Udara sejuk meniupi kening saya
ketika dua kaki saya berdiri tepat di wastafel parkiran yang disediakan
oleh pihak sekolah. Pagi itu, saya datang dengan sejuta semangat yang dikirim
hujan semalam. Ada jadwal berbagi cerita yang harus saya tuntaskan. Ya,
berbagi cerita dengan mereka. Para pemintal aksara yang sudah sangat siap
melancarkan mantra-mantranya. Mereka akan menyulap semesta menjadi barisan
paragraf, tentang semua yang ada di ceruk-ceruknya. Tentang air yang masih
menetes dari ujung daun di depan kelas, tentang sakit hati karena menunggu
kabar yang tidak pasti, tentang keringat, tentang capek, marah, suka cita, duka
cita, dan apa pun yang disediakan olehnya.
Aula itu membuka pintunya. Tawa
renyah menjadi sajian pertama ketika saya mengangguk mengaturkan salam kepada
seorang Ibu hebat yang duduk menepi di pojokan. Dari pertama bertemu, saya
menduga akan banyak sekali keajaiban yang bisa saya lihat. Namanya Bu Ardi.
Sepintas, ia biasa saja, tapi gerak lincahnya dalam mengorganisir para mesin
aksaranya untuk segera merapal mantra, saya jadi tahu bahwa –pagi itu- saya
berjumpa dengan permata semesta. Sudah banyak –gunung meletus, pantulan air
yang berkejaran, rembulan yang gagal bersinar, mendung yang menantang mentari-
menjadi ejaan sakti yang tertuang dalam kanvas putihnya. Benar, saya memang
berjumpa dengan permata semesta; yang dengan kuas-kuas kecilnya bisa
mendudukkan isi semesta menjadi keindahan dua mata. Sekali lagi, ini adalah
perjumpaan yang sangat jenius, dan penuh dengan curahan ilmu. Terima kasih
Tuhan atas karunia ini semua.
Saya duduk dengan bahagia.
Berdendang dalam hati. Lalu memasang telinga dengan baik. Saya tidak ingin
melewatkan kalimat-kalimat rapi yang disampaiakn oleh Dr. Muhtarom yang –saat
ini- menahkodai sekolah yang kebak dengan mimpi itu. Suaranya yang tebal,
menggema di sudut-sudut telinga saya. Beliau berkali-kali menegaskan jika acara
pagi itu adalah bentuk aplikasi dari Pendidikan Karakter yang merupakan bagian
dari kurikulum sekolah yang sudah digariskan. Tentu, dugaan saya, ada Bu Ardi
sebagai aktor intelektualnya. Pendidikan Karakter –yang bagi sebagian orang
harus diwujudkan hanya dalam sikap, dikonversi menjadi pendidikan literasi
dengan tujuan akhirnya adalah tercipta sebuah buku yang bisa dibaca oleh semua
penduduk semesta. Sudah pasti, buku itu akan mengilustrasikan semua karakter
penulisnya. Benar-benar sebuah langkah yang sangat cerdas. Salut untuk Ibu yang
satu ini.
Acara pembukaan yang singkat itu
ditutup dengan doa. Lalu, semua berganti suasana. Lebih santai dan lebih banyak
senyum di sana. Saya melepas pandangan ke semua wajah yang hadir di sana. Dan
yang saya temukan, ada barisan aksara yang sudah tidak sabar untuk dibaca.
Ketika waktu diserahkan
sepenuhnya untuk saya, saya menyapa mereka: Mari Membaca Semesta! Mereka
kompak bersuara: Kami siap! Apresiasi yang begitu luar biasa. Tapi
sayang sekali, waktu begitu cepat membuyarkan semuanya. Ada beragam rasa yang
harus kami tahan. Dan kami berjanji, semuanya akan menjadi tulisan.
Dan, tiga minggu setelah
pertemuan itu, beragam tulisan dikirimkan kepada saya. Satu persatu saya baca.
Tidak meleset dugaan saya. Mantra mereka begitu ajaib. Tulisan-tulisan itu
begitu hidup dan rapi dalam mengilustrasikan bagaimana karakter mereka. Sehingga,
lahirlah buku ini: Membaca Semesta.
Buku ini memang sederhana, tapi
pembaca akan menemukan banyak peristiwa yang sudah sempat terlupakan. Buku di
hadapan pembaca ini seperti mesin waktu yang akan membawa pembaca semua pada
ingatan-ingatan yang sudah membeku di pendingin masa. Sehingga, buku ini
–menurut saya- sangat layak pembaca semua punyai.
Dengan gaya penulisan yang khas
dan berkarakter, semua penulis yang ada di buku ini mencoba mewakafkan apa yang
mereka punya melalui tulisan. Maka harapan saya, semua penulis yang ada di buku
ini senantiasa mendapat curahan anugerah dan amal bakti dari Tuhan Yang Esa.
Namun tentu saja, meski buku ini
sudah dikerjakan dengan semaksimal mungkin, pasti ada celah kekurangan yang
harus segera ditutupi. Karena itulah, kritik dan saran dari pembaca semua
menjadi sangat penting untuk kemajuan karya-karya berikutnya.
Akhirnya, semoga –saya berharap-
buku kecil ini akan selalu menjadi teman pembaca semua dalam segala hal,
sedih-senang, sepi-ramai, malang-untung, dan situasi-situasi lain yang dihadapi
pembaca.
Sebagai penutup, saya
mengucapkan selamat membaca, dan sekali lagi: Jangan lupa bahagia!
Tulungagung, Kamis siang, 2021
Penulis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar