Kamis, 06 Agustus 2020

Koalisi Penyelamat Tlatah Jembar







Anggoro mencoba melacak keberadaan Bani Katimin. Sejak sore kemarin, ia sibuk membongkar tumpukan catatan yang ada di meja Lek Kijo; Sang Guru Sejati. Di catatan tersebut, banyak sekali nama yang diabadikan oleh Lek Kijo. Tapi anehnya, nama Bani Katimin tak ada di sana. Lek Kijo seperti sengaja mengubur dalam-dalam sahabatnya itu. Ia tidak ingin, siapa pun yang punya pertalian erat dengannya bersinggungan dengan Bani Katimin. Meski Bani Katimin sudah salah jalan, namun Lek Kijo tetap memberikan tempat di hatinya. Sejak dulu, Lek Kijo memang begitu. Derajat kebegawanannya membuat diri Lek Kijo bersih dari hiruk pikuk sampah hati.
Sejak Lek Kijo datang lagi di mimpinya serta sabdanya tentang Bani Katimin yang akan berulah lagi, Anggoro tidak bisa diam seperti biasanya. Seringkali ia memangkas waktu samadinya. Ia bertekad untuk mencari tahu siapakah sebenarnya Bani Katimin. Namun senja yang terus berganti, tak membuat Anggoro segera mendapatkan apa yang diinginkan.
***
Pagi yang ramai. Tlatah Jembar dikepung penghuni semesta. Cericit Kepodang bercampur derit pohon sengon memenuhi jagad tanah para Begawan itu. Hilir mudik manusia penangkap embun juga turut menggenapi keramaian pagi itu. Sinar mentari yang datang malu-malu tidak mengurangi kehangatan derap kaki mereka. Irama langkahnya teratur dan runtut. Tlatah Jembar menjelma surga.
Keramaian pagi itu semakin sempurna tatkala Koran Nasional Tlatah Jembar membuat headline: Koalisi Aksi Menyelamatkan Tlatah Jembar. Hampir semua masyarakat tlatah itu terlonjak heran. Para Begawan saling berbisik. Para Ndoro mendadak mengadakan rapat terbatas. Tidak ketinggalan Begawan Adiyoso merespon dengan memanggil Ndoro Ngab-Ngab untuk segera ke Balai Agung Kasepuhan. Pemimpin tertinggi Tlatah Jembar itu ingin segera tahu peta pergerakan dan tujuan koalisi itu dibentuk. Tentu saja, Ndoro Ngab-Ngab akan melaporkan temuan telik sandi andalannya dengan sedetail-detailnya.
Beberapa saat yang lalu, saat kedua tokoh bangsa itu bertemu, Ndoro Ngab-Ngab sudah menyampaikan kepada Begawan Adiyoso bahwa orang-orang yang dulu mendukung dirinya dalam pemilu akan berulah. Mereka masih belum bisa meneria dua hal, pertama, kekalahan Ndoro Ngab-Ngab, dan kedua adanya koalisi antara Begawan Adiyoso dan Ndoro Ngab-Ngab dalam pemerintahan. Menurut mereka, Ndoro Ngab-Ngab telah murtad dari sabda suci Begawan Sukmabrata yang mereka kultuskan.
***
Anggoro juga mendengar kabar terbentuknya koalisi penyelamat itu. Namun ia sangat terkejut ketika nama Bani Katimin tidak ada di dalam koalisi. Lalu mereka siapa? tanya Anggoro kepada angin. Benaknya juga membuat dugaan yang macam-macam. Mungkin saja perkataan gurunya kali ini salah. Ilham tentang munculnya kembali Bani Katimin ternyata hanya isapan jempol. Ia menggumam gurunya berkali-kali.
Namun saat bersamaan, Sang Guru tiba-tiba saja berada di depannya. Anggoro seketika saja bersujud. Memohon ampun atas keruh hatinya. Lek Kijo hanya melempar senyum. Baginya, ketidakmengertian Anggoro adalah hal yang sangat lumrah. Masih panjang jalan yang harus ia tempuh untuk sampai pada derajat waskita seperti dirinya.
“Bani Katimin memang tidak ada di sana. Tapi panggung mereka sama. Ini hanya masalah waktu. Cepat atau lambat, Bani Katimin akan menampakkan wujudnya. Ia akan terus mendengungkan nama Begawan Sukmabrata.” Tenang dan penuh wibawa, Lek Kijo mulai menjawab keresahan murid kinasihnya itu. “Orang-orang di koalisi itu memang sudah tidak butuh Bani Katimin, tapi mereka masih segan dengan Begawan Sukmabrata. Dan Begawan Sukmabrata ini masih mendengar apa yang disuarakan oleh Bani Katimin,” lanjut Lek Kijo sambil melepas kain putih yang melingkari bahunya.
Anggoro tergagap. Ia melihat keajaiban pagi itu. Lek Kijo bisa disentuh. Dua kaki kukuhnya juga menyentuh tanah. Girang hatinya tidak mampu ia bendung. Sehingga segera saja ia memeluk gurunya itu dengan sangat erat dan lama sekali.
“Aku kembali ke fana ini. Sang Hyang Tunggal memberiku izin untuk menanggalkan baju muksaku. Aku akan di ambin ini. Bersamamu. Membaca pertanda semesta.”
“Sampai kapan, Guru?” tanya Anggoro cepat. Ia merenggangkan pelukannya sambil beringsut mundur. Tubuhnya gemetar. Ia tampak sangat tidak siap mendengar jawaban gurunya.
“Sampai Bani Katimin muksa bersamaku!”
“Sebenarnya siapa Bani Katimin itu, Guru?” Anggoro melepas semua rasa penasarannya selama ini.
“Ia dan aku sama-sama terlahir sebagai Begawan. Guratan takdir kami sama. Anugerah yang kami miliki sama. Jika aku sudah sampai pada derajat waskita, semestinya ia juga begitu. Tapi sayang, ia masih saja merawat penyakit hati. Sehingga jalannya akan semakin panjang, bahkan juga semakin gelap.”
Anggoro hanya bisa mengangguk pelan. Kengeriannya terhadap Bani Katimin sirna saat itu juga. Ia merasa sia-sia telah mencoba mencari tahu siapakah sebenarnya orang yang seringkali disebut oleh gurunya itu.
***
          “Jadi siapakah mereka itu?” tanya Begawan Adiyoso sambil mengambil duduk di sebelah Ndoro Ngab-Ngab.
          “Mereka itu barisan para mantan, Sinuhun.” Enteng, Ndoro Ngab-Ngab menjawab pertanyaan junjungannya itu. “Mereka itu sedang berparodi. Ya, kita semua harus maklum. Mereka sudah tidak punya panggung lagi. Beberapa mantan Menteri Sinuhun periode pertama ada di sana. Mereka ini yang berteriak paling keras. Sekeras rasa kecewa yang menghantam mereka.”
          “Lalu apa tujuan mereka?”
          “Caper. Sejak Sinuhun dilantik, perhatian masyarakat Tlatah Jembar hanya tertuju pada Sinuhun. Mereka dikesampingkan. Bahkan tagar-tagar di jagad medsos tidak lagi menyebut nama mereka. Jika Sinuhun sering mendengar suara-suara tentang Tlatah Jembar sedang menuju resesi karena pandemi, ya merekalah aktornya. Tapi mereka tidak tunggal. Belahan sel mereka banyak. Dan semuanya dendam pada Sinuhun. Hahaha.”
          “Apa sebaiknya langkah kita, Ndoro Ngab-Ngab?”
          “Duduk manis. Menikmati secangkir kopi. Sambil sesekali menertawai mereka. Badut-badut itu akan jenuh pada waktunya. Kita lihat saja, koalisi apa lagi setelah koalisi yang terbentuk hari ini bubar.”
          “Berarti saya boleh tertawa?”
          “Boleh, Sinuhun. Tapi jangan keras-keras. Nanti mereka semakin serius menjadi gila.”
          “Lalu bagaimana dengan kabar anakku? Saya dengar serangan itu masih saja ada, bahkan semakin ekstrim. Tidak hanya tuduhan membangun dinasti, isu agama mulai dimainkan.”
          “Itu lagu lama, Sinuhun. Masyarakat sudah cerdas. Sudah bisa memilih dan memilah. Jadi, energi mereka akan terbuang sia-sia.”
          “Baiklah. Sekarang, bagaimana dengan anti-virus yang sudah ditemukan oleh Profesor kemarin?”
          “Hahaha. Profesor gadungan. Semenjak, pandemi melanda tlatah ini, orang miring naik jumlahnya secara signifikan.”
          “Jadi?”
          “Sudah diurus pihak keamanan, Sinuhun. Profesor gadungan itu akan dikenakan pasal pembohongan publik. Netizen Tlatah Jembar ini sudah dewasa. Tentu saja, orang itu akan jadi bulan-bulanan mereka. Santapan empuk.”
          “Lalu Beirut?”
          “Tentara kita sudah sigap di sana, Sinuhun. Tapi masih kalah cepat dengan kelompok ACT (Aksi Cepat Transferan). Mereka sudah membuka donasi sumbangan. Lucu dan menggelikan.”
          “Ada lagi?”
          “Sementara hanya itu yang bisa saya laporkan, Sinuhun. Setidaknya, langkah pertama koalisi penyalamat itu akan membuat aksi penggalangan dana dan demo kecil-kecilan. Kita pantau saja, Sinuhun, sampai mereka benar-benar berada di titik kulminasi jenuh.”
***
          “Aku akan pergi menghadap Begawan Krisan. Dari sana, aku akan menggalang kekuatan untuk membendung koalisi sebenarnya bentukan Bani Katimin. Koalisi penyelamat itu hanya lucu-lucuan saja.”
          Anggoro mengantar gurunya dengan dua matanya yang tampak sangat lelah. Langkah Sang Guru begitu cepat. Sedetik berikutnya, Anggoro sudah kehilangan gurunya lagi.
          Anggoro segera memutar tubuhnya. Kembalinya Lek Kijo ke dunia ini membuatnya leluasa mengerjakan semua pekerjaannya yang tertunda, termasuk membaca kelanjutan kasus Hana Hanifah yang seharga 20 juta sekali kencan. Sudah lama sekali Anggoro tidak meng-update beritnya.

  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mengapa Saya Lebih Memilih Ikut Perlombaan Burung Lovebird?

  Mengapa Saya Lebih Memilih Ikut Perlombaan Burung Lovebird? Di tengah hiruk-pikuk kehidupan modern yang penuh tekanan dan tuntutan, mencar...