Pagi itu, aku
terasa di dalam kulkas. Edan. Dinginnya tidak itung-itungan. Dingin di
Kertosono karena angin tidak ada apa-apanya jika dibandingkan di kota itu.
Rasanya semua darahku beku. Tapi tak mengapa, sebab itu bagian dari perjuangan.
Kata Sonde. Teman yang kukenal di kereta.
Sonde sudah
setahun hidup di Malang. Ia mewanti-wantiku supaya membawa jaket tebal.
Sebab musim Maba sama dengan musim dingin di Malang. Suhu bisa turun sampai
enam belas derajat. Biasanya terjadi pagi buta sama sore menjelang senja.
Pada mulanya
aku menganggap itu berita hoax. Atau sekadar mengada-adakan bahan
perbincangan. Tapi semuanya terbukti pagi itu. Andai saja, Sonde ada di depanku
saat itu. Niscaya akan kukecup punggung tangannya. Takzim. Dan penuh
pengharapan.
Aku berdiri
gagah di depan tulisan besar: Universitas Negeri Malang. Selfy
sepuas-puasnya. Dan mengigil seasu-asunya. Berikutnya, potoku sebagai
peserta Ospek menghiasi dinding FB dan Instagram-ku. Rasanya, asik sekali. Aku
seperti tidak punya tandingan. Aku juga merasa paling gaya. Aku juga merasa
paling melankolis dan ganteng sendiri.
Waktu cepat
berlalu. Jadwal Ospek sebentar lagi. Untuk opening ceremony, kata Sonde, biasanya upacara. Sambutan Pak
Rektor. Dan pengumuman jumlah Maba yang diterima. Tapi kabar buruknya, aku
mendadak malas untuk mengikuti semua acara formalitas itu.
Aku memutuskan
untuk menunda berkumpul dengan yang lain. Sebab bersembunyi di balik pohon
besar begitu nikmat. Aku dengan leluasa mengamati mereka yang culun itu. Begitu
juga dengan Pak Rektor dengan orasi berapi-apinya.
Udara masih
saja dingin, sentuhan lembutnya tidak berhenti menggoda pelupuk mataku. Aku
bersandar. Dan tiba-tiba saja semua menjadi gelap.
***
Aku tergagap.
Sebuah tangan hinggap di bahu kananku. Aku berdiri. Aku langsug hormat.
“Siap, Pak.
Maaf, Pak. Saya ketiduran,” racauku cemas.
Tapi sedetik
berikutnya, aku mendengar suara tawa yang tak terkontrol. Sepertinya pemilik
suara itu sedang guling-guling di tanah. Dua tangannya menekan-nekan perutnya.
Aku bingung. Ia
menyapa.
“Mas nglindur?”
“Tidak. Aku
hanya latihan upacara.” Tenang, aku berkilah. Luberan iler di bawah bibir
segera kusapu. Aku harus menghapus jejak tidurku. Tapi nyatanya, ia semakin
serius tertawa. Aku salah tingkah.
“Tidak ikut
upaca pembukaan?” tanyanya cepat.
“Tidak. Kamu?”
Tanyaku balik. Ia nyengir.
“Sama. Aku
bosan. Ditambah tadi tidak sarapan. Huft. Bakalan menyiksa jika ikut,”
ujarnya malas.
Aku melirik
postur tubuhnya. Ia gendut. Perutnya sedikit membesar. Napasnya suka ngos-ngosan
jika bicara panjang.
“Kamu jurusan
apa?” Aku bertanya.
“Sastra Indonesia.
Aku Sony. Mas jurusan apa?”
“Choi.” Bangga
aku mengenalkan namaku. “Aku ambil Sastra Arab.”
Tiba-tiba saja
ia seperti menahan tawa. “Apa?” tanyanya heran.
“Ah. Kamu pasti
tidak percaya, kan?” aku menghela napas
sejenak. “Jangankan kamu, guruku saja hampir pingsan ketika mendengar aku ambil
jurusan ini. Ha ha ha.” Aku terbahak. Ia juga. Kami kompak tertawa.
“Kamu dari
mana?” Ia bertanya asalku.
“Nganjuk,”
jawabku cepat. “Kalau kamu?”
“Bali!”
jawabnya sambil berseru. Alisku bereaksi.
“Wow.
Jauh sekali.”
Aneh. Ia
tersenyum mencurigakan. Aku jadi curiga. Jangan-jangan ia berbohong.
Dugaku dalam hati.
Ia menatapku
lekat-lekat. Ia seperti menangkap kecurigaanku.
“Iya. Jauh.
Jauh sekali. Ba.. Balitar. Ha ha ha.” Tawanya meledak. Dan aku telat
mengikutinya.
“Edan.
Kamu kos di mana?”
“Jalan
Semarang. Kamu?”
“Terusan
Surabaya. Terus kamu punya ide apa untuk acara kabur ini?” tanyaku.
“Bagaimana
kalau ngopi saja?”
Aku kegirangan.
Sebab ngopi adalah kesukaanku. Apa lagi jika dibayarin.
“Di mana?”
sahutku cepat.
“Kata temanku,
di ujung kampus ini ada warung kopi asik. Namanya Warung Sastra.” Sambil
menunjuk sebuah tempat, ia menguraikan tempat kami berencana ngopi.
“Jauh?”
“Dekat. Kita
berangkat sekarang. Ntar kita keburu ditangkap panitia Ospek.” Ia berdiri.
Kemudian melangkah. Seperti punya sambungan yang sama, aku pun melakukan apa
yang ia lakukan. Kami berjalan beriringan. Langkah kami sepertinya juga mirip.
Kami seperti mempunyai intuisi yang sama. Aku bersyukur. Dalam kebandelan
seperti itu, Tuhan mengirimkan seorang teman yang bermisi sama denganku.
Aku melirik ia
sejenak. Ada masa depan yang tergambar di atas kepalanya. Dan aku menyadari,
aku telah menyukainya. Aku hadiahi ia sebuah senyum. Tapi ia tak melihatnya.
“Son ...”
“Iya.” Ia
menyahut cepat.
“Kenapa kamu
mengambil jurusan Sastra Indonesia?”
“Aku mencintai
puisi dan novel. Aku ingin menikahinya. Bahkan aku jatuh cinta kepada keduanya
sejak kelas satu SMP,” urainya serius. Meski yang kutangkap ia sedang membuat
lelucon.
“Jika begitu,
kamu sedang mencita-citakan apa?”
“Aku ingin
menjadi penyayi Gereja.”
“Hah? Apa? Kamu
sedang bercanda, Son?”
“Jelas tidak,
dong! Coba bayangkan. Seorang penyanyi Gereja menikah dengan puisi dan novel.
Keren, kan?” jelasnya penuh semangat. Ia tampak ngos-ngosan lagi. “Tapi
masalahnya, napasku suka terputus. Aku kelebihan muatan. Sebab itu, cita-cita
menjadi penyanyi Gereja segera kubatalkan saat ini juga. Ha ha ha.”
Aku hampir saja
terjungkal. Orang gendut di sebelahku membuatku tertawa tak terkontrol.
“Kamu tahu,
Son? Kenapa negara ini memiliki desa Sukamiskin?”
Ia terkejut.
Heran. Lalu menggeleng. “Tidak.”
“Ha ha ha. Aku
juga tidak tahu.”
“Lalu, apa
bedanya lelucon dengan kejayusan?” tanyanya ganti.
“Seperti aku
dan kamu. Kamu lucu. Aku jayus,” jawabku sambil masih terbahak.
“Jangankan
omonganmu, penampilanmu saja jayus. Ha ha ha”
Aku terdiam.
Sebab, aku semakin menyukainya.
Kami sudah
sampai di tempat tujuan. Warung itu tampak ramai. Tidak peduli dengan agenda
Ospek. Menurutku, mereka bukan hanya mahasiswa. Tapi juga ada dari kalangan
dosen dan pegawai kampus. Duduk mereka rapi. Berputar. Atau duduk dua-dua
berhadapan. Mayoritas mereka adalah perokok dan penikmat kopi. Asbak-asbak yang
ada di meja menyembul. Penuh isi. Di lepek dekat cangkir juga ada kopi yang
kental. Mereka bilang itu namanya cette.
Kami masuk.
Sony menuju kasir. Sebab aturannya pesan langsung bayar. Selebihnya kami
menunggu pesanan datang.
Sony memesan
dua cangkir kopi tanpa bertanya padaku. Sebab menurutnya, wajahku menggaris
kopi. Hitam pekat. Orang Jawa bilang: kumus-kumus. Beda dengan Sony.
Wajahnya gembul, tapi putih. Sedap dipandang mata. Ia terlihat seperti habis
cuci muka. Bawaan orok kadang memang suka tidak adil. Teriakku lantang dalam
hati.
“Aku tahu kamu
suka kopi. Sebab itu, aku tidak perlu bertanya kamu pesan apa.” Sony tergelak.
Air liurnya sedikit muncrat. Aku hanya bisa mengangguk pelan.
“Bagaimana kamu
bisa tahu, Son?” tanyaku. Ia menggerakkan bahu.
“Ini dan ini,”
jawabnya sambil menunjuk kepala dan dada.
“Apa itu
maksudnya?” tanyaku polos.
“Kepala.
Tepatnya isi kepala membuat stereotip. Sementara intuisi mempertimbangkan dan
kemudian memutuskan. Aku lihat wajahmu sehitam serbuk kopi,” jelasnya serius.
“Itu kata temanku.” Sony tertawa lagi.
“Biar kutebak.
Kamu mendengar dari temanmu. Benar, kan?” todongku.
“Iya, Choi.
Tapi aku paham. Intinya adalah kepala itu kebak dengan persepsi. Sementara hati
mengandalkan rasa atau intuisi. Persepsiku sesuai yang kulihat. Hitam. Pekat.
Tapi ini sifatnya bercanda. Tidak boleh emosi, Choi,” urainya.
Aku membuat
jeda. Sementara Sony sibuk membetulkan duduknya. Ia juga tampak akan berdiri.
Membetulkan celananya yang amburadul. Perut besarnya seperti akan meledak.
Pesanan siap
diambil. Kasir meneriakkan nomor pesanan kami. Sony merespon dengan cepat. Ia
berdiri. Lalu berlalu dari meja.
Aku
mengamatinya baik-baik. Benar. Ada intuisi di sana. Ada kesamaan di sana. Ia
temanku. Ia sahabatku. Kelak, aku tidak akan terpisahkan dengannya.
Di SMA, aku
tidak pernah mendapat pelajaran filsafat. Yang ada hanya tokoh-tokoh politik
dan pakar hukum tata negara semisal Thomas Hobbes, Jhon Lock, JJ. Rosoe, dan
yang paling tua adalah Aristoteles. Aku tidak mendengar sedikit pun tentang Al
Ghazali atau Ibnu Rhusyd, yang keduanya terlibat argumen panas soal intuisi.
Aku mengenal
mereka dari bacaan yang kudapat dari seorang teman. Ia penggila filsafat. Ia
pemuja Ibnu Rhusyd dan Ibnu Shina tapi ia kurang simpati dengan Al Ghazali.
Bagiku itu lumrah. Tidak jadi soal. Pendapat bisa berbeda.
Ia teman yang
baik, katanya, “Al Ghazali adalah filosof yang tiada tanding. Kekuatan
intuisinya tidak ada yang menyaingi. Ia sekelas dengan Syekh Abdul Qadir Al
Jilani. Tapi beda wilayah ilmu.”
Aku hanya bisa
mengangguk. Sebab aku tidak paham. Al Ghazali bagiku adalah sekadar nama yang
silih berganti mampir di telingaku. Aku tidak tahu siapa ia. Ia di mana. Atau
bagaimana pandangan hidupnya.
“Baca buku ini,
Choi. Kamu akan tahu siapa Al Ghazali.” Ia menyerahkan buku itu. Aku baca. Dan
tema besarnya adalah: Kekuatan Intuisi.
Sony dan aku
memang makhluk asing. Kami sama-sama terdampar di dermaga ilmu. Jalur kami
beda. Tapi intuisi kami sepertinya sama. Tarik-menarik. Saling mengisi dan
mengenal.
Sony kembali
dengan dua cangkir kopi.
“Bagaimana kamu
menjelaskan tentang intuisi?” todongku cepat saat ia belum sempat mendudukkan
bokongnya.
“Lihat kopi
ini!” pintanya
“Ada apa dengan
kopi?’ tanyaku balik.
“Kenapa kamu
bisa suka?”
“Karena rasanya
enak.” Cepat, aku menjawab pertanyaannya.
“Itulah
intuisi. Kopi itu enak. Tapi tidak semua manusia meminumnya. Sebab mereka tidak
memiliki intuisi untuk rasa kopi. Sederhananya seperti itu,” jelas Sony tenang.
Tapi membuat kepalaku sedikit pening.
“Sudahlah.
Pusing kepalaku mendengar tentang intuisi. Mending menikmati kopi,” tukasku.
Sony mengangguk. Dan tersenyum ringan.
Warung Sastra
semakin bertambah pengunjungnya. Warung itu tidak mengenal libur panjang.
Sebab, baik hari masuk maupun libur warung itu tetap ramai pengunjung.
Aku menuangkan
kopi ke lepek. Aku isap dalam-dalam aroma kecenya. Aku melayang. Benar kata
Sony, mencintai kopi harus dengan intuisi. Sony melirikku sejenak. Ada senyum
senang tercipta dari bibirnya.
Menit terlewat.
Aku melihatnya. Mereka berjumlah dua orang. Mengambil duduk tepat di depanku.
Sony cuek. Tidak peduli. Tapi dua mataku tidak bisa lepas dari mereka. Padahal
aku tahu, tidak ada yang aneh atau spesial dari dua orang itu.
Tiba-tiba saja
aku berkalimat. Lirih. Hampir tak bersuara. Kalimat itu tentang intuisi. Ya.
Itu tentang intuisi. Aku meneriakkannya dalam hatiku. Kencang. Berapi-api.
Seperti bisikan gaib. Aku mendengarnya. Aku merasakannya. Kelak, dua manusia
itu akan dekat denganku. Begitu katanya.
Sony melihatku
tajam.
“Ada apa,
Choi?”
“Aku mulai
percaya jika intuisi itu memang nyata. Ada. Aku merasakannya,” jawabku
berapi-api. Penuh semangat. Tapi Sony seperti membeku. Ia tampak tidak peduli
sedikit pun dengan apa yang baru saja aku ungkapkan.
“Apa yang kamu
rasakan?” ia bertanya lagi.
“Lihat. Dua
orang itu. Hatiku mengatakan mereka akan menjadi penggenap kita.” Lirih, aku
menjawab pertanyaannya.
“Ha ha ha. Kamu
pandai juga berpuisi, Choi.” Sony tertawa lebar. Tubuh gendutnya membuat gempa
di meja kami.
“Ini tentang
intuisi, Son. Kamu yang mengenalkan padaku. Tapi kenapa kamu bisa ingkar
sekarang, hah?”
“Aku percaya
intuisi. Sangat percaya. Tapi ya harus logis. Tapi tidak ada salahnya juga kamu
berandai-andai,”
“Yowes. Mumet
sirahku mungsuh wong sastra,”[1]
tukasku.
Sony memilih
menuang kopi ke lepek.
Ada keheningan
di antara kami. Tapi, hari itu menjadi hari yang sangat spesial bagiku. Di hari
yang sedang malas-malasnya mengikuti serangkaian kegiatan wajib bagi Maba,
Tuhan mengirimkan Sony. Dengan intuisi yang sama.
Tidak terasa,
jarum jam di WS; singkatan dari warung sastra, sudah menunjukkan pukul sebelas
siang. Jagongan di warung itu memang mengasikkan. Dua orang yang kutuduh
memiliki intuisi yang sama denganku masih juga belum beranjak. Aku melirik yang
ada di meja mereka. Kudapati dua gelas kopi yang sudah kosong. Asbak yang
tampak akan muntah serta kulit kacang goreng yang menghambur tak karuan.
Keduanya
seperti tidak memiliki waktu sebagai
pembatas kegiatan. Biarlah waktu berjalan sebagaimana semestinya. Tapi ia tidak
akan pernah bisa menjadi penghitung berapa lama mereka harus bertukar cerita di
warung itu.
Aku sudah tidak
bisa menahan diri. Aku berdiri. Lalu duduk satu meja dengan mereka.
“Boleh gabung?”
tanyaku sok akrab. Keduanya kompak mengangguk. Sementara Sony menggelengkan
kepalanya pelan. Geraknya menunjukkan tingkat ketidakpercayaan terhadap apa
yang aku lakukan.
“Silakan.”
“Mas juga
Maba?” tanyaku lagi.
“Iya. Maba.
Mahasiswa basi. Ha ha ha,” mereka tertawa lepas. Aku seperti orang bingung.
“Aku Riyan,” salah satu dari mereka mengenalkan diri. Uluran tangannya kuraih
dengan cepat.
“Choi,”
“Raka.”
“Choi. Jurusan
apa, Mas?” tanyaku tak bosan.
“Matematika.
Kamu?”
“Sarab!”
Keduanya lalu
saling pandang. Lalu terbengong. Dahi mereka juga bikin aksi.
“Memangnya, ada
di UM jurusan itu?” tanya Raka penasaran. Aku menyimpan senyum. Wajah seriusku
terpaksa kubuat mendominasi.
“Ada. Buktinya
aku!”
“Lalu masuk
fakultas apa?” tanya Riyan tak kalah penasaran.
“Sarab alias
Sastra Arab. Ha ha ha.” Tertawa, aku menjawab penasaran mereka.
Lalu jeda.
Disusul tawa mereka. Renyah.
“Sontoloyo!”
seru Raka.
“Kalau Mas Raka jurusan
apa?”
“Sama dengan
Riyan. Aku ambil matematika.”
“Semester?”
“Genap.
Semester dua. Kamu pasti Maba?”
“Benar.”
“Kabur?”
“Iya.” Bangga,
aku menjawabnya.
“Ha ha ha.
Raka, kita punya penerus. Generasi yang bisa diandalkan. Puji Tuhan. Puji
Tuhan.”
Aku terbengong
mendengar kalimat Riyan.
“Kos di mana?”
Raka bertanya.
“Jalan Terusan
Surabaya. Kalau Mas Raka?”
“Barangkali
kita seumuran. Tidak perlu ada embel-embel ‘Mas’. Panggil saja Raka. Aku dan
Riyan ngontrak di Jalan Veteran. Dekat masjid. Kami hanya dua orang.
Kebetulan, kontrakan kami naik harga. Kami butuh pesonil. Mungkin saja kamu
berminat.”
“Wah. Sayang
sekali. Aku sudah terlanjur membayar kos satu semester. Atau begini saja, jika
satu semester belum ada yang gabung, maka aku gabung. Bagaimana?”
“Setuju. Boleh.
Itu siapa?” tanya Raka sambil menunjuk Sony yang matanya hampir mengatub.
“Ia temanku.
Maba. Baru kenal. Mungkin ia mau diajak gabung. Coba, nanti biar aku ngomong
dengannya.”
“Baiklah. Aku
tunggu kabar dari kamu,” tukas Raka.
Aku mengangguk.
Kemudian kami bertukar nomor telepon. Sony hanya melirikku sebentar. Kemudian
kembali asik terkantuk-kantuk.
Aku pamit dan
berlalu dari Raka dan Riyan. Mereka melepasku senang. Barangkali, aku adalah
dewa penolong bagi mereka.
Intuisi. Benar.
Itu adalah intuisi. Tangan yang mengayun. Kaki yang melangkah. Bibir yang
menyapa adalah produk intuisi yang kadang manusia kurang memahaminya.
Aku menemukan
intuisi itu dalam diri Raka dan Riyan. Tebakanku mendekati kenyataan. Mereka
tidak akan terpisahkan denganku.
“Son.
Menurutmu, kita pulang apa ikut agenda ospek?” tanyaku sambil menepuk bahu
kanannya. Sony tergagap.
“Luna Maya!”
serunya kencang. Beberapa manusia di WS sempat mengarahkan pandangan mereka kepada
Sony, dan tentunya juga kepadaku.
“Kampret. Nglindur!”
Aku berseru. Sony sibuk mengusap ilernya yang meluber. Sebagian juga sudah ada
yang berpindah ke lengan bajunya. Uh. Menyedihkan sekali. Tapi Sony malah
tertawa lebar. Seperti tidak sedang terjadi apa-apa. Gila. Menurutku Sony gila.
Tapi mungkin saja aku yang gila. Masak iler saja diributin. Iya juga, sih. “Piye?
Pulang apa ikut agenda ospek?” Aku mengulangi pertanyaanku.
“Pulang saja,
Choi. Paling ya cuma pengarahan-pengarahan dari pejabat fakultas. Dan perlu
kamu tahu, kegiatan itu sungguh sangat membosankan.” Malas, Sony memberi
jawaban kepadaku. “Kamu bisa main PS?” tanyanya tiba-tiba.
“Bisa.” Cepat,
aku menyahut Sony.
“Kita sewa PS
saja bagaimana, hah?” Sony membuat ajakan yang sangat menggiurkan. Memang, PS
atau yang kepanjangannya playstation itu sudah kugilai sejak aku SMP.
Dulu, saat pulang sekolah, aku suka berlama-lama di persewaan PS. Menyewa?
Tidak. Lalu? Menonton yang lagi menyewa. Lalu keuntungannya adalah, ketika
detik mendekati NOL dan televisi sebentar lagi padam, maka aku bisa memegang
stiknya. Kala dulu, kegiatan itu sangat menyenangkan. Meski saat ini aku tahu,
jika itu sangat menjijikkan. Tapi aku tidak salah ketika itu. Sebab, selain aku
tidak mampu membeli PS, uang sakuku hanya cukup untuk membeli timus dan
es teh. Tragis. Tapi, ya sudahlah. Memang begitu takdirnya. Ujarku menenangkan
hatiku yang sedang menggelar konser.
“Setuju. Kita
berangkat sekarang?”
“Tidak. Tapi
tahun depan!” seru Sony sambil melangkah meninggalkan WS. Wajahnya menadadak
bundar. Di permukaannya seperti ada kepiting baru saja direbus. Aku memilih
untuk membungkam mulutku. Sebab aku takut, ketawaku tidak terkontrol. Lalu akan
dituduh sebagai penghinaan terhadap Sony. Tidak. Aku tidak ingin itu.
Sony melangkah
pelan. Tapi lebih cepat dari siput. Jika dihitung, Sony 2% lebih cepat dari
laju siput. Sebuah pencapaian yang Mahadahsyat.
Seperti
kebanyakan harapan orang, hari pertama ospek adalah pengalaman yang tidak pernah
bisa tergantikan. Sebab, mulai hari itu, masa depan mulai dipatok. Diberikan
sketsa. Diberi gradasi. Tapi menurutku, tidak seperti itu keadaannya. Bagiku,
masa depan itu sebuah keniscayaan. Tidak perlu dibuatkan sketsa. Atau diberi
gradasi yang tebal. Masa depan itu akan menjemput kita. Tinggal seberapa siap
kita menjawab jemputan itu.
Kami sudah
menjauh dari kampus. Ingar-bingar gelak tawa dan rasa bangga dari para Maba
sudah enyah dari telinga kami. Berganti deru keramaian rental PS yang hari itu
begitu penuh sesak dengan pengunjung. Rata-rata adalah mahasiswa yang sudah
bosan berkunjung ke kampung halaman. Jadi, masa liburan dihabiskan di sana.
Kata Sony, mereka kebanyakan berasal dari luar Jawa. Pulang mereka setahun
sekali. Tapi, sebagian dari mereka memilih tidak pulang.
Kami menyewa
satu televisi. Ukurannya 19 inci. 2012 sudah ada PS 3. Ia penggila bola. Dan
kebetulan sama sepertiku. Klub favoritnya adalah AS Roma. Sementara aku sudah
jatuh cinta dengan FC Barcelona sejak dahulu kala. Tiga pertandingan pertama,
Sony kubuat meradang. Klub jagoannya seperti ayam sayur. Sesuai kesepakatan,
kami menyewa selama tiga jam.
***
