Sabtu, 14 Januari 2023

Secangkir Kopi Untuk Hanna (Novel Series) - Luthfi Madu

***

Aku minta maaf, Bay, kataku di sela-sela makan malam kami.

Sudah lupakan saja. Itu tidak penting. Yang penting kamu masih laki-laki, sahutnya santai. Apakah Spanyol sudah tidak menarik lagi? tanyanya kemudian.

Bukan itu. Pelan, aku menjawab pertanyaannya.

Hanna?

Aku tak kuasa menjawab. Nama indah itu membuatku kaku. Abay sahabat yang selalu bisa mengerti isi hatiku. Aku menunduk. Kemudian pamit untuk meninggalkan meja makan. Aku lihat, Abay menyusulku.

Aku mengambil duduk di beranda. Udara malam yang sejuk menyentuh keningku.

Kamu jangan cengeng, Faya! Apa gunanya sepuluh tahun sembunyi di Spanyol jika kamu masih saja seperti ini, ujar Abay sambil menepuk bahu kananku. Lalu mengambil duduk di sebelahku.

Nama itu, Bay. Nama itu. Hanna. Andai kamu tahu! Suaraku parau.

Aku tahu. Tapi aku muak lihat kamu seperti itu. Aku tanya, kenapa kamu tiba-tiba saja meninggalkannya? Bukankah ia sangat butuh dirimu ketika itu?

Abay bukan saja tidak iba, tapi ia juga menyalahkanku. Kepergianku ke Spanyol adalah keputusan bodoh di matanya. Tidak. Tidak, Kawan. Bukan begitu kebenarannya. Banyak hal yang sengaja kusimpan.

Terjadi perdebatan yang sangat hebat dalam hatiku. Tentang kejujuran, atau tetap menyimpan rapat rahasia itu. Kepergianku. Atau, kenapa aku harus meninggalkan Hanna.

Aku jujur, maka aku melanggar sumpahku. Aku tetap menyimpan rahasia ini, maka Abay akan terus menyalahkanku.

Kenapa kamu diam? tanyanya galak. Aku berkeringat dingin. Bagaimana kamu bertanggungjawab? Faya! Kamu dengar aku ngomong, kan?

Iya. Iya aku dengar. Sebaiknya kamu jangan terus menyalahkanku, Bay. Silakan duduk. Mari kita bicara baik-baik, ajakku. Aku ingin mendinginkan suasana. Abay menurut. Tapi wajahku hanya bisa menatap langit. Tak mampu menatap wajahnya.

Apa yang ingin kamu katakan? desaknya lagi.

Saat itu, saat menjelang petang. Hanna datang menemuiku. Ia tidak berbicara apa-apa. Hanya diam. Aku mendesaknya. Ia tetap bungkam. Lalu pergi meninggalkanku. Aku mengejarnya. Ia sudah tidak ada. Dan pada pagi buta, besoknya, aku ke rumahnya. Namun rumah itu tidak berpenghuni lagi. Rumah itu bukan rumahnya lagi. Rumah itu sudah berpindah tangan. Aku sangat putus asa. Aku tak tahu harus mencarinya ke mana lagi ketika itu, uraiku panjang. Abay diam. Tidak menyela sedikit pun. Tampaknya, ia sedikit menyesal karena sudah menyalahkanku. Ketika itu, aku sudah mati. Benar-benar mati, Bay! sambungku emosional.

Kenapa kamu tidak mengubungiku?

Ketika itu, aku hanya bisa terlentang. Kak Sameera sangat ketakutan. Dan aku tak ingat siapa pun. Aku hanya bertanya, kenapa Hanna bisa begitu tega meninggalkanku?

Jadi, kamu menyalahkan Hanna?

Bukan begitu maksudku. Aku tidak pernah menyalahkannya. Aku hanya terus bertanya. Kenapa Hanna harus meninggalkanku?

Abay menepuk bahuku. Ia melunak. Rasa ibanya mulai berjatuhan seperti rintik hujan di depan kami.

Lalu bagaimana kamu bisa pergi tanpa kabar? Apa aku tidak kamu anggap teman lagi?Abay terus mengintrogasiku.

Kak Sameera, Bay. Ia yang menginisiai kepergianku ke Spanyol. Itu memang pilihan yang paling baik. Kak Sameera tahu, jika aku memaksa diri untuk terus bertahan di Malang, maka aku bisa gila. Kak Sameera tidak ingin itu terjadi. Kami hanya dua bersaudara. Ia yang merawatku sejak kecil.

Dengan jalan tidak pamit?

Semua terjadi begitu cepat. Aku tidak ingin membuatmu susah dengan keadaanku. Aku merahasiakan ini darimu. Bahkan, Kak Sameera juga harus berjanji menelan semuanya. Dan kamu tahu?

Apa?

Sepuluh tahun itu tidak bisa menyembuhkanku. Aku semakin gila. Hanna, Hanna, dan Hanna. Ia membara di sini. Aku menunjuk dadaku.

Lalu tujuanmu ke sini?

Hanya kamu sahabatku. Aku tidak memiliki siapa-siapa lagi selain Hanna, Kak Sameera, dan kamu. Aku minta maaf. Aku akui, aku memang salah. Tapi semoga, kamu bisa mengerti, kataku memohon. Aku ingin mencari Hanna. Di mana pun ia berada, lanjutku.

Jika ia sudah tidak ada?Abay melemparkan pertanyaan yang sangat menakutkan. Hatiku bergetar hebat. Itu tidak mungkin, Hanna. Kau pasti sedang baik-baik saja. Aku pasti menemukanmu.

Aku tidak ingin menjawab. Aku hanya ingin mencarinya.

Apa yang bisa kubantu?

Jika tidak keberatan, kita temukan Hanna bersama-sama. Ia juga mengenalmu dengan sangat baik. Hanna adalah kita. Kita bertiga. Kita hidup di dunia yang sama. Kamu tentu masih ingat, saat kita makan bertiga di kantin sekolah itu? Kita selalu di sana saat bel istirahat berteriak kencang.

Tidak perlu bernarasi Panjang lagi. Besok, kita temukan Hanna!

 

Menembus Batas

Aku merasakan malam yang sangat panjang. Tak sedetik pun mata ini mengatup. Aku hanya melihatmu, Hanna. Kau tersenyum manja. Seperti yang dulu. Lalu mengajakku menikmati hari yang sudah menua. Saat udara dingin, aku meminjamkan jaketku. Lalu kau berbisik tentang esok hari yang tak pernah sepi. Waktu yang berjalan merambat, dan bianglala selalu hadir di sore hari. Kau juga kadang menari. Gerak tubuhmua adalah bahasa. Kau seoalah berbicara: Panjangkan umur kami!

Pagi menjelang. Aku menatap ke atas langit. Awan sudah berkejaran di atas sana. Abay sudah siap segalanya. Kami berangkat.

Kita ke Malang. Sekarang juga. Dingin, Abay membuat keputusan.

Naik kereta?

Bus. Sampai di Malang, kita pinjam mobil Kak Sameera.

Iya. Aku mengangguk.

Kami bergegas ke Malang. Kami menumpang bus jurusan Surabaya. Aku seperti mengulang perjalananku kemarin hari. Tapi bedanya, pagi itu kami turun di Jombang. Dan dari Jombang, kami akan menumpang bus mini jurusan Malang. Rencananya, kami akan meminjam mobil Kak Sameera. Entah sampai kapan. Aku tidak peduli. Sebab, aku hanya mempunyai satu tujuan: Hanna!

Bus menuju Malang begitu lambat. Rasa gelisahku susah sekali didiamkan. Abay seperti patung. Ia pulas, meski bus sesak dengan napas manusia. Sejak dulu. Ia selalu seperti itu.

Aku mengenalnya saat kami menjadi siswa baru di SMA 6 Malang. Ia pendatang. Sementara aku tuan rumah. Ia memang tidak boros bicara. Ia selalu tenang. Tapi akan menjadi sangat marah jika ia diusik.

Aku langsung klop dengannya. Aku suka diamnya. Perhitungannya. Ia adalah pelengkap kami; aku dan Hanna. Ia datang sebagai penyeimbang. Ia menjadi tujuan kami saat kami dalam masalah. Ia bicara adil. Tidak pernah memihak. Katanya, ia hanya ingin kami baik-baik saja. Tidak saling menyakiti dan hidup bahagia selamanya.

Kamu istirahat dulu. Pencarian ini akan memakan banyak waktu dan tenaga. Jangan sampai kamu sakit. Sebab itu akan menjadikan pencarian ini sia-sia. Tenangkan dirimu.Abay menasihatiku di sela-sela tidurnya. Aku menduga, semalaman ia juga terjaga. Ia ingin memastikan aku baik-baik saja. Ia tidak berubah. Persahabatan adalah saling mengasihi dan menjaga. Kalimat ini kerap kali ia perdengarkan pada kami. Dan, hari ini aku melihatnya lagi. Jika Hanna tahu, ia pasti sangat bahagia. Tapi kau di mana, Hanna?

Tidak terasa. Dua jam terlewat sudah. Perjalanan kami sudah sampai di Batu. Jika tidak ada halangan, maka setengah jam lagi kami sudah berada di Ladungsari Malang. Dari terminal itu, kami akan menumpang angkot menuju Gadang; rumah Kak Sameera.

Aku tidak bisa tidur. Mata ini tidak ingin mengatub. Keduanya menatap lekat Hanna. Ia sedang menari. Aku menerawang.

Jangan gila, Faya. Kamu jangan gila! Hanna tidak ingin kamu seperti ini. Aku yakin. Ia ingin kamu kuat. Ia menasihatiku lagi. Aku tidak menasihatimu, Faya. Jangan pernah berpikir seperti itu. Aku hanya ingin, kamu baik-baik saja. Tapi jika ternyata kamu memilih gila, ya silakan. Itu bukan urusanku. Suaranya sedikit meninggi.

Aku tahu itu, Bay. Aku tahu, sergahku cepat.

Bus akhirnya belok ke terminal. Dan berhenti. Kami lekas turun. Dan langsung mencari angkot jurusan Gadang.

Angkot masih sepi. Penumpangnya hanya aku dan Abay. Ditambah satu ibu-ibu. Biasanya, angkot akan melaju setengah jam lagi. Waktu yang lama, gumam Abay pelan.

Angkot melaju. Pelan. Penuh perhitungan. Abay kembali mengatubkan dua matanya. Ia tidak peduli dengan bising sekitar. Baginya, semua tempat adalah ranjang yang empuk. Bisa menelan semua kantuk yang tidak bisa dibendung lagi.

Landungsari-Gadang lumayan jauh. Jika sepi, empat puluh lima menit bisa sampai. Tapi jika jalanan padat, maka bisa membengkak sampai satu setengah jam.

Hanna. Kita sering melintasi jalan ini. Kita suka sekali iseng menumpang angkot tanpa tujuan yang pasti. Ke mana pun angkot itu berjalan, di situlah tujuan kita. Kita tidak pernah peduli dengan waktu yang membabat habis hari. Saat gelap datang, kita baru pulang. Dan di rumah, kita sama-sama kena omelan yang –menurutku- serupa hiburan.

Hanna. Apakah kau masih akan mengingatnya? Ketika dulu, saat kita melakukan keisengan, kita pernah dituduh oleh sopir angkot sebagai pasangan yang sedang sibuk mecari peginapan untuk berzinah. Kau tertawa lebar. Tidak ada kemarahan sedikit pun dalam wajahmu. Kau anggap itu sebagai guyonan yang sangat lucu. Pak Sopir mengerutkan keningnya melihat kau tertawa. Ia pikir, kita juga sudah gila. Tapi aku buru-buru menjelaskan padanya tentang cara kita menikmati kebersamaan. Pak Sopir lantas tersenyum. Lalu malah mengajak kita mengumpulkan penumpang. Sebagai gratifikasinya, kita tidak perlu membayar ‘argo’ angkot. Sejauh apa pun angkot melangkah. Ah. Menyenangkan sekali, Hanna. Tapi sekarang kau di mana? Apakah kau tahu, langit akan segera runtuh?

Angkot menepi. Kami turun. Rumah Kak Sameera masih setengah kilo lagi. Gadang Regency nama perumahannya.

Aku lihat tubuhmu semakin habis, komentar Abay tentang tubuhku. Aku hanya bisa mengulum senyum. Banyak hari yang tidak bisa kunikmati di negara Matador itu, Kawan. Hari berlalu, yang ada hanya kepedihan yang silih berganti. Hingga pada suatu malam, peristiwa itu terjadi. Rose dan Wine merupakan lembaran yang baru.

Iklim di sana kurang cocok dengan tubuhku, sahutku sekenanya. Abay kembali diam. Hanya kakinya yang sibuk melangkah.

Rumah Kak Sameera sudah terlihat. Abay bertambah semangat. Aku yakin, bukan karena Hanna. Ia hanya ingin bernostalgia dengan keluarga kami. Khusunya kepada Kak Sameera. Aku menduga, sejak aku hidup di Spanyol Abay jarang berkunjung ke Malang.

Kami sampai. Aku langsung masuk ke halaman rumah. Pagar tidak pernah dikunci. Aku tahu itu.

Pintu menutup rapat. Aku mengetuknya. Baru sekali saja. Gagangnya kemudian berputar dan pintu terbuka lebar. Kak Sameera menyambutku. Wajahnya sedikit berpeluh. Aku tahu, ia pasti baru saja Yoga. Itu hobinya sejak dulu. Kata Kak Azka, tubuh Kak Sameera sangat indah.

Kok, sudah kembali? tanyanya heran padaku. Katanya akan pergi lama, sindirnya kemudian.

Kak ..., sapa Abay cepat.

Siapa? tanya Kak Sameera cepat. Ia tidak menyadari ada orang lain selain aku. Kak Sameera bergegas melongokkan kepala mencari sumber suara.

Eh. Abay. Apa kabar? sapanya ramah. Aku menelan ludah. Masuk-masuk. Kakak ganti pakaian dulu.

Ini rumah baru? tanya Abay sambil mengedarkan pandangan ke semua sudut rumah. Rumahnya asri. Dingin. Pasti aku banyak tidur jika tinggal di sini, ujarnya menambahi. Wajahnya begitu ceria. Kontras sekali saat kami berada di bus dan angkot. Aneh. Aku tidak bisa menjangkaunya. Ia selalu begitu sejak dulu.

Tiba-tiba saja aku memikirkan sesuatu yang selama ini tidak pernah ada rencana untuk memikirkannya. Sebab itu sangat mustahil terjadi. Abay tidak mungkin memiliki perasaan itu. Memang, usia mereka terpaut agak jauh. Tapi cinta apa pernah mengenal logika? Tidak. Ketika itu Hanna menjawab sangat tegas. Dari dulu, aku tidak pernah mempercayainya. Tapi kali ini, apa yang diprediksi Hanna mulai jelas. Aku tidak ragu lagi.

Kamu selalu ceria saat melihat kakakku. Apa yang kamu pikirkan tentangnya? Aku menodongnya cepat. Abay tampak gelapan. Ia terlihat begitu terpojok.

Aku tidak pernah berpikir apa-apa. Wajar jika aku ceria. Kalian sudah lama kukenal. Bahkan lama sekali, jawabnya tenang. Aku kehabisan cara. Biarlah, bujukku dalam hati. Masih banyak waktu untuk membincangkan ini. Aku hanya butuh kamu, Hanna. Kau di mana?

Kak Sameera sudah kembali. Tapi Zaidan tampak tidak ada.

Zaidan di mana, Kak? tanyaku.

Jalan-jalan ke Matos sama Abinya, jawab Kak Sameera pelan. Lalu mengambil duduk berhadapan dengan kami. Sebaiknya kalian makan dulu. Belum makan, kan?

Tidak, Kak, jawabku cepat. Mobil Kak Azka ada, Kak?

Ada.

Tak pakai dulu, ya, Kak. Mungkin sampai semingguan.

Pakai saja. Mas Azka tidak terlalu butuh. Hanya pas liburan saja mobil itu dipakai,sahut Kak Sameera tenang. Apa kabar Abay? tanyanya kemudian.

Baik, Kak. Kak Sameera sendiri bagaimana?

Juga baik. Kapan kalian berangkat?

Sekarang! sahutku cepat. Kak Sameera mengangguk.

Sebentar. Aku ambil kuncinya dulu, kata Kak Sameera sambil berlalu dari kami.

Aku melirik Abay kemudian. Wajahnya masih berseri bahagia. Dua ekor matanya tidak lelah memungut langkah pelan Kak Sameera. Kenapa kau tidak mau jujur, Kawan?

Aku semakin tidak sabar dengan pencarian ini. Semoga Tuhan masih memberiku kesempatan. Hanna, semoga kau baik-baik saja. Semoga kau mau memaafkanku.

Hari terus merambat. Zuhur menjelang. Kak Sameera kembali dengan membawa kunci mobil. Lalu memberikannya kepadaku. Abay terpaku. Matanya tidak bisa lepas dari Kak Sameera.

Berangkatlah kalian. Semoga Hanna bisa kalian temukan. Aku mendukungmu, Faya. Maafkan Kakak jika dulu aku meragukan pilihanmu. Dan maafkan juga jika dulu aku memaksamu menjauh dari kota ini, ujar Kak Sameera panjang. Aku hanya terdiam. Kemudian pamit. Begitu juga dengan Abay. Langkah kakinya begitu berat. Aku tahu itu. Tapi semuanya sudah terlambat. Kak Sameera sudah berkeluarga. Kak Azka memang laki-laki baik. Tapi rasa curigaku terhadapnya belum juga pupus. Semoga kau selalu bahagia, Kak Sameera. Doaku dalam hati.

Hardtop warna kuning itu berdiri gagah di garasi. Penampilannya yang garang, semakin mengukukuhkan kegagahannya. Mobil itu telah menjelajah ke mana-mana. Dan kali ini, ia akan kuajak mencarimu, Hanna. Di mana pun kau berada.

Mobil kunyalakan segera. Butuh seperempat jam untuk membuatnya siap jalan. Abay menunggu dengan gelisah. Gelagat tubuhnya memberitahuku, jika ia enggan sekali berpisah dengan Kak Sameera.

Bagaimana jika pencarian ini gagal? tanyaku ragu. Abay segera menabrakkan dua alisnya.

Dari dulu kamu selalu begitu, Faya. Kita jalan saja. Selebihnya kita pasrahkan kepada Tuhan. Ia Maha Baik. Bijak, Abay menelorkan sebuah nasihat untukku.

Bagaimana dengan Kak Sameera? todongku.

Sebaiknya kamu jangan menuduhku yang aneh-aneh, jawabnya tegas. Segera jalan. Mumpung hari masih siang, tukasnya. Aku hanya bisa mengangguk. Kemudian melajukan mobil. Tujuan kami adalah rumah Hanna yang dulu. Rumah yang sering membuatku bergetar saat melintas di depannya. Rumah yang dulu menyemai benih-benih rasa ini. Aku masih ingat semuanya. Terbingkai rapi di kepala ini. Semuanya. Tidak ada yang terhapus.

***

Belokan itu tidak berubah. Tetap telanjang. Terlalu menikung. Siku bentuknya. Jika malam, belokan itu terlihat seperti jalan lurus karena saking gelapnya. Banyak orang yang melintas tiba-tiba saja jatuh di belokan itu. Tapi masyarakat terlanjur mempercayai mitos itu. Kata mereka, belokan itu ada penunggunya. Aku katakan pada Hanna, jika penunggu belokan itu adalah Tuyul. Ia tidak khitan. Kerjaannya begitu rendah. Ia hanya bisa mencuri uang dengan nominal yang sama. Ia juga nyaris telanjang. Hanna hanya terpingkal-pingkal ketika itu.

Hari masih terang, belum terlihat tua. Kami telah melewati belokan itu. Abay menangkap gelagat aneh di keningku. Bibirnya yang dingin tiba-tiba saja mencetak senyum.

Tentu kamu masih ingat dengan belokan itu? Belokan mitos. Senyum itu berganti tawa. Sejak kemarin, aku belum melihat tawa itu. Dari kemarin ia hanya membatu.  Keras, kukuh, siap meremukkan kepala. Aku juga melihat iba di garis matanya. Jangan. Jangan kamu iba kepadaku. Aku masih kuat. Aku bisa mengatasi keadaanku. Tenang saja. Kamu tenang saja, Kawan. Selama laut masih biru. Selama awan masih memiliki gulungan. Maka, aku masih bisa berdiri. Itu janjiku.

Aku menarik napasku pelan. Aku pernah membuat Hanna tertawa di belokan itu. Kamu tahu? seruku penuh semangat. Ada kekuatan lebih mengalir dalam nadiku. Saat itu, aku katakan padanya. Jika penunggu belokan itu adalah Tuyul. Aku tegaskan kepadanya. Abay tidak merespon. Ia hanya menggantung senyum. Percayalah, Kawan. Apa yang aku katakan padamu itu fakta. Aku tidak pernah bicara dusta jika menyangkut Hanna.

Abay tiba-tiba saja menatapku sangat lekat. Sebentar lagi kamu gila. Huft. Betapa membosankannya, jika tiap Minggu aku harus datang ke Lawang. Mengunjungimu di rumah sakit Dr. Supratman. Aku pasti melihatmu berpenampilan kayak tuyul. Hanya mengenakan cawat. Menusuk sekali kata-katamu, Bay. Tapi aku melihat wajahmu menampilkan canda. Atau, mungkin kamu memang sengaja membuatku tertawa? Sulit. Sulit sekali, Kawan. Apa aku bisa tertawa jika Hanna entah di mana? Jawab! Jawab sekarang, Kawan!

Abay menggeser tubuhnya. Sedikit menempel. Lalu berkata lirih, Baru kali ini aku salut kepadamu. Kamu tidak sia-sia menghilang ke Spanyol jika nyata-nyatanya kamu begitu rapat menggenggam harap itu. Cinta itu. Seperti guyuran hujan di musim panas. Kejadian yang sangat paradoks. Tapi Abay tidak main-main mengatakan itu. Dingin sekali, Kawan. Hujanmu tidak hanya membasahi kemarau ini. Tapi rintiknya juga menganak sungai. Jernih sekali airnya.

Aku terpaku. Abay menggeser kembali tubuhnya. Deru mesin paling bersemangat di antara kami. Lalu semuanya menjadi hening. Sebab sebentar lagi, kami sampai di rumah Hanna.

Mobil berhenti. Abay turun dengan sangat yakin. Sementara aku tersandera oleh perasaan ragu yang sangat besar. Aku menatap rumah itu sangat lekat. Seperti sebuah kesunyian. Hanya itu yang aku temukan.

Abay menoleh kepadaku dengan cepat. Apa yang kamu tunggu? ia berseru kencang. Aku menggeleng. Seperti anak kecil yang tidak mengerti harus memberikan jawaban apa. Sejuk semilir menerpa keningku. Lalu mengajakku untuk lekas turun dari mobil gunung milik Kak Azka itu.

Aku menurut. Sudah kubilang kemarin. Rumah itu sudah berpindah tangan.

Memang itu tujuan kita. Dari mereka, kita bisa melacak pemilik rumah itu sebelumnya; yang mudah-mudahan adalah Hanna. Baru saja aku salut kepadamu. Tapi sekarang kamu membuatku jadi manusia yang teramat bodoh. Waktu kita tidak panjang. Mari kita masuk!

Aku terdiamkan oleh semangat yang membara di dada Abay. Ini menjadi paradoks lagi. Aku menjadi lemah. Tenaga itu di mana? Keraguan memang serupa bencana.

Kami berdiri di depan rumah Hanna. Pagar seperti sengaja dibiarkan terbuka. Kami masuk dan langsung mengetuk pintu. Satu ketukan, pintu membuka. Tubuhku seperti tersengat listrik. Hampir saja aku tidak bisa menguasai diriku. Abay menatapku penuh amarah. Lirikan matanya sangat tajam. Pandangan yang sangat mengancam. Aku goyah. Abay seperti memberiku isyarat untuk berbicara. Tapi aku menjawabnya dengan mengunci bibirku yang kelu rapat-rapat. Sekilas, aku melihat Abay ingin segera kabur dari rumah itu.

Nyari siapa? tanyanya sangat ramah. Suaranya sejuk. Seorang ibu melongkokkan kepalanya sopan. Rambutnya sudah ada ubannya. Tapi matanya begitu tegas. Silakan duduk. Ia mengajak kami untuk masuk dan duduk di ruang tamu. Sementara ia izin untuk masuk ke dalam sebentar.

Beberapa detik, ia kembali. Sebuah kerudung warna merah menutup kepalanya. Kami melempar senyum segan.

Kami mohon maaf sebelumnya. Jika tidak keberatan, apakah kami boleh tahu siapa pemilik rumah ini sebelum Ibu?Abay bertanya langsung. Tidak ada keraguan yang terpancar dari rangkaian kalimatnya. Udara sejuk menggoda kami. Sejuk. Menidurkan mata.

Pak Syaif. Ibu itu mengamati kami lekat-lekat. Mendeteksi niatan kami. Dan juga memastikan jika kami bukan perampok. Kau benar, Ibu. Kami bukan perampok. Namun, satu di antara kami sedang sakit parah. Berikan jawaban itu, Ibu. Berikan air itu. Rasa haus ini ingin membunuhku segera. Tapi sayang sekali. Saya lupa menyimpan nomor teleponnya. Tapi tunggu sebentar! Ibu itu membuka ingatannya. Dua matanya menerawang sesuatu. Saya masih ingat. Pak Syaif pindah ke Banyuwangi. Lalu, Ibu itu berdiri. Kemudian meninggalkan kami dalam ketermenungan. Abay melihatku prihatin. Mendengar kota Banyuwangi, aku semakin kecil. Kota itu nun jauh di sana. Tapi apa aku peduli? Selama embusan angin masih bisa membuatku sejuk, maka dua kaki ini tidak akan pernah berhenti melangkah. Hanna, sejauh apa pun kau meninggalkanku, aku berjanji akan tetap menemukanmu. Hati ini sudah terlalu penuh luka. Dan kau menggenggam obatnya. Semuanya.

Ibu itu kembali. Ia di desa Lemah Abang. Kecamatan Kedayan, katanya.

Kami mengangguk. Terima kasih banyak, Ibu. Kami segera pamit. Maaf, telah merepotkan, Ibu.

Tidak ada yang direpotkan. Semoga kalian berhasil menemukannya.

Kami mengangguk lagi. Permisi. Assalamualaikum.

Waalaikum Salam, jawabnya.


Rabu, 11 Januari 2023

Secangkir Kopi Untuk Hanna (Novel Series): Luhtfi Madu

 

Saat Langit Mulai Gelap

 

Aku sudah mencarimu. Sejak dua hari yang lalu. Surat ini juga sudah terlanjur kutulis. Tapi tiba-tiba saja kau muncul di sini. Di hadapanku. Napasmu terengah-engah. Sesekali terputus. Kau kenapa, Hanna Istifada?

Aku masih ingat itu. Hanna. Indah. Seperti Firdaus yang Ia janjikan. Kalimat terakhirku sepertinya memang tidak ingin kau dengar. Sebab langit sudah terlanjur gelap. Kau berbisik. Pelan.

Aku mengangguk. Lalu mencoba meraih tanganmu. Tapi kau luput. Menghilang. Sejak saat itu, aku tidak pernah menemukanmu lagi.

Udara pagi ini terlampau dingin. Mengingatmu membuatku menjadi beku. Rindu ini teramat berat. Menumpuk. Lalu menggunung. Tinggi. Begitu tinggi. Tak terdaki.

Ini kopiku. Sengaja kutinggalkan di meja ini. Biar ia menjadi kenangan. Sebab, sebentar lagi aku tidak di sini. Aku harus menyerah di bumi ini.

Jadwal penerbanganku sebentar lagi. Tepatnya, dua jam lagi. Barang-barang sudah kukemas sangat rapi. Siap menyeberang benua lagi. Kutinggalkan semuanya. Apa saja. Atau tentang malam itu. Saat aku tidak bisa menguasai jiwaku. Kali pertama aku menegak Wine. Pemberian dari Rose. Ia cantik. Putih. Wajah Balkan-nya memikat banyak mata. Tapi tak berhasil memikatku. Bukan aku tidak tertarik. Tapi aku hanya ingin segera menikmati kopi pesanan kami. Aku dan Hanna. Dan beberapa tiupan angin kecil di kening. Di pelupuk mata. Di sela-sela jemari kami.

Tetiba saja pintuku terbuka. Rose menampakkan wajahnya. Dua matanya merah. Meski di luar sana sedang dingin-dinginnya, Rose tampak tak merasakan apa-apa. Lengan bajunya terbuka. Kulit putihnya berkilat-kilat. Kemudian mendekat kepadaku.

Ia meraih wajahku. Kemudian menempelkan bibirnya. Aroma alkohol menyeruak dari dalamnya. Ini adalah pagi. Tapi ia sudah teler. Kebiasaan selalu begitu. Tidak mungkin aku merusakknya, janjinya pada rintik sisa semalam.

Aku mendudukkannya pelan. Ia melempar senyum. Meski kesadarannya sudah tidak utuh lagi, ia masih menggenggam birahi. Rose salah memahami perlakuanku.

Aku menjauh. Rose tampak kesulitan melepas pakaiannya. Aku hanya bisa menggelengkan kepala. Ada apa denganmu, Rose?

Rose menyeringai saat bajunya sudah terlepas. Lalu behanya menyusul lepas. Ia melemparkan ke wajahku. Aku begitu terkejut. Jangan, Rose! Aku menyeru dalam hati.

Rose semakin tidak terkontrol. Ia merebahkan tubuhnya yang putih sekali. Perutnya yang rata mempersilakanku untuk menjilatinya seperti ketika itu.

Come on, Faya!” desah Rose. Suaranya hampir terputus.

No ...,” elakku.

Rose tidak menyerah.

***


 

Malang

 

Matahari sudah terlihat tinggi saat aku tiba di Malang. Aku seperti masih di pesawat. Berdiriku tidak seimbang. Barcelona-Jakarta terlampau jauh.

Aku meninggalkan Rose dalam ketermenungan. Ia tahu aku tidak akan pernah kembali. Dosa itu terus membayang di pelupuk mataku. Rose sepertimu, Hanna. Matanya semenajubkan matamu. Entah. Jatuh cinta seperti apa yang kurasakan dengan Rose.

Aku menuduh diriku sendiri. Aku telah menghianatimu. Tapi aku melihatmu, Sayang. Keningmu yang berkilat karena keringat terlukis jelas di keningnya. Rambutmu yang biasa tergerai menangkap embun tersaji manis di kepalanya. Andai kau tahu, Sayang. Tiada siksa yang lebih pedih selain menanggung rindu.

Malang. Hmm. Kota ini masih sama. Arjosari tetap asri. Aku pernah jatuh di terminal ini. Kaki kananku bengkak. Kau menangis ketika itu. Kau juga tampak takut sekali. Seragam SD-ku coreng moreng dengan debu. Kau usap keningku. Katamu, ada debu nakal yang mengganggu ketampananku. Aku hanya bisa tersenyum sebentar. Setelah itu, aku merintih. Perih sekali.

Wajah sesalmu begitu kuat menggaris di depan mataku. Aku tahu, kau yang mengajakku bermain di terminal ini. Padahal, sekolah kita lumayan jauh. Jika sekarang kuhitung, jaraknya hampir dua kilometer. Anehnya, kita tidak pernah merasa lelah. Aku masih ingat itu.

Kau di mana, Hanna? Bagaimana wajahmu saat ini?

Aku harus segera pulang. Ada rasa lelah yang harus kudiamkan.

Aku menumpang taksi menuju rumahku. Bukan di dekat Araya lagi. Tapi di Gadang. Jika dulu, Hanna di Blimbing, sekarang entah di mana.

Perjalananku singkat. Arjosari-Gadang sedekat pandanganmu, Sayang. Aku membuka pagar rumahku. Anak kecil –seumuran aku dulu- membukakan pintu. Dua matanya memicing. Ia sedikit ngeri melihatku. Aku menduga ia adalah Zaidan; putra pertama kakakku, Sameera.

“Faya ...!” Ada teriakan mendarat di kupingku. Suaranya serak. Tidak salah lagi. Kak Sameera.

“Aku lapar, Kak,” kataku sambil melempar jaket ke kursi. Sementara koper besarku masih teronggok pasrah di beranda rumah. Zaidan tampak ingin membawanya masuk. Tapi ia sungkan denganku.

“Zaidan ...!” panggilku. Ia menoleh cepat. “Ke sini!”

Ia berjalan cepat ke arahku.

“Bapak ini siapa?” tanyanya polos. Sepertinya Kak Sameera memegang janjinya. Ia tidak akan menceritakan tentangku kepada putranya.

Aku tertawa geli melihat kepolosan keponakanku itu, “Panggil aku Bapak ganteng!”

Ia menyeringai, “Masih gantengan Abi!”

“Mana orangnya?”

“Masih kerja!”

“Di mana?”

“Mengajar.”

Azka, kakak iparku, adalah seorang dosen di Unversitas Brawijaya Malang. Kepalanya yang depan sedikit botak. Kata Kak Sameera, Kak Azka terlalu memikirkan hal-hal aneh. Aku hanya bisa maklum. Studi Peradaban memang begitu. Aku pernah mempelajarinya. Di Edinburgh University of Scotland. Saat mengambil sort studies di liburan musim dingin.

“Apa rencanamu setelah ini, Faya? Kita hanya berdua. Tapi kau datang begitu tiba-tiba. Bahkan Zaidan tidak mengenalmu. Aneh. Kita keluarga aneh,” ceracau Kak Sameera sambil menghidangkan minum.

“Keanehan kita adalah kesempurnaan keluarga kita,” sahutku. Kak Sameera mengambil duduk di sebelahku. Kemudian mengacak-acak rambut ikalku.

“Zaidan. Sini. Ini Om Faya.” Kak Sameera memnggil Zaidan yang masih saja penasaran dengan koper besarku. Zaidan menoleh cepat. Kemudian berjalan menuju kami. “Ini Om kamu. Ayo! Sebah,” perintahnya kemudian.

Aku menangkap Zaidan hangat. Dan memeluknya erat dan lama. Aku ciumi wajahnya hingga rata. Rindu yang menahun purna sudah.

Aku melepaskan Zaidan yang sudah merasa tidak nyaman dengan pelukanku. “Aku tidak bisa lama, Kak. Aku harus segera menemukannya.”

“Makanlah dulu, Faya,” pintanya penuh harap.

Aku mengangguk, “Iya, Kak. Kan, aku sudah bilang jika aku lapar.”

***

Kak Sameera seperti enggan melepasku. Ia iba melihatku. Sepuluh tahun ternyata tidak bisa menyembuhkanku. Benar, Kak. Waktu bukanlah penawar yang baik buatku. Rindu ini akan tetap ada. Tetap menggebu.

Pagi buta, Kak Azka mengantarkanku ke Arjosari. Kali ini, aku akan menemui teman lamaku yang tinggal di Kertosono. Ia tahu segalanya tentang kami. Meski ia tidak pernah bisa menjawab, kenapa Hanna menghilang begitu saja. Lebih tiba-tiba dari datangnya embusan sejuk ini. Aku menghirupnya dalam-dalam. Arjosari akan kutinggalkan lagi. Aku melihatmu di situ, Hanna. Senyummu masih seanggun yang dulu. Wajahmu masih seteduh yang dulu.

Bus melaju cepat menuju Surabaya. Dan dari kota itu, aku hanya butuh tiga jam untuk sampai di Kertosono. Semoga, Abay –sahabat masa SMA-ku- masih mengenaliku. Aku lebih kurus dari yang dulu. Aku pecandu Wine. Tubuhku menjadi ringkih. Kak Sameera sempat meneteskan air mata saat kali pertama melihatku kemarin. Benar, Kak. Siksaan ini tidak hanya pedih.

Surabaya dengan ingar-bingarnya. Namun aku tidak peduli lagi. Begitu bus berhenti, aku segera mencari bus yang bertujuan ke Jogja. Kudapati bus itu masih sepi. Tapi tak sebanding dengan kesepian ini.

Sepuluh menit berlalu. Bus melaju. Pelan dan tenang. Namun sedetik berikutnya, bus melajau seperti kecepatan angin. Aku begitu terkejut. Tapi orang di sebelahku malah menertawaiku.

“Baru pertama naik bus ini ya, Mas?” tanyanya sambil menampilkan barisan giginya yang tak rata.

“Iya, Pak,” jawabku sambil mengangguk.

“Hanya bus ini yang dicari para penumpang,” katanya lagi. Aku mengangguk lagi. Lalu mengatubkan dua mata. Uh, Hanna. Kau di mana? Tidak terasa air mataku jatuh.

Aku menyesal, Tuhan. Andai saja aku bisa menahannya. Andai saja aku terus mencarinya. Andai saja aku tidak terbang ke Spanyol. Dan, tiba-tiba saja semua tampak gelap.

Satu jam terlewat. Dua mataku terbuka. Kota Mojokerto terdengar nyaring di telinga. Orang di sebelahku sudah tidak ada. Entah ke mana. Dan, bus melaju lagi. Masih secepat embusan angin. Hanna datang lagi. Kegilaan macam apa ini, Tuhan?

Satu jam terlewat lagi. Jombang mereka teriakkan. Tapi aku tidak sedang tidur. Kertosono sudah dekat. Aku tidak sabar lagi. Aku berdiri dan mendekati sang kondektur.

“Turun Jombang?” tanyanya dingin.

“Bukan, Pak. Saya turun Kertosono,” jawabku ragu.

“Masih jauh. Sampeyan duduk saja. Jangan berdiri. Nanti penumpang tidak mau naik.” Galak, sang kondektur memberi ceramah singkat kepadaku. Aku tergelak sendiri. Ini bukan Spanyol. Aku berbisik lirih dalam hati.

Bus menepi. Perempetan besar itu sedikit berubah. Sekarang menjadi ramai. Pengayuh becak menyemut mendekatiku. Aku hanya bisa melempar sedikit senyum. Bukan aku sombong, tapi aku memang tidak suka naik becak. Sejak dulu. Dan aku masih ingat apa yang dikatakan Hanna. Jangan pernah naik becak! Aku tidak pernah bertanya, mengapa? Aku hanya bisa mengangguk. Kemudian memegang janji itu. Hanna lalu tersenyum simpul. Cantik sekali. Huft. Kau di mana, Hanna?

Aku masih ingat, ada pangkalan ojek di sana. Semoga saja masih ada. Sepuluh tahun bukan waktu yang sebentar. Bayangkan, selama itu pula aku menabung rindu. Penuh. Hati ini begitu penuh dengan rindu itu. Kau di mana, Hanna? Di mana?

Aku menghela napas lega. Pangkalan ojek itu bukan hanya masih ada, malah sekarang menjadi berkembang. Pangkalan itu sekarang cantik.

“Ojek, Mas?” tawar salah satu dari mereka. Seorang Bapak yang –menurutku- sudah lanjut usia. Kisarannya adalah enam puluh lima tahun. Ubannya sudah menyebar di kepalanya. Tapi aku lihat, bahunya begitu kukuh. Tidak menyerah sedikit pun dengan usianya. Ia petarung sejati. Penantang waktu yang terus menggigit usianya. Dan juga semangatnya.

“Iya, Pak,” jawabku sambil tersenyum kecil. Bapak-bapak yang lain seperti menatapku heran. Mungkin mereka melihat pakaianku yang semrawut. Atau mungkin juga wajahku yang sudah mengalami evolusi. Dari Nusantara menjadi Eropa. Ah, tapi rasanya itu tidak mungkin. Meski aku berdarah campuran, wajahku tetap saja ‘ndeso’.

“Ke mana?” tanya Bapak ojek.

“Jalan Mangga No. 23, Pak.”

Bapak ojek mengangguk. Kami melaju dengan tenang dan pelan. Aku yakin, Bapak ojek itu sudah tidak bernafsu lagi untuk menjadi pembalap. Semoga saja.

“Mas dari mana?” tanya Bapak ojek di tengah-tengah perjalanan.

“Malang.” Sedikit berteriak, aku menjawabnya. Bapak itu mengangguk.

Sepuluh menit berlalu. Motor kami belok. Masuk ke Jalan Mangga. Aku meminta berhenti. Biar aku jalan saja. Kataku pada Bapak ojek. Ia mengangguk. Lalu berlalu dariku setelah menerima apa yang menjadi haknya.

Aku sedikit gerogi akan bertemu sahabat baikku itu. Ia pasti akan marah sekali. Sebab aku pergi tanpa kabar. Dan sekarang tiba-tiba saja muncul. Dan selama supuluh tahun itu, aku tidak pernah menyapanya. Meski, Kak Sameera beberapa kali bilang jika ia mencariku. Aku juga tetap diam. Andai kau tahu, Kawan. Aku benar-benar sakit. Sekarang, aku mencoba sembuh. Kau pasti mengerti.

Aku berjalan lurus ke ujung jalan. Perkampungan itu kecil dan sempit. Rumah-rumah tidak memiliki jarak lagi. Dan rumah sahabatku berada di ujung jalan.

Kampung itu masih saja asri. Tidak ada yang berubah. Sepuluh tahun tidak menimbulkan dampak apa-apa. Aku lihat gardu itu. Dulu, aku sering tidak tidur di tempat itu. Berbincang sampai pagi dengan Abay. Satu tema: Hanna. Karena itu, hanya ia yang tahu tentang Hanna. Tentang kami. Tentang kisah kami. Dan tentang perpisahan kami.

Aku sudah sampai. Tiba-tiba saja, rasa ragu datang begitu saja. Pintu pagar menutup. Tapi tidak terkunci. Ingin saja kusudahi semuanya. Tapi rasanya, dua kaki ini membawa beban yang sangat berat. Aku susah sekali melangkah. Murka Abay menghantui.

Hanna. Ya, semua demi Hanna. Aku harus menghadapi apa pun. Aku bergegas membuka pagar rumah itu. Lalu dengan cepat mengetuk rumahnya. Tiga kali ketukan, pintu tetap bisu. Tidak berderit dan tidak pula menjerit.

Aku mengetuknya lagi. Dua ketukan, pintu beraksi. Pintu membuka. Abay ada di baliknya. Ia memicingkan mata dengan cepat. Lalu menarik tanganku.

“Bangsat!” umpatnya. “Masuk!” perintahnya sambil membuka kamar. Aku seperti mayat. Hanya bisa menurut.

Lalu tamparan keras mendarat di pipi kananku. Tidak hanya itu. Abay juga melepaskan tendangan yang mengenai lambungku. Aku merintih. Tapi ia tidak peduli. Ia belum puas. Ia terus menyerangku. Lalu duduk terengah-engah. Bersandar pada tembok.

“Bangsat! Kamu bangsat!” ia terus saja mengumpat. Aku diam. Hanya membatu. Sesekali merintih perih.

Abay mendekatiku lagi. lalu memelukku sangat erat. Aku tidak tidak sadar. Air mataku jatuh begitu saja. Ada Hanna di sana. Di mana-mana. Di semua sudut rumah.

***

Kamis, 30 September 2021

Membaca Semesta

 


 

Udara sejuk meniupi kening saya ketika dua kaki saya berdiri tepat di wastafel parkiran yang disediakan oleh pihak sekolah. Pagi itu, saya datang dengan sejuta semangat yang dikirim hujan semalam. Ada jadwal berbagi cerita yang harus saya tuntaskan. Ya, berbagi cerita dengan mereka. Para pemintal aksara yang sudah sangat siap melancarkan mantra-mantranya. Mereka akan menyulap semesta menjadi barisan paragraf, tentang semua yang ada di ceruk-ceruknya. Tentang air yang masih menetes dari ujung daun di depan kelas, tentang sakit hati karena menunggu kabar yang tidak pasti, tentang keringat, tentang capek, marah, suka cita, duka cita, dan apa pun yang disediakan olehnya.

Aula itu membuka pintunya. Tawa renyah menjadi sajian pertama ketika saya mengangguk mengaturkan salam kepada seorang Ibu hebat yang duduk menepi di pojokan. Dari pertama bertemu, saya menduga akan banyak sekali keajaiban yang bisa saya lihat. Namanya Bu Ardi. Sepintas, ia biasa saja, tapi gerak lincahnya dalam mengorganisir para mesin aksaranya untuk segera merapal mantra, saya jadi tahu bahwa –pagi itu- saya berjumpa dengan permata semesta. Sudah banyak –gunung meletus, pantulan air yang berkejaran, rembulan yang gagal bersinar, mendung yang menantang mentari- menjadi ejaan sakti yang tertuang dalam kanvas putihnya. Benar, saya memang berjumpa dengan permata semesta; yang dengan kuas-kuas kecilnya bisa mendudukkan isi semesta menjadi keindahan dua mata. Sekali lagi, ini adalah perjumpaan yang sangat jenius, dan penuh dengan curahan ilmu. Terima kasih Tuhan atas karunia ini semua.

Saya duduk dengan bahagia. Berdendang dalam hati. Lalu memasang telinga dengan baik. Saya tidak ingin melewatkan kalimat-kalimat rapi yang disampaiakn oleh Dr. Muhtarom yang –saat ini- menahkodai sekolah yang kebak dengan mimpi itu. Suaranya yang tebal, menggema di sudut-sudut telinga saya. Beliau berkali-kali menegaskan jika acara pagi itu adalah bentuk aplikasi dari Pendidikan Karakter yang merupakan bagian dari kurikulum sekolah yang sudah digariskan. Tentu, dugaan saya, ada Bu Ardi sebagai aktor intelektualnya. Pendidikan Karakter –yang bagi sebagian orang harus diwujudkan hanya dalam sikap, dikonversi menjadi pendidikan literasi dengan tujuan akhirnya adalah tercipta sebuah buku yang bisa dibaca oleh semua penduduk semesta. Sudah pasti, buku itu akan mengilustrasikan semua karakter penulisnya. Benar-benar sebuah langkah yang sangat cerdas. Salut untuk Ibu yang satu ini.

Acara pembukaan yang singkat itu ditutup dengan doa. Lalu, semua berganti suasana. Lebih santai dan lebih banyak senyum di sana. Saya melepas pandangan ke semua wajah yang hadir di sana. Dan yang saya temukan, ada barisan aksara yang sudah tidak sabar untuk dibaca.

Ketika waktu diserahkan sepenuhnya untuk saya, saya menyapa mereka: Mari Membaca Semesta! Mereka kompak bersuara: Kami siap! Apresiasi yang begitu luar biasa. Tapi sayang sekali, waktu begitu cepat membuyarkan semuanya. Ada beragam rasa yang harus kami tahan. Dan kami berjanji, semuanya akan menjadi tulisan.

Dan, tiga minggu setelah pertemuan itu, beragam tulisan dikirimkan kepada saya. Satu persatu saya baca. Tidak meleset dugaan saya. Mantra mereka begitu ajaib. Tulisan-tulisan itu begitu hidup dan rapi dalam mengilustrasikan bagaimana karakter mereka. Sehingga, lahirlah buku ini: Membaca Semesta.

Buku ini memang sederhana, tapi pembaca akan menemukan banyak peristiwa yang sudah sempat terlupakan. Buku di hadapan pembaca ini seperti mesin waktu yang akan membawa pembaca semua pada ingatan-ingatan yang sudah membeku di pendingin masa. Sehingga, buku ini –menurut saya- sangat layak pembaca semua punyai.

Dengan gaya penulisan yang khas dan berkarakter, semua penulis yang ada di buku ini mencoba mewakafkan apa yang mereka punya melalui tulisan. Maka harapan saya, semua penulis yang ada di buku ini senantiasa mendapat curahan anugerah dan amal bakti dari Tuhan Yang Esa.

Namun tentu saja, meski buku ini sudah dikerjakan dengan semaksimal mungkin, pasti ada celah kekurangan yang harus segera ditutupi. Karena itulah, kritik dan saran dari pembaca semua menjadi sangat penting untuk kemajuan karya-karya berikutnya.

Akhirnya, semoga –saya berharap- buku kecil ini akan selalu menjadi teman pembaca semua dalam segala hal, sedih-senang, sepi-ramai, malang-untung, dan situasi-situasi lain yang dihadapi pembaca.

Sebagai penutup, saya mengucapkan selamat membaca, dan sekali lagi: Jangan lupa bahagia!

 

Tulungagung, Kamis siang, 2021

Penulis.

Mengapa Saya Lebih Memilih Ikut Perlombaan Burung Lovebird?

  Mengapa Saya Lebih Memilih Ikut Perlombaan Burung Lovebird? Di tengah hiruk-pikuk kehidupan modern yang penuh tekanan dan tuntutan, mencar...