Minggu, 23 Agustus 2020

Universitas Negeri Malang (I)


Ketika itu April. 2012. Papan pengumuman sekolah memasang namaku: Muhammad Choirul Riza. Delapan puluh persen temanku, memanggilku Choi. Sisanya Riza. Aku lebih suka dipanggil Choi. Sebab, panggilan itu hanya satu di sekolah. Sementara Riza, jumlahnya lebih dari lima anak. Lagi pula, Choi juga panggilan seorang politikus. Lumayan. Bisa sedikit ikutan tenar.
***
Sekolahku terletak di pusat kota Kertosono. Berada di jalur Surabaya-Jakarta. Sekolahku bukan ramai sebab manusia, tapi ramai karena bising suara bus yang sedang beradu cepat.
Sekolahku berjudul: SMA Negeri Kerotosono. Atau disingkat menjadi SMAKER. Pada saat kelas tiga, aku terdampar di jurusan IPS. Padahal ketika itu, aku ingin sekali bergabung dengan kelas IPA. Biar disangka anak genius.
Aku menatap lekat-lekat namaku yang tercetak di papan pengumuman. Barangkali aku salah baca. Atau mungkin juga salah cetak. Tapi tidak. Itu memang benar namaku, lengkap dengan nama jurusan dan kampus yang menjadi tujuanku. Ketika itu aku ikut program jalan Tol. Terabasan. Sebab aku tidak ikut ujian tulis yang musti sibuk mencari tempat menginap. Tidak. Aku tidak ikut program yang menyesakkan dada itu.
Namanya adalah program Bidik Misi. Sebab kebetulan saja, nilai raporku tidak terlalu memprihatinkan. Rata-rata tujuh lebih. Ah, aku bisa menepuk dada. Meski aku terbatuk setelahnya.
Ada cerita menarik tentang pilihan jurusanku. Pagi itu, aku bertekad bulat untuk datang ke ruang BP. Sebab di sana adalah tempat pengambilan formulir pendaftaran Program Bidik Misi.
Aku mengetuk pintu. Orang-orang yang ada di dalam terkejut. Sebagian dari mereka ada yang terbengong setelah aku mengutarakan niatku untuk kuliah. Sumpah. Mereka tidak sepenuhnya percaya. Barangkali sebuah keajaiban aku bisa kuliah. Sadis sekali pikiran mereka ketika itu.
Mereka bertanya kepadaku tentang jurusan yang kuambil. Aku menghela napas sejenak. Kemudian kujawab dengan tegas. “Saya mengambil jurusan Sastra Arab.”
Rasa-rasanya kantor BP itu sedang terkena gempa mahadahsyat. Kantor juga terasa akan rubuh. Para penghuninya seperti berhamburan keluar. Sekali lagi, mereka butuh orang pintar agar mereka yakin jika aku mengambil jurusan Sastra Arab.
“Kuliah di mana?” tanya Pak Yudi. Guru BP yang kepalanya mulus. Wajahnya lumayan ganteng. Tapi telat menikah. Sampai aku kelas tiga, beliau masih bujang.
“Universitas Negeri Malang, Pak,” jawabku tegas. Mantab. Tapi anehnya, orang di sebelah Pak Yudi malah tersenyum curiga. Aku seperti dipandang sedang menghabiskan waktunya. Maka kubantah segera. “Saya serius, Pak. Saya ingin kuliah. Saya ingin bekerja di Timur-Tengah. Sebab gaji di sana selangit.” Aku atur napasku lagi. Tapi mereka masih menyisakan senyum. Entah heran. Entah merasa lucu dengan alasanku. Aku tidak tahu. Sebab yang terpenting aku sudah mendapatkan apa yang kumau: Formulir Bidik Misi.
***
Hari itu, hari Jumat. Namaku ada di sana. Semua pegawai di BP berebut mengecek namaku. Mereka berharap sedang bermimpi. Tapi nyatanya tidak. Aku menang. Yes. Aku menang. Pak Yudi kuhadiahi senyum seksi. Setelah itu, aku mengadakan pesta kemenangan. Lima teman akrabku kutraktir soto. Satu orang satu mangkuk. Lengkap dengan es teh-nya. Mereka mengangguk girang. Tapi itu hanya upacara menghiburku. Sebab aku tahu. Soto tidak pernah menjadi daftar menu saat perayaan di sekolah. Ah. Peduli setan, kataku.
Memang. Di sekolah, aku memiliki lima teman akrab, yang derajatnya sudah mencapai sahabat. Mereka adalah Doni, Siska, Cristin, Fres, dan Rani. Dua laki-laki, empat perempuan. Namun setelah kami meninggalkan sekolah, kami terpisah. Kami sibuk dengan masa depan kami. Aku menyesal. Tapi kuanggap itu bagian dari skrip indah hidupku. Sebab Tuhan Maha Asik.
***
Waktu merambat sangat cepat. Arogan. Sak karepe dewe. Tiba-tiba saja aku sudah duduk anteng di deretan kursi stasiun. Semua peristiwa yang terjadi semasa SMA menguap seperti kentutku siang itu.
Sepertinya aku sedang masuk angin. Barangkali juga akibat rasa nerveous yang menghantamku kuat-kuat. Maklum. Aku tidak pernah pergi-pergi sebelumnya. Apa lagi aku harus naik kereta. Ah. Itu seperti mimpi.
Jadwal keretaku jam satu. Sementara saat itu sudah jam satu kurang sepuluh menit. Sebentar lagi aku akan berlayar. Menjemput badai. Kemudian hidup dengan pelangi. Itu angan-anganku.
Aku masih berangan-angan saat suara kereta memenuhi stasiun. Rapih Dhoho. Itu nama keretanya. Aku bergegas naik. Dan duduk di kursi yang bernomor sama dengan nomor yang ada di tiket.
Aku semakin gelisah. Aku kentut lagi. Kali ini baunya mirip pindang. Penumpang di sebelahku belingsatan. Ia berusaha mencari sumber bau itu. Aku segera mengatubkan mata. Aman.
Kereta berangkat. Malang begitu dekat di mata.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mengapa Saya Lebih Memilih Ikut Perlombaan Burung Lovebird?

  Mengapa Saya Lebih Memilih Ikut Perlombaan Burung Lovebird? Di tengah hiruk-pikuk kehidupan modern yang penuh tekanan dan tuntutan, mencar...