Minggu, 23 Agustus 2020

Universitas Negeri Malang (II)


Pagi itu, aku terasa di dalam kulkas. Edan. Dinginnya tidak itung-itungan. Dingin di Kertosono karena angin tidak ada apa-apanya jika dibandingkan di kota itu. Rasanya semua darahku beku. Tapi tak mengapa, sebab itu bagian dari perjuangan. Kata Sonde. Teman yang kukenal di kereta.
Sonde sudah setahun hidup di Malang. Ia mewanti-wantiku supaya membawa jaket tebal. Sebab musim Maba sama dengan musim dingin di Malang. Suhu bisa turun sampai enam belas derajat. Biasanya terjadi pagi buta sama sore menjelang senja.
Pada mulanya aku menganggap itu berita hoax. Atau sekadar mengada-adakan bahan perbincangan. Tapi semuanya terbukti pagi itu. Andai saja, Sonde ada di depanku saat itu. Niscaya akan kukecup punggung tangannya. Takzim. Dan penuh pengharapan.
Aku berdiri gagah di depan tulisan besar: Universitas Negeri Malang. Selfy sepuas-puasnya. Dan mengigil seasu-asunya. Berikutnya, potoku sebagai peserta Ospek menghiasi dinding FB dan Instagram-ku. Rasanya, asik sekali. Aku seperti tidak punya tandingan. Aku juga merasa paling gaya. Aku juga merasa paling melankolis dan ganteng sendiri.
Waktu cepat berlalu. Jadwal Ospek sebentar lagi. Untuk opening ceremony, kata Sonde, biasanya upacara. Sambutan Pak Rektor. Dan pengumuman jumlah Maba yang diterima. Tapi kabar buruknya, aku mendadak malas untuk mengikuti semua acara formalitas itu.
Aku memutuskan untuk menunda berkumpul dengan yang lain. Sebab bersembunyi di balik pohon besar begitu nikmat. Aku dengan leluasa mengamati mereka yang culun itu. Begitu juga dengan Pak Rektor dengan orasi berapi-apinya.
Udara masih saja dingin, sentuhan lembutnya tidak berhenti menggoda pelupuk mataku. Aku bersandar. Dan tiba-tiba saja semua menjadi gelap.
***
Aku tergagap. Sebuah tangan hinggap di bahu kananku. Aku berdiri. Aku langsug hormat.
“Siap, Pak. Maaf, Pak. Saya ketiduran,” racauku cemas.
Tapi sedetik berikutnya, aku mendengar suara tawa yang tak terkontrol. Sepertinya pemilik suara itu sedang guling-guling di tanah. Dua tangannya menekan-nekan perutnya.
Aku bingung. Ia menyapa.
“Mas nglindur?”
“Tidak. Aku hanya latihan upacara.” Tenang, aku berkilah. Luberan iler di bawah bibir segera kusapu. Aku harus menghapus jejak tidurku. Tapi nyatanya, ia semakin serius tertawa. Aku salah tingkah.
“Tidak ikut upaca pembukaan?” tanyanya cepat.
“Tidak. Kamu?” Tanyaku balik. Ia nyengir.
“Sama. Aku bosan. Ditambah tadi tidak sarapan. Huft. Bakalan menyiksa jika ikut,” ujarnya malas.
Aku melirik postur tubuhnya. Ia gendut. Perutnya sedikit membesar. Napasnya suka ngos-ngosan jika bicara panjang.
“Kamu jurusan apa?” Aku bertanya.
“Sastra Indonesia. Aku Sony. Mas jurusan apa?”
“Choi.” Bangga aku mengenalkan namaku. “Aku ambil Sastra Arab.”
Tiba-tiba saja ia seperti menahan tawa. “Apa?” tanyanya heran.
“Ah. Kamu pasti tidak percaya, kan?” aku menghela napas sejenak. “Jangankan kamu, guruku saja hampir pingsan ketika mendengar aku ambil jurusan ini. Ha ha ha.” Aku terbahak. Ia juga. Kami kompak tertawa.
“Kamu dari mana?” Ia bertanya asalku.
“Nganjuk,” jawabku cepat. “Kalau kamu?”
“Bali!” jawabnya sambil berseru. Alisku bereaksi.
Wow. Jauh sekali.”
Aneh. Ia tersenyum mencurigakan. Aku jadi curiga. Jangan-jangan ia berbohong. Dugaku dalam hati.
Ia menatapku lekat-lekat. Ia seperti menangkap kecurigaanku.
“Iya. Jauh. Jauh sekali. Ba.. Balitar. Ha ha ha.” Tawanya meledak. Dan aku telat mengikutinya.
Edan. Kamu kos di mana?”
“Jalan Semarang. Kamu?”
“Terusan Surabaya. Terus kamu punya ide apa untuk acara kabur ini?” tanyaku.
“Bagaimana kalau ngopi saja?”
Aku kegirangan. Sebab ngopi adalah kesukaanku. Apa lagi jika dibayarin.
“Di mana?” sahutku cepat.
“Kata temanku, di ujung kampus ini ada warung kopi asik. Namanya Warung Sastra.” Sambil menunjuk sebuah tempat, ia menguraikan tempat kami berencana ngopi.
“Jauh?”
“Dekat. Kita berangkat sekarang. Ntar kita keburu ditangkap panitia Ospek.” Ia berdiri. Kemudian melangkah. Seperti punya sambungan yang sama, aku pun melakukan apa yang ia lakukan. Kami berjalan beriringan. Langkah kami sepertinya juga mirip. Kami seperti mempunyai intuisi yang sama. Aku bersyukur. Dalam kebandelan seperti itu, Tuhan mengirimkan seorang teman yang bermisi sama denganku.
Aku melirik ia sejenak. Ada masa depan yang tergambar di atas kepalanya. Dan aku menyadari, aku telah menyukainya. Aku hadiahi ia sebuah senyum. Tapi ia tak melihatnya.
“Son ...”
“Iya.” Ia menyahut cepat.
“Kenapa kamu mengambil jurusan Sastra Indonesia?”
“Aku mencintai puisi dan novel. Aku ingin menikahinya. Bahkan aku jatuh cinta kepada keduanya sejak kelas satu SMP,” urainya serius. Meski yang kutangkap ia sedang membuat lelucon.
“Jika begitu, kamu sedang mencita-citakan apa?”
“Aku ingin menjadi penyayi Gereja.”
“Hah? Apa? Kamu sedang bercanda, Son?”
“Jelas tidak, dong! Coba bayangkan. Seorang penyanyi Gereja menikah dengan puisi dan novel. Keren, kan?” jelasnya penuh semangat. Ia tampak ngos-ngosan lagi. “Tapi masalahnya, napasku suka terputus. Aku kelebihan muatan. Sebab itu, cita-cita menjadi penyanyi Gereja segera kubatalkan saat ini juga. Ha ha ha.”
Aku hampir saja terjungkal. Orang gendut di sebelahku membuatku tertawa tak terkontrol.
“Kamu tahu, Son? Kenapa negara ini memiliki desa Sukamiskin?”
Ia terkejut. Heran. Lalu menggeleng. “Tidak.”
“Ha ha ha. Aku juga tidak tahu.”
“Lalu, apa bedanya lelucon dengan kejayusan?” tanyanya ganti.
“Seperti aku dan kamu. Kamu lucu. Aku jayus,” jawabku sambil masih terbahak.
“Jangankan omonganmu, penampilanmu saja jayus. Ha ha ha”
Aku terdiam. Sebab, aku semakin menyukainya.
Kami sudah sampai di tempat tujuan. Warung itu tampak ramai. Tidak peduli dengan agenda Ospek. Menurutku, mereka bukan hanya mahasiswa. Tapi juga ada dari kalangan dosen dan pegawai kampus. Duduk mereka rapi. Berputar. Atau duduk dua-dua berhadapan. Mayoritas mereka adalah perokok dan penikmat kopi. Asbak-asbak yang ada di meja menyembul. Penuh isi. Di lepek dekat cangkir juga ada kopi yang kental. Mereka bilang itu namanya cette.
Kami masuk. Sony menuju kasir. Sebab aturannya pesan langsung bayar. Selebihnya kami menunggu pesanan datang.
Sony memesan dua cangkir kopi tanpa bertanya padaku. Sebab menurutnya, wajahku menggaris kopi. Hitam pekat. Orang Jawa bilang: kumus-kumus. Beda dengan Sony. Wajahnya gembul, tapi putih. Sedap dipandang mata. Ia terlihat seperti habis cuci muka. Bawaan orok kadang memang suka tidak adil. Teriakku lantang dalam hati.
“Aku tahu kamu suka kopi. Sebab itu, aku tidak perlu bertanya kamu pesan apa.” Sony tergelak. Air liurnya sedikit muncrat. Aku hanya bisa mengangguk pelan.
“Bagaimana kamu bisa tahu, Son?” tanyaku. Ia menggerakkan bahu.
“Ini dan ini,” jawabnya sambil menunjuk kepala dan dada.
“Apa itu maksudnya?” tanyaku polos.
“Kepala. Tepatnya isi kepala membuat stereotip. Sementara intuisi mempertimbangkan dan kemudian memutuskan. Aku lihat wajahmu sehitam serbuk kopi,” jelasnya serius. “Itu kata temanku.” Sony tertawa lagi.
“Biar kutebak. Kamu mendengar dari temanmu. Benar, kan?” todongku.
“Iya, Choi. Tapi aku paham. Intinya adalah kepala itu kebak dengan persepsi. Sementara hati mengandalkan rasa atau intuisi. Persepsiku sesuai yang kulihat. Hitam. Pekat. Tapi ini sifatnya bercanda. Tidak boleh emosi, Choi,” urainya.
Aku membuat jeda. Sementara Sony sibuk membetulkan duduknya. Ia juga tampak akan berdiri. Membetulkan celananya yang amburadul. Perut besarnya seperti akan meledak.
Pesanan siap diambil. Kasir meneriakkan nomor pesanan kami. Sony merespon dengan cepat. Ia berdiri. Lalu berlalu dari meja.
Aku mengamatinya baik-baik. Benar. Ada intuisi di sana. Ada kesamaan di sana. Ia temanku. Ia sahabatku. Kelak, aku tidak akan terpisahkan dengannya.
Di SMA, aku tidak pernah mendapat pelajaran filsafat. Yang ada hanya tokoh-tokoh politik dan pakar hukum tata negara semisal Thomas Hobbes, Jhon Lock, JJ. Rosoe, dan yang paling tua adalah Aristoteles. Aku tidak mendengar sedikit pun tentang Al Ghazali atau Ibnu Rhusyd, yang keduanya terlibat argumen panas soal intuisi.
Aku mengenal mereka dari bacaan yang kudapat dari seorang teman. Ia penggila filsafat. Ia pemuja Ibnu Rhusyd dan Ibnu Shina tapi ia kurang simpati dengan Al Ghazali. Bagiku itu lumrah. Tidak jadi soal. Pendapat bisa berbeda.
Ia teman yang baik, katanya, “Al Ghazali adalah filosof yang tiada tanding. Kekuatan intuisinya tidak ada yang menyaingi. Ia sekelas dengan Syekh Abdul Qadir Al Jilani. Tapi beda wilayah ilmu.”
Aku hanya bisa mengangguk. Sebab aku tidak paham. Al Ghazali bagiku adalah sekadar nama yang silih berganti mampir di telingaku. Aku tidak tahu siapa ia. Ia di mana. Atau bagaimana pandangan hidupnya.
“Baca buku ini, Choi. Kamu akan tahu siapa Al Ghazali.” Ia menyerahkan buku itu. Aku baca. Dan tema besarnya adalah: Kekuatan Intuisi.
Sony dan aku memang makhluk asing. Kami sama-sama terdampar di dermaga ilmu. Jalur kami beda. Tapi intuisi kami sepertinya sama. Tarik-menarik. Saling mengisi dan mengenal.
Sony kembali dengan dua cangkir kopi.
“Bagaimana kamu menjelaskan tentang intuisi?” todongku cepat saat ia belum sempat mendudukkan bokongnya.
“Lihat kopi ini!” pintanya
“Ada apa dengan kopi?’ tanyaku balik.
“Kenapa kamu bisa suka?”
“Karena rasanya enak.” Cepat, aku menjawab pertanyaannya.
“Itulah intuisi. Kopi itu enak. Tapi tidak semua manusia meminumnya. Sebab mereka tidak memiliki intuisi untuk rasa kopi. Sederhananya seperti itu,” jelas Sony tenang. Tapi membuat kepalaku sedikit pening.
“Sudahlah. Pusing kepalaku mendengar tentang intuisi. Mending menikmati kopi,” tukasku. Sony mengangguk. Dan tersenyum ringan.
Warung Sastra semakin bertambah pengunjungnya. Warung itu tidak mengenal libur panjang. Sebab, baik hari masuk maupun libur warung itu tetap ramai pengunjung.
Aku menuangkan kopi ke lepek. Aku isap dalam-dalam aroma kecenya. Aku melayang. Benar kata Sony, mencintai kopi harus dengan intuisi. Sony melirikku sejenak. Ada senyum senang tercipta dari bibirnya.
Menit terlewat. Aku melihatnya. Mereka berjumlah dua orang. Mengambil duduk tepat di depanku. Sony cuek. Tidak peduli. Tapi dua mataku tidak bisa lepas dari mereka. Padahal aku tahu, tidak ada yang aneh atau spesial dari dua orang itu.
Tiba-tiba saja aku berkalimat. Lirih. Hampir tak bersuara. Kalimat itu tentang intuisi. Ya. Itu tentang intuisi. Aku meneriakkannya dalam hatiku. Kencang. Berapi-api. Seperti bisikan gaib. Aku mendengarnya. Aku merasakannya. Kelak, dua manusia itu akan dekat denganku. Begitu katanya.
Sony melihatku tajam.
“Ada apa, Choi?”
“Aku mulai percaya jika intuisi itu memang nyata. Ada. Aku merasakannya,” jawabku berapi-api. Penuh semangat. Tapi Sony seperti membeku. Ia tampak tidak peduli sedikit pun dengan apa yang baru saja aku ungkapkan.
“Apa yang kamu rasakan?” ia bertanya lagi.
“Lihat. Dua orang itu. Hatiku mengatakan mereka akan menjadi penggenap kita.” Lirih, aku menjawab pertanyaannya.
“Ha ha ha. Kamu pandai juga berpuisi, Choi.” Sony tertawa lebar. Tubuh gendutnya membuat gempa di meja kami.
“Ini tentang intuisi, Son. Kamu yang mengenalkan padaku. Tapi kenapa kamu bisa ingkar sekarang, hah?”
“Aku percaya intuisi. Sangat percaya. Tapi ya harus logis. Tapi tidak ada salahnya juga kamu berandai-andai,”
Yowes. Mumet sirahku mungsuh wong sastra,”[1] tukasku.
Sony memilih menuang kopi ke lepek.
Ada keheningan di antara kami. Tapi, hari itu menjadi hari yang sangat spesial bagiku. Di hari yang sedang malas-malasnya mengikuti serangkaian kegiatan wajib bagi Maba, Tuhan mengirimkan Sony. Dengan intuisi yang sama.
Tidak terasa, jarum jam di WS; singkatan dari warung sastra, sudah menunjukkan pukul sebelas siang. Jagongan di warung itu memang mengasikkan. Dua orang yang kutuduh memiliki intuisi yang sama denganku masih juga belum beranjak. Aku melirik yang ada di meja mereka. Kudapati dua gelas kopi yang sudah kosong. Asbak yang tampak akan muntah serta kulit kacang goreng yang menghambur tak karuan.
Keduanya seperti tidak memiliki waktu sebagai pembatas kegiatan. Biarlah waktu berjalan sebagaimana semestinya. Tapi ia tidak akan pernah bisa menjadi penghitung berapa lama mereka harus bertukar cerita di warung itu.
Aku sudah tidak bisa menahan diri. Aku berdiri. Lalu duduk satu meja dengan mereka.
“Boleh gabung?” tanyaku sok akrab. Keduanya kompak mengangguk. Sementara Sony menggelengkan kepalanya pelan. Geraknya menunjukkan tingkat ketidakpercayaan terhadap apa yang aku lakukan.
“Silakan.
“Mas juga Maba?” tanyaku lagi.
“Iya. Maba. Mahasiswa basi. Ha ha ha,” mereka tertawa lepas. Aku seperti orang bingung. “Aku Riyan,” salah satu dari mereka mengenalkan diri. Uluran tangannya kuraih dengan cepat.
“Choi,”
“Raka.”
“Choi. Jurusan apa, Mas?” tanyaku tak bosan.
“Matematika. Kamu?”
Sarab!
Keduanya lalu saling pandang. Lalu terbengong. Dahi mereka juga bikin aksi.
“Memangnya, ada di UM jurusan itu?” tanya Raka penasaran. Aku menyimpan senyum. Wajah seriusku terpaksa kubuat mendominasi.
“Ada. Buktinya aku!”
“Lalu masuk fakultas apa?” tanya Riyan tak kalah penasaran.
“Sarab alias Sastra Arab. Ha ha ha.” Tertawa, aku menjawab penasaran mereka.
Lalu jeda. Disusul tawa mereka. Renyah.
Sontoloyo!” seru Raka.
“Kalau Mas Raka jurusan apa?”
“Sama dengan Riyan. Aku ambil matematika.”
“Semester?”
“Genap. Semester dua. Kamu pasti Maba?”
“Benar.”
“Kabur?”
“Iya.” Bangga, aku menjawabnya.
“Ha ha ha. Raka, kita punya penerus. Generasi yang bisa diandalkan. Puji Tuhan. Puji Tuhan.”
Aku terbengong mendengar kalimat Riyan.
“Kos di mana?” Raka bertanya.
“Jalan Terusan Surabaya. Kalau Mas Raka?”
“Barangkali kita seumuran. Tidak perlu ada embel-embel ‘Mas’. Panggil saja Raka. Aku dan Riyan ngontrak di Jalan Veteran. Dekat masjid. Kami hanya dua orang. Kebetulan, kontrakan kami naik harga. Kami butuh pesonil. Mungkin saja kamu berminat.”
“Wah. Sayang sekali. Aku sudah terlanjur membayar kos satu semester. Atau begini saja, jika satu semester belum ada yang gabung, maka aku gabung. Bagaimana?”
“Setuju. Boleh. Itu siapa?” tanya Raka sambil menunjuk Sony yang matanya hampir mengatub.
“Ia temanku. Maba. Baru kenal. Mungkin ia mau diajak gabung. Coba, nanti biar aku ngomong dengannya.”
“Baiklah. Aku tunggu kabar dari kamu,” tukas Raka.
Aku mengangguk. Kemudian kami bertukar nomor telepon. Sony hanya melirikku sebentar. Kemudian kembali asik terkantuk-kantuk.
Aku pamit dan berlalu dari Raka dan Riyan. Mereka melepasku senang. Barangkali, aku adalah dewa penolong bagi mereka.
Intuisi. Benar. Itu adalah intuisi. Tangan yang mengayun. Kaki yang melangkah. Bibir yang menyapa adalah produk intuisi yang kadang manusia kurang memahaminya.
Aku menemukan intuisi itu dalam diri Raka dan Riyan. Tebakanku mendekati kenyataan. Mereka tidak akan terpisahkan denganku.
“Son. Menurutmu, kita pulang apa ikut agenda ospek?” tanyaku sambil menepuk bahu kanannya. Sony tergagap.
“Luna Maya!” serunya kencang. Beberapa manusia di WS sempat mengarahkan pandangan mereka kepada Sony, dan tentunya juga kepadaku.
“Kampret. Nglindur!” Aku berseru. Sony sibuk mengusap ilernya yang meluber. Sebagian juga sudah ada yang berpindah ke lengan bajunya. Uh. Menyedihkan sekali. Tapi Sony malah tertawa lebar. Seperti tidak sedang terjadi apa-apa. Gila. Menurutku Sony gila. Tapi mungkin saja aku yang gila. Masak iler saja diributin. Iya juga, sih. “Piye? Pulang apa ikut agenda ospek?” Aku mengulangi pertanyaanku.
“Pulang saja, Choi. Paling ya cuma pengarahan-pengarahan dari pejabat fakultas. Dan perlu kamu tahu, kegiatan itu sungguh sangat membosankan.” Malas, Sony memberi jawaban kepadaku. “Kamu bisa main PS?” tanyanya tiba-tiba.
“Bisa.” Cepat, aku menyahut Sony.
“Kita sewa PS saja bagaimana, hah?” Sony membuat ajakan yang sangat menggiurkan. Memang, PS atau yang kepanjangannya playstation itu sudah kugilai sejak aku SMP. Dulu, saat pulang sekolah, aku suka berlama-lama di persewaan PS. Menyewa? Tidak. Lalu? Menonton yang lagi menyewa. Lalu keuntungannya adalah, ketika detik mendekati NOL dan televisi sebentar lagi padam, maka aku bisa memegang stiknya. Kala dulu, kegiatan itu sangat menyenangkan. Meski saat ini aku tahu, jika itu sangat menjijikkan. Tapi aku tidak salah ketika itu. Sebab, selain aku tidak mampu membeli PS, uang sakuku hanya cukup untuk membeli timus dan es teh. Tragis. Tapi, ya sudahlah. Memang begitu takdirnya. Ujarku menenangkan hatiku yang sedang menggelar konser.
“Setuju. Kita berangkat sekarang?”
“Tidak. Tapi tahun depan!” seru Sony sambil melangkah meninggalkan WS. Wajahnya menadadak bundar. Di permukaannya seperti ada kepiting baru saja direbus. Aku memilih untuk membungkam mulutku. Sebab aku takut, ketawaku tidak terkontrol. Lalu akan dituduh sebagai penghinaan terhadap Sony. Tidak. Aku tidak ingin itu.
Sony melangkah pelan. Tapi lebih cepat dari siput. Jika dihitung, Sony 2% lebih cepat dari laju siput. Sebuah pencapaian yang Mahadahsyat.
Seperti kebanyakan harapan orang, hari pertama ospek adalah pengalaman yang tidak pernah bisa tergantikan. Sebab, mulai hari itu, masa depan mulai dipatok. Diberikan sketsa. Diberi gradasi. Tapi menurutku, tidak seperti itu keadaannya. Bagiku, masa depan itu sebuah keniscayaan. Tidak perlu dibuatkan sketsa. Atau diberi gradasi yang tebal. Masa depan itu akan menjemput kita. Tinggal seberapa siap kita menjawab jemputan itu.
Kami sudah menjauh dari kampus. Ingar-bingar gelak tawa dan rasa bangga dari para Maba sudah enyah dari telinga kami. Berganti deru keramaian rental PS yang hari itu begitu penuh sesak dengan pengunjung. Rata-rata adalah mahasiswa yang sudah bosan berkunjung ke kampung halaman. Jadi, masa liburan dihabiskan di sana. Kata Sony, mereka kebanyakan berasal dari luar Jawa. Pulang mereka setahun sekali. Tapi, sebagian dari mereka memilih tidak pulang.
Kami menyewa satu televisi. Ukurannya 19 inci. 2012 sudah ada PS 3. Ia penggila bola. Dan kebetulan sama sepertiku. Klub favoritnya adalah AS Roma. Sementara aku sudah jatuh cinta dengan FC Barcelona sejak dahulu kala. Tiga pertandingan pertama, Sony kubuat meradang. Klub jagoannya seperti ayam sayur. Sesuai kesepakatan, kami menyewa selama tiga jam.
***


[1] Ya sudah. Pusing kepalaku bicara dengan orang sastra.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mengapa Saya Lebih Memilih Ikut Perlombaan Burung Lovebird?

  Mengapa Saya Lebih Memilih Ikut Perlombaan Burung Lovebird? Di tengah hiruk-pikuk kehidupan modern yang penuh tekanan dan tuntutan, mencar...