Andine memilih mendarat
terlebih dahulu di Surabaya. Ada sesuatu yang harus ia beli. Saat dua kakinya
mulai menjauh dari pintu keluar bandara, ia melihat dua orang yang begitu
serius dalam bercakap. Andine segera kabur dari sana dengan harapan, dua
kupingnya tidak mendengar jeritan isi kepala keduanya. Tapi ia gagal, seperti
ada yang menahan kakinya untuk melanjutkan langkah.
Dua
alis Andine hampir saja bertabrakan. Dua matanya tampak agak melotot. “Ini
sangat berbahaya. Akan banyak korban jika tidak dihentikan.” Panik, Andine
bergumam dalam hati. Garis-garis khawatir di wajahnya semakin menebal. Ia tahu,
tapi ia tidak pernah tahu harus melakukan apa.
Andine
terjebak dalam dimensi yang ia kuasai, tapi tidak pernah ia mengerti.
***
Jingga
semakin serius mencari tahu tentang apa yang ia alami. Mungkin –katanya suatu
ketika- saat masih kecil, apa yang ia alami memang sudah sangat nyata dan kuat.
Tapi jiwanya sebagai anak-anak belum bisa mengantarkannya pada satu titik
pemahaman. Sehingga hari ini –saat ia sudah dewasa- ia merasa harus mencari
tahu tentang semua yang hinggap di dirinya.
“Aku
mendapat sesuatu yang baru kemarin sore, Dan!”
Kafe
itu masih lengang. Hanya ada Jingga dan Zidan. Dengan kepala separuh sadar,
Zidan terus mencoba menafsirkan apa yang dikatakan oleh Jingga. Ia seperti
memutas masa. Atau setidaknya, 15 tahun yang lalu. Saat ia, dan beberapa
temannya, tepat jam satu dini hari, pergi ke tengah sawah. Dan di sana ada punden.
Pohonnya sudah sangat tua. Beberapa batangnya sudah tidak berdaun lagi. Mereka
duduk bersila. Lalu, tiba-tiba, saja, Joni merapal mantra dan beberapa detik
berikutnya, Toni rubuh. Mulutnya mengeluarkan asap dan suaranya berubah menjadi
sangat tebal dan keras. Zidan ingin kabur dari sana, tapi sudah terlambat.
“Apa
yang kamu dapat, Jingga?”
“Beberapa
saat yang lalu, aku bermimpi. Di dalam mimpiku, ada seorang Ibu berwajah aneh. Tapi
sangat cantik. Ia mengenalkan dirinya sebagai Farida. Lalu ia menarik tanganku
dan mengajakku ke sebuah tempat, yang aku tahu tempat itu Pager Alas;
sebuah makam tua –yang konon- menjadi makamnya para Wali. Sangat keramat dan
dikeramatkan. Bu Farida mengajakku masuk ke sana. Kemudian kami menziarahi satu
persatu makam yang ada di sana. Dan saat kami sedang khusu’ berdoa, tiba-tiba
saja ada orang muncul dari makam. Ia menatapku sambil melempar senyum. Di tangan
kanannya, tergantung sebuh ceret air. Wajahnya memancarkan cahaya putih. Aku mengahturkan
hormat. Lalu Bu Farida berbisik di telinga kananku. Ia berkata, bahwa laki-laki
yang barusan tersenyum padaku bernama Mbah Ceret.”
“Lalu?”
“Keesokan
harinya, aku bertanya pada Abi. Adakah orang bernama Mbah Ceret yang dinamakan
di Pager Alas?”
“Abi
jawab apa?”
“Abi
balik bertanya, apakah orang tersebut membawa ceret, hidungnya mancung,
wajahnya seputih cahaya?”
“Kamu
ganti jawab apa?”
“Iya,
Bi.”
“Bagaimana
respon Abi?”
“Abi
bilang itu namanya Mbah Ceret. Ia orang Arab. Diyakini warga setempat sebagai
Wali. Sepanjang hidupnya, ia selalu membawa ceret berisi air. Tujuannya, buat
jaga-jaga saat Mbah Ceret batal wudu, ia bisa langsung berwudu. Mbah Ceret –kata
Abi- tidak pernah punya tempat tinggal tetap. Ia terus berjalan memutari kampung.
Di setiap kampung yang ia datangi, ia selalu berbagi makanan kepada fakir
miskin.”
“Ooo...”
***
Hujan
sisa semalam tampak lucu di ujung dedaunan. Beberapa kabut juga tampak
menggelayut manja di lengan Lereng Lawu yang tampak melingkari rumah besar
berdinding jati tua itu. Beberapa perempuan berkerudung terlihat bersemangat
mengayunkan sapu lidinya. Harmoni tercipta di sana. Di halaman rumah seorang
Laki-laki tawadu’, yang mereka semuanya memanggil dengan nama Kiyai
Sangaji.
Kiyai
Sangaji, atau kerap juga dipanggil dengan nama Kiyai Aji, bukanlah seperti
kebanyakan Kiyai, Ustaz, Pendakwah, atau Motivator agama. Kiyai Aji terlemapar
dari kriteria yang disandang oleh mereka semua. Mobil mewah, pengawal pribadi,
jam terbang dan tayang yang sangat tinggi. Tidak. Kiyai Aji tidak begitu. Bahkan,
ada yang bilang, Kiyai Aji ini adalah kiyai palsu dan tidak bernasab. Hanya kebetulan
saja, Kiyai Aji punya Musala dan bisa melafalkan azan. Hanya begitu. Tidak
lebih.
Tapi
apa yang dibilang sebagian orang tentang Kiyai Aji memang benar adanya. Semua juga
paham, siapa Ayah dan Ibu Kiyai Aji. Bukan darah biru, dan bukan juga seorang
yang terkenal alim. Orang tua Kiyai Sangaji hanyalah buruh sawah; yang datang
ke sawah pagi buta dan pulang menjelang senja. Lalu kapan mereka beribadah? Tanya
Surya cemas.
Kiyai
Aji memahami posisinya. Ia juga memahami nasabnya. Tapi ia memang tidak pernah
peduli dengan sejuta label yang disematkan masyarakat padanya. Kiyai Aji ya
dirinya. Seorang Kiyai biasa yang tiap pagi harus menjawab beragam persoalan
yang dibawa oleh para tamu ke rumahnya. Mulai minta pelarisan sebagai PSK,
sampai minta doa agar aksi pencurian orang tersebut tidak bisa diungkap. Semua yang
datang pada Kiyai Aji tidak pernah pulang dengan hampa. Selalu ada kalimat
Kiyai Aji yang membuat hati mereka lega.
Suatu
ketika, saat Kiyai Aji masih merapalkan wirid di ambin depan Musala, ada
seorang tua renta datang padanya. Ia memperkenalkan diri sebagai Mbah Diro. Kiyai
Aji segera meletakkan tasbihnya yang sudah berubah warna. Ia harus meninggalkan
wirid wajibnya.
“Panjenengan
dari mana, Mbah?” tanya Kiyai Aji sambil memegang bahu erat bahu Mbah Diro. Lalu
menggandengnya menuju ruang tamu. “Nduk, buatkan kopi yang paling enak
dua, ya!” seru Kiyai Aji dari balik kelambu ruang tamu.
“Injeh,
Bapak.” Suara itu terdengar begitu pelan dan sopan. Sebuah suara yang tidak
tercipta begitu saja. Ada terapi ruhani yang panjang. Ada tirakat Kiyai Aji
yang tak kenal petang.
“Kulo
saking dusun sebelah. Mboten gadah papan; tidak punya rumah. Kulo
sowan dating mriki amargi enten ingkang perlu kulo tangkletaken dating panjenengan.”
“Wonten
masalah nopo, Mbah? Seandainya bisa, pasti saya jawab.” Hati-hati, Kiyai
Aji menimpali kalimat-kalimat Mbah Diro.
“Mekaten,
Kiyai. Riyen kulo memang pernah syahadat. Nangung kulo mboten pernah
paham, agamo kulo niki nopo?. Selain hanya mendengar azan, kulo namung mireng
bilih kulo niki gadah Rasul. Ingkan paring asma Nabi Muhammad SAW.” Mbah
Diro mengambil napas dalam-dalam. “Kulo mboten peduli, Kiyai. Terserah Gusti
Pengeran ajengan nyalap kulo dating neroko. Kulo naming tresno sanget kaleh
Kanjeng Nabi meniko. Duko niki, manah kulo kok paring atur ngoten. Milo niku, kulo
titip arto niki. Kulo kepingin nyangoni Kanjeng Nabi. Panjenengan salamaken dating
Kanjeng Nabi, bilih Diro rindu Kanjeng Nabi.”
Mbah
Diro membetulkan posisinya sambil terbatuk. Berbicara agak panjang mebuat
tenggorokan tuanya cekat. Seperti ada semut yang usil menggaruk-garuknya.
“Injeh.”
Singkat, Kiyai Aji menanggapi kalimat panjang Mbah Diro.
“Nek
ngoten, kulo nyuwun pamit, Kiyai.” Mbah Diro meraih tangan Kiyai Aji dan
berusaha menciumnya. Kiyai Aji dengan cepet menariknya.
Tiba-tiba
tubuh Kiyai Aji membeku. Dua tangannya masih menggenggam erat jemari Mbah Diro
yang seperti tidak ada tulangnya. Begitu berhasil lepas, Mbah Diro bergegas
melangkah keluar dan meninggal bungkusan plastic hitam.
Mbah
Diro tidak mengucapkan salam. Tapi tubuh rentanya sudah ditelan kabut. Kiyai Aji
masih terpaku di tempatnya. Sendi-sendinya terasa sangat ngilu dan dua kakinya
tidak bisa digerakkan. Lalu ia rubuh. Tubuhnya membujur di lantai rumahnya yang
masih belum berubin.
Nilna
menjerit histeris saat mendapati Bapaknya tidak sadarkan diri di lantai.
***
“Jadi
begitu, Dan. Abi bercerita panjang lebar tentang Mbah Ceret, yang nama aslinya
tidak disebutkan oleh Abi. Ketika aku tanya, Abi hanya menggeleng tidak tahu. Tapi
aku yakin, Abi pasti mengetahuinya. Tapi tidak masalah. Aku akan tanya Bu
Farida.”
“Memangnya
kamu bisa bertemu lagi dengan Bu Farida?”
“Bisa,
lah. Kan, ia sudah bilang akan mengawalku terus sampai nanti.”
“Kapan?”
“Saat
aku sudah menikah.”
Zidan
menelan ludah. Dua tangannya terasa sangat dingin. Ia meraih cangkir kopi di
depannya. Sekadar menghilangkan derap jantung yang meningkat getarannya.
“Atau
mungkin, setelah kamu menikah, semua yang kau dapat hari ini akan hilang
semuanya?” Zidan seolah tak percaya dengan apa yang didengarnya baru saja.
“Kayaknya
begitu.”
“Memang
Abi sudah siap dengan menantu orang Jawa?”
Kelakar
Zidan memenuhi rungan kafe langganan mereka.
Dan,
air mata itu menetes juga. Zidan segera bereaksi. Niat bercandanya mendapat
tanggapan lain dari Jingga.
Sekali
lagi, air mata Jingga adalah sesuatu yang paling ia sesali. Tubuh Zidan
berontak sangat kuat. Ia ingin memutar waktu kembali ke beberapa waktu
sebelumnya. Namun yang ia dapati, dua pipih Jingga sudah basah.
***
Andine
menelepon Amni. Tapi sepuluh panggilannya tidak pernah terjawab. Dan suara itu
semakin nyaring di telinganya. Ia berlari menuju gedung yang tidak jauh dari
Bandara. Tapi saat sampai di sana, ia hanya mendapati puing-puing kehancuran
dan sirine tanda bahaya yang meraung-raung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar