.
“Masih ada dua
kamar tersisa. Besar dan kecil. Tapi aku sarankan, Sony memilih kamar yang
besar saja. Biar tidak sesak napas,” jawab Raka sambil bercanda. Aku dan Sony
kompak tertawa.
“Saran yang
sangat keren,” sahut Sony.
Aku berbisik
kepada Sony. Aku mengajaknya pulang sebentar. Sebab, jika bisa hari itu juga
aku sudah pindah. Sony ternyata memendam hasrat yang sama.
Kami lalu mohon
pamit kepada mereka. Kemudian segera menghilang dari rumah itu. Aku menoleh
sejenak, senyum bahagia mereka masih saja tampak mata. Tersungging indah.
***
Malam yang
indah. Padat. Dan penuh agenda. Seminggu sudah aku berada di kontrakan itu.
Dari ke hari, persahabatan kami semakin kental. Tidak terpisahkan. Dinding
kamar bukan lagi menjadi simbol privasi. Kami adalah saudara.
Raka suka
sekali tidur di kamarku. Sony sering juga bertukar tempat menghabiskan malam
dengan Riyan. Tapi paling sering, kami tidur berempat di depan televisi. Dan
sebagai pengantarnya, kami bermain kartu remi. Berdiskusi tentang bangsa ini.
Dan biasanya ditutup dengan membincangkan tokoh idola.
Malam itu,
adalah hari Sabtu. Kami sudah menyeduh kopi ekstra banyak. Sebab, kami
berencana begadang sampai pagi.
“Bangsa ini
seperti melahirkan permata.” Pelan, Raka membuka obrolan.
“Permata jenis
apa?” tanya Sony cepat.
“Iya. Permata
yang mana?” tanyaku menimpali.
Raka tersenyum.
“Coba
perhatikan berita akhir-akhir ini. Tidak ada satu media pun yang tidak
membincangkan Pak Jokowi. Bahkan filmnya juga sudah rilis. Masyarakat luas begitu
antusias dengan beliau. Tidak hanya orang Jakarta saja,” urai Raka panjang.
“Sebab mereka yakin, jika Jakarta sudah benar maka daerah lain juga ikutan
benar,” imbuhnya sambil meraih jatah kopinya.
“Pendapat
masyarakat beraragam, Bro.” Riyan menyahut. “Tidak semua melihat beliau
dengan pandangan positif. Banyak dari mereka yang mengatakan bahwa Pak Jokowi
tokoh bentukan media. Penuh pencitraan.”
“Kalau
menurutku, itu wajar saja. Sebab politik itu dinamis. Tidak mengenal intuisi.
Jika hari ini Pak Jokowi raja, maka besok beliau akan menjadi sudra. Sebab,
beliau dianggap telah menghianati ekpektasi partai pendukungnya. Meski pada
kenyataannya, kebenaran yang beliau perjuangkan. Itulah politik. Tidak perlu
heran dan kaget,” timpalku. “Dan media begitu asik menikmati kedinamisan itu,”
imbuhku.
“Hai, Bung!”
Sony berseru. Pandangan mata kami tertuju kepadanya seketika. Ia tampak kaget.
Sementara kami menampakkan wajah menunggu. “Kenapa kalian menatapku seperti
itu?” tanya Sony berikutnya.
“Wajahmu bundar
kayak kelereng,” jawab Raka jenaka. Aku dan Riyan kompak tertawa. Sony sedikit
terlambat. Ia kurang paham dengan candaan Riyan. “Setan,” umpatnya. Kami kompak
tertawa lagi.
“Kamu mau
berfatwa apa, Son?” tanyaku.
“Harusnya
kalian tidak hanya perhatian dengan gosip politik, Kawan. Sebab, isu
radikalisme agama juga sangat penting. Coba perhatikan, bagaimana diskrimnasi
yang terjadi di negeri ini? Bagaimana kaum minoritas hidup dalam bayang-bayang
kekerasan yang setiap saat bisa meledak?” Sony menembaki kami dengan
kegelisahan hatinya.
“Aku juga
minoritas, Son. Kita tidak boleh pesimis. Kita jangan menyerah. Kita jadikan
persahabatan ini sebagai simbol keberagaman. Kita bungkam mereka yang suka
membenturkan keberagaman kita.” Penuh semangat, Riyan menjawab kegelisahan
Sony,
“Aku setuju
dengan Riyan!” aku berseru tak kalah semangat. Sementara Sony masih menampakkan
wajahnya yang gelisah. Ia seperti meragukan pendapat Riyan.
“Percayalah
sobat. Tuhan itu Mahabaik. Ia tidak akan rela mahkluk-Nya hidup untuk saling
menyakiti,” ujar Raka sambil menepuk pundak Sony.
“Aku ada ide!”
kataku membuat kejutan. Sony menatapku cepat. Wajah gelisahnya berganti
penasaran. Tidak ketinggalan Raka dan Riyan. Keduanya bernasib sama dengan
Sony.
“Apa?” tanya
mereka berbarengan.
“Bagaimana
kalau kita bangun tempat ibadah di rumah ini?”
Ketiganya
melongo. Tapi sedetik berikutnya, Sony cepat-cepat setuju.
“Aku setuju!”
teriaknya penuh semangat.
“Ide keren,”
Raka menyahut.
Namu ada
penampilan yang berbeda dalam wajah Riyan. Ia menjadi murung. Ada mendung
bergelayutan di sana.
“Kamu kenapa,
Riyan?” tanyaku cepat.
“Aku hanya
bingung, tempat ibadahku seperti apa?”
Aku dan Sony
sepakat menelan ludah bersamaan. Pertanyaan Riyan seperti godam. Kami hampir
saja rubuh karena hantamannya. Sementara Raka hanya menaikkan bahunya sedikit.
Ia sudah menduga jika Riyan akan bertanya seperti itu.
“Lah, kamu
menganut agama apa, Yan?” tanyaku polos.
“Aku tidak
tidak mempunyai agama. Tapi aku punya Tuhan, kok. Jadi kalian tidak perlu
menuduhku kafir,” jawabnya sambil tergelak. Aku dan Sony melongo.
“Kamu ada usul,
Son?”
Sony tidak bisa
menjawab. Ia hanya bersendawa keras. Riyan dan Raka terbahak. Sampai-sampai air
matanya sedikit tumpah.
Aku menjadi
paling salah tingkah. Itu pengalaman baru. Aku bukan hanya berada dalam
lingkuan yang beragam. Tapi aku juga berada dalam dunia tanpa agama.
Namun aku tetap
tidak peduli. Ia memang tidak beragama. Tapi ia bertuhan. Ia baik. Ia mampu
menjadi Tuhan. Sebab Tuhan adalah kebaikan.
“Hm. Jika
begitu, Riyan tidak perlu membuat tempat ibadah. Ia bisa di tempat ibadahku, di
tempat ibadah Sony, dan Raka. Pokoknya Riyan tamu kehormatan.” Terbahak, aku
membuat usulan.
“Aku setuju.”
Semangat, Riyan menyahut usulanku.
Perbincangan
berhenti. Jarum jam sudah berada di angka dua pagi. Kopi ekstra kami juga
tinggal sedikit. Sony beberapa kali menguap. Tapi ia bertahan untuk tidak
tidur. Sebab ia malu dengan yang lain.
Kartu remi
masih kami mainkan. Kulirik sejenak telinga Raka. Merah menyala. Penjepit baju
menggantung bangga di daunnya. Riyan sesekali datang untuk meledek.
Waktu terus
berputar. Yang awalnya jam dua, sekarang sudah manjadi jam setengah empat. Raka
sudah menunjukkan rasa kantukanya. Riyan juga. Apa lagi Sony. Sementara aku
harus bertahan. Sebab Subuh sebentar lagi menjelang.
“Kita tidak
boleh tidur sebelum Choi Subuh-an,” kata Riyan penuh semangat. Kalimatnya
sebenarnya adalah paradoks dari dua bola matanya yang sudah mulai merah. Raka
dan Sony megangguk setuju. Sama semangatnya dengan Riyan. Aku hanya bisa
terharu biru. Oh, kalian.
“Silakan tidur,
Sobat. Ini masih setengah empat. Subuh datang jam empat lebih. Mata kalian
sudah berair,” ujarku. Ada sedikit muatan basa-basi. Sebab pada dasarnya aku
merasakan kebahagiaan dengan suasana seperti itu.
“Kami tidak
terima jika hanya kamu yang mendapat pahala, Choi. Barangkali dengan menemanimu
salat, kami juga kecipratan pahalanya,” sahut Riyan sambil tertawa. Tapi rasa
kantuknya tetap mencolok mata.
“Mudah-mudahan
Tuhan setuju denganmu,” kataku menimpali.
Waktu merambat
lagi. Azan Subuh sudah menggema. Aku terkesiap. Begitu juga dengan ketiga
temanku.
Aku segera
mengambil air wudu. Kemudian segera mendirikan salat. Mereka berada persis di
belakangku. Ketiganya berjuang untuk menjaga dua matanya agar tetap utuh.
Setelah itu,
kami terlelap.
Bib Luthfi memang superb.
BalasHapusBu Eka lebih super :D
HapusTop
BalasHapusSembah nuwun nggeh. Mohon ikuti cerita nanti sampai endingnya 🙏🙏🙏🙏
Hapus