“Bulshit. Apa itu
Kakang Kawah. Sementara Tuhan saja aku nggak percaya. Hidup ini logis.
Matematis. Aksi dan reaksi. Bukan berendam di lumpur ruang antah berantah
seperti ini. Rimba Amniotik yang musti dihuni oleh keganjilan hanyalah fiksi.
Sekali lagi, hidup itu hasil daya berpikir otak. Bukan menduga-duga
ketidakpastian.” Andine meracau, sambil sesekali mengurut keningnya yang terasa
pening sejak membuka lembaran buku pemberian Amni. Sebagai sesorang yang tidak
percaya dengan adanya Tuhan, sudah pasti ia akan menolak narasi-narasi seperti
yang disajikan buku itu. Bagi seorang Andine, Kakang Kawah itu hanyalah bualan.
Malam mulai datang. Tapi Andine masih belum beranjak dari Kafe Senja. Meski sekuat tenaga ia menolak semua tentang kegaiban, ruang sempit dalam otaknya masih sempat memikirkannya.
Roman datang menghampiri Andine.
“Mbak Andine sudah hampir setengah hari di sini! Minimal Mbak Andine berdamai dululah dengan bak
mandi.”
“Sudah.
Lap saja tumpahan itu. Butuh tambahan tenaga?”
“Hmm.”
Papan
kecil bertuliskan “Close” menggantung di gagang pintu. “Mbak Andine mau jadi security?
Lumayan ada tambahan profit. Ketimbang Mbak Andine kesepian.”
Andine
bergeming. Ia menatap langit lekat-lekat
***
“Abi.
Jingga tadi tidak sendiri. Ada Jialang dan Ali Baba yang menemani Jingga.
Mereka berdua baik sekali, Bi. Setiap sore pasti datang untuk bermain. Mereka
juga sering bawa jajan lo, Bi.”
Gadis
kecil itu begitu polos. Ia menceritakan semua yang dikhawatirkan oleh Abi.
Sudah setahun ini, Abi mempunyai pengawasan lebih terhadap Jingga. Sebab, dua nama
yang sering disebut Jingga pernah datang di mimpi Abi ketika Jingga belum
lahir. Juga ada satu nama lain yang sering meluncur dari bibir mungil Jingga.
Ia bernama Berdus. Seorang perempuan cantik. Tinggi. Dan selalu mengenakan
kerudung putih. Tapi ia tidak sesering Jialang dan Ali Baba mengunjungi Jingga.
***
“Aku
yakin Abi percaya dengan ceritaku,” kata Jingga meyakinkan. Zidan masih saja
mengunyah permen karetnya. Zidan bersahabat dengan Jingga sejak keduanya di
bangku SMA. Kemudian berpisah jarak untuk menempuh jenjang Sarjana. Begitu
lulus, mereka bersama lagi. Dari sekian banyak temannya, hanya Zidan yang
mempunyai kriteria bisa diajak bicara.
“Ini,
kan, sudah berungkali kamu ceritakan ke aku, Jingga. Apa lagi yang musti kamu
pertanyakan lagi. Sudahlah, aku yakin Abi jauh lebih mengerti dari yang kamu
tahu. Selain Jialang, Ali Baba, dan Berdus, ada siapa lagi sekarang, Jingga?
Huh!” Zidan cemberut. Ada kekesalan di wajahnya.
“Jadi,
kamu sudah bosan denger ceritaku? Oke! Mulai jam sembilan malam tepat, teleponku
pasti mati!”
“Eh.
Ya bukan begitu Jingga. Maksudku, ada cerita baru, nggak?”
Jingga
mengulum senyum.
“Sekarang
tambah gila, Dan! Sejak Jialang dan Ali Baba tidak pernah datang lagi, dua
mataku bisa melihat semuanya yang orang lain nggak bisa lihat. Aku bisa tahu
hatimu sekarang sedang ngomong apa. Bukan hanya itu, aku bisa lihat tanda
kematian seseorang. Kayak Mak Lah! Tahu, kan, kamu Mak Lah yang sering
aku cerita?”
Zidan
mengangguk.
“Dulu,
sehari sebelum meninggal, Mak Lah mencariku. Aku takut. Tapi akhirnya bisa ketemu
aku. Apa cobak, yang Mak Lah katakan?”
Zidan
mengangkat dua bahunya.
“Ia
bilang akan pergi jauh. Bilang ke Abi, Mak Lah nanti mau dikirimin doa!”
Dua
bibir Zidan membundar.
“Itu
baru satu, Dan. Sadis sekarang. Aku nggak tahu kenapa aku bisa begini!” Jingga menampakkan
wajah penyesalan. Zidan dengan cepat menepuk bahu Jingga.
“Tenang.”
“Tenang
bagaimana? Tiap kali ada rumah yang akan berduka, dua lubang hidungku selalu mencium
bau kamper. Menyengat sekali. Belum lagi, semisal kalau orang yang meninggal itu
nggak baik, suara teriakan siksa itu begitu nyaring di kupingku. Jika sudah begitu,
tiga hari tiga malam, aku akan selalu terjaga. Sebab, jika aku berusaha tidur, pasti
akan ada suara yang berkata, aku akan mati!”
Zidan
menggeleng. Wajahnya tampak sangat prihatin. Ia tidak bisa membayangkan jika apa
yang dialami Jingga, ia alami juga.
“Aku
tidak mungkin bilang kamu harus tenang. Aku juga tidak mungkin bilang kamu harus
sabar. Tapi aku pastikan, aku akan selalu di sampingmu.”
Pertemuan
siang itu begitu manis. Jingga dan Zidan adalah pasangan yang serasi. Satu gila,
satunya lebih gila lagi.
***
“Ada
kejadian apa lagi, Ngga?” tanya Zidan sambil menarik kursi untuk Jingga.
“Aku
sedih sekarang. Rara, temanku yang sering minjemin uang pas SMA dulu, meneleponku.
Ia hamil tua, dan akan operasi cesar.” Jingga meraih gelas yang berisi air putih
di depannya. Lalu menggeleng pelan. Dan beberapa bulir air matanya jatuh. Zidan
hanya menatapnya hati-hati.
“Sudah.
Jangan dilanjutkan. Kita makan saja, Ngga. Orang gila itu butuh asupan gizi berlebih.
Biar kuat menghadapi semua kegilaan yang datang tiba-tiba.” Dua tangan Zidan memegang
erat lengan Jingga. “Aku yakin, Tuhan sudah menyiapkan semuanya. Tidak mungkin Tuhan
ngasal milih kamu.”
“Dan.
Perlu kamu tahu, tiba-tiba saja, ada yang memberitahuku bahwa Rara dan anaknya,
besok akan meninggal. Aku sudah melawannya. Tapi nyatanya, semua memang kejadian.
Rara dan anaknya tidak selamat dalam operasi itu, Dan.”
Zidan
bengong.
“Jika
itu memang kehendak Tuhan, oke, aku percaya. Lalu apa gunanya pemberitahuan itu?
Sia-sia, kan? Toh, aku juga tidak bisa menghentikannya.”
Tangisan
Jingga pecah sore itu. Ia membenamkan wajahnya di hamparan meja. Zidan hanya bisa
menatapnya. Tangisan Jingga adalah sesuatu yang paling ia sesali sejak dulu.
***
Andine
memutuskan untuk meninggalkan Jakarta. Ia berencana menyusul orang tuanya di Bali.
Buku aneh itu ada dalam gamitannya. Seperti kata pepatah, semakin dibenci, maka
akan semakin dicintai. Buku yang menggambarkan tentang Kakang Kawah masih saja belum
ia bakar. Padahal, sudah sepuluh kali ia berujar akan membakar buku itu. Ada satu
bagian dari buku itu yang membuat kelogisan pikirannya tereduksi. Bagian itu tentang
orang-orang yang terpilih. Tidak saling mengenal satu sama lain, tapi akan bertemu
pada satu tempat yang dijanjikan.
Hangat n dingin
BalasHapusMantab kakak
BalasHapus