Sepertinya sudah
terlalu lama aku tidak membahasakanmu. Ini kali pertama aku bangun; dengan
tergesa-gesa menyalakan komputer lamaku. Ada kamu, selalu. Biasanya, pagi tanpa
kopi itu rumit sekali. Tapi nyatanya, jauh lebih tidak masuk akal jika tidak
ada kamu. Sungguh, ada gemuruh di kepala ini. Rindu, aku menyebutnya.
Mungkin saja, kau
masih terlelap. Tapi di hati ini, kau selalu terjaga. Aku tahu, kau selalu
ingin memastikan aku baik-baik saja. Jika sudah begitu, bagaimana aku punya
peluang melupakanmu? Kata mereka: Tidak akan pernah. Kita ini jiwa yang sama.
Jarak yang memisahkan kita ini adalah bumbu manisnya. Kita jadi sepasang
mahkluk paling lezat yang pernah ada. Begitu kata Tuhan. Karena itu, mari kita
menari saja. Kumpulan aksara yang ada, biarlah terus tertabung di kita. Kelak,
kita akan terbangkan bersama. Dan kita berucap: Selamat Jalan Kerinduan.
Aku masih belum ingin
beranjak dari deretan huruf ini. Meski pening kepalaku semakin beringas. Aku
masih ingin mengingat bagaimana kau tidak pernah lupa bertanya tentang jiwaku
hari ini: Sehat? Selalu, jawabku. Kau menambahkan: Jangan lupa, ini hari Selasa. Kau harus
mengunjunginya. Itu mantra yang tiap pagi kau rapalkan. Lalu apakah aku bisa
berpikir tentang jemari lentik wanita lain? Kata ia: Kau adalah gagang cangkir.
Dan aku adalah manusia beruntung yang akan terus bergelayut di lengkungnya.
Gagang Cangkir.
Begitu aku memberinya judul catatan singkat ini. Kau masih ingat? Sore itu, kau
menyeduh kopi dengan cangkir berhias senja. Lengkung gagangnya seperti
pinggangmu. Kau berucap: Jangan begitu memegangnya. Karena itu bisa mengurangi
jutaan kenikmatanya. Keningku berkerut: Lalu bagaimana? Begini, katamu sambil
meraih cangkir yang sedari tadi ada di genggamanku. Memahami cangkir dengan
larutan hitam di dalamnya tidak semudah melupakan kepedihan. Cangkir dan Kopi
itu bernyawa. Perlakukan mereka seperti kau mencintaiku. Kerut di keningku
semakin menjadi-jadi: Jangan mengada-ada! Tidak, katamu dengan suara sedikit
tinggi. Cangkir dan Kopi adalah keseimbangan hidup. Keseimbangan jiwa. Jika kau
semena-mena terhadapnya, mereka akan bersedih lalu menangis. Aku begitu kasihan
ketika melihatmu mengaduk tanpa hati. Benturan sendok itu sungguh menyakitkan.
Tapi kupingmu terlanjur tuli. Aku terdiam. Malaikat itu sedang membungkam bibir
ini. Tiba-tiba saja aku ingin menangis. Kenapa aku bisa begitu jahat terhadap
Cangkir dan Kopi? Hatiku bergejolak. Kau mematung. Kebisuanmu lebih dingin dari
cairan kopi ini. Lalu menurutmu? Ia bersuara: Cinta itu persembahan. Bukan
mengambil bagian. Semuanya menjadi hening. Aku ditelan kalimatmu.
Maafkan aku, Sayang.
Ternyata selama ini, aku menjadi bagian dari mereka. Sulit memahami Cinta.
Embun
mulai beranjak pergi. Terima kasih kerinduan. Pagi esok, kita bertemu lagi. Kopi
tampak mengepul di mejaku. Aroma surga menyeruak dari dalamnya. Semoga aku
tidak salah lagi memperlakukannya.

Mantab. Sang pemintal aksara
BalasHapus