Kamis, 23 Juli 2020

MEMBACA ADALAH MEDITASI








Sore kemarin, saya menyempatkan diri berkunjung ke warung kopi; yang konon katanya sangat legendaris di kota ini. Di sana, saya berpapasan dengan beberapa teman dosen, yang memang menjadi pengunjung tetap warung kopi tersebut. Saya masuk, kemudian memilih meja di sudut ruangan. Ada banyak wajah tersaji gratis di sana. Mereka rata-rata masih mengenakan pakaian sekolah. Tapi ada juga beberapa yang mengenakan pakaian khas anak kuliahan. Mereka bergerombol. Hanya saya yang duduk sendiri meski faktanya saya bukan jomblo ngenes kayak teman saya di pengajian Ibu-ibu tiap malam Jumat.
Pesanan saya datang: Kopi Tubruk dengan gula terpisah. Resep kopi ini saya dapat dari kawan karib saya. Namanya Shinta. Sekarang, ia menjadi barista handal di sebuah kafe mahal di Berlin-Jerman. Saya selalu ingat bola matanya yang kelam dan menenggelamkan.
Saya terus mengamati mereka yang ada di sana. Kening saya tiba-tiba berkerut hebat. Pikiran ini seperti tersengat. Saya melihat dunia yang berbeda di kepala mereka.
Dulu. Dulu sekali. Saat saya masih menempuh pendidikan di Malang, saya juga merupakan umat kopi yang taat. Saya dan beberapa teman memiliki jadwal wajib untuk ngopi di kafe Tungku langganan kami. Jika kami tidak ngopi di jadwal itu, maka kami berdosa yang dosanya sama seperti menikung istri orang lain.
Namun, kami tidak sekadar menikmati cairan hitam pekat itu, kami memiliki agenda; yang menurut saya sangat bergizi. Kami sepakat, meski kami bukan tergolong manusia-manusia kutu buku, kami selalu sempatkan berbincang tentang buku yang kami baca saat itu. Saya sendiri lebih menyukai bacaan novel. Bebarapa teman saya lebih suka bacaan politik, dan satu teman ada yang sangat tergila-gila dengan bacaan gaib, semisal majalah posmo atau koran-koran klenik yang judulnya dibikin semerinding mungkin.
Di warung kopi, kami berimajinasi dengan bacaan kami masing-masing. Saat itu, saya mengatakan kepada mereka: Membaca adalah meditasi. Mereka tampak seperti sedang melihat hantu; bengong dan tampak bego. Wajahnya menengadah meminta penjelasan saya dengan segera.
Benar. Membaca bagi saya adalah meditasi. Mungkin, bagi sebagian orang definisi meditasi yang saya maksud adalah sebuah kecelakaan. Tapi tidak, definisi yang saya miliki ini diamini oleh mereka; sahabat-sahabat ngopi saya.
Meditasi secara sederhana saya pahami sebagai proses pengistirahatan jiwa, dan juga semua indera yang kasatmata. Meditasi mebuat saya yang gaduh menjadi teduh. Membuat kelelahan-kelelahan saya menguap begitu saja. Meditasi membuat hidup saya menjadi bahagia; sebahagia saat kali pertama saya mengelus ujung rambut istri saya yang wangi itu. Dan, meditasi itu saya dapatkan dari membaca. Bukan bersila, lalu berlatih pernapasan seperti yang dilakukan oleh artis cantik Raline Shah. Dengan membaca saja, saya seperti sedang bermain gerak otot. Melenturkan sendi-sendi tubuh, dan mengolah keluar masuknya embusan oksigen. Saya bermeditasi tidak membutuhkan waktu yang lama. Saya hanya membutuhkan waktu 1 sampai 2 jam saja. Dan setelah itu, rasanya saya memiliki nyawa baru. Saya bersyukur, penjelasan saya ini diterima baik oleh teman-teman saya.
Tapi bayangan teman-teman saya ketika itu segera saja pudar. Saya sudah di meja saya lagi. Saya melihat wajah-wajah itu lagi.
Saya merenung sejenak. Benar, kata mereka. Dunia itu selalu berusaha menampilkan lukisan yang berbeda. Dan saya mendapatinya sore kemarin. Di depan mata saya, para penikmat kopi itu menjadi paradoks saya dan kawan-kawan saya dulu. Sore itu, saya melihat mereka seperti orang yang tidak saling kenal meski datang bersama dan memesan kopi yang sama. Setelah duduk, mereka sudah sibuk dengan smartphone masing-masing. Begitu jaringan Wifi sudah terhubung, meja yang mereka tempati menjadi sunyi seketika. Jangankan diskusi, untuk sekadar membicarakan bunga kelas seperti kami dulu pun saya tidak melihatnya. Bahkan yang saya lihat adalah meja itu tampak layu dan pucat. Tidak memiliki semangat dan gairah yang menggebu seperti meja yang kami tempati dulu. Tapi saya tidak merasa miris. Sebab, itu pilihan mereka. Kemauan mereka. Privasi mereka. Haram bagi saya untuk mengusiknya.
Secangkir kopi saya sudah tandas. Saya tersenyum lega. Kopi sudah bereaksi di lambung saya, dan aromanya sudah menari bahagia di pikiran saya.
Akhirnya, saya hanya berterima kasih kepada semesta. Ia telah memberi saya kesempatan hidup di zaman yang tidak seperti sekarang ini.
Saya memutuskan saja untuk segera pulang. Ada beberapa buku yang telah merindui saya.
Kawan. Saya tidak bermaksud ingin menertawakan diri sendiri karena saya sedikit rajin membaca. Saya hanya ingin berbagi kisah saja. Terlebih, jika kita ingat sabda Joseph Brodkey; pemenang Nobel Sastra tahun 1987, yang berbunyi: “Kejahatan terbesar terhadap buku bukanlah membakar buku melainkan dengan tidak membacanya.”
Selamat membaca dan jangan lupa hapus chat WA sebelum masuk rumah :D.

1 komentar:

Mengapa Saya Lebih Memilih Ikut Perlombaan Burung Lovebird?

  Mengapa Saya Lebih Memilih Ikut Perlombaan Burung Lovebird? Di tengah hiruk-pikuk kehidupan modern yang penuh tekanan dan tuntutan, mencar...