Selasa, 23 Februari 2021

Kiyai Sangaji

 





Andine memilih mendarat terlebih dahulu di Surabaya. Ada sesuatu yang harus ia beli. Saat dua kakinya mulai menjauh dari pintu keluar bandara, ia melihat dua orang yang begitu serius dalam bercakap. Andine segera kabur dari sana dengan harapan, dua kupingnya tidak mendengar jeritan isi kepala keduanya. Tapi ia gagal, seperti ada yang menahan kakinya untuk melanjutkan langkah.

            Dua alis Andine hampir saja bertabrakan. Dua matanya tampak agak melotot. “Ini sangat berbahaya. Akan banyak korban jika tidak dihentikan.” Panik, Andine bergumam dalam hati. Garis-garis khawatir di wajahnya semakin menebal. Ia tahu, tapi ia tidak pernah tahu harus melakukan apa.

            Andine terjebak dalam dimensi yang ia kuasai, tapi tidak pernah ia mengerti.

***

            Jingga semakin serius mencari tahu tentang apa yang ia alami. Mungkin –katanya suatu ketika- saat masih kecil, apa yang ia alami memang sudah sangat nyata dan kuat. Tapi jiwanya sebagai anak-anak belum bisa mengantarkannya pada satu titik pemahaman. Sehingga hari ini –saat ia sudah dewasa- ia merasa harus mencari tahu tentang semua yang hinggap di dirinya.

            “Aku mendapat sesuatu yang baru kemarin sore, Dan!”

            Kafe itu masih lengang. Hanya ada Jingga dan Zidan. Dengan kepala separuh sadar, Zidan terus mencoba menafsirkan apa yang dikatakan oleh Jingga. Ia seperti memutas masa. Atau setidaknya, 15 tahun yang lalu. Saat ia, dan beberapa temannya, tepat jam satu dini hari, pergi ke tengah sawah. Dan di sana ada punden. Pohonnya sudah sangat tua. Beberapa batangnya sudah tidak berdaun lagi. Mereka duduk bersila. Lalu, tiba-tiba, saja, Joni merapal mantra dan beberapa detik berikutnya, Toni rubuh. Mulutnya mengeluarkan asap dan suaranya berubah menjadi sangat tebal dan keras. Zidan ingin kabur dari sana, tapi sudah terlambat.

            “Apa yang kamu dapat, Jingga?”

            “Beberapa saat yang lalu, aku bermimpi. Di dalam mimpiku, ada seorang Ibu berwajah aneh. Tapi sangat cantik. Ia mengenalkan dirinya sebagai Farida. Lalu ia menarik tanganku dan mengajakku ke sebuah tempat, yang aku tahu tempat itu Pager Alas; sebuah makam tua –yang konon- menjadi makamnya para Wali. Sangat keramat dan dikeramatkan. Bu Farida mengajakku masuk ke sana. Kemudian kami menziarahi satu persatu makam yang ada di sana. Dan saat kami sedang khusu’ berdoa, tiba-tiba saja ada orang muncul dari makam. Ia menatapku sambil melempar senyum. Di tangan kanannya, tergantung sebuh ceret air. Wajahnya memancarkan cahaya putih. Aku mengahturkan hormat. Lalu Bu Farida berbisik di telinga kananku. Ia berkata, bahwa laki-laki yang barusan tersenyum padaku bernama Mbah Ceret.”

            “Lalu?”

            “Keesokan harinya, aku bertanya pada Abi. Adakah orang bernama Mbah Ceret yang dinamakan di Pager Alas?”

            “Abi jawab apa?”

            “Abi balik bertanya, apakah orang tersebut membawa ceret, hidungnya mancung, wajahnya seputih cahaya?”

            “Kamu ganti jawab apa?”

            “Iya, Bi.”

            “Bagaimana respon Abi?”

            “Abi bilang itu namanya Mbah Ceret. Ia orang Arab. Diyakini warga setempat sebagai Wali. Sepanjang hidupnya, ia selalu membawa ceret berisi air. Tujuannya, buat jaga-jaga saat Mbah Ceret batal wudu, ia bisa langsung berwudu. Mbah Ceret –kata Abi- tidak pernah punya tempat tinggal tetap. Ia terus berjalan memutari kampung. Di setiap kampung yang ia datangi, ia selalu berbagi makanan kepada fakir miskin.”

            “Ooo...”

***

            Hujan sisa semalam tampak lucu di ujung dedaunan. Beberapa kabut juga tampak menggelayut manja di lengan Lereng Lawu yang tampak melingkari rumah besar berdinding jati tua itu. Beberapa perempuan berkerudung terlihat bersemangat mengayunkan sapu lidinya. Harmoni tercipta di sana. Di halaman rumah seorang Laki-laki tawadu’, yang mereka semuanya memanggil dengan nama Kiyai Sangaji.

            Kiyai Sangaji, atau kerap juga dipanggil dengan nama Kiyai Aji, bukanlah seperti kebanyakan Kiyai, Ustaz, Pendakwah, atau Motivator agama. Kiyai Aji terlemapar dari kriteria yang disandang oleh mereka semua. Mobil mewah, pengawal pribadi, jam terbang dan tayang yang sangat tinggi. Tidak. Kiyai Aji tidak begitu. Bahkan, ada yang bilang, Kiyai Aji ini adalah kiyai palsu dan tidak bernasab. Hanya kebetulan saja, Kiyai Aji punya Musala dan bisa melafalkan azan. Hanya begitu. Tidak lebih.

            Tapi apa yang dibilang sebagian orang tentang Kiyai Aji memang benar adanya. Semua juga paham, siapa Ayah dan Ibu Kiyai Aji. Bukan darah biru, dan bukan juga seorang yang terkenal alim. Orang tua Kiyai Sangaji hanyalah buruh sawah; yang datang ke sawah pagi buta dan pulang menjelang senja. Lalu kapan mereka beribadah? Tanya Surya cemas.

            Kiyai Aji memahami posisinya. Ia juga memahami nasabnya. Tapi ia memang tidak pernah peduli dengan sejuta label yang disematkan masyarakat padanya. Kiyai Aji ya dirinya. Seorang Kiyai biasa yang tiap pagi harus menjawab beragam persoalan yang dibawa oleh para tamu ke rumahnya. Mulai minta pelarisan sebagai PSK, sampai minta doa agar aksi pencurian orang tersebut tidak bisa diungkap. Semua yang datang pada Kiyai Aji tidak pernah pulang dengan hampa. Selalu ada kalimat Kiyai Aji yang membuat hati mereka lega.

            Suatu ketika, saat Kiyai Aji masih merapalkan wirid di ambin depan Musala, ada seorang tua renta datang padanya. Ia memperkenalkan diri sebagai Mbah Diro. Kiyai Aji segera meletakkan tasbihnya yang sudah berubah warna. Ia harus meninggalkan wirid wajibnya.

            Panjenengan dari mana, Mbah?” tanya Kiyai Aji sambil memegang bahu erat bahu Mbah Diro. Lalu menggandengnya menuju ruang tamu. “Nduk, buatkan kopi yang paling enak dua, ya!” seru Kiyai Aji dari balik kelambu ruang tamu.

            Injeh, Bapak.” Suara itu terdengar begitu pelan dan sopan. Sebuah suara yang tidak tercipta begitu saja. Ada terapi ruhani yang panjang. Ada tirakat Kiyai Aji yang tak kenal petang.

            Kulo saking dusun sebelah. Mboten gadah papan; tidak punya rumah. Kulo sowan dating mriki amargi enten ingkang perlu kulo tangkletaken dating panjenengan.”

            Wonten masalah nopo, Mbah? Seandainya bisa, pasti saya jawab.” Hati-hati, Kiyai Aji menimpali kalimat-kalimat Mbah Diro.

            Mekaten, Kiyai. Riyen kulo memang pernah syahadat. Nangung kulo mboten pernah paham, agamo kulo niki nopo?. Selain hanya mendengar azan, kulo namung mireng bilih kulo niki gadah Rasul. Ingkan paring asma Nabi Muhammad SAW.” Mbah Diro mengambil napas dalam-dalam. “Kulo mboten peduli, Kiyai. Terserah Gusti Pengeran ajengan nyalap kulo dating neroko. Kulo naming tresno sanget kaleh Kanjeng Nabi meniko. Duko niki, manah kulo kok paring atur ngoten. Milo niku, kulo titip arto niki. Kulo kepingin nyangoni Kanjeng Nabi. Panjenengan salamaken dating Kanjeng Nabi, bilih Diro rindu Kanjeng Nabi.

            Mbah Diro membetulkan posisinya sambil terbatuk. Berbicara agak panjang mebuat tenggorokan tuanya cekat. Seperti ada semut yang usil menggaruk-garuknya.

            Injeh.” Singkat, Kiyai Aji menanggapi kalimat panjang Mbah Diro.

            “Nek ngoten, kulo nyuwun pamit, Kiyai.” Mbah Diro meraih tangan Kiyai Aji dan berusaha menciumnya. Kiyai Aji dengan cepet menariknya.

            Tiba-tiba tubuh Kiyai Aji membeku. Dua tangannya masih menggenggam erat jemari Mbah Diro yang seperti tidak ada tulangnya. Begitu berhasil lepas, Mbah Diro bergegas melangkah keluar dan meninggal bungkusan plastic hitam.

            Mbah Diro tidak mengucapkan salam. Tapi tubuh rentanya sudah ditelan kabut. Kiyai Aji masih terpaku di tempatnya. Sendi-sendinya terasa sangat ngilu dan dua kakinya tidak bisa digerakkan. Lalu ia rubuh. Tubuhnya membujur di lantai rumahnya yang masih belum berubin.

            Nilna menjerit histeris saat mendapati Bapaknya tidak sadarkan diri di lantai.

            ***

            “Jadi begitu, Dan. Abi bercerita panjang lebar tentang Mbah Ceret, yang nama aslinya tidak disebutkan oleh Abi. Ketika aku tanya, Abi hanya menggeleng tidak tahu. Tapi aku yakin, Abi pasti mengetahuinya. Tapi tidak masalah. Aku akan tanya Bu Farida.”

            “Memangnya kamu bisa bertemu lagi dengan Bu Farida?”

            “Bisa, lah. Kan, ia sudah bilang akan mengawalku terus sampai nanti.”

            “Kapan?”

            “Saat aku sudah menikah.”

            Zidan menelan ludah. Dua tangannya terasa sangat dingin. Ia meraih cangkir kopi di depannya. Sekadar menghilangkan derap jantung yang meningkat getarannya.

            “Atau mungkin, setelah kamu menikah, semua yang kau dapat hari ini akan hilang semuanya?” Zidan seolah tak percaya dengan apa yang didengarnya baru saja.

            “Kayaknya begitu.”

            “Memang Abi sudah siap dengan menantu orang Jawa?”

            Kelakar Zidan memenuhi rungan kafe langganan mereka.

            Dan, air mata itu menetes juga. Zidan segera bereaksi. Niat bercandanya mendapat tanggapan lain dari Jingga.

            Sekali lagi, air mata Jingga adalah sesuatu yang paling ia sesali. Tubuh Zidan berontak sangat kuat. Ia ingin memutar waktu kembali ke beberapa waktu sebelumnya. Namun yang ia dapati, dua pipih Jingga sudah basah.

            ***

            Andine menelepon Amni. Tapi sepuluh panggilannya tidak pernah terjawab. Dan suara itu semakin nyaring di telinganya. Ia berlari menuju gedung yang tidak jauh dari Bandara. Tapi saat sampai di sana, ia hanya mendapati puing-puing kehancuran dan sirine tanda bahaya yang meraung-raung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mereka itu, EMAS!

Mereka itu, EMAS! (Sebuah Pengantar) Tuhan Yang Mahakuat, Puji-puji ini untuk Engkau. Kepada Sang Nabi, saya haturkan Salawat: Semoga ka...