***
Banyuwangi. Tujuh jam dari Malang. Kami tidak menunda waktu
lagi. Kami berangkat. Detik itu juga.
“Kamu sanggup?” Abay tampak prihatin dengan keadaanku. “Andai saja aku bisa nyetir sejak dulu.” Ia melepas satu penyesalan.
“Apa yang tidak untuk Hanna?” sahutku pelan. “Aku masih sanggup. Bahkan lebih dari ini
aku juga sanggup.” Aku selalu berapi-api.
“Baiklah,” kata Abay pendek. Lalu mengatubkan dua matanya.
Jalanan panjang, hitam, yang kutapaki menampilkan panas yang
luar biasa. Seperti rebusan air yang sedang puncak-puncaknya. Malang sudah
melepas kepergian kami. Pasuruan menerima kami dengan tangan terbuka. Hangat
sekali.
Abay masih pulas saat mobil kami sudah menjauh dari kota itu.
Sebentar lagi, kami akan masuk ke Lumajang. Tapi aku memutuskan untuk berhenti
sesaat. Aku lelah sekali.
Ada sungai yang mengalir tenang di depan mataku. Aku melihat
angin itu datang tergopoh-gopoh. Lalu menjilati permukaan sungai. Gelombangnya
menjadi berkilat-kilat. Memantulkan panas yang jatuh langsung dari matahari.
Sungai itu seperti peraduan. Angin itu membawa rindu yang menahun. Aku tahu
itu. Kau pasti juga pernah melihatnya, Hanna.
Sebuah tangan hinggap di bahuku. “Sebaiknya kamu tidur dulu.”
“Aku menginginkan itu, Kawan. Tapi dua mata ini enggan
terpejam. Sebab, keduanya begitu takut waktu tak membangunkan mereka lagi,” kataku sambil menatap kepedulian Abay. “Jangan khawatirkan aku, Bay. Sumpah. Aku
masih sanggup.” Aku kemudian berdiri. Memecah
kekhawatirannya. Abay mengangguk mantap. Setelah itu, ia terpaku pada punggung
bukit yang menggendong ribuan pinus. Dan juga rimbun alang-alang. Dengan
sesekali kawanan seriti menggelitik pinggangnya. Bukit itu tertawa riang. Tapi
tidak dengannya. Abay tetap saja dingin. Sedingin yang dulu.
“Aku takut kamu tidak bisa menerima kenyataan!” Kesunyian pecah. Aku hanya
menggelengkan kepala.
“Tidak tahu,” pendek, aku menyahut.
“Faya. Tapi percayalah, Tuhan pasti memeluk doa-doamu,” katanya menenangkan. “Tuhan akan menyatukan kalian,” imbuhnya.
Aku hanya melihat langit di atas sana. Aku hanya ingin tahu,
sabda apa yang didengungkan semesta untuk cinta ini. Cinta kita. Aku dan kamu, Hanna.
Lumajang tampak begitu hijau dari kejauhan. Tapi udara di
kota itu tidak sesejuk Malang. Aku tidak ingin berhenti terlalu lama. Aku melewatinya begitu saja. Aku
terburu. Sebab, aku ingin segera tiba di Jember. Lalu Banyuwangi. Aku melirik Abay
sejenak. Ia masih mengatubkan dua matanya dengan sangat bahagia. Yang kulihat
dari wajahnya adalah paradoks hatiku. Tapi tidak mengapa. Aku pasti baik-baik
saja.
***
Banyuwangi. Yang kuingat adalah Ketapang. Pelabuhan itu
selalu ramai. Membawa jutaan harap manusia yang ingin berbahagia di seberang
sana. Aku pernah di sana ketika itu. Tentu bersamamu, Hanna. Kau masih ingat? Tentu saja.
Coba kau ingat-ingat lagi. Pagi itu, sekitar pukul enam lebih
sedikit, kau tampak begitu murung. Wajahmu tertekuk sempurna. Ada apa? Aku
bertanya di sebelahmu. Aku takut. Sangat takut, Faya. Kenapa? Aku bertanya
lagi. Sebab, pelabuhan ini begitu membenciku. Aku takut ia berdoa buruk tentang
hubungan ini. Hubungan kita.
Lalu aku menggenggam jemarimu.
“Percayalah, Hanna. Pelabuhan ini hanya iri dengan kita. Atau
bahkan, malah sebaliknya. Kebahagiaan kita menular padanya.”
“Kau jangan bercanda.”
“Tidak. Sebentar, Hanna. Beri aku lima menit. Aku ingin
menulis surat kepadamu. Tentang Ketapang ini.”
Kau tampak tersipu ketika. Lalu menungguku menulis. Tanpa
suara. Hening. Begitu hening.
Kalimat per kalimat tumpah di kertas itu. Sesekali aku
melihat wajahmu. Ayu. Sungguh wajah yang membuatku tidak butuh apa-apa lagi.
Kau membalasnya dengan sedikit tersenyum. Oh. Hanna.
Aku sudah selesai menulis surat. Kau tampak tak sabar ingin
membacanya. Tangan putihmu mengulur. Mengharap kertas itu segera pindah di
jari-jari lentikmu. Aku mengangguk,
“Silakan.”
Kau menunduk. Dan mulai membacanya.
Perempuan pelangi. Aku menyebutmu begitu. Semoga saja kau
tidak keberatan. Semoga Tuhan terus memelukmu.
Hanna. Lihat riak air itu. Begitu gaduh. Tapi manusia selalu
berada di pinggirya. Merasakan sentuhannya. Sebab katanya, itu adalah
keberkahan. Barangkali, aku juga mengatakan hal yang sama. Hanna, kau begitu
gaduh tapi teduh. Aku adalah jiwa-jiwa yang selalu berada di lingkarannya. Jika
kau melepasku, maka aku menjadi abu. Aku selalu suka kau yang gaduh. Meramaikan
semesta. Membungkus bahagia dengan kemasan yang sangat sederhana. Mengejar
angkot, menumpang dengan tidak pernah memiliki tujuan. Itulah Hanna. Kegaduhan
yang membawa keteduhan.
Hanna. Apakah kau pernah merasakan jika kadang awan membuat
mendung? Bahkan sampai gelap? Benar, Sayang. Awan itu sengaja menggodamu. Lalu
bertanya, bagaimana Tuhan menciptakanmu dulu. Maka jawablah: Tuhan
menciptakanmu sambil tersenyum.
Hanna. Sudah. Aku menyudahi surat ini. Aku selalu kehabisan
diksi jika sudah membahasakanmu. Tapi aku akan selalu berjanji, aku tidak akan
pernah berhenti mencari diksi-diksi yang lain tentangmu. Terima kasih atas dua
matamu yang sayu. Yang kau biarkan lelah demi surat kecil ini. Semoga, hari
ini, esok, lusa dan seterusnya kau dan aku selalu bersama. Bahkan, sampai di
Firdaus sana.
Kau kembali menatapku. Surat itu kau lipat rapi. Kemudian
masuk ke dalam saku kemejamu.
“Jangan, Hanna.”
Kau menggeleng.
“Surat ini akan kugenggam sampai aku tiada.” Lalu ia mengerling.
“Tapi itu surat yang buruk, Hanna,” aku mencoba mencegahnya.
“Lain kali, tulislah surat untukku lagi. Aku pasti merindukan
kalimat-kalimat itu.” Lalu hening. Hanna menyandarkan kepalanya ke bahuku.
Ketapang membuat kami merasa sangat hangat.
Sebentar lagi. Kami hanya butuh lima menit lagi itu sampai di
tanah Blambangan itu. Roda kami terus berputar tanpa mengenal lelah. Abay
melirikku lagi. Ia mengamati mata sapiku.
“Aku tidak lelah. Perjalanan ini sangat membahagiakan,” kataku buru-buru. Sebab Abay sebentar
lagi akan berkomentar tentang mataku.
“Gila. Cinta membuat orang tidak waras,” sahutnya pendek.
“Kamu sudah segar? Tidurmu seperti orang mati.”
Ia tidak menjawab. Hanya kepalanya mengangguk pelan. Mobil
kami sampai juga di kota itu. Banyuwangi begitu ramah. Tapi langit sedikit muram.
Gelap tampak di atas sana.
“Akan hujan. Sudah mendung sekali,” kataku sambl mengamati gelapnya langit.
“Semoga saja tidak. Kita harus segera mencari tahu desa itu.
Sebelum malam menghabisi semuanya,” sahut Abay sambil melempar pandangan ke
jalan. “Sebaiknya kita berhenti dulu. Aku akan
turun mencari petunjuk,” imbuhnya.
Kami menepi. Roda mobil kami berhenti tidak jauh dari POM
bensin. Abay segera turun. Langkahnya terburu. Di seberang jalan sebuah warung
kopi yang sedang ramai. Aku tahu, ia akan ke sana.
Hanna. Huff. Aku melepas udara yang menyesak di dada.
Mudah-mudahan, semua lekas berakhir. Kita akan bertemu lagi. Aku akan
mengajakmu pulang. Dengan segera. Rindu yang menggunung ini hampir saja
membunuhku. Kau tahu, Hanna?
Dari kejahuan, aku melihat Abay sedang berbincang dengan
salah satu pengunjung warung. Lalu tangannya menunjuk-nunjuk ke arah yang
kabur. Lalu ia mengangguk khidmat. Tiga menit terlewat, Abay berjalan menuju
arahku.
“Masih jauh. Ada di pelosok. Kira-kira masih lima puluh
kilometer. Kamu ingin istirahat dulu?”
Aku menggeleng.
“Kamu masih kuat?”
Aku mengangguk tegas.
“Baiklah. Terserah kamu. Tapi saranku, jangan memaksa jika
memang kamu sudah lelah,” tukas Abay.
Aku mengangguk lagi. “Terima kasih atas semuanya.”
Abay diam. Tidak merespon.
Mobil kami terus melaju. Menapaki karpet hitam yang sangat
panjang. Mendung di langit semakin menjadi-jadi. Beberapa petir sudah terdengar
telinga. Cahayanya yang berkilatan semakin mengukuhkan jika sebentar lagi,
langit akan menumpahkan hujan. Abay tampak khawatir dengan keadaan ini.
Ditambah lagi, tubuhku yang enggan sekali diajak untuk istirahat. Aku tidak
salah memilihnya sebagai sahabat sejati. Sejak dulu. Meski, ia selalu tampak
dingin tapi aku tahu ia sangat mempedulikan keadaan orang lain.
Hujan benar-benar turun. Lebat sekali. Jalan di depanku
tampak gelap. Angin yang berembus membuat bulu kuduk berdiri penuh semangat.
“Tidak, Fay. Kita tidak bisa meneruskan perjalan ini. Kita harus
istirahat. Jalan begitu gelap.” Gusar, Abay memintaku untuk berhenti dulu. Kali ini aku
menurut.
“Baiklah,” jawabku sambil mengangguk.
Aku segera memelankan mobil. Dua mataku mengedar mencari
tempat parkir yang paling nyaman. Hampir lima menit terlewat, yang kudapati
hanyalah jajaran pohon besar yang meneduhi jalan. Dalam keadaan hujan yang
lebat, haram hukumnya berteduh di bawah pohon besar. Kalau nasib kita sedang
bagus, maka pohon itu tidak akan rubuh. Tapi jika kita sedang sial, maka pohon
besar itu tidak akan segan-segan menindih kita.
Ada POM, lima ratus meter lagi. Meski sangat lebat dan gelap,
aku masih bisa membaca keterangan tersebut.
“Ada POM. Kita di sana aja!”
Abay hanya mengangguk. Lalu bersendekap. Ia tampak
kedinginan. Tapi tidak. Ia tidak mungkin kedinginan, tapi aku melihatnya ia
sedang geram. Tapi entah, ia geram karena apa. Hujan? Mingkin. Aku? Barangkali
itu.
Hanna. Aku melihat hujan yang lebat. Ia membentuk wajahmu.
Elok. Kau masih ingat saat kita di Payung dulu? Kau menggigil. Sebab bajumu
terkena siraman air di Coban Rondo. Dan kau lupa menyiapkan baju cadangan. Aku
menggenggam erat tanganmu. Tiba-tiba saja badanmu begitu panas.
“Kau sakit? Apa yang kau rasakan?” tanyaku cemas.
Tapi kau malah melempar senyum. Indah sekali. Aku menjadi
bingung. Lalu, ah. Itu kali pertama aku merasakan halus pipimu. Putih. Lalu
sedikit memerah. Kita larut dalam bahasa itu.
Kami sudah berhenti di POM. Abay masih tampak geram. Ia diam.
Lalu mengatubkan dua matanya. Aku menyusulnya.
Aku ingin tidur, Hanna. Datanglah. Aku merindukanmu.
Benar-benar puncak rindu. Aku ingin memelukmu. Karena hawa di sini begitu
dingin. Tapi bagaimana denganmu? Apakah kau kedinginan?
Hanna. Andai kau tak ada, tak kutemukan lagi. Maka, langit
biar segera menjemputku. Sebab, ia tahu. Kau adalah kehidupanku.
Lalu semuanya menjdai hening. Gelap. Lelah. Aku sangat lelah.