Rabu, 11 Januari 2023

Secangkir Kopi Untuk Hanna (Novel Series): Luhtfi Madu

 

Saat Langit Mulai Gelap

 

Aku sudah mencarimu. Sejak dua hari yang lalu. Surat ini juga sudah terlanjur kutulis. Tapi tiba-tiba saja kau muncul di sini. Di hadapanku. Napasmu terengah-engah. Sesekali terputus. Kau kenapa, Hanna Istifada?

Aku masih ingat itu. Hanna. Indah. Seperti Firdaus yang Ia janjikan. Kalimat terakhirku sepertinya memang tidak ingin kau dengar. Sebab langit sudah terlanjur gelap. Kau berbisik. Pelan.

Aku mengangguk. Lalu mencoba meraih tanganmu. Tapi kau luput. Menghilang. Sejak saat itu, aku tidak pernah menemukanmu lagi.

Udara pagi ini terlampau dingin. Mengingatmu membuatku menjadi beku. Rindu ini teramat berat. Menumpuk. Lalu menggunung. Tinggi. Begitu tinggi. Tak terdaki.

Ini kopiku. Sengaja kutinggalkan di meja ini. Biar ia menjadi kenangan. Sebab, sebentar lagi aku tidak di sini. Aku harus menyerah di bumi ini.

Jadwal penerbanganku sebentar lagi. Tepatnya, dua jam lagi. Barang-barang sudah kukemas sangat rapi. Siap menyeberang benua lagi. Kutinggalkan semuanya. Apa saja. Atau tentang malam itu. Saat aku tidak bisa menguasai jiwaku. Kali pertama aku menegak Wine. Pemberian dari Rose. Ia cantik. Putih. Wajah Balkan-nya memikat banyak mata. Tapi tak berhasil memikatku. Bukan aku tidak tertarik. Tapi aku hanya ingin segera menikmati kopi pesanan kami. Aku dan Hanna. Dan beberapa tiupan angin kecil di kening. Di pelupuk mata. Di sela-sela jemari kami.

Tetiba saja pintuku terbuka. Rose menampakkan wajahnya. Dua matanya merah. Meski di luar sana sedang dingin-dinginnya, Rose tampak tak merasakan apa-apa. Lengan bajunya terbuka. Kulit putihnya berkilat-kilat. Kemudian mendekat kepadaku.

Ia meraih wajahku. Kemudian menempelkan bibirnya. Aroma alkohol menyeruak dari dalamnya. Ini adalah pagi. Tapi ia sudah teler. Kebiasaan selalu begitu. Tidak mungkin aku merusakknya, janjinya pada rintik sisa semalam.

Aku mendudukkannya pelan. Ia melempar senyum. Meski kesadarannya sudah tidak utuh lagi, ia masih menggenggam birahi. Rose salah memahami perlakuanku.

Aku menjauh. Rose tampak kesulitan melepas pakaiannya. Aku hanya bisa menggelengkan kepala. Ada apa denganmu, Rose?

Rose menyeringai saat bajunya sudah terlepas. Lalu behanya menyusul lepas. Ia melemparkan ke wajahku. Aku begitu terkejut. Jangan, Rose! Aku menyeru dalam hati.

Rose semakin tidak terkontrol. Ia merebahkan tubuhnya yang putih sekali. Perutnya yang rata mempersilakanku untuk menjilatinya seperti ketika itu.

Come on, Faya!” desah Rose. Suaranya hampir terputus.

No ...,” elakku.

Rose tidak menyerah.

***


 

Malang

 

Matahari sudah terlihat tinggi saat aku tiba di Malang. Aku seperti masih di pesawat. Berdiriku tidak seimbang. Barcelona-Jakarta terlampau jauh.

Aku meninggalkan Rose dalam ketermenungan. Ia tahu aku tidak akan pernah kembali. Dosa itu terus membayang di pelupuk mataku. Rose sepertimu, Hanna. Matanya semenajubkan matamu. Entah. Jatuh cinta seperti apa yang kurasakan dengan Rose.

Aku menuduh diriku sendiri. Aku telah menghianatimu. Tapi aku melihatmu, Sayang. Keningmu yang berkilat karena keringat terlukis jelas di keningnya. Rambutmu yang biasa tergerai menangkap embun tersaji manis di kepalanya. Andai kau tahu, Sayang. Tiada siksa yang lebih pedih selain menanggung rindu.

Malang. Hmm. Kota ini masih sama. Arjosari tetap asri. Aku pernah jatuh di terminal ini. Kaki kananku bengkak. Kau menangis ketika itu. Kau juga tampak takut sekali. Seragam SD-ku coreng moreng dengan debu. Kau usap keningku. Katamu, ada debu nakal yang mengganggu ketampananku. Aku hanya bisa tersenyum sebentar. Setelah itu, aku merintih. Perih sekali.

Wajah sesalmu begitu kuat menggaris di depan mataku. Aku tahu, kau yang mengajakku bermain di terminal ini. Padahal, sekolah kita lumayan jauh. Jika sekarang kuhitung, jaraknya hampir dua kilometer. Anehnya, kita tidak pernah merasa lelah. Aku masih ingat itu.

Kau di mana, Hanna? Bagaimana wajahmu saat ini?

Aku harus segera pulang. Ada rasa lelah yang harus kudiamkan.

Aku menumpang taksi menuju rumahku. Bukan di dekat Araya lagi. Tapi di Gadang. Jika dulu, Hanna di Blimbing, sekarang entah di mana.

Perjalananku singkat. Arjosari-Gadang sedekat pandanganmu, Sayang. Aku membuka pagar rumahku. Anak kecil –seumuran aku dulu- membukakan pintu. Dua matanya memicing. Ia sedikit ngeri melihatku. Aku menduga ia adalah Zaidan; putra pertama kakakku, Sameera.

“Faya ...!” Ada teriakan mendarat di kupingku. Suaranya serak. Tidak salah lagi. Kak Sameera.

“Aku lapar, Kak,” kataku sambil melempar jaket ke kursi. Sementara koper besarku masih teronggok pasrah di beranda rumah. Zaidan tampak ingin membawanya masuk. Tapi ia sungkan denganku.

“Zaidan ...!” panggilku. Ia menoleh cepat. “Ke sini!”

Ia berjalan cepat ke arahku.

“Bapak ini siapa?” tanyanya polos. Sepertinya Kak Sameera memegang janjinya. Ia tidak akan menceritakan tentangku kepada putranya.

Aku tertawa geli melihat kepolosan keponakanku itu, “Panggil aku Bapak ganteng!”

Ia menyeringai, “Masih gantengan Abi!”

“Mana orangnya?”

“Masih kerja!”

“Di mana?”

“Mengajar.”

Azka, kakak iparku, adalah seorang dosen di Unversitas Brawijaya Malang. Kepalanya yang depan sedikit botak. Kata Kak Sameera, Kak Azka terlalu memikirkan hal-hal aneh. Aku hanya bisa maklum. Studi Peradaban memang begitu. Aku pernah mempelajarinya. Di Edinburgh University of Scotland. Saat mengambil sort studies di liburan musim dingin.

“Apa rencanamu setelah ini, Faya? Kita hanya berdua. Tapi kau datang begitu tiba-tiba. Bahkan Zaidan tidak mengenalmu. Aneh. Kita keluarga aneh,” ceracau Kak Sameera sambil menghidangkan minum.

“Keanehan kita adalah kesempurnaan keluarga kita,” sahutku. Kak Sameera mengambil duduk di sebelahku. Kemudian mengacak-acak rambut ikalku.

“Zaidan. Sini. Ini Om Faya.” Kak Sameera memnggil Zaidan yang masih saja penasaran dengan koper besarku. Zaidan menoleh cepat. Kemudian berjalan menuju kami. “Ini Om kamu. Ayo! Sebah,” perintahnya kemudian.

Aku menangkap Zaidan hangat. Dan memeluknya erat dan lama. Aku ciumi wajahnya hingga rata. Rindu yang menahun purna sudah.

Aku melepaskan Zaidan yang sudah merasa tidak nyaman dengan pelukanku. “Aku tidak bisa lama, Kak. Aku harus segera menemukannya.”

“Makanlah dulu, Faya,” pintanya penuh harap.

Aku mengangguk, “Iya, Kak. Kan, aku sudah bilang jika aku lapar.”

***

Kak Sameera seperti enggan melepasku. Ia iba melihatku. Sepuluh tahun ternyata tidak bisa menyembuhkanku. Benar, Kak. Waktu bukanlah penawar yang baik buatku. Rindu ini akan tetap ada. Tetap menggebu.

Pagi buta, Kak Azka mengantarkanku ke Arjosari. Kali ini, aku akan menemui teman lamaku yang tinggal di Kertosono. Ia tahu segalanya tentang kami. Meski ia tidak pernah bisa menjawab, kenapa Hanna menghilang begitu saja. Lebih tiba-tiba dari datangnya embusan sejuk ini. Aku menghirupnya dalam-dalam. Arjosari akan kutinggalkan lagi. Aku melihatmu di situ, Hanna. Senyummu masih seanggun yang dulu. Wajahmu masih seteduh yang dulu.

Bus melaju cepat menuju Surabaya. Dan dari kota itu, aku hanya butuh tiga jam untuk sampai di Kertosono. Semoga, Abay –sahabat masa SMA-ku- masih mengenaliku. Aku lebih kurus dari yang dulu. Aku pecandu Wine. Tubuhku menjadi ringkih. Kak Sameera sempat meneteskan air mata saat kali pertama melihatku kemarin. Benar, Kak. Siksaan ini tidak hanya pedih.

Surabaya dengan ingar-bingarnya. Namun aku tidak peduli lagi. Begitu bus berhenti, aku segera mencari bus yang bertujuan ke Jogja. Kudapati bus itu masih sepi. Tapi tak sebanding dengan kesepian ini.

Sepuluh menit berlalu. Bus melaju. Pelan dan tenang. Namun sedetik berikutnya, bus melajau seperti kecepatan angin. Aku begitu terkejut. Tapi orang di sebelahku malah menertawaiku.

“Baru pertama naik bus ini ya, Mas?” tanyanya sambil menampilkan barisan giginya yang tak rata.

“Iya, Pak,” jawabku sambil mengangguk.

“Hanya bus ini yang dicari para penumpang,” katanya lagi. Aku mengangguk lagi. Lalu mengatubkan dua mata. Uh, Hanna. Kau di mana? Tidak terasa air mataku jatuh.

Aku menyesal, Tuhan. Andai saja aku bisa menahannya. Andai saja aku terus mencarinya. Andai saja aku tidak terbang ke Spanyol. Dan, tiba-tiba saja semua tampak gelap.

Satu jam terlewat. Dua mataku terbuka. Kota Mojokerto terdengar nyaring di telinga. Orang di sebelahku sudah tidak ada. Entah ke mana. Dan, bus melaju lagi. Masih secepat embusan angin. Hanna datang lagi. Kegilaan macam apa ini, Tuhan?

Satu jam terlewat lagi. Jombang mereka teriakkan. Tapi aku tidak sedang tidur. Kertosono sudah dekat. Aku tidak sabar lagi. Aku berdiri dan mendekati sang kondektur.

“Turun Jombang?” tanyanya dingin.

“Bukan, Pak. Saya turun Kertosono,” jawabku ragu.

“Masih jauh. Sampeyan duduk saja. Jangan berdiri. Nanti penumpang tidak mau naik.” Galak, sang kondektur memberi ceramah singkat kepadaku. Aku tergelak sendiri. Ini bukan Spanyol. Aku berbisik lirih dalam hati.

Bus menepi. Perempetan besar itu sedikit berubah. Sekarang menjadi ramai. Pengayuh becak menyemut mendekatiku. Aku hanya bisa melempar sedikit senyum. Bukan aku sombong, tapi aku memang tidak suka naik becak. Sejak dulu. Dan aku masih ingat apa yang dikatakan Hanna. Jangan pernah naik becak! Aku tidak pernah bertanya, mengapa? Aku hanya bisa mengangguk. Kemudian memegang janji itu. Hanna lalu tersenyum simpul. Cantik sekali. Huft. Kau di mana, Hanna?

Aku masih ingat, ada pangkalan ojek di sana. Semoga saja masih ada. Sepuluh tahun bukan waktu yang sebentar. Bayangkan, selama itu pula aku menabung rindu. Penuh. Hati ini begitu penuh dengan rindu itu. Kau di mana, Hanna? Di mana?

Aku menghela napas lega. Pangkalan ojek itu bukan hanya masih ada, malah sekarang menjadi berkembang. Pangkalan itu sekarang cantik.

“Ojek, Mas?” tawar salah satu dari mereka. Seorang Bapak yang –menurutku- sudah lanjut usia. Kisarannya adalah enam puluh lima tahun. Ubannya sudah menyebar di kepalanya. Tapi aku lihat, bahunya begitu kukuh. Tidak menyerah sedikit pun dengan usianya. Ia petarung sejati. Penantang waktu yang terus menggigit usianya. Dan juga semangatnya.

“Iya, Pak,” jawabku sambil tersenyum kecil. Bapak-bapak yang lain seperti menatapku heran. Mungkin mereka melihat pakaianku yang semrawut. Atau mungkin juga wajahku yang sudah mengalami evolusi. Dari Nusantara menjadi Eropa. Ah, tapi rasanya itu tidak mungkin. Meski aku berdarah campuran, wajahku tetap saja ‘ndeso’.

“Ke mana?” tanya Bapak ojek.

“Jalan Mangga No. 23, Pak.”

Bapak ojek mengangguk. Kami melaju dengan tenang dan pelan. Aku yakin, Bapak ojek itu sudah tidak bernafsu lagi untuk menjadi pembalap. Semoga saja.

“Mas dari mana?” tanya Bapak ojek di tengah-tengah perjalanan.

“Malang.” Sedikit berteriak, aku menjawabnya. Bapak itu mengangguk.

Sepuluh menit berlalu. Motor kami belok. Masuk ke Jalan Mangga. Aku meminta berhenti. Biar aku jalan saja. Kataku pada Bapak ojek. Ia mengangguk. Lalu berlalu dariku setelah menerima apa yang menjadi haknya.

Aku sedikit gerogi akan bertemu sahabat baikku itu. Ia pasti akan marah sekali. Sebab aku pergi tanpa kabar. Dan sekarang tiba-tiba saja muncul. Dan selama supuluh tahun itu, aku tidak pernah menyapanya. Meski, Kak Sameera beberapa kali bilang jika ia mencariku. Aku juga tetap diam. Andai kau tahu, Kawan. Aku benar-benar sakit. Sekarang, aku mencoba sembuh. Kau pasti mengerti.

Aku berjalan lurus ke ujung jalan. Perkampungan itu kecil dan sempit. Rumah-rumah tidak memiliki jarak lagi. Dan rumah sahabatku berada di ujung jalan.

Kampung itu masih saja asri. Tidak ada yang berubah. Sepuluh tahun tidak menimbulkan dampak apa-apa. Aku lihat gardu itu. Dulu, aku sering tidak tidur di tempat itu. Berbincang sampai pagi dengan Abay. Satu tema: Hanna. Karena itu, hanya ia yang tahu tentang Hanna. Tentang kami. Tentang kisah kami. Dan tentang perpisahan kami.

Aku sudah sampai. Tiba-tiba saja, rasa ragu datang begitu saja. Pintu pagar menutup. Tapi tidak terkunci. Ingin saja kusudahi semuanya. Tapi rasanya, dua kaki ini membawa beban yang sangat berat. Aku susah sekali melangkah. Murka Abay menghantui.

Hanna. Ya, semua demi Hanna. Aku harus menghadapi apa pun. Aku bergegas membuka pagar rumah itu. Lalu dengan cepat mengetuk rumahnya. Tiga kali ketukan, pintu tetap bisu. Tidak berderit dan tidak pula menjerit.

Aku mengetuknya lagi. Dua ketukan, pintu beraksi. Pintu membuka. Abay ada di baliknya. Ia memicingkan mata dengan cepat. Lalu menarik tanganku.

“Bangsat!” umpatnya. “Masuk!” perintahnya sambil membuka kamar. Aku seperti mayat. Hanya bisa menurut.

Lalu tamparan keras mendarat di pipi kananku. Tidak hanya itu. Abay juga melepaskan tendangan yang mengenai lambungku. Aku merintih. Tapi ia tidak peduli. Ia belum puas. Ia terus menyerangku. Lalu duduk terengah-engah. Bersandar pada tembok.

“Bangsat! Kamu bangsat!” ia terus saja mengumpat. Aku diam. Hanya membatu. Sesekali merintih perih.

Abay mendekatiku lagi. lalu memelukku sangat erat. Aku tidak tidak sadar. Air mataku jatuh begitu saja. Ada Hanna di sana. Di mana-mana. Di semua sudut rumah.

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mengapa Saya Lebih Memilih Ikut Perlombaan Burung Lovebird?

  Mengapa Saya Lebih Memilih Ikut Perlombaan Burung Lovebird? Di tengah hiruk-pikuk kehidupan modern yang penuh tekanan dan tuntutan, mencar...