Kamis, 23 Juli 2020

KASIH SAYANG TANPA KOTAK

Malam ini, saya sulit sekali memejamkan mata. Dua mata bundar saya enggan sekali diajak menghitung bintang dalam mimpi. Padahal, ada beberapa peri sedang ingin mengajak saya bermain di antara gugusannya. Benar kata mereka, peri-peri itu memang menempati bintang-bintang. Mereka tidur terlentang di sana.
Saya tidak pernah memiliki riwayat sebagai manusia insom. Saya hanya tidak bisa tidur jika kepala saya ini p
enuh dengan gradasi mentah lukisan kehidupan. Saya harus menuntaskannya. Itu kebandelan saya. Jika tidak mampu juga, maka saya akan menyudahinya dengan membaca. Aksara-aksara yang berbaris rapi di buku akan menghipnotis saya. Membuat dua mata saya redup. Dan pada akhirnya terpejam.
Saya segera membongkar tumpukan buku yang saya gunakan mengajar pada semester lalu. Dua mata saya menangkap sebuah buku tipis. Lembaran-lembaran yang ada di dalamnya berwarna kuning keemasan. Buku itu berjudul: “Usfuriyyah”; yang tertulis dengan aksara Arab, dan jika diterjemah ke bahasa Indonesia menjada “Kabar Burung Pipit”.
Saya membuka halaman pertama. Dua alis saya sedikit naik. Dan tiba-tiba saja senyum saya terbentuk dengan cepat. Saya membaca tulisan itu lagi. Tulisan tentang bagaimana Sahabat Nabi yang bernama Sayyidina Umar berbelas kasih kepada mahkluk Tuhan yang bernama burung pipit. Konon, lantaran belas kasih itu, Sahabat Umar lolos dari interogasi Munkar dan Nakir; Sang Penjaga Alam Kubur.
Ceritanya begini. Pagi itu, Sahabat Umar berjalan di sudut-sudut kampung guna melepas penat sekaligus blusukan untuk melihat langsung kondisi rakyat. Ketika itu, beliau melihat seorang anak kecil yang memegang burung pipit lalu membuatnya sebagai mainan. Seketika itu pula, beliau mendatangi anak kecil tersebut lalu membeli burung yang ada di tangannya dengan harga yang diinginkan anak kecil itu. Kesepakatan harga terjadi. Burung itu berpindah ke tangan Sahabat Umar; yang kemudian melepaskannya.
Selang beberapa lama, setelah meninggalnya Sang Sahabat, banyak Alim ketika itu bermimpi bertemu dengan beliau. Para Alim itu bertanya kepada Sahabat Umar tentang perlakuan Tuhan kepada beliau. Beliau hanya tersenyum. Dan mengatakan, jika Tuhan mengampuni segala dosa-dosa beliau dan Munkar Nakir tidak pernah menyentuh beliau.
Para Alim itu takjub sekaligus terkejut. Satu pertanyaan muncul dari mereka, “Amal apa yang menjadikan engkau seperti itu? Apakah kezuhudan engkau? Sikap adil engkau? Sedekah engkau?”
Sahabat Umar hanya menggeleng, “bukan!”
Para Alim semakin terkejut, “lalu?”
Sahabat Umar tersenyum, “Tuhan berbelas kasih kepadaku, karena dulu aku pernah berbelas kasih kepada seekor burung pipit yang dibuat mainan anak kecil. Bukankah Nabi kita bersabda: jika kita berbelas kasih kepada mahkluk di bumi, maka Tuhan akan berbelas kasih kepada kita. Dan sebalikanya.
Para Alim itu terbangun dengan cucuran air mata. Ada pelajaran besar yang harus mereka kunyah segera.
Kawan. Memang, cerita yang saya baca di buku “Usfuriyyah” ini seperti dongeng pengantar tidur; fiksi. Tapi apa salahnya, kita mengambil ibrahnya. Benar, Kawan. Nabi memang pernah mengajarkan kita untuk selalu berbelas kasih kepada semua mahkluk. Tak terkecuali. Di dawuhnya Nabi tersebut tidak ada pengkotakan tentang siapa-siapa yang musti dibelaskasihi. Ajaran Nabi itu bersifat universal. Jadi, kepada siapa pun kita harus berbagi. Tak peduli orang lain itu siapa. Agamanya apa, dan tuhannya siapa. Jika meraka butuh pertolongan, dan kita mampu maka kita laksanakan segera.
Kawan. Jika kita berpikir; angen-angen dengan serius, tentang ibadah-ibadah kita, jujur, kita akan sangat tidak percaya diri. Banyak lubang menganga yang kita isi dengan dosa. Tapi, sekali lagi, Tuhan itu Maha Baik. Ia sengaja memberi jalan kepada kita guna menambal lubang yang menganga itu. Salah satunya dengan jalan kasih sayang.
Banyak hal yang disediakan Tuhan agar kita bisa menerapkan ajaran-Nya tentang kasih sayang. Di bumi ini, Tuhan sengaja menciptakan manusia yang terzalimi agar hati kita bisa terketuk. Tuhan juga menciptakan orang-orang itu muncul dari agama yang tidak sejalan dengan isi kepala kita. Ini cara Tuhan mencintai kita. Ini cara Tuhan meningkatkan derajat kita. Namun sayang, kita kerap kali melewatkannya. Kita lebih memilih merawat kebencian dan memupuk dendam. Kita begitu menutup diri dengan orang yang berbeda jalan, meski pada hakikatnya tujuan kita sama.
Huft. Saya tidak sanggup lagi melanjutkan membaca. Bukan karena mata saya sudah lelah. Tapi karena penyesalan saya telah melewatkan kesempatan-kesempatan yang disediakan Tuhan tersebut.
Ah. Akhirnya, saya hanya bisa berharap bumi tidak segera kiamat.  Kopi yang saya minum saat itu, tidak seperti hari-hari kemarin. Pekatnya menggenggam air mata mereka. Mereka yang terlewatkan dibelaskasihi. Mereka yang berbeda jalan dengan kita.

2 komentar:

Mengapa Saya Lebih Memilih Ikut Perlombaan Burung Lovebird?

  Mengapa Saya Lebih Memilih Ikut Perlombaan Burung Lovebird? Di tengah hiruk-pikuk kehidupan modern yang penuh tekanan dan tuntutan, mencar...