Selain hari raya Fitri dan Adha,
Natal juga menjadi hari raya yang paling kami tunggu. Sebab di malam sebelum
Natal, kami akan berkumpul di serambi Masjid. Lalu bermain tebak-tebakan,
apakah besok akan turun hujan di pagi hari atau tidak. Biasanya saya yang
sering menang. Sebab, hampir semua Natal yang melewati masa kecil saya selalu
turun hujan. Kadang deras. Kadang hanya berupa rintik. Jika tidak keduanya,
biasanya langit akan sangat gelap. Awan menggulung semuanya. Semua menjadi
pekat. Angin sering juga datang dengan menandak-nandak. Namun, semua berbanding
terbalik dengan hati saya. Banyak pelangi di lapisan-lapisannya. Ya, saya
menang lagi tahun ini. Benar, kata kawan saya. Natal selalu berpihak pada saya.
Tiap tahun. Tak ada kesenangan yang melebihi itu semua. Kami Bahagia. Kami
bersuka cita. Natal mencipta banyak seyum di hidup kami.
Lalu, di pagi harinya kami akan
berkumpul lagi. Masih di serambi Masjid. Rintik hujan menghiasi semuanya.
Butirannya yang lucu berpantulan di ujung daun-daun. Kami semakin antusias. Di
serambi itu, kami membahas acara tahunan kami. Berburu makanan –jajanan pasar-
yang dibagikan gratis oleh pihak Gereja yang tidak jauh dari rumah kami.
Sebagai orang miskin, mendapat
makanan gratis itu setara mendapat mukjizat. Kami akan tertawa lepas dengan
mulut penuh dengan makanan. Sementara untuk minumnya, kami akan ke Masjid yang
tak jauh dari tempat kami menerima makanan gratis itu. Sebab air di sana sangat
menyegarkan. Kata teman saya, pihak Gereja lupa memesan teh kotak. Lalu kami
tertawa lagi. Bahagia lagi. Kami semua menjadi lupa jika kami adalah orang
miskin; yang jika pingin beli es strup harus pergi dulu ke sawah untuk
mencari sisa padi yang jatuh di pematang. Kami kumpulkan perlahan. Ketika sudah
agak berat, kami akan menukarnya dengan sebungkus es strup itu dan
sebiji ote-ote. Kami tak pernah mengeluh. Detik yang berlalu dari kami selalu
penuh dengan berkah. Tuhan Maha Penyayang. Teriak kami sepanjang perjalanan
pulang dari Gereja.
Dan biasanya, ketika sudah
sampai di desa kami lagi, kami tidak lantas pulang ke rumah. Tapi kami mampir
di sungai desa. Tak menunggu lama, kami langsung berendam, kamudian beradu
cepat berenang. Ketika sudah lelah, kami akan segera ke saung yang –biasanya-
ada di tengah-tengah sawah. Di sana, kami membahas kenapa setiap Natal
seringkali hujan. Kami tak akan membahas keimanan. Sebab bagi kami, ketika itu,
yang ada di kepala hanyalah pergi ke Masjid menjelang Magrib, dan baru pulang
setelah Isya. Di rentang waktu yang singkat itu, kami akan mengaji turutan,
merapal Jurumiyah, dan main gobag sodor.
Semua kami kerjakan di pelataran
Masjid. Kami tidak terpikir tentang makanan yang kami kunyah di hari Natal.
Kami juga tidak pernah memiliki amunisi untuk menduga-duga, apakah makanan yang
kita makan itu akan berpengaruh pada keimanan kami. Yang kami pikir hanyalah
bahwa Natal itu hari yang penuh berkah bagi kami; manusia-manusia yang lebih
banyak lapar ketimbang kenyang.
###
Waktu sangat cepat berlalu. Tak
ada lagi malam Natal di serambi Masjid. Yang saya temukan hari ini adalah
kekhawatiran tentang iman. Tentang simbol-simbol yang disangka akan mendistorsi
agama kita. Rintik yang selalu saya rindu pun enggan menampakkan wujudnya.
Pagi, di hari Natal, hanyalah petak umpet, saya dan beberapa saudara seiman
saya. Garis batas itu menjadi sangat tebal. Tembok pemisah itu semakin tinggi
menjulang. Saya seperti sendiri. Menertawai gradasi takdir saya; yang tiba-tiba
saja membawa saya di keadaan yang serba rumit ini.
Saya memilih pulang saja. Malam
Natal ini menjadi sangat biasa. Saya tak menemukan kesakralan itu lagi. Saya
akan menulis banyak puisi; sambil berharap ada mesin waktu yang menarik saya
kembali ke masa lalu. Sebuah masa, di mana Natal menjadi keberkahan bersama.
Bukan menjadi hantu yang harus kita rapalkan mantra.
Dan esok harinya, saya akan
menonton Home Alone seharian penuh. Film jenius yang selalu menyita
kepedihan hidup kami ketika itu. Sambil berdoa, semoga Gereja-gereja suci itu
tak lagi dijaga. Tapi akan kembali menjaga, memeluk, dan merawat tawa saudara saya
semua.
###
Interval. 2019. Meloncat ke
2023. Kekhawatiran saya dulu, 4 tahun yang lalu, sirna. Hari ini, di tanggal
ini, Natal Kembali membahagiakan kami. Saudara kami. Lintas iman. Lintas kitab
suci. Tidak ada lagi parade menakar iman. Mungkin, kami Lelah. Jenuh. Atau bahkan
sudah sadar. Keimanan, Tuhan yang tahu. Surga-Neraka Tuhan yang tahu.
Dulu. Dulu sekali. Kiyai
Sangaji, guru ngaji saya, tak pernah bosan mengingatkan kami, bahwa manusia itu
beragam. Kepala sama, isi beda. Mata sama, pandangan berbeda. Telinga sama,
pendengaran berbeda. Tapi ada satu yang tidak berbeda, jaring-jaring penciptaan
kami. Beliau menambahkan, kami dan mereka terikat. Mendoakan mereka jelek, maka
akan memantul ke kami, begitu seterusnya. Sampai kami benar-benar sudah mati.
2023. Tahun yang membuat saya
sangat antusias, jika kesetaraan sosial akan menjadi wujud yang bisa dipeluk. Bukan
angan-angan yang mendadak hilang jika azan Magrib menjelang. Di tahun ini, saya
begitu bergembira dan meneteskan air mata haru. Melihat mereka yang terus merevisi
ajaran-ajaran masa lalu tentang kami yang berbeda. Tentang kami yang diajari menyadari
hadirnya perbedaan tapi tidak pernah diberitahu tentang bagaimana memahami dan
menerima perbedaan. Sekarang tidak. Kami diajari tentang kehidupan yang
seimbang. Natal. Ramadan. Fitri. Adha. Adalah cara kami, yang beda ini, menenun
kesetaraan. Kebahagiaan. Menjahit ulang doktrin-doktrin lama kami. Menjadi baju
yang bisa dipakai bersama. Saling menebar senyum dan doa. Akhirnya.
“Selamat Natal, bagi semua saudara
saya yang merayakan. Semoga Bahagia”.
Tulisan yang menunjukkan kehebatan penulisnya dalam melakukan refleksi dan mengolah kata menjadi penuh makna.
BalasHapusSemua atas bimbingan Prof. Naim. Sembah nuwun nggeh Prof.
HapusAwu awu. Wakkakaka
BalasHapusJumat kayaknya aku nggak pulang Ciiint
Hapus