Selasa, 28 Juli 2020

GAGANG CANGKIR




Sepertinya sudah terlalu lama aku tidak membahasakanmu. Ini kali pertama aku bangun; dengan tergesa-gesa menyalakan komputer lamaku. Ada kamu, selalu. Biasanya, pagi tanpa kopi itu rumit sekali. Tapi nyatanya, jauh lebih tidak masuk akal jika tidak ada kamu. Sungguh, ada gemuruh di kepala ini. Rindu, aku menyebutnya.
Mungkin saja, kau masih terlelap. Tapi di hati ini, kau selalu terjaga. Aku tahu, kau selalu ingin memastikan aku baik-baik saja. Jika sudah begitu, bagaimana aku punya peluang melupakanmu? Kata mereka: Tidak akan pernah. Kita ini jiwa yang sama. Jarak yang memisahkan kita ini adalah bumbu manisnya. Kita jadi sepasang mahkluk paling lezat yang pernah ada. Begitu kata Tuhan. Karena itu, mari kita menari saja. Kumpulan aksara yang ada, biarlah terus tertabung di kita. Kelak, kita akan terbangkan bersama. Dan kita berucap: Selamat Jalan Kerinduan.
Aku masih belum ingin beranjak dari deretan huruf ini. Meski pening kepalaku semakin beringas. Aku masih ingin mengingat bagaimana kau tidak pernah lupa bertanya tentang jiwaku hari ini: Sehat? Selalu, jawabku. Kau menambahkan: Jangan lupa, ini hari Selasa. Kau harus mengunjunginya. Itu mantra yang tiap pagi kau rapalkan. Lalu apakah aku bisa berpikir tentang jemari lentik wanita lain? Kata ia: Kau adalah gagang cangkir. Dan aku adalah manusia beruntung yang akan terus bergelayut di lengkungnya.
Gagang Cangkir. Begitu aku memberinya judul catatan singkat ini. Kau masih ingat? Sore itu, kau menyeduh kopi dengan cangkir berhias senja. Lengkung gagangnya seperti pinggangmu. Kau berucap: Jangan begitu memegangnya. Karena itu bisa mengurangi jutaan kenikmatanya. Keningku berkerut: Lalu bagaimana? Begini, katamu sambil meraih cangkir yang sedari tadi ada di genggamanku. Memahami cangkir dengan larutan hitam di dalamnya tidak semudah melupakan kepedihan. Cangkir dan Kopi itu bernyawa. Perlakukan mereka seperti kau mencintaiku. Kerut di keningku semakin menjadi-jadi: Jangan mengada-ada! Tidak, katamu dengan suara sedikit tinggi. Cangkir dan Kopi adalah keseimbangan hidup. Keseimbangan jiwa. Jika kau semena-mena terhadapnya, mereka akan bersedih lalu menangis. Aku begitu kasihan ketika melihatmu mengaduk tanpa hati. Benturan sendok itu sungguh menyakitkan. Tapi kupingmu terlanjur tuli. Aku terdiam. Malaikat itu sedang membungkam bibir ini. Tiba-tiba saja aku ingin menangis. Kenapa aku bisa begitu jahat terhadap Cangkir dan Kopi? Hatiku bergejolak. Kau mematung. Kebisuanmu lebih dingin dari cairan kopi ini. Lalu menurutmu? Ia bersuara: Cinta itu persembahan. Bukan mengambil bagian. Semuanya menjadi hening. Aku ditelan kalimatmu.
Maafkan aku, Sayang. Ternyata selama ini, aku menjadi bagian dari mereka. Sulit memahami Cinta.
Embun mulai beranjak pergi. Terima kasih kerinduan. Pagi esok, kita bertemu lagi. Kopi tampak mengepul di mejaku. Aroma surga menyeruak dari dalamnya. Semoga aku tidak salah lagi memperlakukannya.

1 komentar:

Mengapa Saya Lebih Memilih Ikut Perlombaan Burung Lovebird?

  Mengapa Saya Lebih Memilih Ikut Perlombaan Burung Lovebird? Di tengah hiruk-pikuk kehidupan modern yang penuh tekanan dan tuntutan, mencar...