Karjo sangat
bersemangat sore itu. Sebab malamnya, ia sudah dijanjikan makan mie ayam di
warung Kang Solihin oleh Mbah Suruh, neneknya. Di dunia ini, bagi Karjo makanan
paling enak adalah mie ayam. Bukan donat Jecko atau Kinder Joy yang dipajang di
meja kasir minimarket sebagai perangkap anak-anak di bawah lima tahun. Benar,
Karjo memang sangat beruntung. Ia –mungkin- tidak pernah tahu apa yang tidak
mungkin ia miliki. Beda dengan diriku. Kenapa? Aku tahu semua yang tidak
mungkin aku miliki. Misalnya apa? Aku tidak bisa memiliki Sarah, istrimu. Kau tahu,
kan? Kita bertiga memang sepakat untuk saling melepas. Tapi nyatanya, ia
bersamamu. Sementara aku? Jauh, lebih menyedihkan dari Karjo. Pamalik. Sudah.
Ini sudah surup. Membingkai ingatan yang tidak pasti itu sama saja membatalkan masa
depan. Aku menepuk pundaknya, yang sejak dulu memang selalu kukuh. Bahkan, aku
dan Sarah sering bersandar di sana. Melepas amarah, ketika kami terlibat
perseteruan sengit. Dan ia, tidak pernah tahu hubungan kami. Aku jahat? Tidak! Cinta
memang tidak pernah logis.
Karjo masih berusia
tujuh tahun. Baru saja ia menamatkan Mabadi’ Fikih, di sekolah sore –ia menyebutnya-
di musala desa yang diasuh oleh Kang Soim. Meski terbata-bata, ia sudah hapal
bacaan salat. Dan ia sangat bangga saat ia pamer di depan Mbah Suruh. Melihat itu,
Mbah Suruh mengelus dadanya berkali-kali. Andai saja! Ia berbisik pada langit. Namun
Mbah Suruh tidak pernah mampu melanjutkan bisikannya. Langit selalu
memahaminya.
Karjo sebenarnya
bukan cucu kandung Mbah Suruh. Karjo itu titipan langit, ujar Mbah Suruh berkali-kali
saat beberapa orang mulai curiga dengannya. Mbah Suruh mendapatkan Karjo saat
ia mengais rezeki di area TPA (Tempat Pemrosesan Akhir). Mbah Suruh sudah
sepuluh tahun ‘bekerja’ di sana. Gajinya untuk makan hari itu dan esok hari. Jika
ada sisa, ia simpan untuk kotak masjid. Katanya buat jaga-jaga saat kelak ia
meninggal. Uang yang ia simpan sebagai ganti orang-orang di masjid yang nanti
menyalati jenazahnya.
Suara tangis Karjo
memecah heningnya Subuh. Fajar Sadiq memang sempat menyala, tapi tidak pernah
sampai ke sudut kotor TPA. Karjo seperti memanggail namanya. Menjerit sekuat
petir. Memenuhi pendengarannya yang sudah mulai layu. Mbah Suruh mempercepat
langkahnya. Keranjang yang selalu di punggunya, ia lempar secepat-cepatnya. Lalu
ia tersenyum, bayi itu juga tersenyum. Tapi sedetik berikutnya, air mata
meleleh dari keduanya. Mbah Suruh melilitkan selendangnya. Kemudian mengusap wajah
merah Karjo yang beberapa sudutnya ada sedikit kotoran. Dengan satu tarikan
napas, Mbah Suruh mengangkatnya dan membawa pulang segera. Daun-daun tampak
bersyukur. Ada haru yang tidak mampu mereka samarkan. Tapi penyesalan nampak jelas
di wajah Fajar Sadiq; yang ternyata terangnya tidak sampai pada tubuh merah
Karjo.
“Nek. Kata Kang Soim
sebulan lagi hari raya kurban. Kang Soim mau berkurban sapi. Didik dibelikan
bapaknya seekor kambing. Rohmat juga begitu. Karjo sebenarnya juga pingin
begitu, Nek. Tapi di mana ya Bapak dan Ibu Karjo, Nek?”
Karjo merengek. Mbah Suruh
mengerutkan kenignya yang sepuh. Hatinya berdebar. Selama ini, ia hanya tahu
mie ayam. Tidak pernah tahu makanan yang lain. Dan ia tidak pernah memintanya. Tapi
malam itu, Karjo tidak berkata seperti biasanya. Mbah Suruh hanya bisa menahan
air matanya sambil sesekali mengelus ujung rambut Karjo. Sambil meniupinya
dengan bacaan Salawat. Sejak ditemukan, Karjo hanya bisa diam dengan embusan
Salawat saat ia merajuk; menangis meminta susu.
“Nak. Gusti Allah itu
Maha Welas. Karjo berdoa saja sama Gusti Allah. Pasti nanti dikasih seekor
kambing, bahkan lebih,” kata Mbah Suruh menenangkan. Ia belum bisa menjawab
tentang Bapak dan Ibu Karjo.
Karjo tersenyum
lebar. Ia kegirangan. Ia bercita-cita, setiap sebelum tidur dan selepas Salat
Subuh, ia akan meminta seekor kambing kepada Gusti Allah.
Pelan, dua mata Karjo
mulai mengatup. Bayangan menarik seekor kambing ia bawa tidur. Sementara Mbah
Suruh dipeluk gelisah. Erat sekali.
***
Sejak saat itu, Karjo
tidak pernah melewatkan berdoa sebelum dan setelah salat Subuh. Ia hanya
meminta seekor kambing untuk kurban. Titik. Tidak ada embel-embel lain. Ia
tidak pernah memikirkan, kambingnya gemuk atau kurus. Corak permintaannya masih
sederhana. Ia belum mengenal kata serakah. Ia hanya pasrah. Biar Gusti Allah
yang menentukan spesifikasi kambingnya.
Selain berdoa, Karjo
semakin rajin membantu neneknya bekerja di TPA. Ia kerap bertanya pada neneknya
apakah barang yang ia dapat saat itu bisa dijual. Neneknya mengangguk, kadang
juga menggeleng. Juga tertawa. Ia menyadari, anak seusia Karjo memang selalu
tampak lucu.
“Ayo, Nak. Kita pulang.
Kita makan. Karjo pasti sudah sangat lapar,” ajak Mbah Suruh sambil menaikkan
keranjang ke punggungnya.
“Iya, Nek!” jawab
Karjo sambil menyeret karung mini yang berisi gelas dan botol air mineral.
Langkah mereka begitu
ringan. Hentakannya begitu kuat mencengkeram bumi. Tidak ada sedikit pun
ketakutan di gerak tubuhnya. Hidup hari ini untuk hari ini. Dan esok untuk
esok. Semboyan itu selalu medengung di langit-langit hati keduanya.
“Nek. Kira-kira
barang ini laku berapa, ya? Jika dibuat beli kambing masih kurang banyak, ya?”
tanya Karjo di sela-sela langkah mereka menuju rumah.
“Kurang sedikit,”
jawab Mbah Suruh pendek. Ada keprihatinan yang begitu mendalam di lubuk sanubarinya.
Tapi Mbah Suruh selalu berhasil menyembunyikannya. Mendengar jawaban Mbah Suruh,
Karjo semakin bersemangat melangkah.
Rumah lusuh itu tampak
begitu bersahaja. Kerangka rapuhnya seolah tidak pernah bosan menahan beban yang
harus diterima oleh Mbah Suruh dan Karjo. Lantainya yang berupa mester kasar
juga tidak pernah lelah mengabdi pada keduanya. Sejak Mbah Sarmin meninggal, rumah
itu yang menggantikan posisinya merawat Mbah Suruh sampai saat ini.
Mbah Suruh dan Mbah Sarmin
adalah sepasang suami istri yang hidup hanya berdua. Anak semata wayangnya meninggal
saat masih berusia sebelas tahun karena serangan penyakit cacar. Namun, kebersamaan
mereka juga harus berhenti. Mbah Sarmin juga meninggalkan Mbah Suruh. Mbah Sarmin
tidak pernah mengeluh sakit selama bersama Mbah Suruh. Tiba-tiba saja ia meninggal.
Di samping Mbah Suruh. Di atas ranjang yang telah bertahun-tahun meredam semua gejolak
hidup mereka.
Sejak ditinggal suaminya,
Mbah Suruh mulai bekerja di TPA sebagai pemulung untuk menyambung hidupnya.
“Makan yang banyak, Nak.
Biar kuat cari uanga untuk membeli kambing.”
“Hmm. Iya, Nek,” jawab
Karjo dengan mulut penuh kunyahan.
Siang itu, Mbah Suruh
dan Karjo sedang menikmati nasi putih yang lengkap dengan sarden. Karjo sangat lahap
meski tidak pernah selahap ketika menikmati mie ayam. Bagi Mbah Suruh, sarden adalah
makanan yang turun dari surga, meski harus melewati tangan Bu RT.
Mbah Suruh dan Karjo sangat
sibuk siang itu. Setelah selesai makan, keduanya menata hasil pulungannya tadi pagi.
Mengelompokannya sesuai harga jual. Gelas air mineral pasti terpisah dengan potongan
besi. Karjo sudah sangat mahir dalam pekerjaan ini.
***
Karjo sore itu sedang
di Musala. Mbah Suruh memberanikan diri bertamu ke rumah Bu RT. Tidak seperti biasanya
begitu. bu RT tampak sedikit terkejut saat Mbah Suruh sudah di ambang pintu rumhanya.
“Silakan masuk, Mbah!”
pinta Bu RT sopan, sambail menyalaminya penuh hormat. “Silakan duduk.”
“Iya, Bu RT. Terima kasih.”
“Ada apa, Mbah. Kok, Mbah
Suruh repot-repot ke sini?”
“Mbah ini ada perlu. Itu,
lo. Karjo pingin sekali berkurban. Mbah mau tanya kepada Pak RT. Apakah Pak RT ada,
Bu?” Mbah Suruh tampak tidak nyaman berada di rumah itu. Ia sedikit menyesali kedatangannya.
Namun wajah ceria Karjo selalu menguatkannya.
“Ada, Mbah. Sebentar ya,
Mbah!”
Bu RT segera berlalu dari
hadapan Mbah Suruh. Ia masuk ke dalam. Ia tahu, Pak RT sedang ada di dapur. Sebab
beberapa menit yang lalu, Pak RT baru pulang dari Masjid.
Pak RT merupakan Imam
Masjid; yang konon katanya alumni pesantren. Ia nyantri cukup lama di daerah Tuban.
Sebab itu, ia menjadi tempat bertanya masyarakat tetanga masalah hukum keagamaan.
Pak RT sudah berada di
depan Mbah Suruh. Bu RT masih di dapur membuat minum untuk Mbah Suruh.
“Ada apa, Mbah?” tanya
Pak RT pelan dan sopan.
“Mbah ini mau tanya, Pak
RT. Si Karjo kepingin sekali berkurban. Sementara kami ini orang miskin. Apa itu
tidak dosa?”
Pak RT tersenyum. Lalu
menggeleng. “Tidak, Mbah.”
“Bagaimana kata orang-orang
nanti, Pak RT?” Polos, Mbah Suruh melanjutkan pertanyaannya.
“Begini, Mbah. Ukuran
miskin dan kaya itu adalah hati. Bukan dompet. Kecukupan hidup itu hati yang menentukan.
Banyak orang-orang di luar sana yang uangnya tidak bisa dihitung karena saking banyaknya,
Mbah. Tapi mereka masih saja mencuri uang orang lain. merasa masih banyak kekurangannya.
Sehingga hatinya tidak prnah tenang. Jika Mbah Suruh merasa cukup dengan hidup Mbah
saat ini, ya berarti Mbah Suruh ini orang kaya. Dan sangat boleh berkurban. Yang
terpenting tidak menyusahkan.” Panjang dan sabar, Pak RT member penjelasan kepada
Mbah Suruh.
Ada pelangi di wajah Mbah
Suruh sore itu. Bahagianya semakin meningkat volumenya saat ia membayangkan Karjo
dengan penuh semangat menarik kambing menuku Masjid untuk berkurban.
“Terima kasih. Jika begitu,
Mbah mohon pamit.”
***
Karjo tidak mau beranjak
dari tempat ia menatap kambingnya di belakang rumah. Hampir seharian ia ada di sana.
Ia hanya meninggalkan kambingnya saat waktunya sekolah sore tiba. Meski idul kurban
kurang sehari, sekolah sore tidak libur.
“Karjo senang?” tanya
Mbah Suruh sambil mengusap-usap kepala Karjo.
“Senang, Mbah. Uang Karjo
kurang, Mbah?”
Mbah Suruh menggeleng.
Binar dua matanya begitu terlihat. Dan juga binar dua mata Karjo. Sekarang, keduanya
hanya menunggu takbir idul kurban menggema. Namun saat gema takbir memenuhi cakrawala,
dan salat idul kurban sudah tiba, keduanya tidak pernah ada di sana.

Mantab
BalasHapusTerima kasih ibu. Mohon bimbingannya selalu 🙏
Hapus