Rabu, 15 Juli 2020

BENING JINGGA


BENING JINGGA

Sebelum Bunda meninggal, ia mengatakan jika aku mempuyai saudara kembar. Ia adalah Jingga. Kelahiran kami berada di waktu yang sama. Hanya beda detik, katanya.
Apa yang dikatakan Bunda serupa wasiat. Sebab itu, sudah kubulatkan niat untuk mencari Jingga. Tapi dunia ini teramat luas. Dunia ini juga membingungkan. Sedangkan mata kakiku tidak punya radar sakti. Aku seperti berada di dalam peta buta. Tak ada huruf. Tak ada pertanda. Semua terlihat putih. Begitu menyilaukan mata.
“Kamu jangan gila, deh! Kamu itu ganjil, bukan genap!” seru Dara, kekasihku.
“Kamu punya aku! Kamu pernah kehilangan saudaramu?” tanyaku sambil melepas tangannya yang melingkari leherku.
“Terserah kamu. Tapi kamu harus ingat, kita ini punya komitmen!” Dara berseru lagi. Aku memilih bungkam. Aku tidak ingin bertengkar dengannya saat itu.
“Sudahlah. Aku mau pulang. Aku capek!” Aku menutup pintu kamarnya keras-keras. Aku tidak peduli lagi dengan amarahnya.
Aku menoleh sejenak. Dara tidak membuka pintu kamarnya. Aku menghela napas lega.
Dara memang kekasihku. Namun untuk urusan Jingga, ia seperti musuh. Kegilaannya pada tubuhku membuat Dara lupa segalanya.
Aku dan Dara sudah hampir dua tahun merajut cinta. Kami sama-sama sepakat untuk saling mencintai sampai akhir hayat. Struktur anatomi kami memang sama, tapi hati kami berjenis kelamin beda. Jantung Bunda membengkak setelah mengetahui hubungan kami. Dan, setahun berikutnya Bunda tutup usia. Bunda belum sempat memaafkan kami.
Aku segera memasukkan mobil ke garasi di samping rumah. Kemudian kusegerakan mengguyur tubuhku dengan air hangat. Aku tidak ingin bekas jilatan Dara menemaniku merindukan Jingga.
Rambutku masih basah saat aku duduk memandangi langit dari atas balkon. Malam itu, langit penuh dengan gemintang. Rembulan juga hampir penuh. Beberapa hari ke depan, bulan yang kutangkap malam itu akan mempunyai nama baru: Purnama. Namun Jingga tidak ada di sana.
Aku segera menenggak minuman dingin yang beralkohol itu. Kepalaku sedang buntu. Jeritan Jingga sangat keras di telingaku, tapi pintu di kepalaku tetap menutup. Aku hampir gila.
Aku terus memandangi langit. Minuman dingin beralkohol itu juga melewati tenggorokanku lagi. Namun situasi tidak berubah. Kepalaku tetap tak punya pintu.
Aku ambruk. Balkon memelukku.
***
Kepalaku masih terasa sedikit sakit. Ada luka di kening kiriku. Jatuh di lantai balkon sudah kualami berkali-kali.
Aku segera membuka tas hitamku. Ponselku sudah menyala merah. Sebentar lagi pasti padam. Namun dua mataku terbelalak hebat. Panggilan Dara sebanyak dua ratus kali menjejali layar redupnya. Aku segera memutar otak.
“Halo, Dara!” sapaku sambil menancapkan charger ke colokan yang ada di dinding.
“Kamu dari mana?” tanya Dara cepat. Suaranya terdengar sangat parau. Hatiku mendadak mendung. Aku menjadi iba dengannya.
“Kamu kenapa?” tanyaku balik.
“Aku tidak apa-apa, Sayang!” jawabnya sambil memaksa untuk tertawa. Aku semakin redup.
“Kamu sakit? Sudah makan?” Aku mencercanya dengan kekhawatiran.
“Tidak! Aku hanya kangen kamu, Sayang,” jawabnya sambil memaksa tertawa lagi.
“Aku ke sana sekarang!” Aku menutup telepon.
Aku memacu mobil secepat mungkin. Aku tahu, pagi itu aku sedang berjudi dengan waktu. Sedikit saja salah langkah, maka Dara bukan milikku lagi. Aku tidak siap dengan risiko itu.
Aku memecah kepadatan jalan dengan klakson yang kubunyikan puluhan kali. Tidak sekali dua kali mobilku diludahi. Tapi aku tidak peduli. Dara sedang sekarat di seberang sana. Aku tahu itu.
Apartemen Dara sudah terlihat di dua mataku. Tapi mobilku butuh tambahan klakson untuk segera sampai di sana. Pagi itu, kemacetan memang sedang di titik gila. Semoga malaikat maut lupa alamat apartemennya, harapku berkali-kali dalam hati.
Aku menghentikan mobil saat berada persis di depan apartemennya. Aku menghambur keluar dengan cepat. Kemudian melangkahkan dua kakiku dengan sangat terburu.
Pintu apartemennya menutup dengan rapat. Namun Dara lupa menguncinya. Aku segera masuk ke dalamnya. Napasku terasa berhenti. Tenggorokanku terasa cekat sekali. Dua mataku juga lupa berkedip. Dara tergeletak tak berdaya di lantai. Dua matanya mengatub rapat. Ada darah mengucur deras dari kepalanya.
Aku segera menyambar telepon di mejanya. Aku tidak mungkin membawanya ke rumah sakit dengan mobilku. 
Tidak lama setelahnya, ambulan meraung-raung di depan apartemen. Dara segera dimasukkan ke dalamnya. Dua kantong infus di siapkan untuknya. Dalam hitungan detik, mobil itu melesat jauh dari pandangan mataku.
Aku segera menyusul Dara ke rumah sakit yang menggengam nyawanya. Ini kali pertama aku dan Dara berhubungan dengan rumah yang penuh obat itu. Karena selama aku bersamanya, Dara tidak pernah mengalami kejadian serupa.
Dara sedang dikelilingi dokter dan para perawatnya di ruang operasi. Sementara aku duduk memaku di depan ruangan itu. Aku menatap tajam lampu yang menyala merah. Gemuruh di hatiku belum juga diam.
Hampir satu jam terlewat. Pintu ruangan itu membuka. Aku segera menghambur ke sana. Aku memeluk tubuh Dara sepanjang waktu.
***
“Kamu tahu, aku hampir putus asa dengan hidup ini!” seruku pada Dara.
“Maafkan aku, Sayang.
“Jika kamu membunuh dirimu, aku juga akan mati!” seruku lagi. Aku tidak menyadari bulir-bulir air mataku sudah berebut untuk jatuh. Dara menatapku nanar.
“Itu kecelakaan. Itu bukan bunuh diri, Sayang.
“Maksud, kamu?”
“Selepas kamu pergi, aku tidak bisa tidur. Malam itu, aku mabuk berat sampai pagi. Aku hanya ingat aku akan jatuh. Kemudian kamu telepon. Aku melihat banyak darah di lantai, setelah itu semua menjadi gelap. Dan tiba-tiba saja aku sudah berada di ruangan ini.” Dara menjelaskan panjang padaku. Aku terkejut hebat. Kami jatuh di waktu yang sama. Ajaib.
Aku memeluk erat kekasihku, Dara. Kami berciuman lagi. Ternyata, Dara memang tak tergantikan.
Setelah satu bulan terlewat, kami kembali seperti biasa. Kami menjadi sepasang suami istri lagi.
“Kamu di mana?” tanyanya dari seberang sana.
“Aku di rumah. Aku sedang malas mengintip jalan raya!”
“Nikmati liburmu, Sayang! Aku berangkat dulu,” pamitnya. Telepon kemudian terputus.
Siang itu, Dara harus segera berangkat ke luar kota. Ia mendampingi bosnya meeting dengan perusahaan mitra. Dara akan menghilang dari hidupku selama tiga hari. Itu kabar yang bagus.
Sebab itu, aku mencari Jingga lagi.
Aku memberanikan diri untuk membongkar lemari di kamar Bunda. Barang-barang yang ada di sana masih tertata rapi, namun sudah banyak yang berdebu. Semenjak Bunda meninggal, kamar itu sengaja kubiarkan kosong. Dan baru hari ini aku masuk ke sana lagi.
Aku seperti orang yang kesetanan saat membongkar barang-barang Bunda. Aku juga seperti orang yang mati rasa. Tubuhku tidak merasakan lelah sedikit pun.
Sekarang, kamar Bunda seperti baru saja terkena gempa. Tapi apa yang aku cari belum ketemu. Aku menyandarkan tubuh lelahku di tembok kamar.
Saat bersandar, mataku menangkap sesuatu. Kotak kecil itu berada di kolong tempat tidur Bunda. Rasa lelahku segera menguap. Dengan cepat aku bangkit dan mengambil kotak itu.
Aku pandangi lekat-lekat kotak yang sudah kupangku. Ada keraguan yang tiba-tiba muncul dalam hatiku. Aku memutuskan untuk menunda membukanya. Aku memilih keluar dari kamar Bunda. Kotak itu ada di gamitan lenganku.
Aku sangat lelah. Aku ingin segera mengguyur tubuhku lagi. Aku ingin mempunyai nyawa baru.
Entah kenapa, kotak kecil yang kutemukan di kolong tempat tidur Bunda mempunyai muatan yang berbeda dengan barang-barang Bunda yang ada di dalam lemarinya. Kotak kecil itu seperti menjanjikan sesuatu yang tidak biasa. Aku segera membukanya.
Aku menarik napasku satu kali. Dengan satu tarikan yang biasa saja, kotak kecil itu membuka. Dua mataku mendapatkan sesuatu. Aku segera mengambilnya.
Tangkapanku itu berupa amplop kecil yang sudah lusuh. Perekatnya juga sudah mulai memudar. Aku bisa dengan mudah membukanya.
Aku menadapati sesuatu. Menurutku itu bukan kejutan. Itu hanya sebuah foto lama. Gambarnya juga sudah memburam. Meski begitu, bentuk tubuh dan wajahnya masih sempurna.
Aku tahu, wajahnya sangat berbeda. Ia bukan Jingga, saudaraku.
Aku masih punya Tante Alya, adik kandung Bunda. Tante pasti tahu tentang wajah yang tidak sama itu, pikirku. Sebab itu, aku harus ke sana. Segera!
***
“Kamu menemukannya di mana?” tanya Tante Alya pelan. Aku hanya berjarak sehasta di depannya.
“Di kamar Bunda, Tante. Ia siapa?”
Ia adalah Jingga. Ia anak kandung Tante. Cepat, Tante Alya menjawab pertanyaanku.
“Kok, bisa sama aku, Tan?”
“Panjang ceritanya,” jawab Tante dengan wajah sedikit redup. “Tante bersalah sama Bundamu, Bening.” Mata Tante Alya berkaca-kaca.
“Apa salah Tante?” tanyaku cepat.
“Tante mengandung benih Ayahmu. Jingga, saudaramu!” jawab Tante sambil menangis.
“Jadi …” Aku hampir tidak bisa menguasai diriku.
“Maafkan Tante, Nak,” kata Tante Alya memelas.
“Di mana ia sekarang, Tan?” kupaksa diriku bertanya.
“Entahlah. Sejak umur satu tahun, Bundamu menyerahkan Jingga pada Tante lagi. Suara Tante Alya sangat parau. Aku menjadi merasa iba dengannya.
“Kok, bisa begitu, Tan?”
“Ayahmu yang menginginkan itu. Tapi saat Jingga umur lima belas tahun, ia meninggalkan Tante. Tante terlambat bercerita tentang Ayah kandungnya.
Ia sudah tahu semuanya?”
“Belum.” Tante menggeleng. “Tunggu sebentar,” pinta Tante sambil berlalu dariku. Tante menuju kamarnya. Aku hanya bisa terpaku dengan semua penjelasan Tante Alya.
Satu menit terlewat, Tante Alya sudah di depanku lagi.
“Ini foto terakhir Jingga!” Tante menyerahkan sebuah foto kusam padaku.
“Dara …” Aku hanya bisa berbisik. Petir itu telah menghantam kepalaku. Bibirku menjadi kelu. Hatiku perih sekali. Air mataku memaksa untuk jatuh. Tapi tidak pernah kubiarkan. Ia tertahan.
“Dara?”
“Hm. Tidak, Tante. Bukan … Bukan …, aku berkilah.
“Ada apa, Bening?”
“Bening pamit dulu Tante!” kataku buru-buru.
Langkahku sangat cepat. Kutinggalkan Tante Alya dengan kening yang penuh tanda tanya.
Petir masih menyambar-nyambar di kepalaku.
***
Aku memutuskan untuk meninggalkan Dara tanpa ia tahu sebabnya. Aku tidak ingin merasakan kepedihan lagi. Aku juga tidak ingin merasakan sanggama dengannya lagi. Dara dan aku berasal dari daging yang sama. Ayah kami binatang!
Sejak saat itu, aku tidak tahu lagi tentang Dara. Aku harus membunuhnya, meski aku sendiri yang akan mati.
Aku mati. Malam ini. Di kamar ini. Selamat tinggal, Dara.


7 komentar:

Mengapa Saya Lebih Memilih Ikut Perlombaan Burung Lovebird?

  Mengapa Saya Lebih Memilih Ikut Perlombaan Burung Lovebird? Di tengah hiruk-pikuk kehidupan modern yang penuh tekanan dan tuntutan, mencar...