Malam ini, saya
sulit sekali memejamkan mata. Dua mata bundar saya enggan sekali diajak
menghitung bintang dalam mimpi. Padahal, ada beberapa peri sedang ingin
mengajak saya bermain di antara gugusannya. Benar kata mereka, peri-peri itu
memang menempati bintang-bintang. Mereka tidur terlentang di sana.
Saya tidak
pernah memiliki riwayat sebagai manusia insom. Saya hanya tidak bisa tidur jika
kepala saya ini p
enuh dengan gradasi mentah lukisan
kehidupan. Saya harus menuntaskannya. Itu kebandelan saya. Jika tidak mampu
juga, maka saya akan menyudahinya dengan membaca. Aksara-aksara yang berbaris
rapi di buku akan menghipnotis saya. Membuat dua mata saya redup. Dan pada
akhirnya terpejam.
Saya segera
membongkar tumpukan buku yang saya gunakan mengajar pada semester lalu. Dua
mata saya menangkap sebuah buku tipis. Lembaran-lembaran yang ada di dalamnya
berwarna kuning keemasan. Buku itu berjudul: “Usfuriyyah”; yang tertulis
dengan aksara Arab, dan jika diterjemah ke bahasa Indonesia menjada “Kabar
Burung Pipit”.
Saya membuka
halaman pertama. Dua alis saya sedikit naik. Dan tiba-tiba saja senyum saya
terbentuk dengan cepat. Saya membaca tulisan itu lagi. Tulisan tentang
bagaimana Sahabat Nabi yang bernama Sayyidina Umar berbelas kasih kepada
mahkluk Tuhan yang bernama burung pipit. Konon, lantaran belas kasih itu,
Sahabat Umar lolos dari interogasi Munkar dan Nakir; Sang Penjaga Alam Kubur.
Ceritanya
begini. Pagi itu, Sahabat Umar berjalan di sudut-sudut kampung guna melepas
penat sekaligus blusukan untuk melihat langsung kondisi rakyat. Ketika itu,
beliau melihat seorang anak kecil yang memegang burung pipit lalu membuatnya
sebagai mainan. Seketika itu pula, beliau mendatangi anak kecil tersebut lalu
membeli burung yang ada di tangannya dengan harga yang diinginkan anak kecil
itu. Kesepakatan harga terjadi. Burung itu berpindah ke tangan Sahabat Umar;
yang kemudian melepaskannya.
Selang
beberapa lama, setelah meninggalnya Sang Sahabat, banyak Alim ketika itu
bermimpi bertemu dengan beliau. Para Alim itu bertanya kepada Sahabat
Umar tentang perlakuan Tuhan kepada beliau. Beliau hanya tersenyum. Dan
mengatakan, jika Tuhan mengampuni segala dosa-dosa beliau dan Munkar Nakir
tidak pernah menyentuh beliau.
Para Alim
itu takjub sekaligus terkejut. Satu pertanyaan muncul dari mereka, “Amal apa
yang menjadikan engkau seperti itu? Apakah kezuhudan engkau? Sikap adil engkau?
Sedekah engkau?”
Sahabat Umar
hanya menggeleng, “bukan!”
Para Alim
semakin terkejut, “lalu?”
Sahabat Umar
tersenyum, “Tuhan berbelas kasih kepadaku, karena dulu aku pernah berbelas
kasih kepada seekor burung pipit yang dibuat mainan anak kecil. Bukankah Nabi
kita bersabda: jika kita berbelas kasih kepada mahkluk di bumi, maka Tuhan
akan berbelas kasih kepada kita. Dan sebalikanya.”
Para Alim itu
terbangun dengan cucuran air mata. Ada pelajaran besar yang harus mereka kunyah
segera.
Kawan. Memang,
cerita yang saya baca di buku “Usfuriyyah” ini seperti dongeng pengantar
tidur; fiksi. Tapi apa salahnya, kita mengambil ibrahnya. Benar, Kawan.
Nabi memang pernah mengajarkan kita untuk selalu berbelas kasih kepada semua
mahkluk. Tak terkecuali. Di dawuhnya Nabi tersebut tidak ada pengkotakan
tentang siapa-siapa yang musti dibelaskasihi. Ajaran Nabi itu bersifat
universal. Jadi, kepada siapa pun kita harus berbagi. Tak peduli orang lain itu
siapa. Agamanya apa, dan tuhannya siapa. Jika meraka butuh pertolongan, dan
kita mampu maka kita laksanakan segera.
Kawan. Jika
kita berpikir; angen-angen dengan serius, tentang ibadah-ibadah kita,
jujur, kita akan sangat tidak percaya diri. Banyak lubang menganga yang kita
isi dengan dosa. Tapi, sekali lagi, Tuhan itu Maha Baik. Ia sengaja memberi
jalan kepada kita guna menambal lubang yang menganga itu. Salah satunya dengan
jalan kasih sayang.
Banyak hal yang
disediakan Tuhan agar kita bisa menerapkan ajaran-Nya tentang kasih sayang. Di
bumi ini, Tuhan sengaja menciptakan manusia yang terzalimi agar hati kita bisa
terketuk. Tuhan juga menciptakan orang-orang itu muncul dari agama yang tidak
sejalan dengan isi kepala kita. Ini cara Tuhan mencintai kita. Ini cara Tuhan
meningkatkan derajat kita. Namun sayang, kita kerap kali melewatkannya. Kita
lebih memilih merawat kebencian dan memupuk dendam. Kita begitu menutup diri
dengan orang yang berbeda jalan, meski pada hakikatnya tujuan kita sama.
Huft. Saya tidak sanggup lagi melanjutkan
membaca. Bukan karena mata saya sudah lelah. Tapi karena penyesalan saya telah
melewatkan kesempatan-kesempatan yang disediakan Tuhan tersebut.
Ah. Akhirnya, saya hanya bisa berharap
bumi tidak segera kiamat. Kopi yang saya minum saat itu, tidak seperti
hari-hari kemarin. Pekatnya menggenggam air mata mereka. Mereka yang
terlewatkan dibelaskasihi. Mereka yang berbeda jalan dengan kita.

Tulisan yang bagus
BalasHapusSembah nuwun pak. Mohon bimbingannya
BalasHapus