Selamat pagi perempuan yang
kalau belum jam dua dini hari belum ngantuk. Semoga engkau tetap menjadi
gradasi pelangi, pelukan hangat, dan peredam rindu terbaik. Apa kabar yang
engkau punya kali ini? Apakah masih tentang lucunya rintik hujan yang menyusup
di sela-sela alismu? Ataukah tentang laki-laki kecil yang mengunyah sepuluh
permen di balik pintu lemari? Apa pun itu, jika engkau yang bercerita, maka,
masih tetap seperti dulu, semilir angin akan berhenti, rerumputan menjeda
napas, dan daun-daun menolak untuk berjatuhan. Sebab, yang mereka ingin
hanyalah mengamatimu bermain dengan prosa, dan juga bait-bait puisi tentang
hujan, laki-laki kecil.
Dalam banyak hal, aku selalu
mempunyai kekhawatiran. Apakah aku akan terus bisa meredam rindu, sementara
suaramu selalu datang menggema layaknya Azan Subuh pagi ini. Mendarat dalam
sepinya langit yang masih terselimuti malam. Aku takut itu akan menjadi
keabadian. Sebab, para musafir itu kini lebih memilih mendirikan tenda-tenda di
dekat sungai yang airnya mulai mengering. Tatkala kutanya tentang kaki-kaki
mereka, yang kudapat hanyalah gelengan kepala. Bukan anggukan penuh semangat
seperti rindu yang kugenggam ini. Bahkan bukan hanya hangat lagi, tapi juga
sudah mendidih. Percikan panasnya membakar apa saja. Aku memaksa mereka untuk
segera berjalan. Namun rinduku tak ingin menunggu.
Juga tentang mentari yang
selalu saja ingin menggantikanmu bercahaya. Aku tahu, itu tidak mungkin. Sebab,
engkau adalah pemilik mentari itu. Pengelola cahaya yang membuat dua mataku
bisa membingkai pesan, jika memang apa yang ada tidak pernah bisa sepadan
denganmu. Tapi aku menjadi sangat khawatir, saat aku tahu, dunia tak lagi sama.
Tak selucu yang dulu. Dunia ini tidak lagi berkisah tentang sepasang tua renta
yang sedang menikmati secangkir teh hangat di kaki Arjuna. Lalu saling
membersihkan bulir air yang tersisa di gagangnya. Kemudian saling menggandeng
tangan untuk menguatkan dan juga memastikan jika besok, lusa, kapan pun akan
tetap baik-baik saja.
Ah andai kau tahu, penderitaan
terpedih adalah mengkalimatkanmu tapi tidak tahu kapan harus membuat titik. Dan
marah, tanpa harus ada yang membuat tenang. Atau setidaknya ada yang
memberitahuku bahwa burung itu baru saja hinggap di kamar jendelamu. Mengintipmu
memeluk erat seorang laki-laki kecil untuk menjuhkannya dari ketakutan-ketakutan
yang datang semalam. Tidak ada. Tidak ada yang memberitahuku itu semua. Aku adalah
hampa yang tanpa jeda.
Terimakasih atas surat singkat
ini. Selanjutnya, biar aku memulainya lagi. Dari rindu ke rindu yang lain.
Semoga kau tetap menjadi produsen senyumku.
Besok, entah lusa, aku akan
berkirim surat lagi. Mungkin tentang bunga-bunga di sekitar rumah yang mulai
bermekaran dan mengundang lebah untuk datang mengitarinya.
Uwuwuwu. Ini rayuan untuk Bu Luthfi_madu
BalasHapusEnggeh Bu Mus. Peripun kabarnya?
HapusMengalir dan adeem seperti Mus hujan ini....
BalasHapusSejuk Bu. Kayak Tulungagung yang terusan diguyur hujan.
Hapus