Kamis, 30 September 2021

Membaca Semesta

 


 

Udara sejuk meniupi kening saya ketika dua kaki saya berdiri tepat di wastafel parkiran yang disediakan oleh pihak sekolah. Pagi itu, saya datang dengan sejuta semangat yang dikirim hujan semalam. Ada jadwal berbagi cerita yang harus saya tuntaskan. Ya, berbagi cerita dengan mereka. Para pemintal aksara yang sudah sangat siap melancarkan mantra-mantranya. Mereka akan menyulap semesta menjadi barisan paragraf, tentang semua yang ada di ceruk-ceruknya. Tentang air yang masih menetes dari ujung daun di depan kelas, tentang sakit hati karena menunggu kabar yang tidak pasti, tentang keringat, tentang capek, marah, suka cita, duka cita, dan apa pun yang disediakan olehnya.

Aula itu membuka pintunya. Tawa renyah menjadi sajian pertama ketika saya mengangguk mengaturkan salam kepada seorang Ibu hebat yang duduk menepi di pojokan. Dari pertama bertemu, saya menduga akan banyak sekali keajaiban yang bisa saya lihat. Namanya Bu Ardi. Sepintas, ia biasa saja, tapi gerak lincahnya dalam mengorganisir para mesin aksaranya untuk segera merapal mantra, saya jadi tahu bahwa –pagi itu- saya berjumpa dengan permata semesta. Sudah banyak –gunung meletus, pantulan air yang berkejaran, rembulan yang gagal bersinar, mendung yang menantang mentari- menjadi ejaan sakti yang tertuang dalam kanvas putihnya. Benar, saya memang berjumpa dengan permata semesta; yang dengan kuas-kuas kecilnya bisa mendudukkan isi semesta menjadi keindahan dua mata. Sekali lagi, ini adalah perjumpaan yang sangat jenius, dan penuh dengan curahan ilmu. Terima kasih Tuhan atas karunia ini semua.

Saya duduk dengan bahagia. Berdendang dalam hati. Lalu memasang telinga dengan baik. Saya tidak ingin melewatkan kalimat-kalimat rapi yang disampaiakn oleh Dr. Muhtarom yang –saat ini- menahkodai sekolah yang kebak dengan mimpi itu. Suaranya yang tebal, menggema di sudut-sudut telinga saya. Beliau berkali-kali menegaskan jika acara pagi itu adalah bentuk aplikasi dari Pendidikan Karakter yang merupakan bagian dari kurikulum sekolah yang sudah digariskan. Tentu, dugaan saya, ada Bu Ardi sebagai aktor intelektualnya. Pendidikan Karakter –yang bagi sebagian orang harus diwujudkan hanya dalam sikap, dikonversi menjadi pendidikan literasi dengan tujuan akhirnya adalah tercipta sebuah buku yang bisa dibaca oleh semua penduduk semesta. Sudah pasti, buku itu akan mengilustrasikan semua karakter penulisnya. Benar-benar sebuah langkah yang sangat cerdas. Salut untuk Ibu yang satu ini.

Acara pembukaan yang singkat itu ditutup dengan doa. Lalu, semua berganti suasana. Lebih santai dan lebih banyak senyum di sana. Saya melepas pandangan ke semua wajah yang hadir di sana. Dan yang saya temukan, ada barisan aksara yang sudah tidak sabar untuk dibaca.

Ketika waktu diserahkan sepenuhnya untuk saya, saya menyapa mereka: Mari Membaca Semesta! Mereka kompak bersuara: Kami siap! Apresiasi yang begitu luar biasa. Tapi sayang sekali, waktu begitu cepat membuyarkan semuanya. Ada beragam rasa yang harus kami tahan. Dan kami berjanji, semuanya akan menjadi tulisan.

Dan, tiga minggu setelah pertemuan itu, beragam tulisan dikirimkan kepada saya. Satu persatu saya baca. Tidak meleset dugaan saya. Mantra mereka begitu ajaib. Tulisan-tulisan itu begitu hidup dan rapi dalam mengilustrasikan bagaimana karakter mereka. Sehingga, lahirlah buku ini: Membaca Semesta.

Buku ini memang sederhana, tapi pembaca akan menemukan banyak peristiwa yang sudah sempat terlupakan. Buku di hadapan pembaca ini seperti mesin waktu yang akan membawa pembaca semua pada ingatan-ingatan yang sudah membeku di pendingin masa. Sehingga, buku ini –menurut saya- sangat layak pembaca semua punyai.

Dengan gaya penulisan yang khas dan berkarakter, semua penulis yang ada di buku ini mencoba mewakafkan apa yang mereka punya melalui tulisan. Maka harapan saya, semua penulis yang ada di buku ini senantiasa mendapat curahan anugerah dan amal bakti dari Tuhan Yang Esa.

Namun tentu saja, meski buku ini sudah dikerjakan dengan semaksimal mungkin, pasti ada celah kekurangan yang harus segera ditutupi. Karena itulah, kritik dan saran dari pembaca semua menjadi sangat penting untuk kemajuan karya-karya berikutnya.

Akhirnya, semoga –saya berharap- buku kecil ini akan selalu menjadi teman pembaca semua dalam segala hal, sedih-senang, sepi-ramai, malang-untung, dan situasi-situasi lain yang dihadapi pembaca.

Sebagai penutup, saya mengucapkan selamat membaca, dan sekali lagi: Jangan lupa bahagia!

 

Tulungagung, Kamis siang, 2021

Penulis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mengapa Saya Lebih Memilih Ikut Perlombaan Burung Lovebird?

  Mengapa Saya Lebih Memilih Ikut Perlombaan Burung Lovebird? Di tengah hiruk-pikuk kehidupan modern yang penuh tekanan dan tuntutan, mencar...