Senin, 09 November 2020

Surat untuk Habsyiyah

 


Selamat pagi perempuan yang kalau belum jam dua dini hari belum ngantuk. Semoga engkau tetap menjadi gradasi pelangi, pelukan hangat, dan peredam rindu terbaik. Apa kabar yang engkau punya kali ini? Apakah masih tentang lucunya rintik hujan yang menyusup di sela-sela alismu? Ataukah tentang laki-laki kecil yang mengunyah sepuluh permen di balik pintu lemari? Apa pun itu, jika engkau yang bercerita, maka, masih tetap seperti dulu, semilir angin akan berhenti, rerumputan menjeda napas, dan daun-daun menolak untuk berjatuhan. Sebab, yang mereka ingin hanyalah mengamatimu bermain dengan prosa, dan juga bait-bait puisi tentang hujan, laki-laki kecil.

Dalam banyak hal, aku selalu mempunyai kekhawatiran. Apakah aku akan terus bisa meredam rindu, sementara suaramu selalu datang menggema layaknya Azan Subuh pagi ini. Mendarat dalam sepinya langit yang masih terselimuti malam. Aku takut itu akan menjadi keabadian. Sebab, para musafir itu kini lebih memilih mendirikan tenda-tenda di dekat sungai yang airnya mulai mengering. Tatkala kutanya tentang kaki-kaki mereka, yang kudapat hanyalah gelengan kepala. Bukan anggukan penuh semangat seperti rindu yang kugenggam ini. Bahkan bukan hanya hangat lagi, tapi juga sudah mendidih. Percikan panasnya membakar apa saja. Aku memaksa mereka untuk segera berjalan. Namun rinduku tak ingin menunggu.

Juga tentang mentari yang selalu saja ingin menggantikanmu bercahaya. Aku tahu, itu tidak mungkin. Sebab, engkau adalah pemilik mentari itu. Pengelola cahaya yang membuat dua mataku bisa membingkai pesan, jika memang apa yang ada tidak pernah bisa sepadan denganmu. Tapi aku menjadi sangat khawatir, saat aku tahu, dunia tak lagi sama. Tak selucu yang dulu. Dunia ini tidak lagi berkisah tentang sepasang tua renta yang sedang menikmati secangkir teh hangat di kaki Arjuna. Lalu saling membersihkan bulir air yang tersisa di gagangnya. Kemudian saling menggandeng tangan untuk menguatkan dan juga memastikan jika besok, lusa, kapan pun akan tetap baik-baik saja.

Ah andai kau tahu, penderitaan terpedih adalah mengkalimatkanmu tapi tidak tahu kapan harus membuat titik. Dan marah, tanpa harus ada yang membuat tenang. Atau setidaknya ada yang memberitahuku bahwa burung itu baru saja hinggap di kamar jendelamu. Mengintipmu memeluk erat seorang laki-laki kecil untuk menjuhkannya dari ketakutan-ketakutan yang datang semalam. Tidak ada. Tidak ada yang memberitahuku itu semua. Aku adalah hampa yang tanpa jeda.

Terimakasih atas surat singkat ini. Selanjutnya, biar aku memulainya lagi. Dari rindu ke rindu yang lain. Semoga kau tetap menjadi produsen senyumku.

 

Besok, entah lusa, aku akan berkirim surat lagi. Mungkin tentang bunga-bunga di sekitar rumah yang mulai bermekaran dan mengundang lebah untuk datang mengitarinya.

 

4 komentar:

Mereka itu, EMAS!

Mereka itu, EMAS! (Sebuah Pengantar) Tuhan Yang Mahakuat, Puji-puji ini untuk Engkau. Kepada Sang Nabi, saya haturkan Salawat: Semoga ka...