Minggu, 23 Agustus 2020

Universitas Negeri Malang (III)


“Aku boleh menginap di sini, Choi?” tanyanya padaku.
“Silakan, Son. Tapi selimutku hanya satu. Sarungku juga tidak akan muat untuk menutup tubuhmu. Jika kedinginan jangan salahkan aku.” Panjang, aku menjawab pertanyaannya. Sony diam. Tidak membalas. Ia memilih menikmati kopi yang kubuatkan.
Sore itu, jarum jam sudah menunjuk ke angka lima tepat. Sebagai penghuni pemula di Malang, di waktu seperti itu dingin akan terasa menyiksa. Tapi tidak bagi Sony. Lemak di tubuhnya serupa kompor.
“Sore adalah waktu paling sakral untuk membuat puisi,” celetuk Sony. Aku menahan senyum. “Sebaiknya kamu salat dulu. Asar itu waktunya tidak panjang!” imbuhnya. Dahiku mengernyit.
“Kenapa Tuhan membuat Asar begitu pendek?” tanyaku tidak penting.
“Koplak!” Sony berseru. “Memangnya aku bisa menjawab, hah?”
“Iya juga, sih. Kamu tidak sembahyang, Son?”
“Memangnya Tuhanmu bisa menerimanya, atau minimal memakluminya? Ha ha ha.” Tawa Sony memenuhi kamar. “Aku bisa saja salat bersamamu. Asar itu empat rakaat. Aku takut dibilang penyusup,” tukasnya.
“Kenapa bisa begitu?”
“Lah iya, to! Di Gereja aku tidak pernah memakai rakaat. Jika tiba-tiba aku beribadah dengan rakaat, takutnya aku sedang menyadap ibadahmu. Masuk akal tidak, Choi?” Sony mengembuskan napas sejenak. Lalu melanjutkan, “Jalan kita sudah beda. Meski tujuan kita sama.”
“Kamu sadar, Sony?”
“Sadar apa, Choi?” tanyanya balik.
“Kamu sedang mendadak ‘Ustaz’! Ha ha ha.”
Sony terbengong. Ia diam. Tidak menyahut lagi. Kalimat terakhirku membuatnya migrain. Ia tergagap. Ketika ia menoleh ke arahku, aku sudah melangkah meninggalkannya. Sony akhirnya merebah. Memilih menidurkan tubuh tambunnya.
Aku sudah selesai membersihkan sebagian anggota badan dengan berwudu. Sony terlihat pulas sekali. Sebab itu, kamar segera kukunci dari luar. Aku memilih pergi ke Musalla. Di sana, aku juga akan menunggu Magrib. Sebab pikirku, orang gemuk seperti Sony tidurnya akan lama.
Musalla itu terlihat sepi. Tidak ada satu pun manusia di dalamnya. Aku melangkah masuk seperti penyusup. Tulisan: ‘Dilarang Tidur di Musalla’ menyambut kedatanganku. Aku mengulum senyum sebagai imbalan sambutan itu.
Aku memulai salat. Empat rakaat, seperti kata Sony. Dan doaku Asar itu adalah: Semoga Tuhan selalu mempertemukanku dengan orang-orang yang setiap saat bisa mengingatkan kealpaanku. Amin.
Jarum jam Musalla menunjukkan pukul setengah enam kurang lima menit. Aku bergegas melihat jadwal salat yang dikeluarkan oleh Tim Ahli Hisab salah satu ormas Islam yang ada di Malang. Kudapati, ternyata Magrib terjadi pukul setengah enam lebih lima menit. Berarti sebentar lagi.
Waktu terus merambat. Orang-orang sudah pada datang. Dan saat waktunya tiba, azan segera dikumandangkan. Begitu selesai, Musalla sudah sesak dengan para jamaah. Aku kebagian di shaf dua.
Azan sudah selesai berkumandang. Kemudian disusul iqomat dengan cepat. Jamaah sudah pada berdiri. Merapatkan barisan. Sang Imam menoleh kami sejenak sambil berucap: ‘Sowwu Sufufakum. Fainna Tasfiyakum Min Tamaamis Salah’. Lalu takbir. Dan ibadah salat Magrib resmi dimulai. Kami hanyut. Tuhan hadir bersama kami. Teduh. Begitu teduh.
Sang Imam sudah menunaikan tugasnya dengan sempurna. Para jamaah ada yang langsung meninggalkan Musalla. Ada juga yang masih tenggelam dalam lautan doa. Mereka menundukkan kepala takzim. Sementara aku, terngiang-ngiang wajah lucu Sony yang kelabakan karena terkunci di kamar. Aku segera menutup doaku. Kemudian memutar badan. Dan pergi dari Musalla.
Aku berjalan agak cepat menuju kosan. Aku khawatir Sony kehabisan oksigen. Kamar yang kusewa terlampau sempit. Tapi tiba-tiba saja, “Brak!”. Aku menabrak seorang perempuan. Berkerudung kuning. Ia tertunduk malu. Meski aku tahu wajahnya menyimpan kesal. Tubrukan itu menyebabkan bungkusan di tangannya terlepas dan jatuh bebas ke tanah.
Aku memandangnya sejenak. Dan segera bertindak mengambil bungkusan itu. Tapi ia mencegah. Aku merasa bersalah. Ia malah melempar senyum cantik. Wajahku mendadak merah. Aku menjadi malu. Sangat malu. Sebab, senyum itu seperti mendung. Dan aku menjadi tidak kepanasan karena keberadaannya.
Ia melangkah pergi. Tapi aku mencegahnya. Sejenak.
“Mbak .... Saya benar-benar minta maaf. Tadi saya berjalan terburu. Jadi saya tidak melihat sampeyan.” Gemetar, aku berusaha berbicara dengannya.
Ia tersenyum lagi. Aku seperti lumpuh.
“Tidak apa-apa, Mas. Saya tadi juga tidak melihat. Saya juga minta maaf,” ujarnya lirih. Suaranya seperti harpa. Mengalun merdu. Aku melihat angin berhenti sejenak. Aku semakin tidak mampu menguasai tubuh. Gemetar terus menyerbu.
“Jika berkenan, bungkusan itu mau saya ganti, Mbak. Saya merasa tidak nyaman sekali jika tidak menggantinya,” ujarku terbata.
“Tidak perlu, Mas. Bungkusan itu tidak penting. Terima kasih banyak atas niat baik, Mas,” tolaknya halus. Aku tersihir. Aku tidak memiliki kalimat lagi.
“Saya Choi,” kataku sambil mengulurkan tangan.
“Saya Rembulan,” balasnya sambil menangkupkan dua tangannya ke dada. Tanganku bersalaman dengan angin.
Ia lalu pergi. Aku masih terpaku di tempat itu. Memungut sisa-sisa senyumnya yang tertinggal di sana. Ia sudah tidak terlihat. Ia ditelan jarak pandang.
Aku kembali teringat dengan Sony. Aku berjalan setengah berlari. Sebab aku takut oksigen tidak cukup menggerakkan paru-parunya.
Aku sudah sampai kosan. Dengan cepat kubuka pintu kamarku. Sony masih mengatubkan dua matanya. Ia lelap sekali. Ada dengkuran yang menggema. Syukurlah.
“Son ...” Aku menggoyang-goyangkan perut besarnya. Tapi ia tetap mendengkur. Aku segera ke dapur untuk mengambil air.
Aku menjatuhkan beberapa butir ke wajahnya. Ia geragapan. Dan langsung duduk. Dua matanya juga terbuka lebar.
“Hujan ...” teriaknya. Ia tampak linglung. Separuh kesadarannya masih di alam sana.
“Di mana?” tanyaku cepat.
“Di kosan ini!” jawabnya serius. Aku mengulum senyum.
“Sudah malam. Mari kita makan, Son. Mumpung kamu tidak jadi mati. Ha ha ha.” Aku tertawa sambil berlalu darinya. Dua matanya menangkap tanganku yang memegang gelas berisi air putih.
“Koplak. Jadi kamu yang melempar air ke wajahku?”
“Bukan.” Tenang, aku menjawab sambil berjalan meninggalkannya.
“Lalu?” Ia masih penasaran.
“Tuhan.”
Sony terdiam.
***
“Di sini, di jalan ini, makanan masih relatif terjangkau. Lalapan ayam enam ribu. Nasinya banyak,” kataku membuka obrolan di sela-sela makan malam kami. Sony mengangguk pelan. Perutnya sudah tidak bisa diajak menjeda makan. “Makanmu seperti orang kelaparan,” lanjutku.
“Sejak sebelum tidur aku sudah lapar. Ngomong-ngomong, tadi siang yang kamu ajak ngobrol siapa?” Sony bertanya. Keningku bergerak. Prediksiku salah total. Sebab faktanya, Sony memperhatikan perbincanganku dengan Raka dan Riyan.
“Raka dan Riyan. Aku baru kenal. Mereka kakak angkat kita. Fakultas MIPA. Hal ini juga yang mau aku bicarakan denganmu, Son!”
“Tentang apa?” sahut Sony cepat. Beberapa butir nasi meloncat bahagia dari mulutnya. Sony bereaksi cepat. Ia berpura-pura sedang bermain kunyahan. Ah. Klasik sekali.
“Jadi begini. Mereka itu tinggal di kontrakan. Tapi mereka kekurangan personil. Mereka hanya berdua. Mereka keberatan di ongkos. Mereka mengajakku bergabung. Tapi aku terlanjur membayar kos satu semester. Mubazir jika pindah sekarang. Akhirnya, mereka mau menungguku satu semester. Bagaimana dengan kamu, Son?”
“Tawaran yang sangat bagus. Aku di jalan Semarang tinggal bersama budeku. Serba sungkan. Serba rumahan. Kan, aku sudah mahasiswa. Boleh, kan? Jika aku nakal-nakal dikit. Ha ha ha.”
“Kamu mending gabung duluan saja,” kataku murung.
“Ha ha ha. Kenapa kamu jadi murung, Choi. Kamu ingin bergabung ya? Tapi juga berat kehilangan uang kos satu semester. Berapa, sih, uangnya?”
“1.700.000 ribu, Son.” Wajahku masih terlihat murung. Tapi Sony menatapku dengan tatapan bahagia. Aku menduga, ia mempunyai rencana.
“Bagaimana jika kamu jual keperjakaanmu! Tapi, masak iya, kamu masih perjaka, Choi?”
“Koplak. Pacaran saja belum pernah. Aku ini anak saleh, Son. Ha ha ha.”
“Kasihan tanganmu, Choi. Ia tidak kamu akui sebagai perenggut keperjakaanmu. Ha ha ha.”
“Maksud kamu, Son?”
“Onani, Choi. Onani. Ha ha ha.”
Dobol. Lambemu dobol. Kamu memang tidak berperikemanusiaan, Son. Sudah tahu aku sedang dilanda gundah-gulana begini, kok, masih bisa kamu bercanda. Tidak penting lagi.”
Edan mangan semir. Penggila Sastra itu aku. Bukan kamu. Tapi kamu sering sekali bikin puisi menjijikkan di depanku. Dangdut pula.”
“Lalu solusinya bagaimana, Son, hah? Kamu ada solusi? Atau mulutmu saja yang besar. Eh, tapi, memang besar beneran,” kataku sambil mengukur mulut Sony yang kelihatan sibuk mengunyah makanan.
“Tuhan itu Mahakaya, Sobat. Jangan pernah meremehkan-Nya.” Bijak, Sony meletupkan satu nasihat. “Jangan pernah menghina Tuhan, Choi. Jangan pernah,” tutupnya.
“Coba, dari kalimat mana yang menunjukkan aku menghina Tuhan?”
“Itulah manusia. Gampang sekali tidak sadar. Menghina Tuhan itu tidak perlu memaki-maki-Nya. Tidak perlu berbuat jahat atas nama-Nya. Tidak perlu juga memfitnah-Nya,” urainya tenang.
“Lalu?”
“Sebab, merasa khawatir akan kekurangan sesuatu saja itu sudah sangat menghina Tuhan. Kamu kira Tuhan itu akan kehabisan uang. Kamu kira Tuhan berat mengganti uang kosmu. Kamu kira Tuhan itu masuk kategori Prasejahtera, hah?”
Aku terdiam. Sony menamparku. Memukulku. Menusuk ulu hatiku. Intuisiku memang tepat. Sony memang teman yang bisa diandalkan.
“Lah, terus siapa yang mengganti uang kosku, Son?” tanyaku lugu, polos. Sony menggelengkan kepalanya. Ia terlihat pening mendengar kalimatku yang terakhir.
“Puji Tuhan. Puji Yesus. Puji Ruh Kudus. Tuhan, kenapa Kau menciptakan manusia bernama Choi ini?”
Aku semakin kerdil. Aku tidak paham dengan ceracaunya yang dibungkus tawa itu.
“Kamu jangan bermain imajinasi bodong, Son!”
“Memangnya ada imajinasi yang tidak bodong? Ha ha ha.” Sony tertawa lagi. “Sudah. Sudah. Uang kosmu tak ganti separuh. Bagaimana?”
“Nah. Itu maksudku tadi. Itu jawaban yang kuharapkan tadi.”
Jancuk. Asu!
Tawa kami meledak bagai mesiu. Suaranya menggelegar di mana-mana. Tuhan Mahaasik. Tuhan Mahabaik. Tuhan Mahakaya.
Kami meninggalkan warung dengan perut yang sesak dengan nasi. Dari gerak tubuhnya, Sony memang berniat menginap di kosanku. Ia tidak ingin pulang. Tekadnya menjadi anak yang rada-rada nakal sudah bulat.
“Coba kamu hubungi mereka. Siapa tahu, lusa kita sudah pindah,” pintanya di sela-sela perjalanan kami.
Oke. Kamu yakin mau tidur di kosku? Sudah tahu, kan, kamarku sempit?”
“Iya. Aku menginap di kosmu saja. Aku besok juga malas untuk ikut agenda ospek. Kelak, saat aku jadi Menteri Pendidikan, maka kegiatan itu akan kuhapus. Mahasiswa miskin dan berprestasi tidak akan kutakuti lagi. Mereka akan tetap bisa lulus dan bisa mengajukan beasiswa meski tidak memiliki sertifikat ospek.” Panjang, Sony berceloteh. Perut yang kenyang membuatnya memiliki banyak ide.
“Aku setuju denganmu, Son. Doakan, yah. Semoga aku terpilih menjadi Presiden. Aku janji, aku kuwujudkan mimpimu menjadi Menteri Pendidikan.”
Asu!
“Sebentar. Aku tak menelepon mereka. Sebaiknya kamu duduk dulu. Biar emosimu mereda. Dan mimpimu menjadi Menteri Pendidikan terwujud.”
Aku segera mengeluarkan telepon genggam. Kucari kontak Raka. Nomornya segera kutekan. Dan tersambung dengan cepat.
“Halo,” sapa Raka dari sana.
“Ini Choi, Mas. Besok kita bisa bertemu?”
“Bisa. Di WS. Jam ngopi. Bagaimana?”
Oke.
Setelah itu senyap. Telepon sudah terputus.
“Bagaimana, Choi?” todong Sony cepat.
“Beres. Besok kita ketemu di WS pada jam ngopi,” jawabku cepat.
“Nah. Berarti jam Ospek?”
“Begitulah,”
“Masih jam sembilan. Kita ke mana lagi?” tanya Sony.
“Dingin sekali, Son. Aku juga mulai mengantuk. Jika kita tidur saja bagaimana? Atau ngobrol di kamar sampai kita menguap bagaimana?”
“Sebelum ke Malang kamu anak rumahan, yah?”
“Kamu menuduh atau bertanya? Jika itu tuduhan, maka kamu salah. Sebab, aku bukan anak rumahan. Tapi anak Masjid-an. Sebab, tiap malam aku tidur di Masjid,” jawabku bangga. Sony menyipitkan dua matanya.
“Kamu serius? Memangnya rumah ibadah boleh dibuat tidur?”
“Siapa yang melarang, Son? Tuhan itu Mahabaik. Juga Maha Melindungi. Aku terasa terlindungi tidur di rumah-Nya. Memangnya rumah Tuhan-mu tidak boleh dibuat tidur?” tanyaku balik. Sony tampak bingung dan heran.
“Tidak. Ada asramanya, kok. Tapi masih berdekatan dengan Gereja. Kukira sama saja. Sama seperti tidur di dalam Gereja.” Serius, Sony menguraikan jawabannya.
“Ya kalau menurutku beda, Son. Asrama dan Gereja dua tempat yang berbeda. Pantas saja ...” Kubuat kalimatku menggantung. Sony menggeliat. Ia sangat penasaran.
“Pantas apa, Choi?” kejarnya.
“Pantas saja burung gereja pada eksodus ke Masjid. Ternyata mereka umat yang terbuang. Ha ha ha,”
“Koplak. Gendeng. Edan mangan semir,” umpatnya lantang.
“Ha ha ha.”
Kami memutuskan untuk pulang ke kos. Sebagai pemula di Malang, aku belum terlalu bisa menerima dinginnya. Ketika itu bulan September. Suhu di Malang bisa turun di bawah 20 derajat.
Aneh. Aku merasa ada sebuah keganjilan. Kami bertemu di pagi hari sebagai mahkluk asing yang sama-sama malas mengikuti agenda Ospek. Tapi sampai malam itu, kami rasanya sudah berteman puluhan tahun yang lalu. Sepeti tiada batas di antara kami. Aku terbuka. Begitu juga dengannya. Guyonan kami sebagai orang Jawa Timur juga kerap menghiasi percakapan di antara kami. Bahkan, yang kata orang itu umpatan selalu terselip di antara kalimat-kalimat yang keluar dari bibir kami. Aku jatuh cinta dengan Malang. Aku jatuh cinta dengan pertemanan kami. Intuisi membawa kami saling bertemu. Mata tajamnya membuat kami satu tubuh.
“Aku salat Isya dulu, Son. Kamu masuk saja duluan. Ini kuncinya!” kataku sambil menyerahkan kunci kos kepada Sony. Aku memilih beribadah di Musalla. Sony menerimanya dengan kening berkerut.
“Kenapa?” tanyanya.
“Aku tidak punya alasan. Ha ha ha,” jawabku sambil tertawa. Sony manyun. Kemudian melanjutkan langkah kakiknya. Sony terlihat capek.
Aku memang sengaja memilih salat di Musalla. Setidaknya ada tiga hal yang melatarbelakanginya. Pertama. Ringkas dan mudah. Air buat wudu tersedia. Tinggal putar kran beres. Sementara di kos, aku harus memompa air dulu. Sebab, pompa air listrik sedang dalam perbaikan. Kedua. Di Musalla aku bisa leluasa bercerita kepada Tuhan tentang anugerah hari ini. Dan ketiga. Aku berharap bisa bertemu Rembulan lagi. Bisa bertegur sapa lagi. Wajahnya selalu melintas. Aku seperti sedang dipenjara rindu. Meski aku tahu, ia juga makhluk asing dalam duniaku.
Aku segera kembali ke kos. Aku tidak ingin Sony menunggu lama. Aku juga tidak ingin berpikiran aneh tentangku.
Langkah kakiku cepat. Sehingga hanya dalam satu menit aku sudah sampai di depan kos. Kamarku menutup rapat. Di dalamnya juga tampak sepi. Tuduhan pertamaku, Sony terjebak dalam kantuk. Kemudian tertidur pulas.
Aku segera memutar gagang pintu kamar. Pintu membuka lebar. Sony nyengir. Giginya yang tidak beraturan ia hadiahkan kepadaku. Tuduhanku meleset. Dua mata Sony masih utuh. Bundar. Menyala.
“Tak kira kamu sudah tidur, Son,” sapaku.
“Belum. Pasti itu perintah untukku. Kamu ingin aku segera tidur. Biar kamu leluasa,” sahutnya tanpa melihatku.
Asu. Aku ada kaus. Sebaiknya kamu ganti pakaian dulu. Tapi aku tidak tahu. Cukup atau tidak di badanmu,” tawarku.
“Boleh. Mana?” tanyanya antusias.
Sony segera membuka bajunya yang sudah berkalang keringat. Ada aroma masam menyeruak. Tapi tidak masalah. Sebab, hadiah bermacam rupa bentuknya.
Aku sedikit terbelalak saat melihat perutnya. Banyak lekukan yang sepertinya bolot sangat nyaman beristirahat di sana. Penghangat tubuh Sony yang berupa lemak juga mencolok mata. Aku tidak kuat lagi memandanginya. Kaus segera kulempar kepadanya. Ia menyambar tepat. Sedetik berikutnya kaus itu melekat di tubuhnya. Dan aku yakin, Sony mengalami sedikit sesak napas.
“Akhir-akhir ini televisi suka menyuguhkan aksi kekerasan. Atau istilahnya radikalisme. Ini sudah tahun 2012, harusnya kita semua sudah maju dalam berpikir. Menghargai keragaman. Menghormati perbedaan.” Serius, Sony memulai perbincangan.
“Benar. Tapi usia kita terlampau muda untuk memikirkan itu, Son,” sahutku.
“Apa? Harusnya bangsa ini cukup menyesal ada manusia seperti kamu hidup bebas di wilayahnya. Kamu sudah onani. Berarti kamu sudah saatnya berpikir tentang itu. Kamu beruntung, sebab kamu adalah mayoritas. Sementara aku?” Sony menatapku sangat tajam. Aku merasa sedikit ngeri. Aku sadar, ia sedang tidak main-main dengan materi perbincangannya.
Oke-oke. Aku paham. Aku tadi hanya bercanda, Son. Tidak perlu kamu anggap serius. Memang, bangsa ini sedang sakit. Banyak problem. Mulai lapar, sampai kekerasan. Aku juga mendengar, bangsa ini sudah saatnya berganti sistem.” Pelan, aku meredam kekesalan Sony.
Sony mengangguk setuju. Biji matanya juga berbinar. Sorot mata tajamnya meneduh. Peluh-peluh juga berhenti jatuh. Sebuah senyum kecil dari bibirnya mengisyaratkan jika ia berhenti mengeluh.
“Kamu bahagia dengan Islam?” tanyanya tiba-tiba. Aku tersentak.
“Bahagia. Bahagia sekali. Ini rumahku. Aku nyaman hidup di dalamnya. Apa kamu tidak bahagia dengan agamamu?” tanyaku balik.
“Sama sepertimu. Aku bahagia. Bahkan sangat bahagia. Tapi terkadang aku bersedih. Miris. Aku melihat sorot mata mereka penuh kecurigaan. Juga ancaman. Seolah-olah aku adalah bajingan,” jawabnya panjang. Ia menghela napas sejenak. “Apa lagi aku mendengar berita pembunuhan atau perang Islam-Kristen. Aku pasti menangis. Kita ini bersaudara. Kenapa kita harus saling menghabisi?” imbuhnya lirih. Suara Sony terdengar parau.
“Kita bersaudara. Aku saudaramu. Kamu saudaraku,” kataku menenangkannya. “Jika Islam-Kristen masih saja bertengkar, maka pasti ada pihak ketiga yang merencanakan. Bagaimana menurutmu?”
“Itu pasti.” Pendek, Sony menjawab. Ia tampak tidak ingin melanjutkan perbincangan lagi. Dua matanya terlihat lelah. Ia mengantuk. Ia akan tidur. Perbincangan kami menggantung. Tapi tidak mengapa. Sebab, masih banyak waktu yang bisa kugunakan untuk berdiskusi dengannya.
Malam terus merambat. Pekatnya bikin ngeri. Gemintang ada, tapi tidak sesemangat biasanya. Keresahan Sony adalah penyebabnya. Gemintang itu merasakannya.
Aku belum bisa tidur. Aku masih memikirkan banyak hal. Mulai pertemuanku dengan Sony, menabrak tubuh Rembulan, sampai persahabatanku yang lintas iman. Menurutku itu bukan hal biasa. Sebab, sebelumnya aku seragam. Teman-temanku satu iman. Satu Tuhan. Namun, kali itu aku menemukan kehidupan yang beda.
Dua mataku mulai terasa lelah. Hening malam menjadi-jadi. Pintu-pintu kamar kosan juga mulai mengatub. Jarum jam berhenti tepat di angka sebelas.
Aku melepas beberapa harap. Di antaranya adalah, lintas iman bukan lagi menjadi alasan bagi manusia untuk saling menghabisi. Aku melihat Sony sejenak. Ia pulas. Tapi isi kepalanya tidak pernah berhenti bekerja. Hatinya tidak pernah berhenti prihatin. Ketakutan itu masih ada.
Sony sahabatku. Perlu kamu tahu. Apa pun yang kamu rasakan, aku juga merasakannya. Kegamangan ini milik kita.
Selamat tidur. Aku mengatubkan dua mata. Lalu gelap. Selebihnya aku hanya melihat Masjid, Gereja, Pura, Wihara berdiri sejajar. Ramah. Meneduhi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mengapa Saya Lebih Memilih Ikut Perlombaan Burung Lovebird?

  Mengapa Saya Lebih Memilih Ikut Perlombaan Burung Lovebird? Di tengah hiruk-pikuk kehidupan modern yang penuh tekanan dan tuntutan, mencar...