KETIKA ISTRIKU
BERUBAN
Pagi itu, sekitar
seminggu yang lalu. Ada kehebohan kecil di kamar. Kupingku, sayup-sayup,
mendengar suara halus; yang berjarak hanya beberapa senti. Aku hapal. Itu
suaramu. Membangunkanku, lalu menggoyang-goyangkan pundakku. Ia berharap, aku
segera utuh. Lepas dari jeratan dunia mimpi. Iya, kataku. Sambil memaksa dua
mata ini membuka lebar. Ia tersenyum. Manis sekali. Hampir saja butir air
mataku jatuh. Ia masih sama. Dan aku jatuh cinta setiap menatapnya. Ia cantik.
Seperti siluet yang tiap malam mampir ke dunia tidurku. Tak berubah, sejak tiga
belas tahun yang lalu.
Ia merapatkan
tubuhnya. Wanginya mendarat cepat di hidungku. Gerai rambutnya menyemai harapan
yang sama. Aku bahagia; jutaan kali. Kerap aku bertanya: Kebaikan apa yang
telah kuwakafkan, sampai-sampai Tuhan mengirimmu untuk melengkapi nyawaku? Tak
pernah terjawab. Menggantung begitu saja. Dan semua berakhir pada satu kata: entahlah!
Ada apa? Ia
tersenyum. Lihat ini! Ia menunjukkan kepalan tangan. Tebak! Pintanya girang.
Keningku berkerut. Menduga-duga apa yang ada di genggaman tangan itu. Aku
terbang jauh ketika itu. Lalu masuk pada sebuah sore di sekitar Panderman, 10
tahun yang lalu. Kala itu, ia juga menunjukkan genggaman. Ia juga memintaku
menebak. Kataku dulu, bahwa yang kau genggam adalah takdir kita. Kau tiba-tiba
saja tertawa kecil, lalu segera menangis. Benar, di genggamannya adalah sebuah
gambar yang tak terlalu bagus. Namun maknanya begitu tajam. Menusuk ulu hati
kami. Itu takdir kami. Kami begitu lelah ketika itu. Sudah hampir delapan tahun
menjahit cinta, tapi baju kami belum juga selesai. Dan kami harus mengayuh
lagi. Jalan itu masih teramat jauh. Belum tampak ada yang berkenan menghentikan
kami. Aku genggam tangannya erat: Apa pun yang terjadi, aku tak akan pernah menyerah.
Mereka menyayangi kita, begitu juga Tuhan. Semuanya hanya ingin kita bersabar.
Sebentar lagi.
Cepat tebak! Pintanya
lagi. Masih girang. Aku tergagap. Buyar semua anganku. Aku diam sejenak.
Menangkup dagu. Aku kurang fokus pada tebakannya. Sebab aku telah tersandera
oleh sayu matanya yang serupa surga. Aku menyerah. Aku menggeleng pelan. Aku
tidak bisa kali ini, Sayang! Kataku. Ia cemberut. Lalu membuka genggaman. Aku
beruban! Katanya lirih. Butir air mataku lolos juga. Tak bisa lagi kudiamkan.
Aku memeluknya erat. Kulirik sebentar, di pipinya juga ada rintik; bening. Kami
berpelukan lama. Tak sempat kami menghitung detik yang beringsut maju. Bahkan,
Ai; jagoan kecil kami sempat membuka mata sebentar. Mencoba bangun, namun
gagal.
***
Biarkan ia memutih. Menyemai
kebijaksanaan. Kelak, kita akan pungut bersama. Di beranda. Bersama mereka; cucu-cucu kita yang lucu. Juga cericit sore yang terlambat pulang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar