“Aku boleh
menginap di sini, Choi?” tanyanya padaku.
“Silakan, Son.
Tapi selimutku hanya satu. Sarungku juga tidak akan muat untuk menutup tubuhmu.
Jika kedinginan jangan salahkan aku.” Panjang, aku menjawab pertanyaannya. Sony
diam. Tidak membalas. Ia memilih menikmati kopi yang kubuatkan.
Sore itu, jarum
jam sudah menunjuk
ke angka lima tepat. Sebagai penghuni pemula di Malang, di waktu seperti itu
dingin akan terasa menyiksa. Tapi tidak bagi Sony. Lemak di
tubuhnya serupa kompor.
“Sore adalah
waktu paling sakral untuk membuat puisi,” celetuk Sony. Aku menahan senyum.
“Sebaiknya kamu salat dulu. Asar itu waktunya tidak panjang!” imbuhnya. Dahiku
mengernyit.
“Kenapa Tuhan
membuat Asar begitu pendek?” tanyaku tidak penting.
“Koplak!” Sony
berseru. “Memangnya aku bisa menjawab, hah?”
“Iya juga, sih.
Kamu tidak sembahyang, Son?”
“Memangnya
Tuhanmu bisa menerimanya, atau minimal memakluminya? Ha ha ha.” Tawa Sony
memenuhi kamar. “Aku bisa saja salat bersamamu. Asar itu empat rakaat. Aku
takut dibilang penyusup,” tukasnya.
“Kenapa bisa
begitu?”
“Lah iya, to! Di
Gereja aku tidak pernah memakai rakaat. Jika tiba-tiba aku beribadah dengan rakaat,
takutnya aku sedang menyadap ibadahmu. Masuk akal tidak, Choi?” Sony
mengembuskan napas sejenak. Lalu melanjutkan, “Jalan kita sudah beda. Meski
tujuan kita sama.”
“Kamu sadar,
Sony?”
“Sadar apa,
Choi?” tanyanya balik.
“Kamu sedang
mendadak ‘Ustaz’! Ha ha ha.”
Sony
terbengong. Ia diam. Tidak menyahut lagi. Kalimat terakhirku membuatnya
migrain. Ia tergagap. Ketika ia menoleh ke arahku, aku sudah melangkah
meninggalkannya. Sony akhirnya merebah. Memilih menidurkan tubuh tambunnya.
Aku sudah
selesai membersihkan sebagian anggota badan
dengan berwudu. Sony terlihat pulas sekali. Sebab itu, kamar segera kukunci
dari luar. Aku memilih pergi ke Musalla. Di sana, aku juga akan menunggu
Magrib. Sebab pikirku, orang gemuk seperti Sony tidurnya akan lama.
Musalla itu
terlihat sepi. Tidak ada satu pun manusia di dalamnya. Aku melangkah masuk
seperti penyusup. Tulisan: ‘Dilarang Tidur di Musalla’ menyambut
kedatanganku. Aku mengulum senyum sebagai imbalan sambutan itu.
Aku memulai
salat. Empat rakaat, seperti kata Sony. Dan doaku Asar itu adalah: Semoga Tuhan
selalu mempertemukanku dengan orang-orang yang setiap saat bisa mengingatkan
kealpaanku. Amin.
Jarum jam
Musalla menunjukkan pukul setengah enam kurang lima menit. Aku bergegas melihat
jadwal salat yang dikeluarkan oleh Tim Ahli Hisab salah satu ormas Islam yang
ada di Malang. Kudapati, ternyata Magrib terjadi pukul setengah enam lebih lima
menit. Berarti sebentar lagi.
Waktu terus
merambat. Orang-orang sudah pada datang. Dan saat waktunya tiba, azan segera
dikumandangkan. Begitu selesai, Musalla sudah sesak dengan para jamaah. Aku
kebagian di shaf dua.
Azan sudah
selesai berkumandang. Kemudian disusul iqomat dengan cepat. Jamaah sudah pada
berdiri. Merapatkan barisan. Sang Imam menoleh kami sejenak sambil berucap: ‘Sowwu
Sufufakum. Fainna Tasfiyakum Min Tamaamis Salah’. Lalu takbir. Dan ibadah
salat Magrib resmi dimulai. Kami hanyut. Tuhan hadir bersama kami. Teduh. Begitu
teduh.
Sang Imam sudah
menunaikan tugasnya dengan sempurna. Para jamaah ada yang langsung meninggalkan
Musalla. Ada juga yang masih tenggelam dalam lautan doa. Mereka menundukkan
kepala takzim. Sementara aku, terngiang-ngiang wajah lucu Sony yang kelabakan
karena terkunci di kamar. Aku segera menutup doaku. Kemudian memutar badan. Dan
pergi dari Musalla.
Aku berjalan agak
cepat menuju kosan. Aku khawatir
Sony kehabisan oksigen. Kamar yang kusewa terlampau sempit. Tapi tiba-tiba
saja, “Brak!”. Aku menabrak seorang perempuan. Berkerudung kuning. Ia
tertunduk malu. Meski aku tahu wajahnya menyimpan kesal. Tubrukan itu
menyebabkan bungkusan di tangannya terlepas dan jatuh bebas ke tanah.
Aku
memandangnya sejenak. Dan segera bertindak mengambil bungkusan itu. Tapi ia
mencegah. Aku merasa bersalah. Ia malah melempar senyum cantik. Wajahku
mendadak merah. Aku menjadi malu. Sangat malu. Sebab, senyum itu seperti
mendung. Dan aku menjadi tidak kepanasan karena keberadaannya.
Ia melangkah
pergi. Tapi aku mencegahnya. Sejenak.
“Mbak .... Saya
benar-benar minta maaf. Tadi saya berjalan terburu. Jadi saya tidak melihat
sampeyan.” Gemetar, aku berusaha berbicara dengannya.
Ia tersenyum
lagi. Aku seperti lumpuh.
“Tidak apa-apa,
Mas. Saya tadi juga tidak melihat. Saya juga minta maaf,” ujarnya lirih.
Suaranya seperti harpa. Mengalun merdu. Aku melihat angin berhenti sejenak. Aku
semakin tidak mampu menguasai tubuh. Gemetar terus menyerbu.
“Jika berkenan,
bungkusan itu mau saya ganti, Mbak. Saya merasa tidak nyaman sekali jika tidak
menggantinya,” ujarku terbata.
“Tidak perlu,
Mas. Bungkusan itu tidak penting. Terima kasih banyak atas niat baik, Mas,”
tolaknya halus. Aku tersihir. Aku tidak memiliki kalimat lagi.
“Saya Choi,”
kataku sambil mengulurkan tangan.
“Saya
Rembulan,” balasnya sambil menangkupkan dua tangannya ke dada. Tanganku
bersalaman dengan angin.
Ia lalu pergi.
Aku masih terpaku di tempat itu. Memungut sisa-sisa senyumnya yang tertinggal
di sana. Ia sudah tidak terlihat. Ia ditelan jarak pandang.
Aku kembali
teringat dengan Sony. Aku berjalan setengah berlari. Sebab aku takut oksigen
tidak cukup menggerakkan paru-parunya.
Aku sudah
sampai kosan. Dengan cepat kubuka pintu kamarku. Sony masih mengatubkan dua
matanya. Ia lelap sekali. Ada dengkuran yang menggema. Syukurlah.
“Son ...” Aku
menggoyang-goyangkan perut besarnya. Tapi ia tetap mendengkur. Aku segera ke
dapur untuk mengambil air.
Aku menjatuhkan
beberapa butir ke wajahnya. Ia geragapan. Dan langsung duduk. Dua matanya juga
terbuka lebar.
“Hujan ...”
teriaknya. Ia tampak linglung. Separuh kesadarannya masih di alam sana.
“Di mana?”
tanyaku cepat.
“Di kosan ini!”
jawabnya serius. Aku mengulum senyum.
“Sudah malam.
Mari kita makan, Son. Mumpung kamu tidak jadi mati. Ha ha ha.” Aku tertawa
sambil berlalu darinya. Dua matanya menangkap tanganku yang memegang gelas
berisi air putih.
“Koplak. Jadi
kamu yang melempar air ke wajahku?”
“Bukan.”
Tenang, aku menjawab sambil berjalan meninggalkannya.
“Lalu?” Ia
masih penasaran.
“Tuhan.”
Sony terdiam.
***
“Di sini, di
jalan ini, makanan masih relatif terjangkau. Lalapan ayam enam ribu. Nasinya
banyak,” kataku membuka obrolan di sela-sela makan malam kami. Sony mengangguk
pelan. Perutnya sudah tidak bisa diajak menjeda makan. “Makanmu seperti orang
kelaparan,” lanjutku.
“Sejak sebelum
tidur aku sudah lapar. Ngomong-ngomong, tadi siang yang kamu ajak ngobrol
siapa?” Sony bertanya. Keningku bergerak. Prediksiku salah total. Sebab
faktanya, Sony memperhatikan perbincanganku dengan Raka dan Riyan.
“Raka dan Riyan.
Aku baru kenal. Mereka kakak angkat kita. Fakultas MIPA. Hal ini juga
yang mau aku bicarakan denganmu, Son!”
“Tentang apa?”
sahut Sony cepat. Beberapa butir nasi meloncat bahagia dari mulutnya. Sony
bereaksi cepat. Ia berpura-pura sedang bermain kunyahan. Ah. Klasik sekali.
“Jadi begini.
Mereka itu tinggal di kontrakan. Tapi mereka kekurangan personil. Mereka hanya
berdua. Mereka keberatan di ongkos. Mereka mengajakku bergabung. Tapi aku
terlanjur membayar kos satu semester. Mubazir jika pindah sekarang. Akhirnya,
mereka mau menungguku satu semester. Bagaimana dengan kamu, Son?”
“Tawaran yang
sangat bagus. Aku di jalan Semarang tinggal bersama budeku. Serba sungkan.
Serba rumahan. Kan, aku sudah mahasiswa. Boleh, kan? Jika aku nakal-nakal
dikit. Ha ha ha.”
“Kamu mending
gabung duluan saja,” kataku murung.
“Ha ha ha.
Kenapa kamu jadi murung, Choi. Kamu ingin bergabung ya? Tapi juga berat
kehilangan uang kos satu semester. Berapa, sih, uangnya?”
“1.700.000
ribu, Son.” Wajahku masih terlihat murung. Tapi Sony menatapku dengan tatapan
bahagia. Aku menduga, ia mempunyai rencana.
“Bagaimana jika
kamu jual keperjakaanmu! Tapi, masak iya, kamu masih perjaka, Choi?”
“Koplak.
Pacaran saja belum pernah. Aku ini anak saleh, Son. Ha ha ha.”
“Kasihan
tanganmu, Choi. Ia tidak kamu akui sebagai perenggut keperjakaanmu. Ha ha ha.”
“Maksud kamu,
Son?”
“Onani, Choi.
Onani. Ha ha ha.”
“Dobol.
Lambemu dobol. Kamu memang tidak berperikemanusiaan, Son. Sudah tahu aku
sedang dilanda gundah-gulana begini,
kok, masih bisa kamu bercanda. Tidak penting lagi.”
“Edan mangan
semir. Penggila Sastra itu aku. Bukan kamu. Tapi kamu sering sekali bikin
puisi menjijikkan di depanku. Dangdut pula.”
“Lalu solusinya
bagaimana, Son, hah? Kamu ada solusi? Atau mulutmu saja yang besar. Eh, tapi,
memang besar beneran,” kataku sambil mengukur mulut Sony yang kelihatan sibuk
mengunyah makanan.
“Tuhan itu
Mahakaya, Sobat. Jangan pernah meremehkan-Nya.” Bijak, Sony meletupkan satu
nasihat. “Jangan pernah menghina Tuhan, Choi. Jangan pernah,” tutupnya.
“Coba, dari
kalimat mana yang menunjukkan aku menghina Tuhan?”
“Itulah
manusia. Gampang sekali tidak sadar. Menghina Tuhan itu tidak perlu
memaki-maki-Nya. Tidak perlu berbuat jahat atas nama-Nya. Tidak perlu juga
memfitnah-Nya,” urainya tenang.
“Lalu?”
“Sebab, merasa
khawatir akan kekurangan sesuatu saja itu sudah sangat menghina Tuhan. Kamu
kira Tuhan itu akan kehabisan uang. Kamu kira Tuhan berat mengganti uang kosmu.
Kamu kira Tuhan itu masuk kategori Prasejahtera, hah?”
Aku terdiam.
Sony menamparku. Memukulku. Menusuk ulu hatiku. Intuisiku memang tepat. Sony
memang teman yang bisa diandalkan.
“Lah, terus
siapa yang mengganti uang kosku, Son?” tanyaku lugu, polos. Sony menggelengkan
kepalanya. Ia terlihat pening mendengar kalimatku yang terakhir.
“Puji Tuhan.
Puji Yesus. Puji Ruh Kudus. Tuhan, kenapa Kau menciptakan manusia bernama Choi
ini?”
Aku semakin
kerdil. Aku tidak paham dengan ceracaunya yang dibungkus tawa itu.
“Kamu jangan
bermain imajinasi bodong, Son!”
“Memangnya ada
imajinasi yang tidak bodong? Ha ha ha.” Sony tertawa lagi. “Sudah. Sudah. Uang
kosmu tak ganti separuh. Bagaimana?”
“Nah. Itu
maksudku tadi. Itu jawaban yang kuharapkan tadi.”
“Jancuk.
Asu!”
Tawa kami
meledak bagai mesiu. Suaranya menggelegar di mana-mana. Tuhan Mahaasik. Tuhan
Mahabaik. Tuhan Mahakaya.
Kami
meninggalkan warung dengan perut yang sesak dengan nasi. Dari gerak tubuhnya,
Sony memang berniat menginap di kosanku. Ia tidak ingin pulang. Tekadnya menjadi
anak yang rada-rada nakal sudah bulat.
“Coba kamu
hubungi mereka. Siapa tahu, lusa kita sudah pindah,” pintanya di sela-sela
perjalanan kami.
“Oke.
Kamu yakin mau tidur di kosku? Sudah tahu, kan, kamarku sempit?”
“Iya. Aku
menginap di kosmu saja. Aku besok juga malas untuk ikut agenda ospek. Kelak,
saat aku jadi Menteri Pendidikan, maka kegiatan itu akan kuhapus. Mahasiswa
miskin dan berprestasi tidak akan kutakuti lagi. Mereka akan tetap bisa lulus
dan bisa mengajukan beasiswa meski tidak memiliki sertifikat ospek.” Panjang,
Sony berceloteh. Perut yang kenyang membuatnya memiliki banyak ide.
“Aku setuju
denganmu, Son. Doakan, yah. Semoga aku terpilih menjadi Presiden. Aku janji,
aku kuwujudkan mimpimu menjadi Menteri Pendidikan.”
“Asu!”
“Sebentar. Aku
tak menelepon mereka. Sebaiknya kamu duduk dulu. Biar emosimu mereda. Dan
mimpimu menjadi Menteri Pendidikan terwujud.”
Aku segera
mengeluarkan telepon genggam. Kucari kontak Raka. Nomornya segera kutekan. Dan
tersambung dengan cepat.
“Halo,” sapa
Raka dari sana.
“Ini Choi, Mas.
Besok kita bisa bertemu?”
“Bisa. Di WS.
Jam ngopi. Bagaimana?”
“Oke.”
Setelah itu
senyap. Telepon sudah terputus.
“Bagaimana,
Choi?” todong Sony cepat.
“Beres. Besok
kita ketemu di WS pada jam ngopi,” jawabku cepat.
“Nah. Berarti
jam Ospek?”
“Begitulah,”
“Masih jam
sembilan. Kita ke mana lagi?” tanya Sony.
“Dingin sekali,
Son. Aku juga mulai mengantuk. Jika kita tidur saja bagaimana? Atau ngobrol di
kamar sampai kita menguap bagaimana?”
“Sebelum ke
Malang kamu anak rumahan, yah?”
“Kamu menuduh
atau bertanya? Jika itu tuduhan, maka kamu salah. Sebab, aku bukan anak
rumahan. Tapi anak Masjid-an. Sebab, tiap malam aku tidur di Masjid,” jawabku
bangga. Sony menyipitkan dua matanya.
“Kamu serius?
Memangnya rumah ibadah boleh dibuat tidur?”
“Siapa yang
melarang, Son? Tuhan itu Mahabaik. Juga Maha Melindungi. Aku terasa terlindungi
tidur di rumah-Nya. Memangnya rumah Tuhan-mu tidak boleh dibuat tidur?” tanyaku
balik. Sony tampak bingung dan heran.
“Tidak. Ada
asramanya, kok. Tapi masih berdekatan dengan Gereja. Kukira sama saja. Sama
seperti tidur di dalam Gereja.” Serius, Sony menguraikan jawabannya.
“Ya kalau
menurutku beda, Son. Asrama dan Gereja dua tempat yang berbeda. Pantas saja
...” Kubuat kalimatku menggantung. Sony menggeliat. Ia sangat penasaran.
“Pantas apa,
Choi?” kejarnya.
“Pantas saja
burung gereja pada eksodus ke Masjid. Ternyata mereka ‘umat’ yang terbuang.
Ha ha ha,”
“Koplak.
Gendeng. Edan mangan semir,” umpatnya lantang.
“Ha ha ha.”
Kami memutuskan
untuk pulang ke kos. Sebagai pemula di Malang, aku belum terlalu bisa menerima
dinginnya. Ketika itu bulan September. Suhu di Malang bisa turun di bawah 20
derajat.
Aneh. Aku
merasa ada sebuah keganjilan. Kami bertemu di pagi hari sebagai mahkluk asing
yang sama-sama malas mengikuti agenda Ospek. Tapi sampai malam itu, kami
rasanya sudah berteman puluhan tahun yang lalu. Sepeti tiada batas di antara
kami. Aku terbuka. Begitu juga dengannya. Guyonan kami sebagai orang Jawa Timur
juga kerap menghiasi percakapan di antara kami. Bahkan, yang kata orang itu
umpatan selalu terselip di antara kalimat-kalimat yang keluar dari bibir kami.
Aku jatuh cinta dengan Malang. Aku jatuh cinta dengan pertemanan kami. Intuisi
membawa kami saling bertemu. Mata tajamnya membuat kami satu tubuh.
“Aku salat Isya
dulu, Son. Kamu masuk saja duluan. Ini kuncinya!” kataku sambil menyerahkan
kunci kos kepada Sony. Aku memilih beribadah di Musalla. Sony menerimanya
dengan kening berkerut.
“Kenapa?”
tanyanya.
“Aku tidak
punya alasan. Ha ha ha,” jawabku sambil tertawa. Sony manyun. Kemudian
melanjutkan langkah kakiknya. Sony terlihat capek.
Aku memang
sengaja memilih salat di Musalla. Setidaknya ada tiga hal yang melatarbelakanginya.
Pertama. Ringkas dan mudah. Air buat wudu tersedia. Tinggal putar kran beres.
Sementara di kos, aku harus memompa air dulu. Sebab, pompa air listrik sedang
dalam perbaikan. Kedua. Di Musalla aku bisa leluasa bercerita kepada Tuhan
tentang anugerah hari ini. Dan ketiga. Aku berharap bisa bertemu Rembulan lagi.
Bisa bertegur sapa lagi. Wajahnya selalu melintas. Aku seperti sedang dipenjara
rindu. Meski aku tahu, ia juga makhluk asing dalam duniaku.
Aku segera
kembali ke kos. Aku tidak ingin Sony menunggu lama. Aku juga tidak ingin
berpikiran aneh tentangku.
Langkah kakiku
cepat. Sehingga hanya dalam satu menit aku sudah sampai di depan kos. Kamarku
menutup rapat. Di dalamnya juga tampak sepi. Tuduhan pertamaku, Sony terjebak
dalam kantuk. Kemudian tertidur pulas.
Aku segera
memutar gagang pintu kamar. Pintu membuka lebar. Sony nyengir. Giginya yang
tidak beraturan ia hadiahkan kepadaku. Tuduhanku meleset. Dua mata Sony masih
utuh. Bundar. Menyala.
“Tak kira kamu
sudah tidur, Son,” sapaku.
“Belum. Pasti
itu perintah untukku. Kamu ingin aku segera tidur. Biar kamu leluasa,” sahutnya
tanpa melihatku.
“Asu.
Aku ada kaus. Sebaiknya kamu ganti pakaian dulu. Tapi aku tidak tahu. Cukup
atau tidak di badanmu,” tawarku.
“Boleh. Mana?” tanyanya
antusias.
Sony segera
membuka bajunya yang sudah berkalang keringat. Ada aroma masam menyeruak. Tapi
tidak masalah. Sebab, hadiah bermacam rupa bentuknya.
Aku sedikit
terbelalak saat melihat perutnya. Banyak lekukan yang sepertinya bolot sangat
nyaman beristirahat di sana. Penghangat tubuh Sony yang berupa lemak juga
mencolok mata. Aku tidak kuat lagi memandanginya. Kaus segera kulempar
kepadanya. Ia menyambar tepat. Sedetik berikutnya kaus itu melekat di tubuhnya.
Dan aku yakin, Sony mengalami sedikit sesak napas.
“Akhir-akhir
ini televisi suka menyuguhkan aksi kekerasan. Atau istilahnya radikalisme.
Ini sudah tahun 2012, harusnya kita semua sudah maju dalam berpikir. Menghargai
keragaman. Menghormati perbedaan.” Serius, Sony memulai perbincangan.
“Benar. Tapi
usia kita terlampau muda untuk memikirkan itu, Son,” sahutku.
“Apa? Harusnya
bangsa ini cukup menyesal ada manusia seperti kamu hidup bebas di wilayahnya.
Kamu sudah onani. Berarti kamu sudah saatnya berpikir tentang itu. Kamu
beruntung, sebab kamu adalah mayoritas. Sementara aku?” Sony menatapku sangat
tajam. Aku merasa sedikit ngeri. Aku sadar, ia sedang tidak main-main dengan
materi perbincangannya.
“Oke-oke.
Aku paham. Aku tadi hanya bercanda, Son. Tidak perlu kamu anggap serius.
Memang, bangsa ini sedang sakit. Banyak problem. Mulai lapar, sampai kekerasan.
Aku juga mendengar, bangsa ini sudah saatnya berganti sistem.” Pelan, aku
meredam kekesalan Sony.
Sony mengangguk
setuju. Biji matanya juga berbinar. Sorot mata tajamnya meneduh. Peluh-peluh
juga berhenti jatuh. Sebuah senyum kecil dari bibirnya mengisyaratkan jika ia
berhenti mengeluh.
“Kamu bahagia
dengan Islam?” tanyanya tiba-tiba. Aku tersentak.
“Bahagia.
Bahagia sekali. Ini rumahku. Aku nyaman hidup di dalamnya. Apa kamu tidak
bahagia dengan agamamu?” tanyaku balik.
“Sama
sepertimu. Aku bahagia. Bahkan sangat bahagia. Tapi terkadang aku bersedih.
Miris. Aku melihat sorot mata mereka penuh kecurigaan. Juga ancaman.
Seolah-olah aku adalah bajingan,” jawabnya panjang. Ia menghela napas
sejenak. “Apa lagi aku mendengar berita pembunuhan atau perang Islam-Kristen.
Aku pasti menangis. Kita ini bersaudara. Kenapa kita harus saling menghabisi?”
imbuhnya lirih. Suara Sony terdengar parau.
“Kita
bersaudara. Aku saudaramu. Kamu saudaraku,” kataku menenangkannya. “Jika
Islam-Kristen masih saja bertengkar, maka pasti ada pihak ketiga yang
merencanakan. Bagaimana menurutmu?”
“Itu pasti.”
Pendek, Sony menjawab. Ia tampak tidak ingin melanjutkan perbincangan lagi. Dua
matanya terlihat lelah. Ia mengantuk. Ia akan tidur. Perbincangan kami
menggantung. Tapi tidak mengapa. Sebab, masih banyak waktu yang bisa kugunakan
untuk berdiskusi dengannya.
Malam terus
merambat. Pekatnya bikin ngeri. Gemintang ada, tapi tidak sesemangat biasanya.
Keresahan Sony adalah penyebabnya. Gemintang itu merasakannya.
Aku belum bisa
tidur. Aku masih memikirkan banyak hal. Mulai pertemuanku dengan Sony, menabrak
tubuh Rembulan, sampai persahabatanku yang lintas iman. Menurutku itu bukan hal
biasa. Sebab, sebelumnya aku seragam. Teman-temanku satu iman. Satu Tuhan.
Namun, kali itu aku menemukan kehidupan yang beda.
Dua mataku
mulai terasa lelah. Hening malam menjadi-jadi. Pintu-pintu kamar kosan juga
mulai mengatub. Jarum jam berhenti tepat di angka sebelas.
Aku melepas
beberapa harap. Di antaranya adalah, lintas iman bukan lagi menjadi alasan bagi
manusia untuk saling menghabisi. Aku melihat Sony sejenak. Ia pulas. Tapi isi
kepalanya tidak pernah berhenti bekerja. Hatinya tidak pernah berhenti
prihatin. Ketakutan itu masih ada.
Sony sahabatku.
Perlu kamu tahu. Apa pun yang kamu rasakan, aku juga merasakannya. Kegamangan
ini milik kita.
Selamat tidur.
Aku mengatubkan dua mata. Lalu gelap. Selebihnya aku hanya melihat Masjid,
Gereja, Pura, Wihara berdiri sejajar. Ramah. Meneduhi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar