BENING JINGGA
Sebelum Bunda meninggal, ia mengatakan jika
aku mempuyai saudara kembar. Ia adalah Jingga. Kelahiran
kami berada di waktu yang sama. Hanya beda detik, katanya.
Apa yang dikatakan Bunda serupa wasiat. Sebab itu, sudah kubulatkan niat untuk
mencari Jingga. Tapi
dunia ini teramat luas. Dunia ini juga membingungkan. Sedangkan mata kakiku
tidak punya radar sakti.
Aku seperti berada
di dalam peta buta. Tak ada huruf. Tak ada pertanda. Semua terlihat putih. Begitu menyilaukan mata.
“Kamu jangan gila, deh! Kamu itu ganjil, bukan genap!”
seru Dara, kekasihku.
“Kamu punya aku! Kamu
pernah kehilangan saudaramu?” tanyaku sambil melepas tangannya yang melingkari
leherku.
“Terserah kamu. Tapi
kamu harus ingat, kita ini punya komitmen!” Dara berseru lagi. Aku memilih bungkam. Aku
tidak ingin bertengkar dengannya saat itu.
“Sudahlah. Aku mau
pulang. Aku capek!” Aku menutup pintu kamarnya keras-keras. Aku tidak peduli
lagi dengan amarahnya.
Aku menoleh sejenak.
Dara tidak membuka pintu kamarnya. Aku menghela napas lega.
Dara memang
kekasihku. Namun untuk urusan Jingga,
ia seperti musuh. Kegilaannya pada tubuhku membuat Dara lupa segalanya.
Aku dan Dara sudah hampir dua tahun merajut cinta. Kami
sama-sama sepakat untuk saling mencintai sampai akhir hayat. Struktur anatomi
kami memang sama, tapi hati kami berjenis kelamin beda. Jantung Bunda membengkak setelah mengetahui
hubungan kami. Dan, setahun
berikutnya Bunda
tutup usia. Bunda
belum sempat memaafkan
kami.
Aku segera memasukkan
mobil ke garasi di samping rumah. Kemudian kusegerakan mengguyur tubuhku dengan air hangat.
Aku tidak ingin bekas jilatan Dara menemaniku merindukan Jingga.
Rambutku masih basah
saat aku duduk memandangi langit dari atas balkon. Malam itu, langit penuh
dengan gemintang. Rembulan juga hampir penuh. Beberapa hari ke depan, bulan
yang kutangkap malam itu akan mempunyai nama baru: Purnama. Namun Jingga tidak
ada di sana.
Aku segera menenggak
minuman dingin yang beralkohol itu. Kepalaku sedang buntu. Jeritan Jingga
sangat keras di telingaku, tapi pintu di kepalaku tetap menutup. Aku hampir
gila.
Aku terus memandangi
langit. Minuman dingin beralkohol itu juga melewati tenggorokanku lagi. Namun
situasi tidak berubah. Kepalaku tetap tak punya pintu.
Aku ambruk. Balkon
memelukku.
***
Kepalaku masih terasa
sedikit sakit. Ada luka di kening kiriku. Jatuh di lantai balkon sudah kualami
berkali-kali.
Aku segera membuka
tas hitamku. Ponselku sudah menyala merah. Sebentar lagi pasti padam. Namun dua mataku terbelalak
hebat. Panggilan Dara sebanyak dua
ratus kali menjejali layar redupnya. Aku segera memutar otak.
“Halo, Dara!” sapaku
sambil menancapkan charger ke colokan
yang ada di dinding.
“Kamu dari mana?”
tanya Dara cepat. Suaranya terdengar sangat parau. Hatiku mendadak mendung. Aku menjadi iba dengannya.
“Kamu kenapa?”
tanyaku balik.
“Aku tidak apa-apa,
Sayang!” jawabnya sambil memaksa untuk tertawa. Aku semakin redup.
“Kamu sakit? Sudah
makan?” Aku mencercanya dengan kekhawatiran.
“Tidak! Aku hanya kangen kamu, Sayang,” jawabnya sambil memaksa tertawa
lagi.
“Aku ke sana
sekarang!” Aku menutup
telepon.
Aku memacu mobil
secepat mungkin. Aku tahu, pagi itu aku sedang berjudi dengan waktu. Sedikit saja salah langkah, maka Dara bukan milikku lagi. Aku tidak
siap dengan risiko
itu.
Aku memecah kepadatan
jalan dengan klakson yang kubunyikan
puluhan kali. Tidak sekali dua kali mobilku diludahi. Tapi aku tidak peduli.
Dara sedang sekarat
di seberang sana. Aku tahu itu.
Apartemen Dara sudah
terlihat di dua mataku. Tapi mobilku butuh tambahan klakson untuk segera sampai di sana. Pagi itu, kemacetan memang sedang di titik gila. Semoga malaikat maut lupa
alamat apartemennya, harapku berkali-kali dalam hati.
Aku menghentikan
mobil saat berada persis di depan apartemennya. Aku menghambur keluar dengan
cepat. Kemudian melangkahkan dua kakiku dengan sangat terburu.
Pintu apartemennya
menutup dengan rapat. Namun Dara lupa menguncinya. Aku segera masuk ke
dalamnya. Napasku terasa berhenti. Tenggorokanku terasa cekat sekali. Dua
mataku juga lupa berkedip. Dara tergeletak tak berdaya di lantai. Dua matanya
mengatub rapat. Ada darah mengucur deras dari kepalanya.
Aku segera menyambar
telepon di mejanya. Aku
tidak mungkin membawanya
ke rumah sakit dengan mobilku.
Tidak lama
setelahnya, ambulan meraung-raung di depan apartemen. Dara segera dimasukkan ke dalamnya. Dua kantong infus di
siapkan untuknya. Dalam hitungan detik, mobil itu melesat jauh dari pandangan mataku.
Aku segera menyusul
Dara ke rumah sakit yang menggengam nyawanya. Ini kali pertama aku dan Dara
berhubungan dengan rumah yang penuh obat itu. Karena selama aku bersamanya,
Dara tidak pernah mengalami kejadian serupa.
Dara sedang
dikelilingi dokter dan para perawatnya di ruang operasi. Sementara aku duduk memaku di
depan ruangan itu. Aku menatap tajam lampu yang menyala merah. Gemuruh di
hatiku belum juga diam.
Hampir satu jam
terlewat. Pintu ruangan itu membuka. Aku segera menghambur ke sana. Aku memeluk
tubuh Dara sepanjang waktu.
***
“Kamu tahu, aku
hampir putus asa dengan hidup ini!” seruku pada Dara.
“Maafkan aku, Sayang.”
“Jika kamu membunuh
dirimu, aku juga akan mati!” seruku lagi. Aku tidak menyadari bulir-bulir air
mataku sudah berebut untuk jatuh. Dara menatapku nanar.
“Itu kecelakaan. Itu
bukan bunuh diri, Sayang.”
“Maksud, kamu?”
“Selepas kamu pergi,
aku tidak bisa tidur. Malam itu, aku mabuk berat sampai pagi. Aku hanya ingat
aku akan jatuh. Kemudian kamu telepon. Aku melihat banyak darah di lantai,
setelah itu semua menjadi gelap. Dan tiba-tiba saja aku sudah berada di ruangan ini.” Dara menjelaskan
panjang padaku. Aku terkejut hebat. Kami jatuh di waktu yang sama. Ajaib.
Aku memeluk erat
kekasihku, Dara. Kami berciuman lagi. Ternyata, Dara memang tak tergantikan.
Setelah
satu bulan terlewat, kami kembali seperti biasa. Kami menjadi sepasang suami
istri lagi.
“Kamu di mana?”
tanyanya dari seberang sana.
“Aku di rumah. Aku
sedang malas mengintip jalan raya!”
“Nikmati liburmu,
Sayang! Aku berangkat dulu,”
pamitnya. Telepon
kemudian terputus.
Siang itu, Dara harus segera berangkat ke luar kota. Ia
mendampingi bosnya meeting
dengan perusahaan mitra. Dara akan menghilang dari hidupku selama tiga hari.
Itu kabar yang bagus.
Sebab itu, aku mencari Jingga lagi.
Aku memberanikan diri
untuk membongkar lemari di kamar Bunda. Barang-barang yang ada di sana masih tertata
rapi, namun sudah banyak yang berdebu. Semenjak Bunda meninggal, kamar itu sengaja
kubiarkan kosong. Dan baru hari ini aku masuk ke sana lagi.
Aku seperti orang
yang kesetanan saat membongkar barang-barang Bunda. Aku juga seperti orang yang
mati rasa. Tubuhku
tidak merasakan lelah sedikit pun.
Sekarang, kamar Bunda seperti baru saja terkena gempa.
Tapi apa yang aku cari belum ketemu. Aku menyandarkan tubuh lelahku di tembok
kamar.
Saat bersandar,
mataku menangkap sesuatu. Kotak kecil itu berada di kolong tempat tidur Bunda. Rasa lelahku segera menguap.
Dengan cepat aku bangkit dan mengambil kotak itu.
Aku pandangi
lekat-lekat kotak yang sudah kupangku.
Ada keraguan yang tiba-tiba muncul dalam hatiku. Aku memutuskan untuk menunda
membukanya. Aku memilih keluar dari kamar Bunda. Kotak itu ada di gamitan lenganku.
Aku sangat lelah. Aku
ingin segera mengguyur tubuhku lagi. Aku ingin mempunyai nyawa baru.
Entah kenapa, kotak
kecil yang kutemukan di kolong tempat tidur Bunda mempunyai muatan yang berbeda
dengan barang-barang Bunda
yang ada di
dalam lemarinya. Kotak kecil itu seperti menjanjikan sesuatu yang tidak biasa. Aku
segera membukanya.
Aku menarik napasku
satu kali. Dengan satu tarikan yang biasa saja, kotak kecil itu membuka. Dua
mataku mendapatkan sesuatu. Aku segera mengambilnya.
Tangkapanku itu
berupa amplop kecil yang sudah lusuh. Perekatnya juga sudah mulai memudar. Aku bisa dengan mudah membukanya.
Aku menadapati
sesuatu. Menurutku itu bukan kejutan. Itu hanya sebuah foto lama. Gambarnya
juga sudah memburam. Meski begitu, bentuk tubuh dan wajahnya masih sempurna.
Aku tahu, wajahnya
sangat berbeda. Ia
bukan Jingga, saudaraku.
Aku masih punya Tante
Alya, adik kandung Bunda.
Tante pasti tahu tentang wajah yang tidak sama itu, pikirku. Sebab itu, aku harus ke sana. Segera!
***
“Kamu menemukannya di mana?” tanya Tante Alya pelan. Aku
hanya berjarak sehasta di depannya.
“Di kamar Bunda, Tante. Ia siapa?”
“Ia adalah Jingga. Ia anak kandung Tante.” Cepat, Tante Alya menjawab pertanyaanku.
“Kok, bisa sama aku,
Tan?”
“Panjang ceritanya,” jawab Tante dengan wajah sedikit redup. “Tante bersalah
sama Bundamu,
Bening.”
Mata Tante Alya berkaca-kaca.
“Apa salah Tante?”
tanyaku cepat.
“Tante mengandung
benih Ayahmu. Jingga,
saudaramu!” jawab Tante sambil menangis.
“Jadi …” Aku hampir tidak bisa menguasai diriku.
“Maafkan Tante, Nak,” kata Tante Alya memelas.
“Di mana ia sekarang, Tan?” kupaksa diriku bertanya.
“Entahlah. Sejak umur
satu tahun, Bundamu
menyerahkan Jingga pada Tante lagi.” Suara Tante Alya sangat parau. Aku menjadi merasa iba
dengannya.
“Kok, bisa begitu,
Tan?”
“Ayahmu yang
menginginkan itu. Tapi saat Jingga umur lima belas tahun, ia meninggalkan
Tante. Tante terlambat bercerita tentang Ayah kandungnya.”
“Ia sudah tahu semuanya?”
“Belum.” Tante menggeleng. “Tunggu sebentar,” pinta Tante sambil berlalu dariku.
Tante menuju kamarnya. Aku hanya bisa terpaku dengan semua penjelasan Tante Alya.
Satu menit terlewat,
Tante Alya sudah
di depanku lagi.
“Ini foto terakhir
Jingga!” Tante menyerahkan sebuah foto kusam padaku.
“Dara …” Aku hanya
bisa berbisik. Petir itu telah menghantam kepalaku. Bibirku menjadi kelu. Hatiku perih sekali. Air mataku memaksa untuk jatuh.
Tapi tidak pernah kubiarkan. Ia tertahan.
“Dara?”
“Hm. Tidak, Tante.
Bukan … Bukan …,” aku berkilah.
“Ada apa, Bening?”
“Bening pamit dulu
Tante!” kataku
buru-buru.
Langkahku sangat cepat. Kutinggalkan Tante Alya dengan kening
yang penuh tanda tanya.
Petir masih
menyambar-nyambar di kepalaku.
***
Aku memutuskan untuk
meninggalkan Dara tanpa ia tahu sebabnya. Aku tidak ingin merasakan kepedihan
lagi. Aku juga tidak ingin merasakan sanggama
dengannya lagi. Dara dan aku berasal dari daging yang sama. Ayah kami binatang!
Sejak saat itu, aku
tidak tahu lagi tentang Dara. Aku harus membunuhnya, meski aku sendiri yang akan mati.
Aku mati. Malam ini. Di kamar ini. Selamat
tinggal, Dara.
Keren
BalasHapusTerimakasih. Mohon bimbingannya selalu.
HapusJosh
BalasHapusTerimakasih. Mohon bimbingannya selalu.
HapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusKeren mas.
BalasHapusTerimakasih. Mohon bimbingannya selalu.
Hapus