Jumat, 19 Februari 2021

Lingkaran Linuih

 


Bulshit. Apa itu Kakang Kawah. Sementara Tuhan saja aku nggak percaya. Hidup ini logis. Matematis. Aksi dan reaksi. Bukan berendam di lumpur ruang antah berantah seperti ini. Rimba Amniotik yang musti dihuni oleh keganjilan hanyalah fiksi. Sekali lagi, hidup itu hasil daya berpikir otak. Bukan menduga-duga ketidakpastian.” Andine meracau, sambil sesekali mengurut keningnya yang terasa pening sejak membuka lembaran buku pemberian Amni. Sebagai sesorang yang tidak percaya dengan adanya Tuhan, sudah pasti ia akan menolak narasi-narasi seperti yang disajikan buku itu. Bagi seorang Andine, Kakang Kawah itu hanyalah bualan.

            Malam mulai datang. Tapi Andine masih belum beranjak dari Kafe Senja. Meski sekuat tenaga ia menolak semua tentang kegaiban, ruang sempit dalam otaknya masih sempat memikirkannya. 

                   Roman datang menghampiri Andine.

            “Mbak Andine sudah hampir setengah hari di sini! Minimal Mbak Andine berdamai dululah dengan bak mandi.”

            “Sudah. Lap saja tumpahan itu. Butuh tambahan tenaga?”

            Hmm.”

            Papan kecil bertuliskan “Close” menggantung di gagang pintu. “Mbak Andine mau jadi security? Lumayan ada tambahan profit. Ketimbang Mbak Andine kesepian.”

            Andine bergeming. Ia menatap langit lekat-lekat

***

            “Abi. Jingga tadi tidak sendiri. Ada Jialang dan Ali Baba yang menemani Jingga. Mereka berdua baik sekali, Bi. Setiap sore pasti datang untuk bermain. Mereka juga sering bawa jajan lo, Bi.”

            Gadis kecil itu begitu polos. Ia menceritakan semua yang dikhawatirkan oleh Abi. Sudah setahun ini, Abi mempunyai pengawasan lebih terhadap Jingga. Sebab, dua nama yang sering disebut Jingga pernah datang di mimpi Abi ketika Jingga belum lahir. Juga ada satu nama lain yang sering meluncur dari bibir mungil Jingga. Ia bernama Berdus. Seorang perempuan cantik. Tinggi. Dan selalu mengenakan kerudung putih. Tapi ia tidak sesering Jialang dan Ali Baba mengunjungi Jingga.

***

            “Aku yakin Abi percaya dengan ceritaku,” kata Jingga meyakinkan. Zidan masih saja mengunyah permen karetnya. Zidan bersahabat dengan Jingga sejak keduanya di bangku SMA. Kemudian berpisah jarak untuk menempuh jenjang Sarjana. Begitu lulus, mereka bersama lagi. Dari sekian banyak temannya, hanya Zidan yang mempunyai kriteria bisa diajak bicara.

            “Ini, kan, sudah berungkali kamu ceritakan ke aku, Jingga. Apa lagi yang musti kamu pertanyakan lagi. Sudahlah, aku yakin Abi jauh lebih mengerti dari yang kamu tahu. Selain Jialang, Ali Baba, dan Berdus, ada siapa lagi sekarang, Jingga? Huh!” Zidan cemberut. Ada kekesalan di wajahnya.

            “Jadi, kamu sudah bosan denger ceritaku? Oke! Mulai jam sembilan malam tepat, teleponku pasti mati!”

            “Eh. Ya bukan begitu Jingga. Maksudku, ada cerita baru, nggak?”

            Jingga mengulum senyum.

            “Sekarang tambah gila, Dan! Sejak Jialang dan Ali Baba tidak pernah datang lagi, dua mataku bisa melihat semuanya yang orang lain nggak bisa lihat. Aku bisa tahu hatimu sekarang sedang ngomong apa. Bukan hanya itu, aku bisa lihat tanda kematian seseorang. Kayak Mak Lah! Tahu, kan, kamu Mak Lah yang sering aku cerita?”

            Zidan mengangguk.

            “Dulu, sehari sebelum meninggal, Mak Lah mencariku. Aku takut. Tapi akhirnya bisa ketemu aku. Apa cobak, yang Mak Lah katakan?”

            Zidan mengangkat dua bahunya.

            “Ia bilang akan pergi jauh. Bilang ke Abi, Mak Lah nanti mau dikirimin doa!”

            Dua bibir Zidan membundar.

            “Itu baru satu, Dan. Sadis sekarang. Aku nggak tahu kenapa aku bisa begini!” Jingga menampakkan wajah penyesalan. Zidan dengan cepat menepuk bahu Jingga.

            “Tenang.”

            “Tenang bagaimana? Tiap kali ada rumah yang akan berduka, dua lubang hidungku selalu mencium bau kamper. Menyengat sekali. Belum lagi, semisal kalau orang yang meninggal itu nggak baik, suara teriakan siksa itu begitu nyaring di kupingku. Jika sudah begitu, tiga hari tiga malam, aku akan selalu terjaga. Sebab, jika aku berusaha tidur, pasti akan ada suara yang berkata, aku akan mati!”

            Zidan menggeleng. Wajahnya tampak sangat prihatin. Ia tidak bisa membayangkan jika apa yang dialami Jingga, ia alami juga.

            “Aku tidak mungkin bilang kamu harus tenang. Aku juga tidak mungkin bilang kamu harus sabar. Tapi aku pastikan, aku akan selalu di sampingmu.”

            Pertemuan siang itu begitu manis. Jingga dan Zidan adalah pasangan yang serasi. Satu gila, satunya lebih gila lagi.

            ***

            “Ada kejadian apa lagi, Ngga?” tanya Zidan sambil menarik kursi untuk Jingga.

            “Aku sedih sekarang. Rara, temanku yang sering minjemin uang pas SMA dulu, meneleponku. Ia hamil tua, dan akan operasi cesar.” Jingga meraih gelas yang berisi air putih di depannya. Lalu menggeleng pelan. Dan beberapa bulir air matanya jatuh. Zidan hanya menatapnya hati-hati.

            “Sudah. Jangan dilanjutkan. Kita makan saja, Ngga. Orang gila itu butuh asupan gizi berlebih. Biar kuat menghadapi semua kegilaan yang datang tiba-tiba.” Dua tangan Zidan memegang erat lengan Jingga. “Aku yakin, Tuhan sudah menyiapkan semuanya. Tidak mungkin Tuhan ngasal milih kamu.”

            “Dan. Perlu kamu tahu, tiba-tiba saja, ada yang memberitahuku bahwa Rara dan anaknya, besok akan meninggal. Aku sudah melawannya. Tapi nyatanya, semua memang kejadian. Rara dan anaknya tidak selamat dalam operasi itu, Dan.”

            Zidan bengong.

            “Jika itu memang kehendak Tuhan, oke, aku percaya. Lalu apa gunanya pemberitahuan itu? Sia-sia, kan? Toh, aku juga tidak bisa menghentikannya.”

            Tangisan Jingga pecah sore itu. Ia membenamkan wajahnya di hamparan meja. Zidan hanya bisa menatapnya. Tangisan Jingga adalah sesuatu yang paling ia sesali sejak dulu.

***

            Andine memutuskan untuk meninggalkan Jakarta. Ia berencana menyusul orang tuanya di Bali. Buku aneh itu ada dalam gamitannya. Seperti kata pepatah, semakin dibenci, maka akan semakin dicintai. Buku yang menggambarkan tentang Kakang Kawah masih saja belum ia bakar. Padahal, sudah sepuluh kali ia berujar akan membakar buku itu. Ada satu bagian dari buku itu yang membuat kelogisan pikirannya tereduksi. Bagian itu tentang orang-orang yang terpilih. Tidak saling mengenal satu sama lain, tapi akan bertemu pada satu tempat yang dijanjikan.

             

2 komentar:

Mereka itu, EMAS!

Mereka itu, EMAS! (Sebuah Pengantar) Tuhan Yang Mahakuat, Puji-puji ini untuk Engkau. Kepada Sang Nabi, saya haturkan Salawat: Semoga ka...