Anggoro mencoba
melacak keberadaan Bani Katimin. Sejak sore kemarin, ia sibuk membongkar
tumpukan catatan yang ada di meja Lek Kijo; Sang Guru Sejati. Di catatan
tersebut, banyak sekali nama yang diabadikan oleh Lek Kijo. Tapi anehnya, nama
Bani Katimin tak ada di sana. Lek Kijo seperti sengaja mengubur dalam-dalam
sahabatnya itu. Ia tidak ingin, siapa pun yang punya pertalian erat dengannya
bersinggungan dengan Bani Katimin. Meski Bani Katimin sudah salah jalan, namun
Lek Kijo tetap memberikan tempat di hatinya. Sejak dulu, Lek Kijo memang
begitu. Derajat kebegawanannya membuat diri Lek Kijo bersih dari hiruk pikuk
sampah hati.
Sejak Lek Kijo datang
lagi di mimpinya serta sabdanya tentang Bani Katimin yang akan berulah lagi,
Anggoro tidak bisa diam seperti biasanya. Seringkali ia memangkas waktu
samadinya. Ia bertekad untuk mencari tahu siapakah sebenarnya Bani Katimin.
Namun senja yang terus berganti, tak membuat Anggoro segera mendapatkan apa
yang diinginkan.
***
Pagi yang ramai.
Tlatah Jembar dikepung penghuni semesta. Cericit Kepodang bercampur derit pohon
sengon memenuhi jagad tanah para Begawan itu. Hilir mudik manusia penangkap
embun juga turut menggenapi keramaian pagi itu. Sinar mentari yang datang
malu-malu tidak mengurangi kehangatan derap kaki mereka. Irama langkahnya
teratur dan runtut. Tlatah Jembar menjelma surga.
Keramaian pagi itu
semakin sempurna tatkala Koran Nasional Tlatah Jembar membuat headline:
Koalisi Aksi Menyelamatkan Tlatah Jembar. Hampir semua masyarakat tlatah itu
terlonjak heran. Para Begawan saling berbisik. Para Ndoro mendadak mengadakan
rapat terbatas. Tidak ketinggalan Begawan Adiyoso merespon dengan memanggil
Ndoro Ngab-Ngab untuk segera ke Balai Agung Kasepuhan. Pemimpin tertinggi
Tlatah Jembar itu ingin segera tahu peta pergerakan dan tujuan koalisi itu
dibentuk. Tentu saja, Ndoro Ngab-Ngab akan melaporkan temuan telik sandi
andalannya dengan sedetail-detailnya.
Beberapa saat yang
lalu, saat kedua tokoh bangsa itu bertemu, Ndoro Ngab-Ngab sudah menyampaikan
kepada Begawan Adiyoso bahwa orang-orang yang dulu mendukung dirinya dalam
pemilu akan berulah. Mereka masih belum bisa meneria dua hal, pertama,
kekalahan Ndoro Ngab-Ngab, dan kedua adanya koalisi antara Begawan Adiyoso dan
Ndoro Ngab-Ngab dalam pemerintahan. Menurut mereka, Ndoro Ngab-Ngab telah
murtad dari sabda suci Begawan Sukmabrata yang mereka kultuskan.
***
Anggoro juga
mendengar kabar terbentuknya koalisi penyelamat itu. Namun ia sangat terkejut
ketika nama Bani Katimin tidak ada di dalam koalisi. Lalu mereka siapa? tanya
Anggoro kepada angin. Benaknya juga membuat dugaan yang macam-macam. Mungkin
saja perkataan gurunya kali ini salah. Ilham tentang munculnya kembali Bani
Katimin ternyata hanya isapan jempol. Ia menggumam gurunya berkali-kali.
Namun saat bersamaan,
Sang Guru tiba-tiba saja berada di depannya. Anggoro seketika saja bersujud.
Memohon ampun atas keruh hatinya. Lek Kijo hanya melempar senyum. Baginya,
ketidakmengertian Anggoro adalah hal yang sangat lumrah. Masih panjang jalan
yang harus ia tempuh untuk sampai pada derajat waskita seperti dirinya.
“Bani Katimin memang
tidak ada di sana. Tapi panggung mereka sama. Ini hanya masalah waktu. Cepat
atau lambat, Bani Katimin akan menampakkan wujudnya. Ia akan terus mendengungkan
nama Begawan Sukmabrata.” Tenang dan penuh wibawa, Lek Kijo mulai menjawab
keresahan murid kinasihnya itu. “Orang-orang di koalisi itu memang sudah tidak
butuh Bani Katimin, tapi mereka masih segan dengan Begawan Sukmabrata. Dan
Begawan Sukmabrata ini masih mendengar apa yang disuarakan oleh Bani Katimin,”
lanjut Lek Kijo sambil melepas kain putih yang melingkari bahunya.
Anggoro tergagap. Ia
melihat keajaiban pagi itu. Lek Kijo bisa disentuh. Dua kaki kukuhnya juga
menyentuh tanah. Girang hatinya tidak mampu ia bendung. Sehingga segera saja ia
memeluk gurunya itu dengan sangat erat dan lama sekali.
“Aku kembali ke fana
ini. Sang Hyang Tunggal memberiku izin untuk menanggalkan baju muksaku. Aku
akan di ambin ini. Bersamamu. Membaca pertanda semesta.”
“Sampai kapan, Guru?”
tanya Anggoro cepat. Ia merenggangkan pelukannya sambil beringsut mundur.
Tubuhnya gemetar. Ia tampak sangat tidak siap mendengar jawaban gurunya.
“Sampai Bani Katimin
muksa bersamaku!”
“Sebenarnya siapa
Bani Katimin itu, Guru?” Anggoro melepas semua rasa penasarannya selama ini.
“Ia dan aku sama-sama
terlahir sebagai Begawan. Guratan takdir kami sama. Anugerah yang kami miliki
sama. Jika aku sudah sampai pada derajat waskita, semestinya ia juga begitu.
Tapi sayang, ia masih saja merawat penyakit hati. Sehingga jalannya akan
semakin panjang, bahkan juga semakin gelap.”
Anggoro hanya bisa
mengangguk pelan. Kengeriannya terhadap Bani Katimin sirna saat itu juga. Ia
merasa sia-sia telah mencoba mencari tahu siapakah sebenarnya orang yang seringkali
disebut oleh gurunya itu.
***
“Jadi
siapakah mereka itu?” tanya Begawan Adiyoso sambil mengambil duduk di sebelah
Ndoro Ngab-Ngab.
“Mereka
itu barisan para mantan, Sinuhun.” Enteng, Ndoro Ngab-Ngab menjawab pertanyaan
junjungannya itu. “Mereka itu sedang berparodi. Ya, kita semua harus maklum.
Mereka sudah tidak punya panggung lagi. Beberapa mantan Menteri Sinuhun periode
pertama ada di sana. Mereka ini yang berteriak paling keras. Sekeras rasa
kecewa yang menghantam mereka.”
“Lalu
apa tujuan mereka?”
“Caper.
Sejak Sinuhun dilantik, perhatian masyarakat Tlatah Jembar hanya tertuju pada
Sinuhun. Mereka dikesampingkan. Bahkan tagar-tagar di jagad medsos tidak lagi
menyebut nama mereka. Jika Sinuhun sering mendengar suara-suara tentang Tlatah
Jembar sedang menuju resesi karena pandemi, ya merekalah aktornya. Tapi
mereka tidak tunggal. Belahan sel mereka banyak. Dan semuanya dendam pada
Sinuhun. Hahaha.”
“Apa
sebaiknya langkah kita, Ndoro Ngab-Ngab?”
“Duduk
manis. Menikmati secangkir kopi. Sambil sesekali menertawai mereka. Badut-badut
itu akan jenuh pada waktunya. Kita lihat saja, koalisi apa lagi setelah koalisi
yang terbentuk hari ini bubar.”
“Berarti
saya boleh tertawa?”
“Boleh,
Sinuhun. Tapi jangan keras-keras. Nanti mereka semakin serius menjadi gila.”
“Lalu
bagaimana dengan kabar anakku? Saya dengar serangan itu masih saja ada, bahkan
semakin ekstrim. Tidak hanya tuduhan membangun dinasti, isu agama mulai
dimainkan.”
“Itu
lagu lama, Sinuhun. Masyarakat sudah cerdas. Sudah bisa memilih dan memilah.
Jadi, energi mereka akan terbuang sia-sia.”
“Baiklah.
Sekarang, bagaimana dengan anti-virus yang sudah ditemukan oleh Profesor
kemarin?”
“Hahaha.
Profesor gadungan. Semenjak, pandemi melanda tlatah ini, orang miring naik
jumlahnya secara signifikan.”
“Jadi?”
“Sudah
diurus pihak keamanan, Sinuhun. Profesor gadungan itu akan dikenakan pasal
pembohongan publik. Netizen Tlatah Jembar ini sudah dewasa. Tentu saja, orang
itu akan jadi bulan-bulanan mereka. Santapan empuk.”
“Lalu
Beirut?”
“Tentara
kita sudah sigap di sana, Sinuhun. Tapi masih kalah cepat dengan kelompok ACT
(Aksi Cepat Transferan). Mereka sudah membuka donasi sumbangan. Lucu dan
menggelikan.”
“Ada
lagi?”
“Sementara
hanya itu yang bisa saya laporkan, Sinuhun. Setidaknya, langkah pertama koalisi
penyalamat itu akan membuat aksi penggalangan dana dan demo kecil-kecilan. Kita
pantau saja, Sinuhun, sampai mereka benar-benar berada di titik kulminasi
jenuh.”
***
“Aku
akan pergi menghadap Begawan Krisan. Dari sana, aku akan menggalang kekuatan untuk
membendung koalisi sebenarnya bentukan Bani Katimin. Koalisi penyelamat itu hanya
lucu-lucuan saja.”
Anggoro
mengantar gurunya dengan dua matanya yang tampak sangat lelah. Langkah Sang Guru
begitu cepat. Sedetik berikutnya, Anggoro sudah kehilangan gurunya lagi.
Anggoro
segera memutar tubuhnya. Kembalinya Lek Kijo ke dunia ini membuatnya leluasa mengerjakan
semua pekerjaannya yang tertunda, termasuk membaca kelanjutan kasus Hana Hanifah
yang seharga 20 juta sekali kencan. Sudah lama sekali Anggoro tidak meng-update beritnya.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar