Senin, 27 Juli 2020

Kambing Kurban Karjo




Karjo sangat bersemangat sore itu. Sebab malamnya, ia sudah dijanjikan makan mie ayam di warung Kang Solihin oleh Mbah Suruh, neneknya. Di dunia ini, bagi Karjo makanan paling enak adalah mie ayam. Bukan donat Jecko atau Kinder Joy yang dipajang di meja kasir minimarket sebagai perangkap anak-anak di bawah lima tahun. Benar, Karjo memang sangat beruntung. Ia –mungkin- tidak pernah tahu apa yang tidak mungkin ia miliki. Beda dengan diriku. Kenapa? Aku tahu semua yang tidak mungkin aku miliki. Misalnya apa? Aku tidak bisa memiliki Sarah, istrimu. Kau tahu, kan? Kita bertiga memang sepakat untuk saling melepas. Tapi nyatanya, ia bersamamu. Sementara aku? Jauh, lebih menyedihkan dari Karjo. Pamalik. Sudah. Ini sudah surup. Membingkai ingatan yang tidak pasti itu sama saja membatalkan masa depan. Aku menepuk pundaknya, yang sejak dulu memang selalu kukuh. Bahkan, aku dan Sarah sering bersandar di sana. Melepas amarah, ketika kami terlibat perseteruan sengit. Dan ia, tidak pernah tahu hubungan kami. Aku jahat? Tidak! Cinta memang tidak pernah logis.
Karjo masih berusia tujuh tahun. Baru saja ia menamatkan Mabadi’ Fikih, di sekolah sore –ia menyebutnya- di musala desa yang diasuh oleh Kang Soim. Meski terbata-bata, ia sudah hapal bacaan salat. Dan ia sangat bangga saat ia pamer di depan Mbah Suruh. Melihat itu, Mbah Suruh mengelus dadanya berkali-kali. Andai saja! Ia berbisik pada langit. Namun Mbah Suruh tidak pernah mampu melanjutkan bisikannya. Langit selalu memahaminya.
Karjo sebenarnya bukan cucu kandung Mbah Suruh. Karjo itu titipan langit, ujar Mbah Suruh berkali-kali saat beberapa orang mulai curiga dengannya. Mbah Suruh mendapatkan Karjo saat ia mengais rezeki di area TPA (Tempat Pemrosesan Akhir). Mbah Suruh sudah sepuluh tahun ‘bekerja’ di sana. Gajinya untuk makan hari itu dan esok hari. Jika ada sisa, ia simpan untuk kotak masjid. Katanya buat jaga-jaga saat kelak ia meninggal. Uang yang ia simpan sebagai ganti orang-orang di masjid yang nanti menyalati jenazahnya.
Suara tangis Karjo memecah heningnya Subuh. Fajar Sadiq memang sempat menyala, tapi tidak pernah sampai ke sudut kotor TPA. Karjo seperti memanggail namanya. Menjerit sekuat petir. Memenuhi pendengarannya yang sudah mulai layu. Mbah Suruh mempercepat langkahnya. Keranjang yang selalu di punggunya, ia lempar secepat-cepatnya. Lalu ia tersenyum, bayi itu juga tersenyum. Tapi sedetik berikutnya, air mata meleleh dari keduanya. Mbah Suruh melilitkan selendangnya. Kemudian mengusap wajah merah Karjo yang beberapa sudutnya ada sedikit kotoran. Dengan satu tarikan napas, Mbah Suruh mengangkatnya dan membawa pulang segera. Daun-daun tampak bersyukur. Ada haru yang tidak mampu mereka samarkan. Tapi penyesalan nampak jelas di wajah Fajar Sadiq; yang ternyata terangnya tidak sampai pada tubuh merah Karjo.
“Nek. Kata Kang Soim sebulan lagi hari raya kurban. Kang Soim mau berkurban sapi. Didik dibelikan bapaknya seekor kambing. Rohmat juga begitu. Karjo sebenarnya juga pingin begitu, Nek. Tapi di mana ya Bapak dan Ibu Karjo, Nek?”
Karjo merengek. Mbah Suruh mengerutkan kenignya yang sepuh. Hatinya berdebar. Selama ini, ia hanya tahu mie ayam. Tidak pernah tahu makanan yang lain. Dan ia tidak pernah memintanya. Tapi malam itu, Karjo tidak berkata seperti biasanya. Mbah Suruh hanya bisa menahan air matanya sambil sesekali mengelus ujung rambut Karjo. Sambil meniupinya dengan bacaan Salawat. Sejak ditemukan, Karjo hanya bisa diam dengan embusan Salawat saat ia merajuk; menangis meminta susu.
“Nak. Gusti Allah itu Maha Welas. Karjo berdoa saja sama Gusti Allah. Pasti nanti dikasih seekor kambing, bahkan lebih,” kata Mbah Suruh menenangkan. Ia belum bisa menjawab tentang Bapak dan Ibu Karjo.
Karjo tersenyum lebar. Ia kegirangan. Ia bercita-cita, setiap sebelum tidur dan selepas Salat Subuh, ia akan meminta seekor kambing kepada Gusti Allah.
Pelan, dua mata Karjo mulai mengatup. Bayangan menarik seekor kambing ia bawa tidur. Sementara Mbah Suruh dipeluk gelisah. Erat sekali.
***
Sejak saat itu, Karjo tidak pernah melewatkan berdoa sebelum dan setelah salat Subuh. Ia hanya meminta seekor kambing untuk kurban. Titik. Tidak ada embel-embel lain. Ia tidak pernah memikirkan, kambingnya gemuk atau kurus. Corak permintaannya masih sederhana. Ia belum mengenal kata serakah. Ia hanya pasrah. Biar Gusti Allah yang menentukan spesifikasi kambingnya.
Selain berdoa, Karjo semakin rajin membantu neneknya bekerja di TPA. Ia kerap bertanya pada neneknya apakah barang yang ia dapat saat itu bisa dijual. Neneknya mengangguk, kadang juga menggeleng. Juga tertawa. Ia menyadari, anak seusia Karjo memang selalu tampak lucu.
“Ayo, Nak. Kita pulang. Kita makan. Karjo pasti sudah sangat lapar,” ajak Mbah Suruh sambil menaikkan keranjang ke punggungnya.
“Iya, Nek!” jawab Karjo sambil menyeret karung mini yang berisi gelas dan botol air mineral.
Langkah mereka begitu ringan. Hentakannya begitu kuat mencengkeram bumi. Tidak ada sedikit pun ketakutan di gerak tubuhnya. Hidup hari ini untuk hari ini. Dan esok untuk esok. Semboyan itu selalu medengung di langit-langit hati keduanya.
“Nek. Kira-kira barang ini laku berapa, ya? Jika dibuat beli kambing masih kurang banyak, ya?” tanya Karjo di sela-sela langkah mereka menuju rumah.
“Kurang sedikit,” jawab Mbah Suruh pendek. Ada keprihatinan yang begitu mendalam di lubuk sanubarinya. Tapi Mbah Suruh selalu berhasil menyembunyikannya. Mendengar jawaban Mbah Suruh, Karjo semakin bersemangat melangkah.
Rumah lusuh itu tampak begitu bersahaja. Kerangka rapuhnya seolah tidak pernah bosan menahan beban yang harus diterima oleh Mbah Suruh dan Karjo. Lantainya yang berupa mester kasar juga tidak pernah lelah mengabdi pada keduanya. Sejak Mbah Sarmin meninggal, rumah itu yang menggantikan posisinya merawat Mbah Suruh sampai saat ini.
Mbah Suruh dan Mbah Sarmin adalah sepasang suami istri yang hidup hanya berdua. Anak semata wayangnya meninggal saat masih berusia sebelas tahun karena serangan penyakit cacar. Namun, kebersamaan mereka juga harus berhenti. Mbah Sarmin juga meninggalkan Mbah Suruh. Mbah Sarmin tidak pernah mengeluh sakit selama bersama Mbah Suruh. Tiba-tiba saja ia meninggal. Di samping Mbah Suruh. Di atas ranjang yang telah bertahun-tahun meredam semua gejolak hidup mereka.
Sejak ditinggal suaminya, Mbah Suruh mulai bekerja di TPA sebagai pemulung untuk menyambung hidupnya.
“Makan yang banyak, Nak. Biar kuat cari uanga untuk membeli kambing.”
“Hmm. Iya, Nek,” jawab Karjo dengan mulut penuh kunyahan.
Siang itu, Mbah Suruh dan Karjo sedang menikmati nasi putih yang lengkap dengan sarden. Karjo sangat lahap meski tidak pernah selahap ketika menikmati mie ayam. Bagi Mbah Suruh, sarden adalah makanan yang turun dari surga, meski harus melewati tangan Bu RT.
Mbah Suruh dan Karjo sangat sibuk siang itu. Setelah selesai makan, keduanya menata hasil pulungannya tadi pagi. Mengelompokannya sesuai harga jual. Gelas air mineral pasti terpisah dengan potongan besi. Karjo sudah sangat mahir dalam pekerjaan ini.
***
Karjo sore itu sedang di Musala. Mbah Suruh memberanikan diri bertamu ke rumah Bu RT. Tidak seperti biasanya begitu. bu RT tampak sedikit terkejut saat Mbah Suruh sudah di ambang pintu rumhanya.
“Silakan masuk, Mbah!” pinta Bu RT sopan, sambail menyalaminya penuh hormat. “Silakan duduk.”
“Iya, Bu RT. Terima kasih.”
“Ada apa, Mbah. Kok, Mbah Suruh repot-repot ke sini?”
“Mbah ini ada perlu. Itu, lo. Karjo pingin sekali berkurban. Mbah mau tanya kepada Pak RT. Apakah Pak RT ada, Bu?” Mbah Suruh tampak tidak nyaman berada di rumah itu. Ia sedikit menyesali kedatangannya. Namun wajah ceria Karjo selalu menguatkannya.
“Ada, Mbah. Sebentar ya, Mbah!”
Bu RT segera berlalu dari hadapan Mbah Suruh. Ia masuk ke dalam. Ia tahu, Pak RT sedang ada di dapur. Sebab beberapa menit yang lalu, Pak RT baru pulang dari Masjid.
Pak RT merupakan Imam Masjid; yang konon katanya alumni pesantren. Ia nyantri cukup lama di daerah Tuban. Sebab itu, ia menjadi tempat bertanya masyarakat tetanga masalah hukum keagamaan.
Pak RT sudah berada di depan Mbah Suruh. Bu RT masih di dapur membuat minum untuk Mbah Suruh.
“Ada apa, Mbah?” tanya Pak RT pelan dan sopan.
“Mbah ini mau tanya, Pak RT. Si Karjo kepingin sekali berkurban. Sementara kami ini orang miskin. Apa itu tidak dosa?”
Pak RT tersenyum. Lalu menggeleng. “Tidak, Mbah.”
“Bagaimana kata orang-orang nanti, Pak RT?” Polos, Mbah Suruh melanjutkan pertanyaannya.
“Begini, Mbah. Ukuran miskin dan kaya itu adalah hati. Bukan dompet. Kecukupan hidup itu hati yang menentukan. Banyak orang-orang di luar sana yang uangnya tidak bisa dihitung karena saking banyaknya, Mbah. Tapi mereka masih saja mencuri uang orang lain. merasa masih banyak kekurangannya. Sehingga hatinya tidak prnah tenang. Jika Mbah Suruh merasa cukup dengan hidup Mbah saat ini, ya berarti Mbah Suruh ini orang kaya. Dan sangat boleh berkurban. Yang terpenting tidak menyusahkan.” Panjang dan sabar, Pak RT member penjelasan kepada Mbah Suruh.
Ada pelangi di wajah Mbah Suruh sore itu. Bahagianya semakin meningkat volumenya saat ia membayangkan Karjo dengan penuh semangat menarik kambing menuku Masjid untuk berkurban.
“Terima kasih. Jika begitu, Mbah mohon pamit.”
***
Karjo tidak mau beranjak dari tempat ia menatap kambingnya di belakang rumah. Hampir seharian ia ada di sana. Ia hanya meninggalkan kambingnya saat waktunya sekolah sore tiba. Meski idul kurban kurang sehari, sekolah sore tidak libur.
“Karjo senang?” tanya Mbah Suruh sambil mengusap-usap kepala Karjo.
“Senang, Mbah. Uang Karjo kurang, Mbah?”
Mbah Suruh menggeleng. Binar dua matanya begitu terlihat. Dan juga binar dua mata Karjo. Sekarang, keduanya hanya menunggu takbir idul kurban menggema. Namun saat gema takbir memenuhi cakrawala, dan salat idul kurban sudah tiba, keduanya tidak pernah ada di sana.




2 komentar:

Mengapa Saya Lebih Memilih Ikut Perlombaan Burung Lovebird?

  Mengapa Saya Lebih Memilih Ikut Perlombaan Burung Lovebird? Di tengah hiruk-pikuk kehidupan modern yang penuh tekanan dan tuntutan, mencar...