Selasa, 26 Desember 2023

Dunki (Review Film)


 Dunki (Review Film)

Dunki. Dunki. Dunki. Kepala saya penuh dengan judul film ini. Sebuah film drama yang berkisah tentang 4 manusia yang ngotot pingin terbang ke London. Seperti film Rajkumar Hirani yang lain, Semisal Tree Idiots, Dunki juga dibuka dengan alur maju, yang kemudian terjadi flasback keseluruhan alur. Menarik.

Tampaknya, melihat antusias istri saya bercerita tentang film ini, dan beberapa penggila film yang menjadi komunitasnya, Dunki tampil menjadi film Bollywood yang paling ditunggu di tahun ini.

Film ini merupakan film ke-3 Shah Rukh Khan di 2023. Dua film sebelumnya sukses besar. Dan tentu saja -feeling saya- Dunki juga akan mendapatkan kesuksesan yang sama. Dalam film ini, Shah Rukh Khan tidak sedikit pun kehilangan karomah sebagai aktor sepanjang masa. Senyum. Otot tubuh. Gerak tari. Dan pesona tidak memudar. Awet. Utuh. Dan membuat banyak Perempuan ginjal-ginjal. Meski Dunki adalah kolaborasi pertamanya dengan Sang Sutradara, Shah Rukh Khan berhasil mempersembahkan yang terbaik. Sehingga antusiasme terhadap film ini sangat besar sejak kali pertama dirilis.

Film ini juga menampilkan Manu (Taapsee Pannu), Balli (Anil Grover), dan Buggu (Vikram Kochhar) sebagai 3 pemuda kisaran 20 tahun yang hidup di sebuah desa pelosok di India. Namanya Laaltu. Keadaan yang serba tidak pasti membuat ketiganya mempunyai tekad untuk pergi ke Luar Negeri; London. Tapi itu sangat sulit diwujudkan. Visa menjadi kendala utama mereka.

Lalu, Hardy (Shah Rukh Khan) datang di kehidupan mereka. Dan berjanji membawa mereka ke London, meski harus dengan cara ilegal. Janji ini merupakan buntut dari kematian salah satu teman mereka yang bernama Suki yang meninggal secara mengenaskan dengan cara membakar diri. Suki merasa sangat bersalah dan kecewa karena gagal menyelamatkan Jessy (kekasihnya) yang ada di London. Jessy menikah dengan lelaki lain dan dibawa ke London oleh suaminya. Akan tetapi Jessy menghadapi banyak siksaan yang akhirnya membuat ia bunuh diri. Kegagalan ini terjadi karena Suki gagal mendapatkan visa.

Dalam film ini, Sang sutradara begitu brilian mengonsep cerita dan memaksimalkan kekuatan para aktornya. Sehingga perpaduan komedi dan emosi bisa ditampilkan sangat sempurna. Dan mampu membuat penonton tertawa dan menangis bersamaan. 

Penampilan Shah Rukh Khan sebagai Hardy sangat luar biasa, dan sudah pasti mendominasi. Ia membawa pesona dan karisma pada karakternya. Monolog di ruang sidang bisa jadi menjadi adegan terbaik dalam karirnya selama hampir empat dekade ini. Singkatnya, tokoh utama yang ia perankan mampu ia kuasai sepenuhnya.

Tidak kalah keren adalah aksi Manu ketika terlibat dialog dengan Hardy di sepanjang film ini. Dialog mereka lebih banyak tentang pertukaran rasa. Bahkan saat sampai di London. Dialog mereka masih tentang rasa cinta masing-masing. Dalam bagian ini -mungkin- para penonton sudah menebak mereka akan bersatu di London. Tapi justru sebaliknya. London menjadi kota yang memisahkan keduanya. Hardy idealis. Sebagai mantan tentara, ia tidak bisa membohongi Nurani. Terlebih jika itu menyangkut tanah kelahirannya. Beda dengan Manu. Keinginannya yang sangat kuat untuk mengubah hidup di London membuat ia kehilangan idealisme hidupnya. Manu memilih berbohong untuk mendapatkan suaka dan tinggal secara legal di kota tersebut.

25 tahun berlalu. Hardy dan Manu Kembali bertemu. Mereka membuat janji pertemuan di Abu Dhabi. Pertemuam itu, tentu saja, juga ada Buggu dan Balli. Mereka bertemu dengan beragam rasa yang tidak biasa.

Manu tidak berani sebebas dulu. Begitu juga dengan hardy. Karena keduanya mempunyai anggapan yang sama, bahwa masing-masing telah berkeluarga. Anggapan itu salah. Manu ternyata memilih untuk sendiri. Hardy merasa senang. Tapi sedetik berikutnya, hatinya bergemuruh. Sebagai mantan tentara, ia tidak ingin meneteskan air mata. Ia hanya berteriak sekencang-kencangnya. Sebab ia tahu, Manu tidak seperti dulu. Ia sekarat. Dan jatah hidupnya tinggal sebulan.

Dari Abu Dhabi, mereka berempat pulang ke Laaltu dengan jalur deportasi. Mereka pulang sebagai imigran ilegal. Menaiki pesawat. Tidak lagi dengan cara Dunki. Seperti yang dijanjikan Hardy kepada Manu.

Cerita ditutup dengan adegan yang menyedihkan antara Manu dan Hardy. Hardy jujur kepada Manu jika ia juga memilih sendiri dan menunggu Manu. Hardy segera melamar Manu. Akan tetapi jari-jari Hadry kalah cepat dengan takdir Manu yang harus pulang di saat itu juga.

Dengan alur yang rumit ini. Serta gambaran kisah nyata tentang Dunki dan perjalanan ilegal Imigran serta kisah cinta yang sangat mengguncang, saya, sebagai pecandu film, memberi nilai 9.5 untuk film Dunki ini. Sehingga, saya sangat menyarankan kalian semua untuk tidak ketinggalan menonton Film yang diputar secara serentak di 22 Desember 2023 kemarin. Sisihkan waktu kalian untuk film keren ini. Dan kelak, berterimakasihlah kepada saya ^_^

 

Minggu, 24 Desember 2023

Natal Dalam Ingatan Masa Kecil (Revisi)

 


Natal Dalam Ingatan Masa Kecil (Revisi)

Selain hari raya Fitri dan Adha, Natal juga menjadi hari raya yang paling kami tunggu. Sebab di malam sebelum Natal, kami akan berkumpul di serambi Masjid. Lalu bermain tebak-tebakan, apakah besok akan turun hujan di pagi hari atau tidak. Biasanya saya yang sering menang. Sebab, hampir semua Natal yang melewati masa kecil saya selalu turun hujan. Kadang deras. Kadang hanya berupa rintik. Jika tidak keduanya, biasanya langit akan sangat gelap. Awan menggulung semuanya. Semua menjadi pekat. Angin sering juga datang dengan menandak-nandak. Namun, semua berbanding terbalik dengan hati saya. Banyak pelangi di lapisan-lapisannya. Ya, saya menang lagi tahun ini. Benar, kata kawan saya. Natal selalu berpihak pada saya. Tiap tahun. Tak ada kesenangan yang melebihi itu semua. Kami Bahagia. Kami bersuka cita. Natal mencipta banyak seyum di hidup kami.

 

Lalu, di pagi harinya kami akan berkumpul lagi. Masih di serambi Masjid. Rintik hujan menghiasi semuanya. Butirannya yang lucu berpantulan di ujung daun-daun. Kami semakin antusias. Di serambi itu, kami membahas acara tahunan kami. Berburu makanan –jajanan pasar- yang dibagikan gratis oleh pihak Gereja yang tidak jauh dari rumah kami.

Sebagai orang miskin, mendapat makanan gratis itu setara mendapat mukjizat. Kami akan tertawa lepas dengan mulut penuh dengan makanan. Sementara untuk minumnya, kami akan ke Masjid yang tak jauh dari tempat kami menerima makanan gratis itu. Sebab air di sana sangat menyegarkan. Kata teman saya, pihak Gereja lupa memesan teh kotak. Lalu kami tertawa lagi. Bahagia lagi. Kami semua menjadi lupa jika kami adalah orang miskin; yang jika pingin beli es strup harus pergi dulu ke sawah untuk mencari sisa padi yang jatuh di pematang. Kami kumpulkan perlahan. Ketika sudah agak berat, kami akan menukarnya dengan sebungkus es strup itu dan sebiji ote-ote. Kami tak pernah mengeluh. Detik yang berlalu dari kami selalu penuh dengan berkah. Tuhan Maha Penyayang. Teriak kami sepanjang perjalanan pulang dari Gereja.

 

Dan biasanya, ketika sudah sampai di desa kami lagi, kami tidak lantas pulang ke rumah. Tapi kami mampir di sungai desa. Tak menunggu lama, kami langsung berendam, kamudian beradu cepat berenang. Ketika sudah lelah, kami akan segera ke saung yang –biasanya- ada di tengah-tengah sawah. Di sana, kami membahas kenapa setiap Natal seringkali hujan. Kami tak akan membahas keimanan. Sebab bagi kami, ketika itu, yang ada di kepala hanyalah pergi ke Masjid menjelang Magrib, dan baru pulang setelah Isya. Di rentang waktu yang singkat itu, kami akan mengaji turutan, merapal Jurumiyah, dan main gobag sodor.

Semua kami kerjakan di pelataran Masjid. Kami tidak terpikir tentang makanan yang kami kunyah di hari Natal. Kami juga tidak pernah memiliki amunisi untuk menduga-duga, apakah makanan yang kita makan itu akan berpengaruh pada keimanan kami. Yang kami pikir hanyalah bahwa Natal itu hari yang penuh berkah bagi kami; manusia-manusia yang lebih banyak lapar ketimbang kenyang.

###

 

Waktu sangat cepat berlalu. Tak ada lagi malam Natal di serambi Masjid. Yang saya temukan hari ini adalah kekhawatiran tentang iman. Tentang simbol-simbol yang disangka akan mendistorsi agama kita. Rintik yang selalu saya rindu pun enggan menampakkan wujudnya. Pagi, di hari Natal, hanyalah petak umpet, saya dan beberapa saudara seiman saya. Garis batas itu menjadi sangat tebal. Tembok pemisah itu semakin tinggi menjulang. Saya seperti sendiri. Menertawai gradasi takdir saya; yang tiba-tiba saja membawa saya di keadaan yang serba rumit ini. 

Saya memilih pulang saja. Malam Natal ini menjadi sangat biasa. Saya tak menemukan kesakralan itu lagi. Saya akan menulis banyak puisi; sambil berharap ada mesin waktu yang menarik saya kembali ke masa lalu. Sebuah masa, di mana Natal menjadi keberkahan bersama. Bukan menjadi hantu yang harus kita rapalkan mantra.

Dan esok harinya, saya akan menonton Home Alone seharian penuh. Film jenius yang selalu menyita kepedihan hidup kami ketika itu. Sambil berdoa, semoga Gereja-gereja suci itu tak lagi dijaga. Tapi akan kembali menjaga, memeluk, dan merawat tawa saudara saya semua.

 

###

Interval. 2019. Meloncat ke 2023. Kekhawatiran saya dulu, 4 tahun yang lalu, sirna. Hari ini, di tanggal ini, Natal Kembali membahagiakan kami. Saudara kami. Lintas iman. Lintas kitab suci. Tidak ada lagi parade menakar iman. Mungkin, kami Lelah. Jenuh. Atau bahkan sudah sadar. Keimanan, Tuhan yang tahu. Surga-Neraka Tuhan yang tahu.

Dulu. Dulu sekali. Kiyai Sangaji, guru ngaji saya, tak pernah bosan mengingatkan kami, bahwa manusia itu beragam. Kepala sama, isi beda. Mata sama, pandangan berbeda. Telinga sama, pendengaran berbeda. Tapi ada satu yang tidak berbeda, jaring-jaring penciptaan kami. Beliau menambahkan, kami dan mereka terikat. Mendoakan mereka jelek, maka akan memantul ke kami, begitu seterusnya. Sampai kami benar-benar sudah mati.

2023. Tahun yang membuat saya sangat antusias, jika kesetaraan sosial akan menjadi wujud yang bisa dipeluk. Bukan angan-angan yang mendadak hilang jika azan Magrib menjelang. Di tahun ini, saya begitu bergembira dan meneteskan air mata haru. Melihat mereka yang terus merevisi ajaran-ajaran masa lalu tentang kami yang berbeda. Tentang kami yang diajari menyadari hadirnya perbedaan tapi tidak pernah diberitahu tentang bagaimana memahami dan menerima perbedaan. Sekarang tidak. Kami diajari tentang kehidupan yang seimbang. Natal. Ramadan. Fitri. Adha. Adalah cara kami, yang beda ini, menenun kesetaraan. Kebahagiaan. Menjahit ulang doktrin-doktrin lama kami. Menjadi baju yang bisa dipakai bersama. Saling menebar senyum dan doa. Akhirnya.

“Selamat Natal, bagi semua saudara saya yang merayakan. Semoga Bahagia”.

 

 

 

 

Selasa, 19 Desember 2023

Pembukaan KKN Reguler Multisektoral UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung 2023

 



Pembukaan KKN Reguler Multisektoral

UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung 2023

 

Langit belum sempurna mengeringkan mimpi-mimpi di pagi ini. Tapi, saya, dan mungkin di ujung sana, kolega saya; Dr. Reni, sedang bersiap juga. Kami mempunyai agenda yang sama di hari ini. Kebetulan ini terulang lagi. Kami -sekarang- menjadi DPL di desa yang sama lagi, seperti yang pernah kita lakukan beberapa tahun silam saat kami mendapatkan tugas pendampingan di Pule, Trenggalek. Semoga, kami seperti dulu lagi. Kompak dan membahana badai :D.

Untuk KKN kali ini, saya mendapat tugas pendampingan di desa Tanggul Kundung, Besuki Tulungagung, yang memang saya pilih saat mengisi form pendaftaran menjadi DPL. Lokus pendampingan yang tidak terlalu jauh dan akses yang mudah menjadi pertimbangan saya saat menjatuhkan pilihan di kecamatan Besuki Tulungagung. Dengan harapan, lokus yang mudah tertempuh membuat saya bisa maksimal melakukan pendampingan. Artinya, jika ada program-program KKN yang -memang- membutuhkan saya ada, maka hal itu bisa sangat mudah untuk saya wujudkan.

Saya berangkat pukul 08:00 tepat, dan sebelum sampai jam 09:00 saya sudah berada di kantor desa Tanggul Kundung yang merupakan lokasi acara pembukaan. Padahal, saya juga sempat mampir untuk sarapan di sekitaran Beji. Pembaca perlu tahu, di daerah tersebut ada Soto yang mantul sekali, tapi, tidak akan saya bahas di sini tempatnya. Kecuali, pembaca berjanji kepada saya untuk mengajak makan bersama di sana :D.

Saat tiba di sana, saya disambut antusias peserta KKN. Di sana juga, ternyata, sudah ada Bu Reni yang duduk bahagia bersama putrinya. Tampaknya pagi ini, beliau sedang berwarna sekali. Kami bertegur sapa lagi. Berdiskusi. Berbincang. Dan beliau mengatakan, jika rumah beliau tidak jauh dari kantor desa ini. Ah. Pantesan, kok saya diminta mampir. Dan akan dikasih durian yang banyak.

Waktu beranjak dari pukul 09:00 menuju 20 menit ke dapan. Saya mengedarkan pandangan ke semua arah. Ada satu peserta KKN yang menangkapnya. Lalu mendatangi saya dan mengatakan jika Pak Lurah masih ada acara di rumah warga. Apakah beliau bisa hadir? Bisa, Pak. Jawabnya penuh semangat. Kantor sepi, Pak. Beberapa perangkat ada undangan ke Surabaya. Katanya menjelaskan. Baiklah. Saya mengangguk. Dan ia meninggalkan saya untuk menertibkan teman-temannya. Sebab, katanya, Pak Lurah sedang dalam perjalanan menuju lokasi.

Saya bersiap. Dan berdiri di ambang pintu aula. Saya menyambut kedatangan Pak Lurah. Tidak berselang lama. Beliau datang. Akan tetapi tidak langsung ke aula. Beliau lebih dulu ke ruangan kerja. Sebab di sana, sudah ada beberapa warga yang membutuhkan tanda tangan.

Tepat pukul 09:30, acara dimulai. Saya, Bu Reni, dan Pak Lurah duduk berdampingan di depan menghadap kepada hadirin yang hadir. Mereka yang hadir adalah dari semua unsur pemerintahan desa dan peserta KKN. Acara dibuka oleh MC dengan membaca Fatihah berjamaah. Kemudian disambung dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya dan Mars UIN SATU Tulungagung. Setelah kedua acara itu selesai. Dilanjutkan dengan sambutan-sambutan. Pertama oleh Bu Reni, selaku DPL, dan oleh Pak Lurah, selaku tuan rumah.

Dalam sambutan tersebut, Bu Reni menjelaskan secara detail tentang konsep KKN saat ini. Dengan Bahasa yang ringan dan sangat mudah dipahami, beliau mengatakan bahwa KKN sekarang ini tidak membangun fisik, seperti tugu, jalan, dan yang lainnya. Tapi yang dibangun oleh KKN sekarang ini adalah non fisik, atau mental. Maka dari itu, masih kata beliau, KKN ini berbasis Keluarga Maslahat. Dengan harapan, kehadiran kegiatan KKN di Tanggul Kundung ini, setidaknya, bisa memberikan sumbangan pola pikir baru tentang keluarga maslahat.

Dalam kesempatan itu pula, beliau mnejelaskan tentang Kesehatan mental. Masih menurut beliau, mental yang tidak sehat akan menimbulkan banyak problem sosial di keluarga. Misalnya saja, perceraian dan maraknya kasus bunuh diri. Mental yang sehat muncul di keluarga yang sehat (baca: maslahat). Dengan dibumbui joke-joke segar beliau, kami yang menyimak jadi mudah memahami dan merasa waktu begitu cepat berlalu. Dan tetiba saja beliau segera mengakhiri sambutan yang disambut dengan riuh tepuk tangan yang hadir.

Sambutan yang kedua dari Pak Lurah. Setelah membuka sambutan perkenalan diri, satu kata yang keluar dari beliau adalah bahwa UIN SATU dengan desa Tanggul Kundung itu sudah seperti saudara kandung. Saya tersenyum. Bu Reni tersenyum. Dan semua peserta KKN tersenyum. Ternyata kami pulang ke rumah sendiri. Seperti formalnya sambutan pembukaan sebuah kegiatan, Pak Lurah; yang dalam hal ini sebagai tuan rumah, memohon maaf jika perihal gupuh dan suguh ada yang kurang. Lalu beliau berpesan agar semua peserta KKN jangan ada yang pergi-pulang. Artinya, mereka diharapkan agar menuntaskan kegiatan dengan tetap berada di posko yang sudah disediakan. Beliau juga menambahkan, jangan menganggap perangkat desa dan Masyarakat desa Tanggul Kundung sebagai orang lain. Semua bersaudara. Oleh sebab itu, peserta KKN jangan sungkan untuk menjalin komunikasi dengan mereka semua. “Wakafkanlah kebaikan untuk mereka,” tutup Pak Lurah di akhir sambutan beliau. Setelah itu, beliau dimohon untuk mengalungkan ID-Card ke dua peserta KKN sebagai simbolisasi dimulainya kegiatan KKN Reguler Multisektoral UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung 2023 di desa Tanggul Kundung kecamatan Besuki Kabupaten Tulungagung.

Memasuki acara terakhir adalah doa. Karena tokoh masyarakat yang diundang berhalangan hadir, maka tugas membaca doa diserahkan ke saya. Dengan niat tulus dan hati yang tertata, saya berdoa semoga kegiatan KKN ini membawa keberkahan bagi semuanya.

Dengan berakhirnya pembacaan doa, maka semua rangkaian kegiatan pembukaan KKN Reguler Multisektoral UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung 2023 dinyatakan selesai dan terlaksana dengan baik.

Setelah seremonial pembukaan, kami berfoto bersama dengan seluruh hadirin yang ada. Lalu, satu persatu hadirin meninggalkan aula. Hanya kami: DPL dan peserta KKN yang bertahan di sana.

Di aula, kami berdiskusi sebentar. Kemudian saya dan Bu Reni bertemu secara pribadi dengan Pak Lurah di ruang kerja beliau. Kami bercerita banyak hal. Termasuk cerita Pak Lurah, yang ternyata seorang purnawirawan Polisi. Mempunyai dua anak yang sudah berkeluarga semua. Dari beliau juga, saya tahu bahwa Tingkat perceraian di Tanggul Kundung sangat tinggi.

Sebenarnya beliau masih pingin cerita banyak hal kepada kami. Akan tetapi, hari ini jadwal kegiatan beliau sangat padat. Sehingga kami segera pamit.

Tidak terasa, waktu sudah berada di pukul 12 siang. Saya dan Bu Reni harus mengakhiri semua kegiatan pembukaan itu. Selanjutkan, kami akan ke posko masing-masing peserta KKN yang kami dampingi.

Posko kelompok dampingan saya ternyata dekat dengan kantor desa. Rumahnya besar dan sangat representatif. Bonusnya, yang punya rumah menggratiskan biaya sewa. Peserta KKN hanya diminta membayar Listrik yang digunakan. "Di sini juga ada ayam, Pak!" teriak salah satu dari mereka. Maksudnya? "Kami tidak akan kekurangan gizi!" Mereka kompak tertawa. Milik siapa? Yang Punya rumah? "Benar, Pak." Saya tertawa. Jangan sampai ketahuan, kata saya bercanda.

Saya berbincang banyak hal juga dengan mereka di posko. Termasuk mengkonsep program-program unggulan mereka yang kesemuanya berbasis keluarga maslahat. Setelah dirasa semua sudah disiskusikan, saya pamit meninggalkan posko.   

 

Kamis, 02 Februari 2023

Cerita Bener-bener Pendek: Sefrekuensi

 


Malam kemarin. Tepatnya menjelang pagi. Saya ngobrol panjang dengan Ibu Negara (Baca: Istri) di beranda rumah yang berhadapan langsung dengan bising belalang daun yang sejak magrib tadi bersuara. Di akhir percakapan kami, saya bertanya,

“Dulu. Dulu sekali. Sebelum kita menikah, apa yang kamu minta kepada Tuhan tentang jodohmu?”

Ia berdiri. Lalu membereskan sisa camilan di meja depan kami. Ia menatapku aneh. Ia melempar senyum. Aku tidak bersuara. Hanya mengangkat dua bahu. Sambil menggerakkan wajahku sebagai penegasan. Ia bersuara.

“Saat tahu perempuan itu butuh laki-laki sebagai pasangan hidup. Maka aku meminta kepada Tuhan laki-laki yang mengerti agama, berasal dari pesantren tapi memiliki pemikiran terbuka; tidak jumud, dan laki-laki yang sefrekuensi denganku. Tapi sayang …,” ia menjeda. Memancingku bertanya.

“Sayang apa?”

“Sayang aku lupa tidak meminta laki-laki yang ganteng dan kaya. Yah, jadinya begini. Ah. Andai waktu berkenan kembali ke waktu itu.” Ia berlalu sambil membawa gelas bekas kopi kami.

Aku masih dipenjara tawa.

Tapi ia sudah tidak di dekatku lagi.

Tamat!

 

Secangkir Kopi Untuk Hanna (Novel Series) - Luthfi Madu-#3

 






***

Banyuwangi. Tujuh jam dari Malang. Kami tidak menunda waktu lagi. Kami berangkat. Detik itu juga.

Kamu sanggup?Abay tampak prihatin dengan keadaanku. Andai saja aku bisa nyetir sejak dulu. Ia melepas satu penyesalan.

Apa yang tidak untuk Hanna? sahutku pelan. Aku masih sanggup. Bahkan lebih dari ini aku juga sanggup. Aku selalu berapi-api.

Baiklah, kata Abay pendek. Lalu mengatubkan dua matanya.

Jalanan panjang, hitam, yang kutapaki menampilkan panas yang luar biasa. Seperti rebusan air yang sedang puncak-puncaknya. Malang sudah melepas kepergian kami. Pasuruan menerima kami dengan tangan terbuka. Hangat sekali.

Abay masih pulas saat mobil kami sudah menjauh dari kota itu. Sebentar lagi, kami akan masuk ke Lumajang. Tapi aku memutuskan untuk berhenti sesaat. Aku lelah sekali.

Ada sungai yang mengalir tenang di depan mataku. Aku melihat angin itu datang tergopoh-gopoh. Lalu menjilati permukaan sungai. Gelombangnya menjadi berkilat-kilat. Memantulkan panas yang jatuh langsung dari matahari. Sungai itu seperti peraduan. Angin itu membawa rindu yang menahun. Aku tahu itu. Kau pasti juga pernah melihatnya, Hanna.

Sebuah tangan hinggap di bahuku. Sebaiknya kamu tidur dulu.

Aku menginginkan itu, Kawan. Tapi dua mata ini enggan terpejam. Sebab, keduanya begitu takut waktu tak membangunkan mereka lagi, kataku sambil menatap kepedulian Abay. Jangan khawatirkan aku, Bay. Sumpah. Aku masih sanggup. Aku kemudian berdiri. Memecah kekhawatirannya. Abay mengangguk mantap. Setelah itu, ia terpaku pada punggung bukit yang menggendong ribuan pinus. Dan juga rimbun alang-alang. Dengan sesekali kawanan seriti menggelitik pinggangnya. Bukit itu tertawa riang. Tapi tidak dengannya. Abay tetap saja dingin. Sedingin yang dulu.

Aku takut kamu tidak bisa menerima kenyataan! Kesunyian pecah. Aku hanya menggelengkan kepala.

Tidak tahu, pendek, aku menyahut.

Faya. Tapi percayalah, Tuhan pasti memeluk doa-doamu, katanya menenangkan. Tuhan akan menyatukan kalian, imbuhnya.

Aku hanya melihat langit di atas sana. Aku hanya ingin tahu, sabda apa yang didengungkan semesta untuk cinta ini. Cinta kita. Aku dan kamu, Hanna.

Lumajang tampak begitu hijau dari kejauhan. Tapi udara di kota itu tidak sesejuk Malang. Aku tidak ingin berhenti terlalu lama. Aku melewatinya begitu saja. Aku terburu. Sebab, aku ingin segera tiba di Jember. Lalu Banyuwangi. Aku melirik Abay sejenak. Ia masih mengatubkan dua matanya dengan sangat bahagia. Yang kulihat dari wajahnya adalah paradoks hatiku. Tapi tidak mengapa. Aku pasti baik-baik saja.

***

Banyuwangi. Yang kuingat adalah Ketapang. Pelabuhan itu selalu ramai. Membawa jutaan harap manusia yang ingin berbahagia di seberang sana. Aku pernah di sana ketika itu. Tentu bersamamu, Hanna. Kau masih ingat? Tentu saja.

Coba kau ingat-ingat lagi. Pagi itu, sekitar pukul enam lebih sedikit, kau tampak begitu murung. Wajahmu tertekuk sempurna. Ada apa? Aku bertanya di sebelahmu. Aku takut. Sangat takut, Faya. Kenapa? Aku bertanya lagi. Sebab, pelabuhan ini begitu membenciku. Aku takut ia berdoa buruk tentang hubungan ini. Hubungan kita.

Lalu aku menggenggam jemarimu.

Percayalah, Hanna. Pelabuhan ini hanya iri dengan kita. Atau bahkan, malah sebaliknya. Kebahagiaan kita menular padanya.

Kau jangan bercanda.

Tidak. Sebentar, Hanna. Beri aku lima menit. Aku ingin menulis surat kepadamu. Tentang Ketapang ini.

Kau tampak tersipu ketika. Lalu menungguku menulis. Tanpa suara. Hening. Begitu hening.

Kalimat per kalimat tumpah di kertas itu. Sesekali aku melihat wajahmu. Ayu. Sungguh wajah yang membuatku tidak butuh apa-apa lagi. Kau membalasnya dengan sedikit tersenyum. Oh. Hanna.

Aku sudah selesai menulis surat. Kau tampak tak sabar ingin membacanya. Tangan putihmu mengulur. Mengharap kertas itu segera pindah di jari-jari lentikmu. Aku mengangguk,

Silakan.

Kau menunduk. Dan mulai membacanya.

Perempuan pelangi. Aku menyebutmu begitu. Semoga saja kau tidak keberatan. Semoga Tuhan terus memelukmu.

Hanna. Lihat riak air itu. Begitu gaduh. Tapi manusia selalu berada di pinggirya. Merasakan sentuhannya. Sebab katanya, itu adalah keberkahan. Barangkali, aku juga mengatakan hal yang sama. Hanna, kau begitu gaduh tapi teduh. Aku adalah jiwa-jiwa yang selalu berada di lingkarannya. Jika kau melepasku, maka aku menjadi abu. Aku selalu suka kau yang gaduh. Meramaikan semesta. Membungkus bahagia dengan kemasan yang sangat sederhana. Mengejar angkot, menumpang dengan tidak pernah memiliki tujuan. Itulah Hanna. Kegaduhan yang membawa keteduhan.

Hanna. Apakah kau pernah merasakan jika kadang awan membuat mendung? Bahkan sampai gelap? Benar, Sayang. Awan itu sengaja menggodamu. Lalu bertanya, bagaimana Tuhan menciptakanmu dulu. Maka jawablah: Tuhan menciptakanmu sambil tersenyum.

Hanna. Sudah. Aku menyudahi surat ini. Aku selalu kehabisan diksi jika sudah membahasakanmu. Tapi aku akan selalu berjanji, aku tidak akan pernah berhenti mencari diksi-diksi yang lain tentangmu. Terima kasih atas dua matamu yang sayu. Yang kau biarkan lelah demi surat kecil ini. Semoga, hari ini, esok, lusa dan seterusnya kau dan aku selalu bersama. Bahkan, sampai di Firdaus sana.

Kau kembali menatapku. Surat itu kau lipat rapi. Kemudian masuk ke dalam saku kemejamu.

Jangan, Hanna.

Kau menggeleng.

Surat ini akan kugenggam sampai aku tiada. Lalu ia mengerling.

Tapi itu surat yang buruk, Hanna, aku mencoba mencegahnya.

Lain kali, tulislah surat untukku lagi. Aku pasti merindukan kalimat-kalimat itu. Lalu hening. Hanna menyandarkan kepalanya ke bahuku. Ketapang membuat kami merasa sangat hangat.

Sebentar lagi. Kami hanya butuh lima menit lagi itu sampai di tanah Blambangan itu. Roda kami terus berputar tanpa mengenal lelah. Abay melirikku lagi. Ia mengamati mata sapiku.

Aku tidak lelah. Perjalanan ini sangat membahagiakan, kataku buru-buru. Sebab Abay sebentar lagi akan berkomentar tentang mataku.

Gila. Cinta membuat orang tidak waras, sahutnya pendek.

Kamu sudah segar? Tidurmu seperti orang mati.

Ia tidak menjawab. Hanya kepalanya mengangguk pelan. Mobil kami sampai juga di kota itu. Banyuwangi begitu ramah. Tapi langit sedikit muram. Gelap tampak di atas sana.

Akan hujan. Sudah mendung sekali, kataku sambl mengamati gelapnya langit.

Semoga saja tidak. Kita harus segera mencari tahu desa itu. Sebelum malam menghabisi semuanya, sahut Abay sambil melempar pandangan ke jalan. Sebaiknya kita berhenti dulu. Aku akan turun mencari petunjuk, imbuhnya.

Kami menepi. Roda mobil kami berhenti tidak jauh dari POM bensin. Abay segera turun. Langkahnya terburu. Di seberang jalan sebuah warung kopi yang sedang ramai. Aku tahu, ia akan ke sana.

Hanna. Huff. Aku melepas udara yang menyesak di dada. Mudah-mudahan, semua lekas berakhir. Kita akan bertemu lagi. Aku akan mengajakmu pulang. Dengan segera. Rindu yang menggunung ini hampir saja membunuhku. Kau tahu, Hanna?

Dari kejahuan, aku melihat Abay sedang berbincang dengan salah satu pengunjung warung. Lalu tangannya menunjuk-nunjuk ke arah yang kabur. Lalu ia mengangguk khidmat. Tiga menit terlewat, Abay berjalan menuju arahku.

Masih jauh. Ada di pelosok. Kira-kira masih lima puluh kilometer. Kamu ingin istirahat dulu?

Aku menggeleng.

Kamu masih kuat?

Aku mengangguk tegas.

Baiklah. Terserah kamu. Tapi saranku, jangan memaksa jika memang kamu sudah lelah, tukas Abay.

Aku mengangguk lagi. Terima kasih atas semuanya.

Abay diam. Tidak merespon.

Mobil kami terus melaju. Menapaki karpet hitam yang sangat panjang. Mendung di langit semakin menjadi-jadi. Beberapa petir sudah terdengar telinga. Cahayanya yang berkilatan semakin mengukuhkan jika sebentar lagi, langit akan menumpahkan hujan. Abay tampak khawatir dengan keadaan ini. Ditambah lagi, tubuhku yang enggan sekali diajak untuk istirahat. Aku tidak salah memilihnya sebagai sahabat sejati. Sejak dulu. Meski, ia selalu tampak dingin tapi aku tahu ia sangat mempedulikan keadaan orang lain.

Hujan benar-benar turun. Lebat sekali. Jalan di depanku tampak gelap. Angin yang berembus membuat bulu kuduk berdiri penuh semangat.

Tidak, Fay. Kita tidak bisa meneruskan perjalan ini. Kita harus istirahat. Jalan begitu gelap. Gusar, Abay memintaku untuk berhenti dulu. Kali ini aku menurut.

Baiklah, jawabku sambil mengangguk.

Aku segera memelankan mobil. Dua mataku mengedar mencari tempat parkir yang paling nyaman. Hampir lima menit terlewat, yang kudapati hanyalah jajaran pohon besar yang meneduhi jalan. Dalam keadaan hujan yang lebat, haram hukumnya berteduh di bawah pohon besar. Kalau nasib kita sedang bagus, maka pohon itu tidak akan rubuh. Tapi jika kita sedang sial, maka pohon besar itu tidak akan segan-segan menindih kita.

Ada POM, lima ratus meter lagi. Meski sangat lebat dan gelap, aku masih bisa membaca keterangan tersebut.

Ada POM. Kita di sana aja!

Abay hanya mengangguk. Lalu bersendekap. Ia tampak kedinginan. Tapi tidak. Ia tidak mungkin kedinginan, tapi aku melihatnya ia sedang geram. Tapi entah, ia geram karena apa. Hujan? Mingkin. Aku? Barangkali itu.

Hanna. Aku melihat hujan yang lebat. Ia membentuk wajahmu. Elok. Kau masih ingat saat kita di Payung dulu? Kau menggigil. Sebab bajumu terkena siraman air di Coban Rondo. Dan kau lupa menyiapkan baju cadangan. Aku menggenggam erat tanganmu. Tiba-tiba saja badanmu begitu panas.

Kau sakit? Apa yang kau rasakan? tanyaku cemas.

Tapi kau malah melempar senyum. Indah sekali. Aku menjadi bingung. Lalu, ah. Itu kali pertama aku merasakan halus pipimu. Putih. Lalu sedikit memerah. Kita larut dalam bahasa itu.

Kami sudah berhenti di POM. Abay masih tampak geram. Ia diam. Lalu mengatubkan dua matanya. Aku menyusulnya.

Aku ingin tidur, Hanna. Datanglah. Aku merindukanmu. Benar-benar puncak rindu. Aku ingin memelukmu. Karena hawa di sini begitu dingin. Tapi bagaimana denganmu? Apakah kau kedinginan?

Hanna. Andai kau tak ada, tak kutemukan lagi. Maka, langit biar segera menjemputku. Sebab, ia tahu. Kau adalah kehidupanku.

Lalu semuanya menjdai hening. Gelap. Lelah. Aku sangat lelah.

Rabu, 25 Januari 2023

Tulisan Yang Tak -Pernah- Usai (Ng-Ainun Naim)

 

Tulisan Yang Tak -Pernah- Usai (Ng-Ainun Naim)

Prolog

Masih segar dalam ingatan saya. Saat itu, 2015. Saya kali pertama menjadi bagian keluarga besar kampus tercinta ini, UIN SATU Tulungagung (dulu IAIN-TA). Sebagai keluarga baru, waktu senggang setelah mengajar saya manfaatkan untuk mengamati banyak hal baru yang ada di depan mata saya. Semua serba menjajikan keajaiban. Saya menghela napas lega. Tuhan selalu tepat waktu memberikan apa yang terbaik untuk hamba-hamba-Nya. Saya didaratkan di sebuah kampus yang revolusioner, membangun peradaban, dan pelopor dakwah; setelah sebelumnya saya merasa sangat lelah dengan sejarah panjang hidup yang saya habiskan di jalan –menggelandang-, dan tak punya jangkar yang bisa saya gunakan untuk mengantisipasi saat waktu benar-benar sadis menghabisi saya. Sebab itu, sembah sujud syukur saya haturkan pada-Nya, pada semesta, dan pada tanah yang saya pijak hingga hari ini. Dan terima kasih yang tak terukur untuk rumah besar ini; terima kasih atas selimut pengetahuan yang menghangatkan tubuh saya. Sekali lagi terima kasih.

Lalu, saya duduk di sebuah warung kopi yang tidak pernah saya kenal sebelumnya. Warung berpetak itu terletak di depan gedung tempat saya mengajar. Saya segera mengeluarkan sebuah buku yang sejak kemarin sore terlelap di tas hitam saya. Buku itu sederhana. Tidak tebal. Tidak mengejutkan. Akan tetapi mampu menyita perhatian saya; mengurung kegemaran saya membaca. Saya baca pengantarnya. Beberapa nama keren nampang dalam pengantar. Lalu saya melanjutkan ke bagian daftar isi. Dan dari sinilah saya tahu bahwa ternyata buku itu terpolarisasi menjadi dua kubu besar: menolak dan mempertimbangkan. Menolak yang dimaksud adalah menolak konsep pemikiran yang kala itu –diangggap- sangat kontroversi, dan jahat. Sementara mempertimbangkan dalam hal ini –menurut saya- hanya “mencari selamat” dari beragam komentar destruktif yang kelak berdatangan kepada penulisnya. Tapi terlepas dari pendapat “gila” saya, beberapa tulisan yang masuk dalam kubu mempertimbangkan ini adalah upaya memaklumi pemikiran dari sudut pandang akademis; melepaskan konsep surga dan neraka. Pemikiran ya pemikiran, hasil kerja cantik Tuhan yang dianugerahkan kepada manusia.

Saya seperti sedang berada dalam proses de javu; saya kembali terbang ke sebuah waktu dimana saya masih galak-galaknya menjadi seorang mahasiswa. Dalam sebuah forum besar, yang ketika itu mendatangkan seorang pemateri dari unsur agamawan, beliau adalah KH. Luthfi Bashori. Saya yang masih bau kencur -tapi kata teman saya, bau kemiskinan :D-, dengan berapi-api menolak apa yang disampaikan oleh beliau. Beberapa teman saya menepuk bahu saya dan mengatakan: “Sudah. Kamu suul adab!” Kemudian saya menyudahinya sambil menggerutu dan menampilkan wajah seolah-olah saya menerima semua “kekalahan” saya. Mereka yang menepuk bahu saya, melempar senyum aneh dan mengamini kekalahan saya.

Lalu, di mana benang merahnya?

Begini, buku yang saya baca ketika itu memiliki tema yang sama dengan forum besar yang diisi oleh KH. Luthfi Bashori tersebut. Satu tema yang sama: tentang JIL, Jaringan Islam Liberal, yang digagas oleh Ulil Abshor Abdalla (Cendekiawan muda NU). Dan tiba-tiba saya tertawa. Menertawai “kelucuan” saya ketika suul adab dengan beliau, KH. Luthfi Bashori. Saya tidak pernah kenal dengan Ulil Abshor Abdalla. Tidak pernah bertemu. Tidak pernah ditraktir ngopi. Tapi saya membela habis-habisan saat ia dikatakan halal darahnya hanya gegara pemikiran JIL-nya.

Dan sekarang, lupakan de javu saya. Mari terbang lagi ke 2015. Ke hamparan buku yang saya baca di warung kopi depan gedung tempat saya mengajar. Jujur, setelah beberapa halaman saya baca, rasa bosan saya mulai muncul. Sebab, di bagian yang pertama, kubu yang menolak narasi-narasi yang disampaikan hampir sama: menghakimi dan menghukum. Akan tetapi, kebosanan saya tiba-tiba menguap. Ada satu penulis yang membuat saya tidak jadi menutup buku itu. Nama dari penulis itu begitu asing, sederhana, kolot, dan –kayak-kayaknya- tidak banyak menjajikan kejutan. Namun, instansi tempat penulis itu mengabdi membuat saya menganulir niat saya untuk segera beranjak dari tempat itu. Penulis itu bernama Ngainun Naim. Dan saya langsung bergumam: “Sudah tahun 2015 masih saja tidak tanggap EYD.” Tapi saya tidak peduli dengan nama itu. Saya hanya peduli dengan tempat beliau bekerja: IAIN Tulungagung. Paragraf demi paragraf saya kunyah habis. Aneh, tidak menyangka jika paragraf-paragraf yang saya kunyah habis itu menghasilkan banyak energi dalam kepala saya. Tulisan-tulisan beliau sangat diplomatis, segar, tapi juga terkesan “cari aman”. Melalui tulisan itu, beliau mencoba memaklumi gagasan JIL. Sebab, kerangka pemikiran yang diajukan JIL ternyata sudah ada sejak dahulu kala. Menurut beliau, para pemikir Islam dulu juga sudah berdebat hebat perihal sebuah gagasan atau pemikiran, misalnya saja perdebatan antara Ibnu Rush dengan Hujjatul Islam Imam Ghazali. Atau tentang gagasan Salman Rushdie melalui ayat-ayat setannya (The Satanic Verse); yang menjadikan ia diburu banyak orang dan harus dihabisi. Artinya, gagasan JIL ini adalah hal biasa. Tidak ada yang mengejutkan bagi beberapa kalangan. Perihal penolakan, itu adalah bonus, yang pada akhirnya dalam jangka panjang banyak orang akan “terangsang” otaknya –setidaknya- meng-counter gagasan itu, atau sebaliknya, menguatkan dan memperkaya gagasannya. Tapi sekarang, lupakan tentang buku itu dan tempat saya menumpang membaca. Mari saya ajak kembali pada masa sekarang. Silakan nikmati apa yang saya tulis tentang nama yang dulu pernah saya serapahi dengan kalimat “tidak tanggap EYD”.

Keramatnya Nama “Ng-Ainun Naim

Tuhan membayar lunas gumaman saya. Kira-kira begitu jika apa yang saya rasakan menjadi headline surat kabar berkelas nasional. Ini tidak berlebihan. Saya hanya mengatakan: Nama itu punya keramat: Ngainun Naim.

Saya lahir di keluarga pesantren salaf. Sejak kecil, kata keramat sudah keseringan hinggap di telinga saya. Keramat -sementara ini- bisa dimaknai sakti, bertuah. Tapi kata ibu saya, keramat itu malati. Setelah saya beranjak dewasa, saya riang gembira sebab kata keramat mulai tereduksi di keluarga saya. Tapi “sialnya” kata keramat itu -sekarang- lebih sering berdengung di telinga saya tatkala saya menikah dengan perempuan Arab, dan aktif berinteraksi dengan keluarga besarnya. Di keluarga Arab, kata keramat akan disebut puluhan kali dalam sehari. Apa pun itu, jika memliki sejarah, pasti dikatakan keramat. Kebetulan, Ayah mertua saya ini adalah “juru kunci” dua makam yang tiap hari tidak pernah sepi pengunjung. Tiap tahun puluhan ribu orang datang berkumpul di rumah untuk mengikuti acara Haul. Jelas, ini keramat, kata istri saya, dan batin saya. Sudah meninggal ratusan tahun yang lalu masih saja bisa memberi manfaat ke orang lain. Itu hanya satu contoh. Masih banyak yang lain yang tidak bisa saya absen satu-satu. Yang jelas, saya sekarang sering mendengar kalimat: keramatnya ini, keramatnya itu. The Miracle of Keramat. Hahaha.

Sudah. Sekarang kita Kembali ke nama yang saya sebut tadi. Anda semua pasti bertanya: di mana keramatnya? Atau bagaimana keramatnya? Begini kawan. Saat saya mengatakan jika Ngainun Naim adalah nama yang tidak tanggap EYD, saya sudah tidak peduli lagi dengan nama itu. Toh, selang beberapa hari setelah saya mengatakannya, saya juga tidak merasakan apa-apa. Nafsu makan saya baik-baik saja. Nabeela Syakieb juga tetap cantik di mata saya. Mata saya tetap normal. Serapahan saya tidak mendatangkan ke-malati-an seperti istilah Ibu saya. Artinya, jiwa dan ruh saya tidak terganggu. Sehat-sehat saja.

Lalu di mana keramatnya?

Waktu begitu cepat berputar. 2015 menuju 2018 seperti kedipan mata. Tahun 2017, novel pertama saya diterbitkan LKiS Jogjakarta. Dan ajaibnya, orang pertama yang memberi kritikan novel saya adalah Ngainun Naim.

Kok bisa?

Kala itu, saya mengajar di kelas PAI, dan salah satu mahasiswa saya bernama Ngainul Yakin. Ia dekat dengan saya. Tapi tak sekalipun ia bercerita bahwa ia sefrekuensi dengan Ngainun Naim. Ia tidak pernah mengatakan jika ia adik kandung dari sebuah nama yang tidak tanggap EYD itu. Ia hanya mengenalkan dirinya, bahwa ia bernama Ngainul Yakin yang Ketika saya tanya hobinya adalah membaca. Dan saat novel saya mulai beredar, Ngainul Yakin membeli novel saya, lalu minta tanda tangan. Saya minta pendapatnya, tapi ia mengatakan jika ada seseorang yang mengkritik novel saya. Tapi ia tidak pernah meyebut nama Ngainun Naim. Ia hanya menyebutnya “seseorang”.

Saya ingat betul sabda seseorang itu. Katanya, saya adalah penulis pemula, jika menulis jangan ambisius. Ketebalan buku dan harga harus diperhitungkan. Saya berusaha mati-matian mencetak senyum di depan Ngainul Yakin. Menunjukkan jika kritikan itu sangat lezat, mengalahkan Hoka-Hoka Bento Blackpepper Miso Chicken. Dan saya akan berusaha keras untuk tidak terus-terusan menjadi penulis pemula. Ngainul Yakin undur dari dari hadapan saya. Kepala saya penuh dengan kurcaci yang bertanya: Siapakah seseorang itu?

Setelah mengabisi ribuan detik. Saya mulai bermain ilmu cocokologi. Ngainul Yakin dan Ngainun Naim rasa-rasanya terlahir dari rahim yang sama. Juga sama-sama tidak tanggap EYD. Sejak saat itu, saya mulai bergerilya. Bertanya ke banyak mahasiswa tentang keduanya. Dan akhirnya, misteri itu terpecahkan juga. Keduanya benar-benar satu frekuensi. Jika di republik ini ada gen Halilintar (Ashiyaaaap Hahaha), maka di kampus ini ada gen Ngainun.

Saya mulai memungut satu persatu puzzle yang berserekan itu. Saya mulai menatanya untuk menjadi jalinan yang utuh. Ada rasa malu yang sangat dahsyat menyerbu perasaan saya. Sejurus dengan itu, jiwa kolot saya juga berteriak: Ini Keramat.

Setelah kejadian itu. Ada dorongan kuat dari dalam diri saya untuk membaca ulang tulisan beliau di buku tentang JIL yang saa baca dulu. Terhitung 4x saya tuntas membacanya. Tidak berhenti di situ. Saya mulai bergerilya mencari tulisan-tulisan beliau yang lain. Saya memang beruntung, -dan mungkin- saya sedang dalam keramat beliau. Banyak tulisan beliau saya dapatkan, meski tidak semuanya saya baca. Sebab tetiba saja ada misi baru muncul dalam hati saya. Saya harus nekat mendekat ke beliau. Seperti kata Jet Lee dalam satu filmnya: Belajarlah kepada orang yang sudah purna melaksanakannya. Itu tekad saya. Saya harus dekat dengan beliau. Saya tidak ingin terus-terusan mejadi penulis pemula. Saya akan mengatakan kepada beliau jika nama yang tidak tanggap EYD itu ternyata “keramat”. Dan saya adalah saksi hidupnya. Sejak beliau tahu nama asli saya, saya langsung memohon kepada beliau untuk dibaiat menjadi pengikut setia beliau. Dan lamaran saya ditolak. Hahaha. Tapi tidak lama setelah itu, saya diizinkan menumpang kapal besar beliau untuk bersama-sama belajar menulis. Kapal itu bernama: SPK (Sahabat Pena Kita). Tuhan Maha Asik. Dia membuka mata saya jika saya -ternyata- sedang bermain-main dengan nama yang penuh keramat.

Akhirnya. Saya benar-benar merasakan bahwa nama beliau benar-benar keramat. Sejak mendapat siraman ilmu beliau, saya sudah tidak peduli lagi dengan cita-ciata saya menghapus predikat saya sebagai penulis pemula. Beliau menyadarkan saya, tidak penting pemula atau profesional, yang terpenting menulis, lalu menulis, dan menulis lagi. Kalimat sakti ini persis dengan apa yang disampaikan oleh Ernest Miller Hemingway (Juranalis Senior USA, Novelis): Tidak Ada Tips Dalam Menulis, Kau Tinggal Duduk Di Depan Mesin Tik Dan Berdarah.

Kini, nama yang tidak tanggap EYD itu menjadi lentera. Menerangi. Membuka jalan bagi kebekuan akal. Ribuan paragraf lahir dari jemari lentiknya. Nama itu adalah oase. Para musafir ilmu akan mendekat, lalu merasa dekat. Meminun air keramatnya. Siapa pun yang mengenalnya, seolah-olah sudah bersahabat ribuan tahun yang lalu. Seperti saya ini. Meski saya adalah ‘korban’ dari keramatnya nama itu, saya sekarang adalah orang yang beruntung. Lentera itu terus ada di depan saya. Tak pernah redup. Selalu mencipta terang. Dan selalu membuat saya, mereka, adalah orang yang sangat dekat dengannya.

Epilog

Beberapa waktu yang lalu saya dan istri menonton Film terbarunya Angga Dwimas Sasongko yang berjudul Mencuri Raden Saleh. Film ini berkisah tentang kejahatan yang dikalahkan oleh kejahatan. Diperankan oleh aktor-aktor kekinian, semisal Angga yananda dan Iqbal Ramadhan serta diperkuat oleh aktor senior Tiyo Pakusadewo. Film ini sangat menarik meski tidak pernah usai. Ending-nya masih nggantung, dan tentu saja menyisakan pertanyaan: Kapan lanjutannya akan tayang?

Persis dengan nama keramat itu. Beliau tidak pernah usai. Beliau selalu membawa kisah yang akan terus bersambung. Beliau tahu, masih banyak dari kami yang kehausan. Banyak dari kami yang berada di ujung Lorong kegelapan. Sebab itulah, lentera itu akan selalu menyala. Di mana saja. Dan kampus ini beruntung, telah lebih dulu membingkainya.

Sekian. Jangan lupa Bahagia. ^_^

 *Tulisan ini sebenarnya saya persembahkan untuk beliau saat pengukuhan guru besar. Tapi tetiba saja saya sakit. Aksara di kepala lenyap semua. Beruntung saya masih hidup. Dan akan terus memaksa beliau untuk mengangkat saya sebagai murid setia beliau :D :D :D

 

 

 

Mereka itu, EMAS!

Mereka itu, EMAS! (Sebuah Pengantar) Tuhan Yang Mahakuat, Puji-puji ini untuk Engkau. Kepada Sang Nabi, saya haturkan Salawat: Semoga ka...