Sore kemarin, saya
menyempatkan diri berkunjung ke warung kopi; yang konon katanya sangat
legendaris di kota ini. Di sana, saya berpapasan dengan beberapa teman dosen,
yang memang menjadi pengunjung tetap warung kopi tersebut. Saya masuk, kemudian
memilih meja di sudut ruangan. Ada banyak wajah tersaji gratis di sana. Mereka
rata-rata masih mengenakan pakaian sekolah. Tapi ada juga beberapa yang mengenakan
pakaian khas anak kuliahan. Mereka bergerombol. Hanya saya yang duduk sendiri
meski faktanya saya bukan jomblo ngenes kayak teman saya di pengajian
Ibu-ibu tiap malam Jumat.
Pesanan saya datang:
Kopi Tubruk dengan gula terpisah. Resep kopi ini saya dapat dari kawan karib
saya. Namanya Shinta. Sekarang, ia menjadi barista handal di sebuah kafe mahal
di Berlin-Jerman. Saya selalu ingat bola matanya yang kelam dan menenggelamkan.
Saya terus mengamati
mereka yang ada di sana. Kening saya tiba-tiba berkerut hebat. Pikiran ini
seperti tersengat. Saya melihat dunia yang berbeda di kepala mereka.
Dulu. Dulu sekali. Saat
saya masih menempuh pendidikan di Malang, saya juga merupakan umat kopi yang
taat. Saya dan beberapa teman memiliki jadwal wajib untuk ngopi di kafe
Tungku langganan kami. Jika kami tidak ngopi di jadwal itu, maka kami
berdosa yang dosanya sama seperti menikung istri orang lain.
Namun, kami tidak
sekadar menikmati cairan hitam pekat itu, kami memiliki agenda; yang menurut
saya sangat bergizi. Kami sepakat, meski kami bukan tergolong manusia-manusia
kutu buku, kami selalu sempatkan berbincang tentang buku yang kami baca saat
itu. Saya sendiri lebih menyukai bacaan novel. Bebarapa teman saya lebih suka
bacaan politik, dan satu teman ada yang sangat tergila-gila dengan bacaan gaib,
semisal majalah posmo atau koran-koran klenik yang judulnya dibikin semerinding
mungkin.
Di warung kopi, kami
berimajinasi dengan bacaan kami masing-masing. Saat itu, saya mengatakan kepada
mereka: Membaca adalah meditasi. Mereka tampak seperti sedang melihat
hantu; bengong dan tampak bego. Wajahnya menengadah meminta penjelasan saya
dengan segera.
Benar. Membaca bagi
saya adalah meditasi. Mungkin, bagi sebagian orang definisi meditasi yang saya
maksud adalah sebuah kecelakaan. Tapi tidak, definisi yang saya miliki ini
diamini oleh mereka; sahabat-sahabat ngopi saya.
Meditasi secara
sederhana saya pahami sebagai proses pengistirahatan jiwa, dan juga semua
indera yang kasatmata. Meditasi mebuat saya yang gaduh menjadi teduh. Membuat
kelelahan-kelelahan saya menguap begitu saja. Meditasi membuat hidup saya
menjadi bahagia; sebahagia saat kali pertama saya mengelus ujung rambut istri
saya yang wangi itu. Dan, meditasi itu saya dapatkan dari membaca. Bukan
bersila, lalu berlatih pernapasan seperti yang dilakukan oleh artis cantik
Raline Shah. Dengan membaca saja, saya seperti sedang bermain gerak otot.
Melenturkan sendi-sendi tubuh, dan mengolah keluar masuknya embusan oksigen.
Saya bermeditasi tidak membutuhkan waktu yang lama. Saya hanya membutuhkan
waktu 1 sampai 2 jam saja. Dan setelah itu, rasanya saya memiliki nyawa baru.
Saya bersyukur, penjelasan saya ini diterima baik oleh teman-teman saya.
Tapi bayangan
teman-teman saya ketika itu segera saja pudar. Saya sudah di meja saya lagi.
Saya melihat wajah-wajah itu lagi.
Saya merenung sejenak.
Benar, kata mereka. Dunia itu selalu berusaha menampilkan lukisan yang berbeda.
Dan saya mendapatinya sore kemarin. Di depan mata saya, para penikmat kopi itu
menjadi paradoks saya dan kawan-kawan saya dulu. Sore itu, saya melihat mereka
seperti orang yang tidak saling kenal meski datang bersama dan memesan kopi
yang sama. Setelah duduk, mereka sudah sibuk dengan smartphone
masing-masing. Begitu jaringan Wifi sudah terhubung, meja yang mereka
tempati menjadi sunyi seketika. Jangankan diskusi, untuk sekadar membicarakan
bunga kelas seperti kami dulu pun saya tidak melihatnya. Bahkan yang saya lihat
adalah meja itu tampak layu dan pucat. Tidak memiliki semangat dan gairah yang
menggebu seperti meja yang kami tempati dulu. Tapi saya tidak merasa miris.
Sebab, itu pilihan mereka. Kemauan mereka. Privasi mereka. Haram bagi saya
untuk mengusiknya.
Secangkir kopi saya
sudah tandas. Saya tersenyum lega. Kopi sudah bereaksi di lambung saya, dan aromanya
sudah menari bahagia di pikiran saya.
Akhirnya, saya hanya
berterima kasih kepada semesta. Ia telah memberi saya kesempatan hidup di zaman
yang tidak seperti sekarang ini.
Saya memutuskan saja
untuk segera pulang. Ada beberapa buku yang telah merindui saya.
Kawan. Saya tidak
bermaksud ingin menertawakan diri sendiri karena saya sedikit rajin membaca.
Saya hanya ingin berbagi kisah saja. Terlebih, jika kita ingat sabda Joseph
Brodkey; pemenang Nobel Sastra tahun 1987, yang berbunyi: “Kejahatan terbesar
terhadap buku bukanlah membakar buku melainkan dengan tidak membacanya.”
Selamat membaca dan
jangan lupa hapus chat WA sebelum masuk rumah :D.

Tulisan yang mantap. Menginspirasi saya untuk rajin mrmbaca
BalasHapus