Ketika itu
April. 2012. Papan pengumuman sekolah memasang namaku: Muhammad Choirul Riza.
Delapan puluh persen temanku, memanggilku Choi. Sisanya Riza. Aku lebih suka
dipanggil Choi. Sebab, panggilan itu hanya satu di sekolah. Sementara Riza,
jumlahnya lebih dari lima anak. Lagi pula, Choi juga panggilan seorang
politikus. Lumayan. Bisa sedikit ikutan tenar.
***
Sekolahku
terletak di pusat kota Kertosono. Berada di jalur Surabaya-Jakarta. Sekolahku
bukan ramai sebab manusia, tapi ramai karena bising suara bus yang sedang
beradu cepat.
Sekolahku
berjudul: SMA Negeri Kerotosono. Atau disingkat menjadi SMAKER. Pada saat
kelas tiga, aku terdampar di jurusan IPS. Padahal ketika itu, aku ingin sekali
bergabung dengan kelas IPA. Biar disangka
anak genius.
Aku menatap
lekat-lekat namaku yang tercetak di papan pengumuman. Barangkali aku salah
baca. Atau mungkin juga salah cetak. Tapi tidak. Itu memang benar namaku,
lengkap dengan nama jurusan dan kampus yang menjadi tujuanku. Ketika itu aku
ikut program jalan Tol. Terabasan. Sebab aku tidak ikut ujian tulis yang musti
sibuk mencari tempat menginap. Tidak. Aku tidak ikut program yang menyesakkan
dada itu.
Namanya adalah program
Bidik Misi. Sebab kebetulan saja, nilai raporku tidak terlalu memprihatinkan.
Rata-rata tujuh lebih. Ah, aku bisa menepuk dada. Meski aku terbatuk
setelahnya.
Ada cerita
menarik tentang pilihan jurusanku. Pagi itu, aku bertekad bulat untuk datang ke
ruang BP. Sebab di sana adalah tempat pengambilan formulir pendaftaran Program
Bidik Misi.
Aku mengetuk
pintu. Orang-orang yang ada di dalam terkejut. Sebagian dari mereka ada yang
terbengong setelah aku mengutarakan niatku untuk kuliah. Sumpah. Mereka tidak
sepenuhnya percaya. Barangkali sebuah keajaiban aku bisa kuliah. Sadis sekali
pikiran mereka ketika itu.
Mereka bertanya
kepadaku tentang jurusan yang kuambil. Aku menghela napas sejenak. Kemudian kujawab dengan tegas. “Saya
mengambil jurusan Sastra Arab.”
Rasa-rasanya
kantor BP itu sedang terkena gempa mahadahsyat. Kantor juga terasa akan rubuh.
Para penghuninya seperti berhamburan keluar. Sekali lagi, mereka butuh orang pintar agar mereka yakin jika aku
mengambil jurusan Sastra Arab.
“Kuliah di
mana?” tanya Pak Yudi. Guru BP yang kepalanya mulus. Wajahnya lumayan ganteng.
Tapi telat menikah. Sampai aku kelas tiga, beliau masih bujang.
“Universitas
Negeri Malang, Pak,” jawabku tegas. Mantab. Tapi anehnya, orang di sebelah Pak
Yudi malah tersenyum curiga. Aku seperti dipandang sedang menghabiskan
waktunya. Maka kubantah segera. “Saya serius, Pak. Saya ingin kuliah. Saya
ingin bekerja di Timur-Tengah. Sebab gaji di sana selangit.” Aku atur napasku
lagi. Tapi mereka masih menyisakan senyum. Entah heran. Entah merasa lucu
dengan alasanku. Aku tidak tahu. Sebab yang terpenting aku sudah mendapatkan
apa yang kumau: Formulir Bidik Misi.
***
Hari itu, hari
Jumat. Namaku ada di sana. Semua pegawai di BP berebut mengecek namaku. Mereka
berharap sedang bermimpi. Tapi nyatanya tidak. Aku menang. Yes. Aku
menang. Pak Yudi kuhadiahi senyum seksi. Setelah itu, aku mengadakan pesta
kemenangan. Lima teman akrabku kutraktir soto. Satu orang satu mangkuk. Lengkap
dengan es teh-nya. Mereka mengangguk girang. Tapi itu hanya upacara
menghiburku. Sebab aku tahu. Soto tidak pernah menjadi daftar menu saat
perayaan di sekolah. Ah. Peduli setan, kataku.
Memang. Di
sekolah, aku memiliki lima teman akrab, yang derajatnya sudah mencapai sahabat.
Mereka adalah Doni, Siska, Cristin, Fres, dan Rani. Dua laki-laki, empat perempuan.
Namun setelah kami meninggalkan sekolah, kami terpisah. Kami sibuk dengan masa
depan kami. Aku menyesal. Tapi kuanggap itu bagian dari skrip indah hidupku.
Sebab Tuhan Maha Asik.
***
Waktu merambat
sangat cepat. Arogan. Sak karepe dewe. Tiba-tiba saja aku sudah duduk anteng
di deretan kursi stasiun. Semua peristiwa yang terjadi semasa SMA menguap
seperti kentutku siang itu.
Sepertinya aku
sedang masuk angin. Barangkali juga akibat rasa nerveous yang
menghantamku kuat-kuat. Maklum. Aku tidak pernah pergi-pergi sebelumnya. Apa
lagi aku harus naik kereta. Ah. Itu seperti mimpi.
Jadwal keretaku
jam satu. Sementara saat itu sudah jam satu kurang sepuluh menit. Sebentar lagi
aku akan berlayar. Menjemput badai. Kemudian hidup dengan pelangi. Itu angan-anganku.
Aku masih
berangan-angan saat suara kereta memenuhi stasiun. Rapih Dhoho. Itu nama
keretanya. Aku bergegas naik. Dan duduk di kursi yang bernomor sama dengan
nomor yang ada di tiket.
Aku semakin
gelisah. Aku kentut lagi. Kali ini baunya mirip pindang. Penumpang di sebelahku
belingsatan. Ia berusaha mencari sumber bau itu. Aku segera mengatubkan mata.
Aman.
Kereta
berangkat. Malang begitu dekat di mata.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar