Minggu, 24 Desember 2023

Natal Dalam Ingatan Masa Kecil (Revisi)

 


Natal Dalam Ingatan Masa Kecil (Revisi)

Selain hari raya Fitri dan Adha, Natal juga menjadi hari raya yang paling kami tunggu. Sebab di malam sebelum Natal, kami akan berkumpul di serambi Masjid. Lalu bermain tebak-tebakan, apakah besok akan turun hujan di pagi hari atau tidak. Biasanya saya yang sering menang. Sebab, hampir semua Natal yang melewati masa kecil saya selalu turun hujan. Kadang deras. Kadang hanya berupa rintik. Jika tidak keduanya, biasanya langit akan sangat gelap. Awan menggulung semuanya. Semua menjadi pekat. Angin sering juga datang dengan menandak-nandak. Namun, semua berbanding terbalik dengan hati saya. Banyak pelangi di lapisan-lapisannya. Ya, saya menang lagi tahun ini. Benar, kata kawan saya. Natal selalu berpihak pada saya. Tiap tahun. Tak ada kesenangan yang melebihi itu semua. Kami Bahagia. Kami bersuka cita. Natal mencipta banyak seyum di hidup kami.

 

Lalu, di pagi harinya kami akan berkumpul lagi. Masih di serambi Masjid. Rintik hujan menghiasi semuanya. Butirannya yang lucu berpantulan di ujung daun-daun. Kami semakin antusias. Di serambi itu, kami membahas acara tahunan kami. Berburu makanan –jajanan pasar- yang dibagikan gratis oleh pihak Gereja yang tidak jauh dari rumah kami.

Sebagai orang miskin, mendapat makanan gratis itu setara mendapat mukjizat. Kami akan tertawa lepas dengan mulut penuh dengan makanan. Sementara untuk minumnya, kami akan ke Masjid yang tak jauh dari tempat kami menerima makanan gratis itu. Sebab air di sana sangat menyegarkan. Kata teman saya, pihak Gereja lupa memesan teh kotak. Lalu kami tertawa lagi. Bahagia lagi. Kami semua menjadi lupa jika kami adalah orang miskin; yang jika pingin beli es strup harus pergi dulu ke sawah untuk mencari sisa padi yang jatuh di pematang. Kami kumpulkan perlahan. Ketika sudah agak berat, kami akan menukarnya dengan sebungkus es strup itu dan sebiji ote-ote. Kami tak pernah mengeluh. Detik yang berlalu dari kami selalu penuh dengan berkah. Tuhan Maha Penyayang. Teriak kami sepanjang perjalanan pulang dari Gereja.

 

Dan biasanya, ketika sudah sampai di desa kami lagi, kami tidak lantas pulang ke rumah. Tapi kami mampir di sungai desa. Tak menunggu lama, kami langsung berendam, kamudian beradu cepat berenang. Ketika sudah lelah, kami akan segera ke saung yang –biasanya- ada di tengah-tengah sawah. Di sana, kami membahas kenapa setiap Natal seringkali hujan. Kami tak akan membahas keimanan. Sebab bagi kami, ketika itu, yang ada di kepala hanyalah pergi ke Masjid menjelang Magrib, dan baru pulang setelah Isya. Di rentang waktu yang singkat itu, kami akan mengaji turutan, merapal Jurumiyah, dan main gobag sodor.

Semua kami kerjakan di pelataran Masjid. Kami tidak terpikir tentang makanan yang kami kunyah di hari Natal. Kami juga tidak pernah memiliki amunisi untuk menduga-duga, apakah makanan yang kita makan itu akan berpengaruh pada keimanan kami. Yang kami pikir hanyalah bahwa Natal itu hari yang penuh berkah bagi kami; manusia-manusia yang lebih banyak lapar ketimbang kenyang.

###

 

Waktu sangat cepat berlalu. Tak ada lagi malam Natal di serambi Masjid. Yang saya temukan hari ini adalah kekhawatiran tentang iman. Tentang simbol-simbol yang disangka akan mendistorsi agama kita. Rintik yang selalu saya rindu pun enggan menampakkan wujudnya. Pagi, di hari Natal, hanyalah petak umpet, saya dan beberapa saudara seiman saya. Garis batas itu menjadi sangat tebal. Tembok pemisah itu semakin tinggi menjulang. Saya seperti sendiri. Menertawai gradasi takdir saya; yang tiba-tiba saja membawa saya di keadaan yang serba rumit ini. 

Saya memilih pulang saja. Malam Natal ini menjadi sangat biasa. Saya tak menemukan kesakralan itu lagi. Saya akan menulis banyak puisi; sambil berharap ada mesin waktu yang menarik saya kembali ke masa lalu. Sebuah masa, di mana Natal menjadi keberkahan bersama. Bukan menjadi hantu yang harus kita rapalkan mantra.

Dan esok harinya, saya akan menonton Home Alone seharian penuh. Film jenius yang selalu menyita kepedihan hidup kami ketika itu. Sambil berdoa, semoga Gereja-gereja suci itu tak lagi dijaga. Tapi akan kembali menjaga, memeluk, dan merawat tawa saudara saya semua.

 

###

Interval. 2019. Meloncat ke 2023. Kekhawatiran saya dulu, 4 tahun yang lalu, sirna. Hari ini, di tanggal ini, Natal Kembali membahagiakan kami. Saudara kami. Lintas iman. Lintas kitab suci. Tidak ada lagi parade menakar iman. Mungkin, kami Lelah. Jenuh. Atau bahkan sudah sadar. Keimanan, Tuhan yang tahu. Surga-Neraka Tuhan yang tahu.

Dulu. Dulu sekali. Kiyai Sangaji, guru ngaji saya, tak pernah bosan mengingatkan kami, bahwa manusia itu beragam. Kepala sama, isi beda. Mata sama, pandangan berbeda. Telinga sama, pendengaran berbeda. Tapi ada satu yang tidak berbeda, jaring-jaring penciptaan kami. Beliau menambahkan, kami dan mereka terikat. Mendoakan mereka jelek, maka akan memantul ke kami, begitu seterusnya. Sampai kami benar-benar sudah mati.

2023. Tahun yang membuat saya sangat antusias, jika kesetaraan sosial akan menjadi wujud yang bisa dipeluk. Bukan angan-angan yang mendadak hilang jika azan Magrib menjelang. Di tahun ini, saya begitu bergembira dan meneteskan air mata haru. Melihat mereka yang terus merevisi ajaran-ajaran masa lalu tentang kami yang berbeda. Tentang kami yang diajari menyadari hadirnya perbedaan tapi tidak pernah diberitahu tentang bagaimana memahami dan menerima perbedaan. Sekarang tidak. Kami diajari tentang kehidupan yang seimbang. Natal. Ramadan. Fitri. Adha. Adalah cara kami, yang beda ini, menenun kesetaraan. Kebahagiaan. Menjahit ulang doktrin-doktrin lama kami. Menjadi baju yang bisa dipakai bersama. Saling menebar senyum dan doa. Akhirnya.

“Selamat Natal, bagi semua saudara saya yang merayakan. Semoga Bahagia”.

 

 

 

 

4 komentar:

  1. Tulisan yang menunjukkan kehebatan penulisnya dalam melakukan refleksi dan mengolah kata menjadi penuh makna.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Semua atas bimbingan Prof. Naim. Sembah nuwun nggeh Prof.

      Hapus

Mereka itu, EMAS!

Mereka itu, EMAS! (Sebuah Pengantar) Tuhan Yang Mahakuat, Puji-puji ini untuk Engkau. Kepada Sang Nabi, saya haturkan Salawat: Semoga ka...