Pagi ini mendung. Tapi
saya yakin, di belahan bumi yang lain matahari sedang semangat-semangatnya
menebar panas. Memberikan apa yang diharapan miliaran manusia di muka bumi ini.
Saya melirik jam. Sudah setengah delapan. Seperti biasa, saya harus ke kampus.
Mengulang hari-hari kemarin. Berbagi ilmu, pengetahuan, dan senyum.
Tapi ini bukan tentang
hari ini. Ini tentang kemarin. Waktu yang sudah terlewatkan selama 24 jam. Di
rentangan waktu itu, saya sempatkan merenung di kursi kerja saya. Di beberapa
kesempatan, saya pasrah menyerahkan pipi kanan saya ke meja. Saya tampak sangat
lelah; dan juga kalah. Semua yang ada di depan mata, seperti cerita yang
bertabur ‘entahlah’. Tanpa latar, jalan cerita, dan emosional yang
tepat. Seolah-olah, alur yang terbaca flat; datar. Dan tentu saja tidak
menarik.
“Kalah”. Satu kata ini,
sengaja saya beri titik di awal dan di akhir tulisannya. Sebab, setelah
beranjak dari kursi saya kemarin, kata yang satu ini seperti tidak pernah ingin
berhenti menari di kepala saya. Adakah manusia kalah? Pertanyaan itu
meluncur begitu saja. Di beberapa detik kemudian setelah sepatu dan buku saya
letakkan di tempatnya, saya merebahkan tubuh. Dan segera berselancar di
samudera pikiran. Mengejar satu kata itu: kalah!
Menjawab pertanyaan: Adakah
manusia kalah? Saya tidak berani tergesa-gesa memberi jawaban. Ketakutan
‘mengalahkan’ saya. Ketakutan memaksa saya ‘kalah’. Lagi-lagi, ‘kalah’
menemukan momen yang pas untuk menunjukkan eksistensinya. Dan saya yakin,
manusia-manusia di luar sana setuju dengan saya.
Tapi tidak untuk
sedetik berikutnya. Tiba-tiba saja teringat sebuah film yang berjudul: Half
Girlfriend; yang bergenre drama romantis tapi membawa pesan moral yang
sangat kuat. “Jangan pernah kekalahan mengalahkanmu!” begitu kira-kira
bunyi pesan moralnya. Benar, saya sangat setuju dan menggilai pesan moral itu.
Tuhan tidak pernah bertujuan membuat manusia kalah. Setiap manusia yang Dia
lahirkan ke dunia adalah pemenang dalam kompetisi di dalam rahim. Sepasang mata
yang mengintip dunia setelah berkompetisi di rahim adalah sepasang mata yang
tidak kalah oleh kekalahan. Sepasang mata itu adalah milik kalian; milik kita.
Saya bangkit dari
rebah. Jawaban itu sudah saya dapat. Saya bukan orang yang kalah. Saya adalah
pemenang. Kekalahan itu ada, karena saya sendiri yang menyerah. Jika saat ini
beberapa rekan kerja saya memiliki karir yang bagus, melesat meninggalkan saya,
bukan berarti mereka mengalahkan saya, tapi saya yang menyerah pada kekalahan
itu.
So,
siapa pun kalian. Teman-teman saya, mahasiswa-mahasiswa saya, sahabat-sahabat ngopi
saya. Berhentilah merapal kata ‘kalah’. Kalian tidak pernah kalah. Semua yang
bernyawa adalah pemenang. Kekalahan ada, karena kita rela dikalahkan oleh
kekalahan itu.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar