Selasa, 23 Februari 2021

Kiyai Sangaji

 





Andine memilih mendarat terlebih dahulu di Surabaya. Ada sesuatu yang harus ia beli. Saat dua kakinya mulai menjauh dari pintu keluar bandara, ia melihat dua orang yang begitu serius dalam bercakap. Andine segera kabur dari sana dengan harapan, dua kupingnya tidak mendengar jeritan isi kepala keduanya. Tapi ia gagal, seperti ada yang menahan kakinya untuk melanjutkan langkah.

            Dua alis Andine hampir saja bertabrakan. Dua matanya tampak agak melotot. “Ini sangat berbahaya. Akan banyak korban jika tidak dihentikan.” Panik, Andine bergumam dalam hati. Garis-garis khawatir di wajahnya semakin menebal. Ia tahu, tapi ia tidak pernah tahu harus melakukan apa.

            Andine terjebak dalam dimensi yang ia kuasai, tapi tidak pernah ia mengerti.

***

            Jingga semakin serius mencari tahu tentang apa yang ia alami. Mungkin –katanya suatu ketika- saat masih kecil, apa yang ia alami memang sudah sangat nyata dan kuat. Tapi jiwanya sebagai anak-anak belum bisa mengantarkannya pada satu titik pemahaman. Sehingga hari ini –saat ia sudah dewasa- ia merasa harus mencari tahu tentang semua yang hinggap di dirinya.

            “Aku mendapat sesuatu yang baru kemarin sore, Dan!”

            Kafe itu masih lengang. Hanya ada Jingga dan Zidan. Dengan kepala separuh sadar, Zidan terus mencoba menafsirkan apa yang dikatakan oleh Jingga. Ia seperti memutas masa. Atau setidaknya, 15 tahun yang lalu. Saat ia, dan beberapa temannya, tepat jam satu dini hari, pergi ke tengah sawah. Dan di sana ada punden. Pohonnya sudah sangat tua. Beberapa batangnya sudah tidak berdaun lagi. Mereka duduk bersila. Lalu, tiba-tiba, saja, Joni merapal mantra dan beberapa detik berikutnya, Toni rubuh. Mulutnya mengeluarkan asap dan suaranya berubah menjadi sangat tebal dan keras. Zidan ingin kabur dari sana, tapi sudah terlambat.

            “Apa yang kamu dapat, Jingga?”

            “Beberapa saat yang lalu, aku bermimpi. Di dalam mimpiku, ada seorang Ibu berwajah aneh. Tapi sangat cantik. Ia mengenalkan dirinya sebagai Farida. Lalu ia menarik tanganku dan mengajakku ke sebuah tempat, yang aku tahu tempat itu Pager Alas; sebuah makam tua –yang konon- menjadi makamnya para Wali. Sangat keramat dan dikeramatkan. Bu Farida mengajakku masuk ke sana. Kemudian kami menziarahi satu persatu makam yang ada di sana. Dan saat kami sedang khusu’ berdoa, tiba-tiba saja ada orang muncul dari makam. Ia menatapku sambil melempar senyum. Di tangan kanannya, tergantung sebuh ceret air. Wajahnya memancarkan cahaya putih. Aku mengahturkan hormat. Lalu Bu Farida berbisik di telinga kananku. Ia berkata, bahwa laki-laki yang barusan tersenyum padaku bernama Mbah Ceret.”

            “Lalu?”

            “Keesokan harinya, aku bertanya pada Abi. Adakah orang bernama Mbah Ceret yang dinamakan di Pager Alas?”

            “Abi jawab apa?”

            “Abi balik bertanya, apakah orang tersebut membawa ceret, hidungnya mancung, wajahnya seputih cahaya?”

            “Kamu ganti jawab apa?”

            “Iya, Bi.”

            “Bagaimana respon Abi?”

            “Abi bilang itu namanya Mbah Ceret. Ia orang Arab. Diyakini warga setempat sebagai Wali. Sepanjang hidupnya, ia selalu membawa ceret berisi air. Tujuannya, buat jaga-jaga saat Mbah Ceret batal wudu, ia bisa langsung berwudu. Mbah Ceret –kata Abi- tidak pernah punya tempat tinggal tetap. Ia terus berjalan memutari kampung. Di setiap kampung yang ia datangi, ia selalu berbagi makanan kepada fakir miskin.”

            “Ooo...”

***

            Hujan sisa semalam tampak lucu di ujung dedaunan. Beberapa kabut juga tampak menggelayut manja di lengan Lereng Lawu yang tampak melingkari rumah besar berdinding jati tua itu. Beberapa perempuan berkerudung terlihat bersemangat mengayunkan sapu lidinya. Harmoni tercipta di sana. Di halaman rumah seorang Laki-laki tawadu’, yang mereka semuanya memanggil dengan nama Kiyai Sangaji.

            Kiyai Sangaji, atau kerap juga dipanggil dengan nama Kiyai Aji, bukanlah seperti kebanyakan Kiyai, Ustaz, Pendakwah, atau Motivator agama. Kiyai Aji terlemapar dari kriteria yang disandang oleh mereka semua. Mobil mewah, pengawal pribadi, jam terbang dan tayang yang sangat tinggi. Tidak. Kiyai Aji tidak begitu. Bahkan, ada yang bilang, Kiyai Aji ini adalah kiyai palsu dan tidak bernasab. Hanya kebetulan saja, Kiyai Aji punya Musala dan bisa melafalkan azan. Hanya begitu. Tidak lebih.

            Tapi apa yang dibilang sebagian orang tentang Kiyai Aji memang benar adanya. Semua juga paham, siapa Ayah dan Ibu Kiyai Aji. Bukan darah biru, dan bukan juga seorang yang terkenal alim. Orang tua Kiyai Sangaji hanyalah buruh sawah; yang datang ke sawah pagi buta dan pulang menjelang senja. Lalu kapan mereka beribadah? Tanya Surya cemas.

            Kiyai Aji memahami posisinya. Ia juga memahami nasabnya. Tapi ia memang tidak pernah peduli dengan sejuta label yang disematkan masyarakat padanya. Kiyai Aji ya dirinya. Seorang Kiyai biasa yang tiap pagi harus menjawab beragam persoalan yang dibawa oleh para tamu ke rumahnya. Mulai minta pelarisan sebagai PSK, sampai minta doa agar aksi pencurian orang tersebut tidak bisa diungkap. Semua yang datang pada Kiyai Aji tidak pernah pulang dengan hampa. Selalu ada kalimat Kiyai Aji yang membuat hati mereka lega.

            Suatu ketika, saat Kiyai Aji masih merapalkan wirid di ambin depan Musala, ada seorang tua renta datang padanya. Ia memperkenalkan diri sebagai Mbah Diro. Kiyai Aji segera meletakkan tasbihnya yang sudah berubah warna. Ia harus meninggalkan wirid wajibnya.

            Panjenengan dari mana, Mbah?” tanya Kiyai Aji sambil memegang bahu erat bahu Mbah Diro. Lalu menggandengnya menuju ruang tamu. “Nduk, buatkan kopi yang paling enak dua, ya!” seru Kiyai Aji dari balik kelambu ruang tamu.

            Injeh, Bapak.” Suara itu terdengar begitu pelan dan sopan. Sebuah suara yang tidak tercipta begitu saja. Ada terapi ruhani yang panjang. Ada tirakat Kiyai Aji yang tak kenal petang.

            Kulo saking dusun sebelah. Mboten gadah papan; tidak punya rumah. Kulo sowan dating mriki amargi enten ingkang perlu kulo tangkletaken dating panjenengan.”

            Wonten masalah nopo, Mbah? Seandainya bisa, pasti saya jawab.” Hati-hati, Kiyai Aji menimpali kalimat-kalimat Mbah Diro.

            Mekaten, Kiyai. Riyen kulo memang pernah syahadat. Nangung kulo mboten pernah paham, agamo kulo niki nopo?. Selain hanya mendengar azan, kulo namung mireng bilih kulo niki gadah Rasul. Ingkan paring asma Nabi Muhammad SAW.” Mbah Diro mengambil napas dalam-dalam. “Kulo mboten peduli, Kiyai. Terserah Gusti Pengeran ajengan nyalap kulo dating neroko. Kulo naming tresno sanget kaleh Kanjeng Nabi meniko. Duko niki, manah kulo kok paring atur ngoten. Milo niku, kulo titip arto niki. Kulo kepingin nyangoni Kanjeng Nabi. Panjenengan salamaken dating Kanjeng Nabi, bilih Diro rindu Kanjeng Nabi.

            Mbah Diro membetulkan posisinya sambil terbatuk. Berbicara agak panjang mebuat tenggorokan tuanya cekat. Seperti ada semut yang usil menggaruk-garuknya.

            Injeh.” Singkat, Kiyai Aji menanggapi kalimat panjang Mbah Diro.

            “Nek ngoten, kulo nyuwun pamit, Kiyai.” Mbah Diro meraih tangan Kiyai Aji dan berusaha menciumnya. Kiyai Aji dengan cepet menariknya.

            Tiba-tiba tubuh Kiyai Aji membeku. Dua tangannya masih menggenggam erat jemari Mbah Diro yang seperti tidak ada tulangnya. Begitu berhasil lepas, Mbah Diro bergegas melangkah keluar dan meninggal bungkusan plastic hitam.

            Mbah Diro tidak mengucapkan salam. Tapi tubuh rentanya sudah ditelan kabut. Kiyai Aji masih terpaku di tempatnya. Sendi-sendinya terasa sangat ngilu dan dua kakinya tidak bisa digerakkan. Lalu ia rubuh. Tubuhnya membujur di lantai rumahnya yang masih belum berubin.

            Nilna menjerit histeris saat mendapati Bapaknya tidak sadarkan diri di lantai.

            ***

            “Jadi begitu, Dan. Abi bercerita panjang lebar tentang Mbah Ceret, yang nama aslinya tidak disebutkan oleh Abi. Ketika aku tanya, Abi hanya menggeleng tidak tahu. Tapi aku yakin, Abi pasti mengetahuinya. Tapi tidak masalah. Aku akan tanya Bu Farida.”

            “Memangnya kamu bisa bertemu lagi dengan Bu Farida?”

            “Bisa, lah. Kan, ia sudah bilang akan mengawalku terus sampai nanti.”

            “Kapan?”

            “Saat aku sudah menikah.”

            Zidan menelan ludah. Dua tangannya terasa sangat dingin. Ia meraih cangkir kopi di depannya. Sekadar menghilangkan derap jantung yang meningkat getarannya.

            “Atau mungkin, setelah kamu menikah, semua yang kau dapat hari ini akan hilang semuanya?” Zidan seolah tak percaya dengan apa yang didengarnya baru saja.

            “Kayaknya begitu.”

            “Memang Abi sudah siap dengan menantu orang Jawa?”

            Kelakar Zidan memenuhi rungan kafe langganan mereka.

            Dan, air mata itu menetes juga. Zidan segera bereaksi. Niat bercandanya mendapat tanggapan lain dari Jingga.

            Sekali lagi, air mata Jingga adalah sesuatu yang paling ia sesali. Tubuh Zidan berontak sangat kuat. Ia ingin memutar waktu kembali ke beberapa waktu sebelumnya. Namun yang ia dapati, dua pipih Jingga sudah basah.

            ***

            Andine menelepon Amni. Tapi sepuluh panggilannya tidak pernah terjawab. Dan suara itu semakin nyaring di telinganya. Ia berlari menuju gedung yang tidak jauh dari Bandara. Tapi saat sampai di sana, ia hanya mendapati puing-puing kehancuran dan sirine tanda bahaya yang meraung-raung.

Jumat, 19 Februari 2021

Lingkaran Linuih

 


Bulshit. Apa itu Kakang Kawah. Sementara Tuhan saja aku nggak percaya. Hidup ini logis. Matematis. Aksi dan reaksi. Bukan berendam di lumpur ruang antah berantah seperti ini. Rimba Amniotik yang musti dihuni oleh keganjilan hanyalah fiksi. Sekali lagi, hidup itu hasil daya berpikir otak. Bukan menduga-duga ketidakpastian.” Andine meracau, sambil sesekali mengurut keningnya yang terasa pening sejak membuka lembaran buku pemberian Amni. Sebagai sesorang yang tidak percaya dengan adanya Tuhan, sudah pasti ia akan menolak narasi-narasi seperti yang disajikan buku itu. Bagi seorang Andine, Kakang Kawah itu hanyalah bualan.

            Malam mulai datang. Tapi Andine masih belum beranjak dari Kafe Senja. Meski sekuat tenaga ia menolak semua tentang kegaiban, ruang sempit dalam otaknya masih sempat memikirkannya. 

                   Roman datang menghampiri Andine.

            “Mbak Andine sudah hampir setengah hari di sini! Minimal Mbak Andine berdamai dululah dengan bak mandi.”

            “Sudah. Lap saja tumpahan itu. Butuh tambahan tenaga?”

            Hmm.”

            Papan kecil bertuliskan “Close” menggantung di gagang pintu. “Mbak Andine mau jadi security? Lumayan ada tambahan profit. Ketimbang Mbak Andine kesepian.”

            Andine bergeming. Ia menatap langit lekat-lekat

***

            “Abi. Jingga tadi tidak sendiri. Ada Jialang dan Ali Baba yang menemani Jingga. Mereka berdua baik sekali, Bi. Setiap sore pasti datang untuk bermain. Mereka juga sering bawa jajan lo, Bi.”

            Gadis kecil itu begitu polos. Ia menceritakan semua yang dikhawatirkan oleh Abi. Sudah setahun ini, Abi mempunyai pengawasan lebih terhadap Jingga. Sebab, dua nama yang sering disebut Jingga pernah datang di mimpi Abi ketika Jingga belum lahir. Juga ada satu nama lain yang sering meluncur dari bibir mungil Jingga. Ia bernama Berdus. Seorang perempuan cantik. Tinggi. Dan selalu mengenakan kerudung putih. Tapi ia tidak sesering Jialang dan Ali Baba mengunjungi Jingga.

***

            “Aku yakin Abi percaya dengan ceritaku,” kata Jingga meyakinkan. Zidan masih saja mengunyah permen karetnya. Zidan bersahabat dengan Jingga sejak keduanya di bangku SMA. Kemudian berpisah jarak untuk menempuh jenjang Sarjana. Begitu lulus, mereka bersama lagi. Dari sekian banyak temannya, hanya Zidan yang mempunyai kriteria bisa diajak bicara.

            “Ini, kan, sudah berungkali kamu ceritakan ke aku, Jingga. Apa lagi yang musti kamu pertanyakan lagi. Sudahlah, aku yakin Abi jauh lebih mengerti dari yang kamu tahu. Selain Jialang, Ali Baba, dan Berdus, ada siapa lagi sekarang, Jingga? Huh!” Zidan cemberut. Ada kekesalan di wajahnya.

            “Jadi, kamu sudah bosan denger ceritaku? Oke! Mulai jam sembilan malam tepat, teleponku pasti mati!”

            “Eh. Ya bukan begitu Jingga. Maksudku, ada cerita baru, nggak?”

            Jingga mengulum senyum.

            “Sekarang tambah gila, Dan! Sejak Jialang dan Ali Baba tidak pernah datang lagi, dua mataku bisa melihat semuanya yang orang lain nggak bisa lihat. Aku bisa tahu hatimu sekarang sedang ngomong apa. Bukan hanya itu, aku bisa lihat tanda kematian seseorang. Kayak Mak Lah! Tahu, kan, kamu Mak Lah yang sering aku cerita?”

            Zidan mengangguk.

            “Dulu, sehari sebelum meninggal, Mak Lah mencariku. Aku takut. Tapi akhirnya bisa ketemu aku. Apa cobak, yang Mak Lah katakan?”

            Zidan mengangkat dua bahunya.

            “Ia bilang akan pergi jauh. Bilang ke Abi, Mak Lah nanti mau dikirimin doa!”

            Dua bibir Zidan membundar.

            “Itu baru satu, Dan. Sadis sekarang. Aku nggak tahu kenapa aku bisa begini!” Jingga menampakkan wajah penyesalan. Zidan dengan cepat menepuk bahu Jingga.

            “Tenang.”

            “Tenang bagaimana? Tiap kali ada rumah yang akan berduka, dua lubang hidungku selalu mencium bau kamper. Menyengat sekali. Belum lagi, semisal kalau orang yang meninggal itu nggak baik, suara teriakan siksa itu begitu nyaring di kupingku. Jika sudah begitu, tiga hari tiga malam, aku akan selalu terjaga. Sebab, jika aku berusaha tidur, pasti akan ada suara yang berkata, aku akan mati!”

            Zidan menggeleng. Wajahnya tampak sangat prihatin. Ia tidak bisa membayangkan jika apa yang dialami Jingga, ia alami juga.

            “Aku tidak mungkin bilang kamu harus tenang. Aku juga tidak mungkin bilang kamu harus sabar. Tapi aku pastikan, aku akan selalu di sampingmu.”

            Pertemuan siang itu begitu manis. Jingga dan Zidan adalah pasangan yang serasi. Satu gila, satunya lebih gila lagi.

            ***

            “Ada kejadian apa lagi, Ngga?” tanya Zidan sambil menarik kursi untuk Jingga.

            “Aku sedih sekarang. Rara, temanku yang sering minjemin uang pas SMA dulu, meneleponku. Ia hamil tua, dan akan operasi cesar.” Jingga meraih gelas yang berisi air putih di depannya. Lalu menggeleng pelan. Dan beberapa bulir air matanya jatuh. Zidan hanya menatapnya hati-hati.

            “Sudah. Jangan dilanjutkan. Kita makan saja, Ngga. Orang gila itu butuh asupan gizi berlebih. Biar kuat menghadapi semua kegilaan yang datang tiba-tiba.” Dua tangan Zidan memegang erat lengan Jingga. “Aku yakin, Tuhan sudah menyiapkan semuanya. Tidak mungkin Tuhan ngasal milih kamu.”

            “Dan. Perlu kamu tahu, tiba-tiba saja, ada yang memberitahuku bahwa Rara dan anaknya, besok akan meninggal. Aku sudah melawannya. Tapi nyatanya, semua memang kejadian. Rara dan anaknya tidak selamat dalam operasi itu, Dan.”

            Zidan bengong.

            “Jika itu memang kehendak Tuhan, oke, aku percaya. Lalu apa gunanya pemberitahuan itu? Sia-sia, kan? Toh, aku juga tidak bisa menghentikannya.”

            Tangisan Jingga pecah sore itu. Ia membenamkan wajahnya di hamparan meja. Zidan hanya bisa menatapnya. Tangisan Jingga adalah sesuatu yang paling ia sesali sejak dulu.

***

            Andine memutuskan untuk meninggalkan Jakarta. Ia berencana menyusul orang tuanya di Bali. Buku aneh itu ada dalam gamitannya. Seperti kata pepatah, semakin dibenci, maka akan semakin dicintai. Buku yang menggambarkan tentang Kakang Kawah masih saja belum ia bakar. Padahal, sudah sepuluh kali ia berujar akan membakar buku itu. Ada satu bagian dari buku itu yang membuat kelogisan pikirannya tereduksi. Bagian itu tentang orang-orang yang terpilih. Tidak saling mengenal satu sama lain, tapi akan bertemu pada satu tempat yang dijanjikan.

             

Senin, 15 Februari 2021

Selamat Pagi, Selamat Bertambah Usia

 



Angka hari ini begitu cantik. Menggambarkan betapa pemiliknya adalah penakluk cemas; penabur pelangi, dan penjaring tawa. Seingat saya, keganjilan angka hari ini adalah semesta dan seisinya. Jika ditanya siapa manusia paling beruntung, maka jawabnya adalah saya. Sebab, sayalah satu-satunya (sampai hari ini) yang selalu mengamati garis-garis gradasi yang ada di pipi kanan dan kirinya. Mengagumkan.

Tidak terasa memang, sekarang sudah ke- tiga puluh tiga. Keganjilan yang telah disepakati. Angka yang mencipta harmoni; keteraturan. Semesta seperti bersepakat, tahun ini adalah milikmu. Sebab di angka ini, pintu kesejatian hidup tidak lagi halusinasi. Bukan lagi kepingan puzzle yang harus digenapi. Tapi angka hari ini adalah, lorong panjang yang lampunya sudah menyala semua. Biarkan mereka lewat dan menjemput mimpi-mimpinya, katamu suatu ketika.

Banyak orang di luar sana, sampai detik ini, masih belum menemukan definisi yang melegakan tentang angka sepasang itu. Tiga-tiga bagi mereka begitu sakral. Mendiamkan, lalu kemudian menebak-nebak artinya sudah lebih cukup bagi mereka. Namun tidak bagi saya. Angka ganjil yang sepasang ini adalah ceruk kehidupan. Infinity harapan saya. Kebahagiaan saya. Dan syukur saya. Tiga-tiga adalah bagaimana engkau selalu meyakinkan saya, bahwa apa pun itu, akan baik-baik saja jika bersama. Dan, saya selalu menggenggamnya.

Masih tentang tiga-tiga. Saya, dan mereka -mungkin saja- sepakat bahwa angka tiga-tiga adalah kebijaksanaan esoteris. Ini bukan hanya kebetulan yang kerap kali bisa kita duga. Akan tetapi, Tuhan menyelipkan rahasia di balik angka itu. Seperti yang pernah saya baca, -konon- angka ganjil itu berhubungan langsung dengan pencerahan, kesehatan dan aktualisasi diri yang sejati. Banyak peristiwa luar biasa menyelimuti angka ajaib itu. Misalnya saja, tentang tersalibkannya Sang Mesias; Yesus, di bukit Golgota pada usia tiga-tiga, sehingga ketika itu, penduduk  Golgota menjadi sangat mensucikan angka itu.

Tidak berhenti di sana, mayoritas Muslim merapal Tuhan-nya juga melalui angka tiga-tiga. Ritual-ritual mereka tidak akan pernah terasa suci jika angka ganjil itu tidak membasahi lisan mereka.  

Sekelumit keajaiban tiga-tiga itu, memang, tidak akan pernah bisa sebanding denganmu. Tapi setidaknya bisa membuat dua mata indahmu terbuka, jika hari ini kamu adalah manusia paling sakti di jagat ini. Coba, buka jendela. Dan lihatlah awan-awan itu berebut paling cepat menengadahkan tangan. Memohon curahan rahmat dari Tuhan-nya. Dan akan menhujankannya untukmu semua. Tidak tersisa sepercik pun bagi mereka. Dan juga bagaimana Sang Mentari yang sengaja melambatkan diri bersinar. Sebab ia sadar, ada yang lebih bersinar pagi ini. Tidak mau kalah juga, perhatikan nada cericit pagi ini, suara itu serupa harpa yang dimainkan dengan tempo tiga-tiga. Lalu mencetak namamu dalam melodi mereka. Ada lagi, bagaimana tulang belulang, ruas-ruas jari, jantung, paru-paru, lambung, empedu, kulit ari, dua tangan, sepasang kaki, satu hidung, dua kuping, dua mata, ribuan rambut kepala, dagu lancip, dan kilatan kulit semua sedang bersuka cita. Bernyanyi, berdansa, saling membenturkan gelas bergagang langsing mereka. Mereka berpesta hari ini. Mengekspresikan lukisan masa yang mereka mulai sejak mereka berumah di Rimba Amniotik tiga puluh tiga tahun yang lalu. Hari ini penantian itu telah datang. Membersamaimu. Menggandeng tanganmu. Berharap limpahan berkah darimu.

Demikian, alur kata-kata ini mengalir. Jemari ini sudah merasa sangat bersalah telah mengurai betapa saktinya dirimu pagi ini. Namun apa pun kesalahan saya itu, tetap izinkan saya mengatakan: Selamat bertiga-puluh-tiga.

 


Dari laki-laki yang sangat biasa, tapi tak pernah biasa mencintaimu.

Luthfi_Madu

 

Rabu, 10 Februari 2021

Spektrum Rasa

 





Namaku Andine. Usiaku 22 tahun. Aku lahir dari keluarga baik-baik. Aku besar di Jakarta. Ayah dan Ibuku ada di Bali. Bisnis besar mereka memaksaku harus jauh dari orang tua. Sebenarnya, mereka sudah menawarkan untuk ikut, namun aku memilih tinggal di sini; di keramaian ini. Di Jantung Kota Jakarta.

Aku terbilang anak yang gagap dalam pergaulan. Semasa SMA, aku seperti sendiri. Teman-temanku hanyalah embusan angin, cicak sedang kawin di tembok, atau derap kaki orang-orang yang berangkat dan pulang kantor. Aku tidak seperti yang lain; yang harus punya sahabat dekat, yang setiap saat menjadi tempat berkeluh. Aku tidak punya itu semua. Tapi aku bahagia dengan keadaanku yang seperti ini.

Dari perawakan, aku ini cakep. Kesimpulan ini, aku dapatkan dari survei yang aku lakukan sendiri. Berdiam diri di depan cermin kurang lebih satu jam selama seminggu. Hasilnya, aku memang cakep. Kulitku putih. Idola anak baru gede yang labil. Rambutku pendek, tidak sebahu, juga tidak seleher. Lalu seberapa? Sudah bayangkan sendiri!

Selain cakep dan berkulit putih, aku ini tergolong berbadan tinggi. Lima bulan yang lalu aku ukur, tinggi badanku sudah mencapai 169 cm. Tentu, seharusnya, banyak yang naksir aku. Tapi nyatanya, hanya cicak kawin yang selalu ada buat aku. Mereka tidak pernah ada. Sembunyi di balik kecakepanku. Menyusup di sela-sela putihnya kulitku.

Pernah, suatu ketika, saat aku kali pertama memasuki kelas itu, ada seorang laki-laki yang melempar senyum, lalu berteriak kencang di kupingku. Ia mengatakan: “Mereka iri denganmu!” Aku nggak pernah paham yang ia teriakkan ketika itu. Toh, nyatanya, ia sedang berbincang dengan teman sebangkunya. Lalu siapa yang berteriak? Padahal jelas-jelas mulutnya membuka dan melempar kalimatnya.

Sejak saat itu, aku semakin menjauh dari mereka. Aku menghilang dari hidup mereka. Aku tidak ingin mendengar suara-suara itu lagi. Aku masuk dalam epidermis malam. Sepi, sunyi, kelam, tak ada suara, tak ada embusan napas. Tapi anehnya, ketika aku mencoba dan mencoba terus lari, suara-suara itu semakin nyaring di telingaku.

Lalu, pada sore yang hangat, di sebuah kedai Kopi, di sekitaran Mampang. Aku bertemu dengan seseorang yang menurutku, lebih aneh dari aku. Ia mahkluk moderat; sebab yang aku lihat, tidak laki-laki, juga tidak perempuan, juga tidak waria. Aneh, pokoknya aneh. Aku susah ngejelasin-nya. Aku mengambil duduk di sebelahnya. Mengulurkan tangan. Kemudian ia berkata: Amni. Aku: Andine. Amniotic. Itu nama lengkapnya. Dahiku penuh kernyitan. Nama yang aneh, gumamku. Ia mendengus pelan. Lalu tersenyum.

“Kamu kaget?”

Hm, nggak juga, sih. Aku hanya mengingat-ingat,” elakku. Sialan. Gestur tubuhku memang nggak bisa diajak berbohong.

“Hahaha. Kamu, yang pertama bohong di depanku.”

Ia tertawa kencang. Sudut matanya hampir saja menumpahkan bulir-bulir kecil air mata.

“Selamat buatku. Kamu yang pertama mengapresiasi hidupku, gerak tubuhku.”

Tiba-tiba saja, di depanku ada layar besar. Memutar visual sebuah lorong masa lalu. Aku dan Amni terlihat di sana. Kami bersuka cita. Memainkan jungkat-jungkit. Juga, sesekali ayunan. Dan biasanya, kami makan dengan suapan nasi yang sama.

Kami memutuskan untuk membuat jadwal bertemu di tempat yang sama. Seminggu sekali. Di sore yang hangat. Di Kafe Senja.

***

            Sekarang hari senin. Jadwal ketemu Amni masih empat hari lagi. Sore itu, aku memesan secangkir coffee late, lengkap dengan taburan na’na. Pesanan yang aneh! Teriak Roman; barista yang sudah bekerja sepuluh tahun di Kafe Senja.

            Aku menunduk dalam-dalam. Dua tanganku melekat erat di dua kupingku. Suara-suara itu terdengar lagi. Dan sekarang semakin jelas. Suara itu menunjukkan jati dirinya. Mengenalkan dari pita suara siapa mereka tercipta. Astaga. Ini bukan fiksi. Aku mendengarnya dengan jelas, ratapku berkali-kali dalam hati.

            Pertama, suara ini muncul dari seorang laki-laki paruh baya. Kalimatnya sungguh membuatku naik darah. Ia sedang mengukur size BH-ku. Dan juga bokongku. Sialan. Legging yang aku pakai terlalu abnormal. Sehingga lekuk dan jalan naik turun di tubuhku bisa terpantau dengan jelas. Dan sebagai penutup, laki-laki paruh baya itu bergegas pulang. Ia ingin segera bertemu pasangannya. Ketika laki-laki itu sudah tidak terlihat, suara itu menghilang. Aku menjerit ketakutan. Tapi tak satu pun ada yang mendengar jeritanku.

            Lalu, beda lagi dengan tiga pemudi yang duduk memutar di belakangku. Terdengar di kupingku, mereka sedang merencanakan kejahatan. Mereka akan mem-bully salah seorang teman mereka; yang mereka anggap sebagai perusak hubungan antara Kinasih dengan kekasihnya. Aku tahu ini jahat, tapi aku tidak bisa ngapa-ngapain, aku hanya bisa mendengar, membaca, namun aku tidak bisa mencegahnya. Semua seperti firasat yang sering aku rasakan dulu. Tapi sekarang lebih nyata. Ah. Aku menjerit lagi. Namun semua yang ada di sana lagi-lagi hanya bengong. Mereka tidak mendengar sedikit pun yang aku teriakkan.

              Tidak berhenti sampai pada tiga pemudi itu. Ada lagi, seorang remaja tanggung. Ia mengkalimatkan betapa ia sedang dalam kebingungan yang besar. Desi, perempuan yang ia pacari setahun yang lalu, kini hamil, dengan usia kandungan menginjak empat bulan. Sebagai remaja yang baru saja baligh, ia tidak tahu harus mengkespresikan apa. Usia semuda itu tidak akan pernah berpikir untuk aborsi dan juga tidak akan peranh berpikir untuk punya anak. Yang ada hanyalah, gejolak baligh-nya tersalurkan dengan baik. Pun begitu juga dengan kekasihnya, Desi. Perempun dengan dua lesung pipi itu juga sedang berada dalam pelukan cemas yang begitu dahsyat. Dua tanganku mencengkram kursi erat-erat. Degup jantungku berdetak hebat. Aku berteriak. Kemudian, melangkah keluar Senja. Namun sayang, aku gagal. Tubuhku tidak bergeser sedikit pun dari tempat dudukku. Ada dua tangan yang begitu kuat menahanku untuk pergi.

            “Amni! Sejak kapan kamu di sini?” tanyaku terkejut.

            “Sejak kamu mendengar suara itu lagi,” jawab Amni enteng. Lalu menarik kursi yang sedari tadi meringkuk di kolong meja. Ia mengerling. Lalu meminum minumanku.

            Aku tergagap.

            “Kamu juga mendengarnya?”

            “Tidak!” serunya pendek. Lalu mengangkat bahunya pelan. Ia menggeleng. “Aku hanya menebak.”

            Menebak? Ini terlalu rumit. Menebak sesuatu yang aku sendiri tidak mengerti.

            Suara itu semakin banyak. Masing-masing kepala mengelola kalimatnya msing-masing. Tapi tidak dengan kepala perempuan aneh di depanku.

            “Kenapa? Tidak terdengar, ya?”

            ***

            Sejak saat itu, aku terus berupaya agar pertemuan rutinku dengan Amni tidak pernah terlewat. Aku selalu datang satu jam lebih awal dari jam yang kita sepakati.

            Akan tetapi, di pertemuan ke-5 kami, ia tidak datang. Begitu juga di hari-hari berikutnya. Perempuan aneh itu tidak pernah menampakkan tubuhnya lagi di Kafe Senja.

            Aku menyesal.

            “Mbak Andine!” teriak Roman memanggil namaku. Ia melangkah terburu. Lalu dengan cepat menyerahkan sebuah buku yang ia gamit kepadaku. “Ada titipan dari, emm, Mas, eh, Mbak Amni.”

            “Terimakasih.”

            Roman kembali ke ruang kerjanya. Dan aku, membaca sampul buku itu: Kakang Kawah!

Kamis, 24 Desember 2020

Berteduh Di Bawah Payung Ibrahim

 





Sudah menjadi rahasia umum jika Desember adalah bulan yang “panas” bagi warga muslim bangsa ini. Persoalannya adalah seputar boleh tidaknya memberi ucapan perayaan agama lain (baca: Natal). Banyak perdebatan yang tersaji. Karena sebagian muslim berpendapat bahwa memberi ucapan selamat kepada perayaan agama lain adalah perbuatan murtad (keluar dari agama). Tentunya, pendapat ini mendapat respon yang cukup keras dari muslim lain yang tidak mempermasalahkan pemberian ucapan tersebut. Silang pendapat ini seperti tidak pernah menemui titik kesepakatan. Malah semakin runcing tiap tahunnya.

Di negara ini, muslim adalah kelompok agama mayoritas. Sehingga perdebatan itu bisa terdengar sangat nyaring di telinga semua lapisan masyarakat, tak terkecuali penganut agama lain. Panasnya perdebatan tersebut tentunya membawa efek negatif bagi umat Islam sendiri dan tentu saja bagi umat agama lain, khususnya umat agama Kristen. Tidak bisa dipungkiri bahwa perdebatan itu menjadikan pemeluk agama lain menjadi “alergi” dan cenderung curiga kepada umat Islam. Statusnya sebagai kafir akan terus berdesing di telinga mereka. Hal ini benar-benar sangat menyesakkan dada.

Perdebatan yang terus berlangsung dan semakin panas bisa berpotensi menjadi konflik horizontal sesama pemeluk agama dan dengan agama lain. Kekhawatiran ini bukan tanpa alasan. Pasalnya, jika masing-masing pemeluk agama mempunyai pandangan yang sama bahwa memberi selamat pada perayaan agama lain adalah perbuatan murtad maka indikasi saling mencurigai akan semakin membesar.

Berangkat dari kekhawatiran ini, penulis, setidaknya mempunyai dua pandangan yang sekiranya bisa dijadikan solusi bagi problem tahunan ini.

 

Mawaddah dalam Perbedaan

Secara sederhana, kata mawaddah bisa diartikan sebagai kasih sayang. Sebagai umat beragama, tentunya kita mempunyai kesadaran bahwa agama tidak hanya mengajarkan kasih sayang, tapi agama juga menekankan bahwa kasih sayang adalah sesuatu yang wajib. Barangkali begini, agama adalah kasing sayang dan kasih sayang adalah agama. Agama dan kasih sayang tak ubahnya dua sisi mata uang yang mustahil untuk dipisahkan.

Sebagai agama Samawi (agama langit), Islam-Kristen sebenarnya memiliki Ayah kandung yang sama, yakni Ibrahim A.S.. Hanya saja, ibu kedua agama ini berbeda. Sejarah mencatat bahwa Ibrahim memiliki A.S. dua istri yang masing-masing dari istri tersebut melahirkan nabi-nabi besar yang membawa kalam suci Tuhan. Istri pertama Ibrahim A.S adalah Sarah yang menurunkan Ya’qub, dan dari Ya’qub ini lahirlah Musa A.S. dan Isa A.S.. Dua nabi besar ini membawa agama masing-masing, yakni Yahudi dan Nasrani (Kristen). Sementara Hajar sebagai istri kedua melahirkan Ismail A.S. yang nantinya melahirkan Muhammad SAW. sebagai pembawa agama Islam. Dari masing-masing nabi ini, mengklaim membawa ajaran yang dibawa oleh Ibrahim A.S.

Dalam babak awal persandingan tiga agama ini, konflik-konflik karena perbedaan pandangan sangat minim terjadi. Akan tetapi seiring perputaran waktu, perbedaan pandangan tersebut tampaknya menjadi santapan yang sangat bergizi bagi tumbuhnya konflik-konflik agama, baik sesama maupun dengan pemeluk agama lain.

Dalam era kekinian, perbedaan pandangan setiap agama ini tampaknya memang sengaja dijadikan momentum untuk menyerang pihak lain. Setiap orang yang memiliki pandangan yang berbeda otomatis menjadi musuh utama bagi dirinya dan kelompoknya. Ini jelas sangat berbahaya. Dan lagi-lagi, ancaman pecahnya bangsa ini semakin mendekati kenyataan.

Dengan semakin suburnya doktrin bahwa musuh utama adalah yang berbeda pandangan, seharusnya masing-masing individu yang beragama ini memliki kesadaran kolektif bahwa kasih sayang adalah ruh setiap agama. Jika konsep ini dimatangkan dalam setiap pikiran mereka, maka kesempatan untuk berkonflik akan semakin sempit. Sehingga orang bijak berkata: Indahnya menebar kasih sayang dalam perbedaan.

 

Musuh Bersama

Semua agama itu adalah benar. Akan tetapi standar kebenaran itu mutlak ada di agama masing-masing. Kebenaran satu agama tidak bisa menjadi tolok ukur bagi kebenaran agama yang lain. Umat beragama mempunyai kewajiban untuk membenarkan agama yang dianutnya dengan tidak mengesampingkan standar kebenaran agama yang lain. Silakan menganggap agama lain salah, akan tetapi jangan pernah meneriakannya dengan semena-mena (Siluet, 2017). Kebersamaan dan toleransi sebagai pewaris yang sah ajaran Ibrahim A.S. harus tetap terawat dengan baik. Sehingga keseimbangan dalam semesta ini tetap berjalan.

Berpijak dari poin tersebut, bisa dilihat bahwa musuh utama umat beragama bukanlah sesama pemeluk agama yang memiliki pandangan yang berbeda serta umat lain yang memiliki agama yang berbeda. Akan tetapi musuh utama umat beragama adalah semua hal yang sifatnya menindas umat beragama itu sendiri, baik fisik maupun batin. Karena sebenarnya agama-agama yang dibawa para nabi tersebut memiliki misi untuk membebaskan umat manusia dari ketertindasan. Hamim Ilyaz dan Aris Fauzan memberikan contoh tentang kehadiran tiga nabi pewaris ajaran Ibrahim. Misalnya saja, Musa A.S.. Dengan keberaniannya, Musa A.S. berhasil menyelamatkan bangsa Yahudi keluar dari Mesir dan menenggelamkan Firaun di tengah laut. Kemudian Isa A.S. dengan sentuhan kasihnya berhasil memporak-porandakkan komitmen yuridis kaum Yahudi. Dan yang terakhir adalah Muhammad SAW. yang membawa perubahan tradisi jahiliah menjadi tradisi madani.

Dalam era sekarang, bisa disimpulkan bahwa musuh bersama umat beragama adalah kebodohan, kemiskinan dan ancaman kesehatan. Pertama, kemiskinan yang dialami oleh umat beragama cenderung menyebabkan umat beragama bertindak di luar ajaran-ajaran agama. Mereka akan cenderung berpikir untuk merampas hak-hak orang lain demi memenuhi kebutuhan hidupnya. Bahkan Nabi SAW. juga pernah bersabda jika kemiskinan dekat sekali dengan kekufuran. Kekufuran dalam konteks ini bisa dimaknai sebagai bertindak di luar akal sehat manusia. Karena itu, semua umat beragama harus mampu bergandengan tangan untuk hadir dan menyapa umat beragama yang masih terbelenggu kemiskinan. Bukankah nabi-nabi pembawa ajaran Ibrahim A.S. sangat dekat dengan orang-orang miskin?

Kedua adalah kebodohan. Kebodohan mempunyai dampak yang sangat berbahaya bagi keseimbangan kehidupan umat beragama. Kebodohan yang menjangkiti umat beragama akan menggiring umat beragama untuk berpikir pendek, bertindak anarkis, serta memanipulasi kebenaran. Karena itu, sebagai umat yang memiliki kecerdasan beragama harus mampu menciptakan kehidupan yang cerdas bagi umat beragama sesamanya maupun umat beragama lain. Menciptakan lembaga-lembaga pendidikan bisa menjadi salah satu langkah terbaik untuk menghapus kebodohan.

Kemudian yang ketiga adalah ancaman kesehatan. Kesehatan menjadi faktor yang sangat penting untuk diperhatikan oleh umat beragama. Pemberian pencerahan tentang pentingnya kesehatan serta penanganan kesehatan yang baik dan tidak pilih kasih adalah pekerjaan rumah terbesar bagi para pemeluk agama.

Dua usulan solusi ini kiranya menjadi bahan diskusi serius bagi para pemeluk agama. Sehingga pandangan tentang indahnya perbedaan bisa tertanam kuat dalam sanubarinya masing-masing. Dan saat hujan perpecahan itu mulai datang, maka mereka bisa bersama-sama berteduh di bawah payung Ibrahim yang suci itu. Semoga!

  


 


 

 

 

 

Senin, 09 November 2020

Surat untuk Habsyiyah

 


Selamat pagi perempuan yang kalau belum jam dua dini hari belum ngantuk. Semoga engkau tetap menjadi gradasi pelangi, pelukan hangat, dan peredam rindu terbaik. Apa kabar yang engkau punya kali ini? Apakah masih tentang lucunya rintik hujan yang menyusup di sela-sela alismu? Ataukah tentang laki-laki kecil yang mengunyah sepuluh permen di balik pintu lemari? Apa pun itu, jika engkau yang bercerita, maka, masih tetap seperti dulu, semilir angin akan berhenti, rerumputan menjeda napas, dan daun-daun menolak untuk berjatuhan. Sebab, yang mereka ingin hanyalah mengamatimu bermain dengan prosa, dan juga bait-bait puisi tentang hujan, laki-laki kecil.

Dalam banyak hal, aku selalu mempunyai kekhawatiran. Apakah aku akan terus bisa meredam rindu, sementara suaramu selalu datang menggema layaknya Azan Subuh pagi ini. Mendarat dalam sepinya langit yang masih terselimuti malam. Aku takut itu akan menjadi keabadian. Sebab, para musafir itu kini lebih memilih mendirikan tenda-tenda di dekat sungai yang airnya mulai mengering. Tatkala kutanya tentang kaki-kaki mereka, yang kudapat hanyalah gelengan kepala. Bukan anggukan penuh semangat seperti rindu yang kugenggam ini. Bahkan bukan hanya hangat lagi, tapi juga sudah mendidih. Percikan panasnya membakar apa saja. Aku memaksa mereka untuk segera berjalan. Namun rinduku tak ingin menunggu.

Juga tentang mentari yang selalu saja ingin menggantikanmu bercahaya. Aku tahu, itu tidak mungkin. Sebab, engkau adalah pemilik mentari itu. Pengelola cahaya yang membuat dua mataku bisa membingkai pesan, jika memang apa yang ada tidak pernah bisa sepadan denganmu. Tapi aku menjadi sangat khawatir, saat aku tahu, dunia tak lagi sama. Tak selucu yang dulu. Dunia ini tidak lagi berkisah tentang sepasang tua renta yang sedang menikmati secangkir teh hangat di kaki Arjuna. Lalu saling membersihkan bulir air yang tersisa di gagangnya. Kemudian saling menggandeng tangan untuk menguatkan dan juga memastikan jika besok, lusa, kapan pun akan tetap baik-baik saja.

Ah andai kau tahu, penderitaan terpedih adalah mengkalimatkanmu tapi tidak tahu kapan harus membuat titik. Dan marah, tanpa harus ada yang membuat tenang. Atau setidaknya ada yang memberitahuku bahwa burung itu baru saja hinggap di kamar jendelamu. Mengintipmu memeluk erat seorang laki-laki kecil untuk menjuhkannya dari ketakutan-ketakutan yang datang semalam. Tidak ada. Tidak ada yang memberitahuku itu semua. Aku adalah hampa yang tanpa jeda.

Terimakasih atas surat singkat ini. Selanjutnya, biar aku memulainya lagi. Dari rindu ke rindu yang lain. Semoga kau tetap menjadi produsen senyumku.

 

Besok, entah lusa, aku akan berkirim surat lagi. Mungkin tentang bunga-bunga di sekitar rumah yang mulai bermekaran dan mengundang lebah untuk datang mengitarinya.

 

Sabtu, 07 November 2020

Abi: Jalan Tengah Klan Yamanisme


Abi: Jalan Tengah Klan Yamanisme

 

Siang kemarin, ada ada seorang sahabat yang sangat saya hormati menjapri saya menanyakan perihal akun Facebook saya yang tidak bisa diakses. Sebenarnya, sebelum sahabat saya yang satu ini bertanya, beberapa sahabat saya juga bertanya hal yang sama. Namun, saya tidak menanggapinya. Saya hanya menjawab angin-anginan saja. Saya katakan, jika saya sampai pada titik bosan bermedia sosial. Mendengar jawaban saya, mereka tampak senang. Sebab, ada kemungkinan saya akan kembali ke dunia fiksi itu. Tapi, Ah. Sudahlah.  

Tapi tidak dengan sahabat saya, yang kemarin siang menjapri saya. Ia melihat gelagat aneh dalam diri saya. Ia terus mengejar saya untuk bicara jujur. Akhirnya saya jujur mengatakan bahwa sebenarnya akun Facebook saya ini tidak bermasalah. Sedang baik-baik saja. Yang bermasalah adalah diri saya sendiri. Ia terkejut. Kenapa?

Begini kira-kira. Sejak Pilpres 2019, isu identitas semakin menggaung di seluruh sudut jadat negeri ini. Dampkanya, banyak kelompok yang awalnya satu menjadi terbelah. Tidak terkecuali dengan saya. Beberapa saat yang lalu, saya terlibat perdebatan yang sangat panas dengan beberapa teman yang sejak saya di Malang dulu sudah akrab dan tergabung dengan pergerakan yang sama. Kita juga sering berbagi kopi dengan takaran yang sama. Kita bahu-bahu mengklarifikasi gagasan-gagasan baru, yang dipandang akan menggucang harmonisasi bangsa ini. Kami dibayar? Tidak. Yang ada, kami sering terlilit hutang untuk biaya wira-wiri kami. Kami enak? Yang enak adalah mereka yang saat itu duduk santai sambil membaca buku sambil ditemani secangkir kopi atau teh hangat menjelang senja. Kami menyesal? Tidak. Setidaknya kami sudah berbuat. Dan yang kami inginkan adalah masa depan. Tidak sedikit pun dari kami yang pingin dibingkai zaman. Kami meangalir saja, dan akan kembali ke posisi kami sebagai orang pinggiran yang selalu paling depan untuk dilupakan.

Perdebatan panas kami seputar Klan Yaman, yang dianggap sebagai ndoro di negeri ini. Kata mereka, orang-orang itu gila hormat dan tidak ingin menjadi pemijak bumi yang baik. Ada adigung bagus yang selalu mereka dengungkan: Di mana bumi dipijak, di sanalah langit dijunjung. Kata mereka lagi, orang-orang bersurban itu tidak bisa menjalankan adigung tersebut. Mereka terkesan eksklusiv. Membuat perbedaan kelas sosial begitu tajam. Sehingga karena saking sinisnya, kawan-kawan beredabat saya ini menyebut diri mereka sebagai Pribumi Sudra Inlander. Entah, ini sindirian ataukah kekecewaan.

Perdebatan kami seputar bagaimana Klan Yaman itu berulah, mengadakan pengajian yang provokatif, mendoktrin tentang rahasia langit, dan menjadikan pribumi sebagai kelompok yang harus terus mengagungkan mereka, jika tidak, maka neraka sudah menanti.

Saya sebenarnya berada di posisi yang sulit. Bagi saya, mereka adalah ruh saya. Mereka yang menjadikan saya bermental baja. Tidak tumbang dicaci, tidak rubuh dimaki-maki. Benar, andai saja saya tidak bermental baja, sudah pasti sejak dulu kala saya sudah menutup akun saya. Sebab, hampir tiap hari saya mendapt ancaman akan digeruduk. Bahkan, sampai beberapa saat yang lau, sebelum saya menutup akun, masih saja ada orang yang mengatakan saya ini murtad, ateis, komunis, liberal, antek wahyudi, dsb.

Kemudian, sejak tahun 2015, saya resmi masuk di Klan Yaman tersebut. Saya menikahi seorang Syarifah yang bagi sahabat-sahabat saya sangat eksklusiv. Tentu, saya juga tidak bisa diam saja, ketika keluarga besar yang saya ‘nikahi’ ini menjadi bulan-bulanan. Tapi saya juga tidak ingin terlibat dalam arena perdebatan itu lebih lama lagi. Yang saya ingin, semua baik-baik saja. Ada jembatan penghubung di sana.

Sehingga, sebagai klarifikasi atas pendapat kawan-kawan saya itu, dalam tulisan ini saya menampilkan Abi sebagai jalan tengah. Sebab, apa yang kawan-kawan saya sampaikan itu tidak sepenuhnya benar. Menggebyah uyah semua kejadian itu adalah menyesatkan.

Lalu, siapakah Abi ini?

Abi ini adalah nama julukan. Beliau menjadi orang yang sangat terkenal di Gresik. Nama asli Abi adalah Habib Muhammad bin Abdullah bin Sholeh bin Hud Alhabsyi. Salah satu tokoh yang paling dihormati, baik oleh kalangan Allawiyin (Klan Yaman) maupun oleh orang-orang Pribumi sendiri. Konon, di Gresik setelah era Alqutub Alhabib Bakar Assegaf, ada tiga tokoh yang menjadi mercusuar, mereka adalah Ammi Osen (Habib Husin Potelot[1]), Ammi Ali bin Abu Bakar, dan Abi sendiri. Namung sayang, tiga mercusuar ini sudah tidak ada lagi. Meski begitu, jejak mereka bertiga ini sangat kuat menancap dalam ingatan.

Meski hanya setahun hidup bersama Abi, ada banyak hal yang –mungkin- bisa menjadi klarifikasi atas semua kalimat miring kawan-kawan saya terhadap Klan Yaman.

Pertama. Setau saya, Abi ini tidak pernah suka menggunakan gamis panjang putih sebagaimana yang dipakai oleh mereka-mereka yang diulamakan. Bagi Abi, selain bukan ulama, Abi juga memahami jika pakaian adalah tradisi, bukan masuk dalam penyempurna syariat. Kata Abi, jika kita tinggal di Jawa, maka Jawalah yang menjadi tardisi kita. Karena itu, Abi selalu mengenakan batik dan koipiah khas Jawa. Seingat saya, sepanjang hidup Abi hanya mempunyai dua kopiah: hitam dan merah.

Suatu ketika, saya pernah mengantarkan Abi pada sebuah acara di ujung utara Gresik (dekat Lamongan). Ketika tiba di lokasi, acara sudah mulai. Ada ribuan orang berkumpul di sana. Dan tentu saja, ada sebuah panggung kecil yang diisi oleh orang-orang bergamis putih panjang. Abi datang tanpa banyak diketahui orang. Beliau duduk di deretan paling belakang sebagai orang yang terlambat datang. Beliau duduk beralaskan koran dan saya ada di belakang beliau persis. Abi mengenakan batik, sarung, dan kopiah merah. Panitia di sana tampak sibuk menyilakan orang-orang bergamis putih dan mengawalnya sampai ke tempat khusus yang disediakan. Sebagian panitia yang lain tampak sedang panik menunggu seseorang. Sayup-sayup terdengar nama Abi disebut.

Acara dimulai, kepanikan panitia bertambah. Tapi untungnya, ada salah satu panitia mengenali Abi. Orang tersebut langsung mendekap tangan Abi dan berkali-kali menciumnya. Namun Abi terus berusaha menariknya. Mendengar Abi ada di lokasi, acara menjadi hilang khidmatnya, berganti riuh jamaah yang berusaha mendekat ke Abi. Saya melihat wajah Abi yang tidak nyaman dengan suasana itu. Lalu saya berbisik kepada panitia bahwa Abi minta izin meninggalkan acara. Para panitia bingung. Setelah beberapa saat berdiskusi, akhirnya Abi dibawa ke salah satu rumah panitia. Begitu tahu sampai di rumah, saya dan Abi terkejut, sebab di sana ada lukisan Abi berukuran besar. Dan ketika kami menyantap makanan seadanya, pemilik rumah mengatakan Gus Ali Tulangan Sidoarjo mau mampir dan makan di rumah tersebut karena ada lukisan Abi. Abi hanya tersenyum. Lalu berbisik kepada saya: “Berpikirlah untuk selalu menghormati, dan jangan pernah berpikir untuk ingin dihormati.”

Kedua. Cerita ini saya dapat dari istri saya sendiri. Pada suatu pagi selepas Subuh, di masjid dekat rumah Abi ada sebuah pengajian yang menceritakan keutamaan Klan Yaman, khususnya Syarifah. Seketika itu juga, Abi dengan cepat menutup dua telinga istri saya dan mengatakan: “jangan didengar, itu tidak benar.” Istri saya hanya mengangguk, dan memegangnya sampai hari ini. Katanya, semua manusia sama. Abi juga mengatakan kepada istri saya, bahwa gelar syarifah hanya untuk Sayyidah Fatimah binti Rasulullah SAW saja. Sebab beliau sepanjang hidupnya tidak pernah mengalami haid. Jadi, setelah Sayyidah Fatimah ini wafat, praktis tidak ada syarifah lagi.

Ketiga. Cerita ini juga saya dapat dari istri saya. Katanya, Abi itu uangnya banyak tapi selalu habis menjelang Magrib. Kok bisa? Tanya saya. Suatu ketika, sekitar pukul satu malam, istri saya yang ketika itu masih duduk di bangku SMA, mengendap-endap ke lemari pribadi Abi dan mengeluarkan dompet yang biasa dibawa Abi. Ia berharap akan ada uang di dompet itu, tapi ia harus kecewa. Ternyata dompet itu kosong. Tidak ada selembar rupah pun terselip di sana. Istri saya menggerutu sampai jam dua pagi. Lalu ia mendengar Abi keluar kamar dan menuju kamar mandi untuk mengambil wudhu. Istri saya terus mengintip Abi, dari keluar kamar sampai balik lagi ke kamar. Lagi-lagi ia harus kecewa, sebab Abi tidak menyentuh sedikit pun lemari pribadi beliau. Istri saya berharap, jika Abi akan membuka lemari itu kemudian mengisi dompet beliau yang kosong. Kekecewaan itu memuncak ketika sudah saatnya Abi berangkat ke masjid. Lagi-lagi lemari itu tidak disentuh. Dengan wajah yang kecewa, ia membuka lemari itu lagi kemudian membuka dompet itu lagi. Ia sangat terkejut, sebab dompet itu sudah penuh dengan uang dengan nominal semuanya 100 ribuan, bahkan sampai ada yang tercecer di luar dompet. Istri saya kemudian mengambil seperlunya, bahkan bisa 3 kali lipat yang dibutuhkan. Kejadian seperti itu terus berulang sampai Abi wafat. Dan sebagai gantinya, istri saya membuka dompet saya. Ia tidak hanya terkejut, ia bahkan hampir pingsan, sebab isinya hanya beberapa lembar 5 ribuan. :D

Lalu istri saya jujur kepada Abi jika ia suka mengambil uangnya Abi. Beliau hanya tersenyum, dan berkata: uang Abi juga uang anaknya Abi.

Lalu kenapa setiap menjelang Magrib uang Abi di dompet selalu habis? Saya mendapat jawaban ini dari Umik (Ibu mertua). Kata Umik, uang di dompet itu bukan milik Abi. Itu adalah uang orang-orang yang dititipkan ke Abi. Sebab setiap hari, selalu ada saja orang yang berkeluh perihal keuangan. Mulai diusir dari kontrakan karena tidak bisa bayar, motor diambil dealer karena tidak bisa bayar cicilan, anaknya masuk rumah sakit, ditagih renternir, dan bingung mau menikah tidak ada biaya. Kata Umik lagi, uang yang ada di dompet Abi selalu pas untuk keperluan mereka semua. Dan kejadian ini terjadi sampai Abi wafat. Dan setelah itu, orang-orang yang biasa berkeluh tidak pernah datang lagi.

Kemudian ada lagi cerita dari Umik, sebulan setelah Abi meninggal, ada seorang nenek datang ke rumah mencari Abi. Nenek ini tidak tahu jika Abi sudah tidak ada. Lalu Umik bertnya, kenapa mencari Abi. Nenek tersebut mengatakan jika sudah sebulan ini ia dan cucunya kesusahan makan karena Abi tidak memberi uang lagi. Sebab, setiap hari, selepas Subuh, Abi selalu datang ke rumah nenek tersebut dan memberinya uang 100 ribu. Kejadian ini berlangsung sudah lima tahun, dan sedikit pun Umik tidak pernah mengetahuinya. Setelah nenek tersebut, banyak nenek yang juga datang ke rumah dengan cerita yang sama.  

Sebenarnya masih banyak sekali kisah tentang Abi yang bisa ditulis di sini, tapi saya kira tiga cerita tersebut bisa sedikit menjawab tentang kekhawatiran teman-teman saya terhadap Klan Yaman.

Jika pembaca ingin tahu lebih banyak tentang Abi, termasuk bagaimana beliau menyambut tamu, mulai Pak Jokowi sampai sampi penjual nasi emperan, silakan datang ke rumah setiap hari Kamis selepas Isya. Di sana ada rutinan Jamaah Ratibul Athos yang dibentuk Abi puluhan tahun tahun yang lalu. Jamaahnya sangat beragam. Dan rata-rata, semuanya datang dari dunia yang gelap. Pemabuk, pengedar narkoba, dan maling ada di sana.

Saya sadar, tulisan ini juga tidak akan memuaskan semua teman saya. Tapi setidaknya saya sudah mencoba meyakinkan, bahwa gebyah uyah terhada suatu kaum itu tidak bisa dibenarkan.

Alfatihah untuk Abi.

 

Tulungagung, 8 November 2020.

 



[1] Potelot dalam bahasa Indonesia disebut bolpoint atau pena. Potelot adalah julukan yang diberikan oleh Masyarakat kepada Habib Husin karena saking alimnya dalam pembelajaran kitab salaf, menjadi sumber hukum fiqh. Bahkan, seringkali ada ulama-ulama dari luar negeri minta pendapat beliau. Ada salah satu Masyarakat yang mengatakan: bawalah tanda tangan Ammi Husin, dan perglah ke Yaman, maka tidak ada satu tes pun yang membuatmu sibuk.


Mengapa Saya Lebih Memilih Ikut Perlombaan Burung Lovebird?

  Mengapa Saya Lebih Memilih Ikut Perlombaan Burung Lovebird? Di tengah hiruk-pikuk kehidupan modern yang penuh tekanan dan tuntutan, mencar...