Sudah menjadi rahasia umum jika Desember adalah
bulan yang “panas” bagi warga muslim bangsa ini. Persoalannya adalah seputar
boleh tidaknya memberi ucapan perayaan agama lain (baca: Natal). Banyak
perdebatan yang tersaji. Karena sebagian muslim berpendapat bahwa memberi
ucapan selamat kepada perayaan agama lain adalah perbuatan murtad (keluar dari
agama). Tentunya, pendapat ini mendapat respon yang cukup keras dari muslim lain yang tidak mempermasalahkan
pemberian ucapan tersebut. Silang pendapat ini seperti tidak pernah menemui titik
kesepakatan. Malah semakin runcing tiap tahunnya.
Di negara ini, muslim adalah kelompok agama
mayoritas. Sehingga perdebatan itu bisa terdengar sangat nyaring di telinga
semua lapisan masyarakat, tak terkecuali penganut agama lain. Panasnya
perdebatan tersebut tentunya membawa efek negatif bagi umat Islam sendiri dan
tentu saja bagi umat agama lain, khususnya umat agama Kristen. Tidak bisa
dipungkiri bahwa perdebatan itu menjadikan pemeluk agama lain menjadi “alergi”
dan cenderung curiga kepada umat Islam. Statusnya sebagai ‘kafir’ akan terus berdesing di
telinga mereka. Hal ini benar-benar sangat menyesakkan dada.
Perdebatan yang terus berlangsung dan semakin
panas bisa berpotensi menjadi konflik horizontal sesama pemeluk agama dan
dengan agama lain. Kekhawatiran ini bukan tanpa alasan. Pasalnya, jika
masing-masing pemeluk agama mempunyai pandangan yang sama bahwa memberi selamat
pada perayaan agama lain adalah perbuatan murtad maka indikasi saling
mencurigai akan semakin membesar.
Berangkat dari kekhawatiran ini, penulis, setidaknya mempunyai dua
pandangan yang sekiranya bisa dijadikan solusi bagi problem tahunan ini.
Mawaddah dalam Perbedaan
Secara sederhana, kata mawaddah bisa
diartikan sebagai kasih sayang. Sebagai umat beragama, tentunya kita mempunyai
kesadaran bahwa agama tidak hanya mengajarkan kasih sayang, tapi agama juga
menekankan bahwa kasih sayang adalah sesuatu yang wajib. Barangkali begini,
agama adalah kasing sayang dan kasih sayang adalah agama. Agama dan kasih
sayang tak ubahnya dua sisi mata uang yang mustahil untuk dipisahkan.
Sebagai agama Samawi (agama langit), Islam-Kristen
sebenarnya memiliki Ayah kandung yang sama, yakni Ibrahim A.S.. Hanya saja, ibu kedua agama
ini berbeda. Sejarah mencatat bahwa Ibrahim memiliki A.S. dua istri yang
masing-masing dari istri tersebut melahirkan nabi-nabi besar yang membawa kalam
suci Tuhan. Istri pertama Ibrahim A.S adalah Sarah yang menurunkan Ya’qub, dan
dari Ya’qub ini lahirlah Musa A.S. dan Isa A.S.. Dua nabi besar ini membawa
agama masing-masing, yakni Yahudi dan Nasrani (Kristen). Sementara Hajar
sebagai istri kedua melahirkan Ismail A.S. yang nantinya melahirkan
Muhammad SAW. sebagai pembawa agama Islam. Dari masing-masing nabi ini, mengklaim
membawa ajaran yang dibawa oleh Ibrahim A.S.
Dalam babak awal persandingan tiga agama ini,
konflik-konflik karena perbedaan pandangan sangat minim terjadi. Akan tetapi
seiring perputaran waktu, perbedaan pandangan tersebut tampaknya menjadi santapan
yang sangat bergizi bagi tumbuhnya konflik-konflik agama, baik sesama maupun
dengan pemeluk agama lain.
Dalam era kekinian, perbedaan pandangan setiap
agama ini tampaknya memang sengaja dijadikan momentum untuk menyerang pihak
lain. Setiap orang yang memiliki pandangan yang berbeda otomatis menjadi musuh
utama bagi dirinya dan kelompoknya. Ini jelas sangat berbahaya. Dan lagi-lagi,
ancaman pecahnya bangsa ini semakin mendekati kenyataan.
Dengan semakin suburnya doktrin bahwa musuh utama
adalah yang berbeda pandangan, seharusnya masing-masing individu yang beragama
ini memliki kesadaran kolektif bahwa kasih sayang adalah ruh setiap agama. Jika
konsep ini dimatangkan dalam setiap pikiran mereka, maka kesempatan untuk
berkonflik akan semakin sempit. Sehingga orang bijak berkata: Indahnya
menebar kasih sayang dalam perbedaan.
Musuh
Bersama
Semua agama itu adalah benar. Akan tetapi
standar kebenaran itu mutlak ada di agama masing-masing. Kebenaran satu agama
tidak bisa menjadi tolok ukur bagi kebenaran agama yang lain. Umat beragama
mempunyai kewajiban untuk membenarkan agama yang dianutnya dengan tidak
mengesampingkan standar kebenaran agama yang lain. Silakan menganggap agama
lain salah, akan tetapi jangan pernah meneriakannya dengan semena-mena
(Siluet, 2017).
Kebersamaan dan toleransi sebagai pewaris yang sah ajaran Ibrahim A.S. harus tetap
terawat dengan baik. Sehingga keseimbangan dalam semesta ini tetap berjalan.
Berpijak dari poin tersebut, bisa dilihat bahwa
musuh utama umat beragama bukanlah sesama pemeluk agama yang memiliki pandangan
yang berbeda serta umat lain yang memiliki agama yang berbeda. Akan tetapi musuh
utama umat beragama adalah semua hal yang sifatnya menindas umat beragama itu
sendiri, baik fisik maupun batin. Karena sebenarnya agama-agama yang dibawa
para nabi tersebut memiliki misi untuk membebaskan umat manusia dari
ketertindasan. Hamim Ilyaz dan Aris Fauzan memberikan contoh
tentang kehadiran tiga nabi pewaris ajaran Ibrahim. Misalnya saja, Musa A.S..
Dengan keberaniannya, Musa A.S. berhasil menyelamatkan bangsa Yahudi keluar
dari Mesir dan menenggelamkan Firaun di tengah laut. Kemudian Isa A.S. dengan
sentuhan kasihnya berhasil memporak-porandakkan komitmen yuridis kaum Yahudi.
Dan yang terakhir adalah Muhammad SAW. yang membawa perubahan tradisi jahiliah
menjadi tradisi madani.
Dalam era sekarang, bisa
disimpulkan bahwa musuh bersama umat beragama adalah kebodohan, kemiskinan dan ancaman
kesehatan. Pertama, kemiskinan yang dialami oleh umat beragama cenderung
menyebabkan umat beragama bertindak di luar ajaran-ajaran agama. Mereka akan
cenderung berpikir untuk merampas hak-hak orang lain demi memenuhi kebutuhan
hidupnya. Bahkan Nabi SAW. juga pernah bersabda jika kemiskinan dekat
sekali dengan kekufuran. Kekufuran dalam konteks ini bisa dimaknai sebagai
bertindak di luar akal sehat manusia. Karena itu, semua umat beragama harus
mampu bergandengan tangan untuk hadir dan menyapa umat beragama yang masih
terbelenggu kemiskinan. Bukankah nabi-nabi pembawa ajaran Ibrahim A.S. sangat dekat
dengan orang-orang miskin?
Kedua adalah kebodohan. Kebodohan mempunyai dampak
yang sangat berbahaya bagi keseimbangan kehidupan umat beragama. Kebodohan yang
menjangkiti umat beragama akan menggiring umat beragama untuk berpikir pendek,
bertindak anarkis, serta memanipulasi kebenaran. Karena itu, sebagai umat yang
memiliki kecerdasan beragama harus mampu menciptakan kehidupan yang cerdas bagi
umat beragama sesamanya maupun umat beragama lain. Menciptakan lembaga-lembaga
pendidikan bisa menjadi salah satu langkah terbaik untuk menghapus kebodohan.
Kemudian yang ketiga adalah ancaman
kesehatan. Kesehatan menjadi faktor yang sangat penting untuk diperhatikan oleh
umat beragama. Pemberian pencerahan tentang pentingnya kesehatan serta
penanganan kesehatan yang baik dan tidak pilih kasih adalah pekerjaan rumah
terbesar bagi para pemeluk agama.
Dua usulan solusi ini kiranya menjadi bahan
diskusi serius bagi para pemeluk agama. Sehingga pandangan tentang indahnya
perbedaan bisa tertanam kuat dalam sanubarinya masing-masing. Dan saat hujan perpecahan itu mulai
datang, maka mereka bisa bersama-sama
berteduh di bawah payung Ibrahim yang suci itu. Semoga!