Saat Langit Mulai Gelap
Aku
sudah mencarimu. Sejak dua hari yang lalu. Surat ini juga sudah terlanjur
kutulis. Tapi tiba-tiba saja kau muncul di sini. Di hadapanku. Napasmu
terengah-engah. Sesekali terputus.
Kau kenapa, Hanna Istifada?
Aku
masih ingat itu. Hanna. Indah. Seperti Firdaus yang Ia janjikan. Kalimat terakhirku
sepertinya memang tidak ingin kau dengar. Sebab langit sudah terlanjur gelap.
Kau berbisik. Pelan.
Aku
mengangguk. Lalu mencoba meraih tanganmu. Tapi kau luput. Menghilang. Sejak saat itu, aku tidak pernah menemukanmu lagi.
Udara
pagi ini terlampau dingin. Mengingatmu membuatku menjadi beku. Rindu ini
teramat berat. Menumpuk. Lalu menggunung. Tinggi. Begitu tinggi. Tak terdaki.
Ini
kopiku. Sengaja kutinggalkan di meja ini. Biar ia menjadi kenangan. Sebab,
sebentar lagi aku tidak di sini. Aku harus menyerah di bumi ini.
Jadwal
penerbanganku sebentar lagi. Tepatnya, dua jam lagi. Barang-barang sudah kukemas sangat rapi. Siap menyeberang benua lagi. Kutinggalkan semuanya. Apa saja. Atau
tentang malam itu. Saat aku tidak bisa menguasai jiwaku. Kali pertama aku
menegak Wine. Pemberian dari Rose. Ia cantik. Putih. Wajah Balkan-nya
memikat banyak mata. Tapi tak berhasil memikatku. Bukan aku tidak tertarik.
Tapi aku hanya ingin segera menikmati kopi pesanan kami. Aku dan Hanna. Dan beberapa
tiupan angin kecil di kening. Di pelupuk mata. Di sela-sela jemari kami.
Tetiba saja pintuku terbuka. Rose menampakkan
wajahnya. Dua matanya merah. Meski di luar sana sedang dingin-dinginnya, Rose
tampak tak merasakan apa-apa. Lengan bajunya terbuka. Kulit putihnya
berkilat-kilat. Kemudian mendekat kepadaku.
Ia
meraih wajahku. Kemudian menempelkan bibirnya. Aroma alkohol menyeruak dari
dalamnya. Ini adalah pagi. Tapi ia sudah teler. Kebiasaan selalu begitu. Tidak mungkin
aku merusakknya, janjinya pada rintik sisa semalam.
Aku
mendudukkannya pelan. Ia melempar senyum. Meski kesadarannya sudah tidak utuh
lagi, ia masih menggenggam birahi. Rose salah memahami perlakuanku.
Aku
menjauh. Rose tampak kesulitan melepas pakaiannya. Aku hanya bisa menggelengkan
kepala. Ada apa denganmu, Rose?
Rose
menyeringai saat bajunya sudah terlepas. Lalu behanya menyusul lepas. Ia
melemparkan ke wajahku. Aku begitu terkejut. Jangan, Rose! Aku menyeru dalam
hati.
Rose
semakin tidak terkontrol. Ia merebahkan tubuhnya yang putih sekali. Perutnya
yang rata mempersilakanku untuk menjilatinya seperti ketika itu.
“Come
on, Faya!” desah Rose. Suaranya hampir terputus.
“No
...,” elakku.
Rose
tidak menyerah.
***
Malang
Matahari
sudah terlihat tinggi saat aku tiba di Malang. Aku seperti masih di pesawat.
Berdiriku tidak seimbang. Barcelona-Jakarta terlampau jauh.
Aku
meninggalkan Rose dalam ketermenungan. Ia tahu aku tidak akan pernah kembali.
Dosa itu terus membayang di pelupuk mataku. Rose sepertimu, Hanna. Matanya
semenajubkan matamu. Entah. Jatuh cinta seperti apa yang kurasakan dengan Rose.
Aku
menuduh diriku sendiri. Aku telah menghianatimu. Tapi aku melihatmu, Sayang.
Keningmu yang berkilat karena keringat terlukis jelas di keningnya. Rambutmu
yang biasa tergerai menangkap embun tersaji manis di kepalanya. Andai kau tahu,
Sayang. Tiada siksa yang lebih pedih selain menanggung rindu.
Malang.
Hmm. Kota ini masih sama. Arjosari tetap asri. Aku pernah jatuh di
terminal ini. Kaki kananku bengkak. Kau menangis ketika itu. Kau juga tampak
takut sekali. Seragam SD-ku coreng moreng dengan debu. Kau usap keningku. Katamu, ada debu nakal
yang mengganggu ketampananku.
Aku hanya bisa tersenyum sebentar. Setelah itu, aku merintih. Perih sekali.
Wajah
sesalmu begitu kuat menggaris di depan mataku. Aku tahu, kau yang mengajakku
bermain di terminal ini. Padahal, sekolah kita lumayan jauh. Jika sekarang
kuhitung, jaraknya hampir dua kilometer. Anehnya, kita tidak pernah merasa
lelah. Aku masih ingat itu.
Kau
di mana, Hanna? Bagaimana wajahmu saat ini?
Aku
harus segera pulang. Ada rasa lelah yang harus kudiamkan.
Aku
menumpang taksi menuju rumahku. Bukan di dekat Araya lagi. Tapi di Gadang. Jika
dulu, Hanna di Blimbing, sekarang entah di mana.
Perjalananku
singkat. Arjosari-Gadang sedekat pandanganmu, Sayang. Aku membuka pagar
rumahku. Anak kecil –seumuran aku dulu- membukakan pintu. Dua matanya memicing.
Ia sedikit ngeri melihatku. Aku menduga ia adalah Zaidan; putra pertama
kakakku, Sameera.
“Faya
...!” Ada teriakan mendarat di kupingku. Suaranya serak. Tidak salah lagi. Kak
Sameera.
“Aku
lapar, Kak,” kataku sambil melempar jaket ke kursi. Sementara koper besarku
masih teronggok pasrah di beranda rumah. Zaidan tampak ingin membawanya masuk.
Tapi ia sungkan denganku.
“Zaidan
...!” panggilku. Ia menoleh cepat. “Ke sini!”
Ia
berjalan cepat ke arahku.
“Bapak
ini siapa?” tanyanya polos. Sepertinya Kak Sameera memegang janjinya. Ia tidak
akan menceritakan tentangku kepada putranya.
Aku
tertawa geli melihat kepolosan keponakanku itu, “Panggil aku Bapak ganteng!”
Ia
menyeringai, “Masih gantengan Abi!”
“Mana
orangnya?”
“Masih
kerja!”
“Di
mana?”
“Mengajar.”
Azka,
kakak iparku, adalah seorang dosen di Unversitas Brawijaya Malang. Kepalanya
yang depan sedikit botak. Kata Kak Sameera, Kak Azka terlalu memikirkan hal-hal
aneh. Aku hanya bisa maklum. Studi Peradaban memang begitu. Aku pernah
mempelajarinya. Di Edinburgh University of Scotland. Saat mengambil sort
studies di liburan musim dingin.
“Apa
rencanamu setelah ini, Faya? Kita hanya berdua. Tapi kau datang begitu
tiba-tiba. Bahkan Zaidan tidak mengenalmu. Aneh. Kita keluarga aneh,” ceracau
Kak Sameera sambil menghidangkan minum.
“Keanehan
kita adalah kesempurnaan keluarga kita,” sahutku. Kak Sameera mengambil duduk
di sebelahku. Kemudian mengacak-acak rambut ikalku.
“Zaidan.
Sini. Ini Om
Faya.” Kak Sameera memnggil Zaidan yang masih saja penasaran dengan koper
besarku. Zaidan menoleh cepat. Kemudian berjalan menuju kami. “Ini Om kamu.
Ayo! Sebah,”
perintahnya kemudian.
Aku
menangkap Zaidan hangat. Dan memeluknya erat dan lama. Aku ciumi wajahnya
hingga rata. Rindu yang menahun purna sudah.
Aku
melepaskan Zaidan yang sudah merasa tidak nyaman dengan pelukanku. “Aku tidak
bisa lama, Kak. Aku harus segera menemukannya.”
“Makanlah
dulu, Faya,” pintanya penuh harap.
Aku
mengangguk, “Iya, Kak. Kan, aku sudah bilang jika aku lapar.”
***
Kak
Sameera seperti enggan melepasku. Ia iba melihatku. Sepuluh tahun ternyata
tidak bisa menyembuhkanku. Benar, Kak. Waktu bukanlah penawar yang baik buatku.
Rindu ini akan tetap ada. Tetap menggebu.
Pagi
buta, Kak Azka mengantarkanku ke Arjosari. Kali ini, aku akan menemui teman
lamaku yang tinggal di Kertosono. Ia tahu segalanya tentang kami. Meski ia
tidak pernah bisa menjawab, kenapa Hanna menghilang begitu saja. Lebih
tiba-tiba dari datangnya embusan sejuk ini. Aku menghirupnya dalam-dalam.
Arjosari akan kutinggalkan lagi. Aku melihatmu di situ, Hanna. Senyummu masih
seanggun yang dulu. Wajahmu masih seteduh yang dulu.
Bus
melaju cepat menuju Surabaya. Dan dari kota itu, aku hanya butuh tiga jam untuk
sampai di Kertosono. Semoga, Abay –sahabat masa SMA-ku- masih mengenaliku. Aku
lebih kurus dari yang dulu. Aku pecandu Wine. Tubuhku menjadi ringkih.
Kak Sameera sempat meneteskan air mata saat kali pertama melihatku kemarin.
Benar, Kak. Siksaan ini tidak hanya pedih.
Surabaya
dengan ingar-bingarnya. Namun aku tidak peduli lagi. Begitu bus berhenti, aku
segera mencari bus yang bertujuan ke Jogja. Kudapati bus itu masih sepi. Tapi
tak sebanding dengan kesepian ini.
Sepuluh
menit berlalu. Bus melaju. Pelan dan tenang. Namun sedetik berikutnya, bus
melajau seperti kecepatan angin. Aku begitu terkejut. Tapi orang di sebelahku
malah menertawaiku.
“Baru
pertama naik bus ini ya, Mas?” tanyanya sambil menampilkan barisan giginya yang
tak rata.
“Iya,
Pak,” jawabku sambil mengangguk.
“Hanya
bus ini yang dicari para penumpang,” katanya lagi. Aku mengangguk lagi. Lalu
mengatubkan dua mata. Uh, Hanna. Kau di mana? Tidak terasa air mataku jatuh.
Aku
menyesal, Tuhan. Andai saja aku bisa menahannya. Andai saja aku terus
mencarinya. Andai saja aku tidak terbang ke Spanyol. Dan, tiba-tiba saja semua
tampak gelap.
Satu
jam terlewat. Dua mataku terbuka. Kota Mojokerto terdengar nyaring di telinga.
Orang di sebelahku sudah tidak ada. Entah ke mana. Dan, bus melaju lagi. Masih
secepat embusan angin. Hanna datang lagi. Kegilaan macam apa ini, Tuhan?
Satu
jam terlewat lagi. Jombang mereka teriakkan. Tapi aku tidak sedang tidur.
Kertosono sudah dekat. Aku tidak sabar lagi. Aku berdiri dan mendekati sang
kondektur.
“Turun
Jombang?” tanyanya dingin.
“Bukan,
Pak. Saya turun Kertosono,” jawabku ragu.
“Masih
jauh. Sampeyan duduk saja. Jangan berdiri. Nanti penumpang tidak mau naik.”
Galak, sang kondektur memberi ceramah singkat kepadaku. Aku tergelak sendiri.
Ini bukan Spanyol. Aku berbisik lirih dalam hati.
Bus
menepi. Perempetan besar itu sedikit berubah. Sekarang menjadi ramai. Pengayuh
becak menyemut mendekatiku. Aku hanya bisa melempar sedikit senyum. Bukan aku
sombong, tapi aku memang tidak suka naik becak. Sejak dulu. Dan aku masih ingat
apa yang dikatakan Hanna. Jangan pernah naik becak! Aku tidak pernah bertanya,
mengapa? Aku hanya bisa mengangguk. Kemudian memegang janji itu. Hanna lalu
tersenyum simpul. Cantik sekali. Huft. Kau di mana, Hanna?
Aku
masih ingat, ada pangkalan ojek di sana. Semoga saja masih ada. Sepuluh tahun
bukan waktu yang sebentar. Bayangkan, selama itu pula aku menabung rindu.
Penuh. Hati ini begitu penuh dengan rindu itu. Kau di mana, Hanna? Di mana?
Aku
menghela napas lega. Pangkalan ojek itu bukan hanya masih ada, malah sekarang
menjadi berkembang. Pangkalan itu sekarang cantik.
“Ojek,
Mas?” tawar salah satu dari mereka. Seorang Bapak yang –menurutku- sudah lanjut usia.
Kisarannya adalah enam puluh lima tahun. Ubannya sudah menyebar di kepalanya.
Tapi aku lihat, bahunya begitu kukuh. Tidak menyerah sedikit pun dengan
usianya. Ia petarung sejati. Penantang waktu yang terus menggigit usianya. Dan
juga semangatnya.
“Iya,
Pak,” jawabku sambil tersenyum kecil. Bapak-bapak yang lain seperti menatapku
heran. Mungkin mereka melihat pakaianku yang semrawut. Atau mungkin juga
wajahku yang sudah mengalami evolusi. Dari Nusantara menjadi Eropa. Ah, tapi
rasanya itu tidak mungkin. Meski aku berdarah campuran, wajahku tetap saja ‘ndeso’.
“Ke
mana?” tanya Bapak ojek.
“Jalan
Mangga No. 23, Pak.”
Bapak
ojek mengangguk. Kami melaju dengan tenang dan pelan. Aku yakin, Bapak ojek itu
sudah tidak bernafsu lagi untuk menjadi pembalap. Semoga saja.
“Mas
dari mana?” tanya Bapak ojek di tengah-tengah perjalanan.
“Malang.”
Sedikit berteriak, aku menjawabnya. Bapak itu mengangguk.
Sepuluh
menit berlalu. Motor kami belok. Masuk ke Jalan Mangga. Aku meminta berhenti.
Biar aku jalan saja. Kataku pada Bapak ojek. Ia mengangguk. Lalu berlalu dariku
setelah menerima apa yang menjadi haknya.
Aku
sedikit gerogi akan bertemu sahabat baikku itu. Ia pasti akan marah sekali.
Sebab aku pergi tanpa kabar. Dan sekarang tiba-tiba saja muncul. Dan selama
supuluh tahun itu, aku tidak pernah menyapanya. Meski, Kak Sameera beberapa
kali bilang jika ia mencariku. Aku juga tetap diam. Andai kau tahu, Kawan. Aku
benar-benar sakit. Sekarang, aku mencoba sembuh. Kau pasti mengerti.
Aku
berjalan lurus ke ujung jalan. Perkampungan itu kecil dan sempit. Rumah-rumah
tidak memiliki jarak lagi. Dan rumah sahabatku berada di ujung jalan.
Kampung
itu masih saja asri. Tidak ada yang berubah. Sepuluh tahun tidak menimbulkan
dampak apa-apa. Aku lihat gardu itu. Dulu, aku sering tidak tidur di tempat
itu. Berbincang sampai pagi dengan Abay. Satu tema: Hanna. Karena itu, hanya ia
yang tahu tentang Hanna. Tentang kami. Tentang kisah kami. Dan tentang
perpisahan kami.
Aku
sudah sampai. Tiba-tiba saja, rasa ragu datang begitu saja. Pintu pagar
menutup. Tapi tidak terkunci. Ingin saja kusudahi semuanya. Tapi rasanya, dua
kaki ini membawa beban yang sangat berat. Aku susah sekali melangkah. Murka Abay
menghantui.
Hanna.
Ya, semua demi Hanna. Aku harus menghadapi apa pun. Aku bergegas membuka pagar
rumah itu. Lalu dengan cepat mengetuk rumahnya. Tiga kali ketukan, pintu tetap
bisu. Tidak berderit dan tidak pula menjerit.
Aku
mengetuknya lagi. Dua ketukan, pintu beraksi. Pintu membuka. Abay ada di
baliknya. Ia memicingkan mata dengan cepat. Lalu menarik tanganku.
“Bangsat!”
umpatnya. “Masuk!” perintahnya sambil membuka kamar. Aku seperti mayat. Hanya
bisa menurut.
Lalu
tamparan keras mendarat di pipi kananku. Tidak hanya itu. Abay juga melepaskan
tendangan yang mengenai lambungku. Aku merintih. Tapi ia tidak peduli. Ia belum
puas. Ia terus menyerangku. Lalu duduk terengah-engah. Bersandar pada tembok.
“Bangsat!
Kamu bangsat!” ia terus saja mengumpat. Aku diam. Hanya membatu. Sesekali
merintih perih.
Abay
mendekatiku lagi. lalu memelukku sangat erat. Aku tidak tidak sadar. Air mataku
jatuh begitu saja. Ada Hanna di sana. Di mana-mana. Di semua sudut rumah.
***

Tidak ada komentar:
Posting Komentar