Kamis, 23 Juli 2020

TAK ADA MANUSIA YANG KALAH



Pagi ini mendung. Tapi saya yakin, di belahan bumi yang lain matahari sedang semangat-semangatnya menebar panas. Memberikan apa yang diharapan miliaran manusia di muka bumi ini. Saya melirik jam. Sudah setengah delapan. Seperti biasa, saya harus ke kampus. Mengulang hari-hari kemarin. Berbagi ilmu, pengetahuan, dan senyum.
Tapi ini bukan tentang hari ini. Ini tentang kemarin. Waktu yang sudah terlewatkan selama 24 jam. Di rentangan waktu itu, saya sempatkan merenung di kursi kerja saya. Di beberapa kesempatan, saya pasrah menyerahkan pipi kanan saya ke meja. Saya tampak sangat lelah; dan juga kalah. Semua yang ada di depan mata, seperti cerita yang bertabur ‘entahlah’. Tanpa latar, jalan cerita, dan emosional yang tepat. Seolah-olah, alur yang terbaca flat; datar. Dan tentu saja tidak menarik.
“Kalah”. Satu kata ini, sengaja saya beri titik di awal dan di akhir tulisannya. Sebab, setelah beranjak dari kursi saya kemarin, kata yang satu ini seperti tidak pernah ingin berhenti menari di kepala saya. Adakah manusia kalah? Pertanyaan itu meluncur begitu saja. Di beberapa detik kemudian setelah sepatu dan buku saya letakkan di tempatnya, saya merebahkan tubuh. Dan segera berselancar di samudera pikiran. Mengejar satu kata itu: kalah!
Menjawab pertanyaan: Adakah manusia kalah? Saya tidak berani tergesa-gesa memberi jawaban. Ketakutan ‘mengalahkan’ saya. Ketakutan memaksa saya ‘kalah’. Lagi-lagi, ‘kalah’ menemukan momen yang pas untuk menunjukkan eksistensinya. Dan saya yakin, manusia-manusia di luar sana setuju dengan saya.
Tapi tidak untuk sedetik berikutnya. Tiba-tiba saja teringat sebuah film yang berjudul: Half Girlfriend; yang bergenre drama romantis tapi membawa pesan moral yang sangat kuat. “Jangan pernah kekalahan mengalahkanmu!” begitu kira-kira bunyi pesan moralnya. Benar, saya sangat setuju dan menggilai pesan moral itu. Tuhan tidak pernah bertujuan membuat manusia kalah. Setiap manusia yang Dia lahirkan ke dunia adalah pemenang dalam kompetisi di dalam rahim. Sepasang mata yang mengintip dunia setelah berkompetisi di rahim adalah sepasang mata yang tidak kalah oleh kekalahan. Sepasang mata itu adalah milik kalian; milik kita.
Saya bangkit dari rebah. Jawaban itu sudah saya dapat. Saya bukan orang yang kalah. Saya adalah pemenang. Kekalahan itu ada, karena saya sendiri yang menyerah. Jika saat ini beberapa rekan kerja saya memiliki karir yang bagus, melesat meninggalkan saya, bukan berarti mereka mengalahkan saya, tapi saya yang menyerah pada kekalahan itu.
So, siapa pun kalian. Teman-teman saya, mahasiswa-mahasiswa saya, sahabat-sahabat ngopi saya. Berhentilah merapal kata ‘kalah’. Kalian tidak pernah kalah. Semua yang bernyawa adalah pemenang. Kekalahan ada, karena kita rela dikalahkan oleh kekalahan itu.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mengapa Saya Lebih Memilih Ikut Perlombaan Burung Lovebird?

  Mengapa Saya Lebih Memilih Ikut Perlombaan Burung Lovebird? Di tengah hiruk-pikuk kehidupan modern yang penuh tekanan dan tuntutan, mencar...