Rabu, 11 Januari 2023

Secangkir Kopi Untuk Hanna (Novel Series): Luhtfi Madu

 

Saat Langit Mulai Gelap

 

Aku sudah mencarimu. Sejak dua hari yang lalu. Surat ini juga sudah terlanjur kutulis. Tapi tiba-tiba saja kau muncul di sini. Di hadapanku. Napasmu terengah-engah. Sesekali terputus. Kau kenapa, Hanna Istifada?

Aku masih ingat itu. Hanna. Indah. Seperti Firdaus yang Ia janjikan. Kalimat terakhirku sepertinya memang tidak ingin kau dengar. Sebab langit sudah terlanjur gelap. Kau berbisik. Pelan.

Aku mengangguk. Lalu mencoba meraih tanganmu. Tapi kau luput. Menghilang. Sejak saat itu, aku tidak pernah menemukanmu lagi.

Udara pagi ini terlampau dingin. Mengingatmu membuatku menjadi beku. Rindu ini teramat berat. Menumpuk. Lalu menggunung. Tinggi. Begitu tinggi. Tak terdaki.

Ini kopiku. Sengaja kutinggalkan di meja ini. Biar ia menjadi kenangan. Sebab, sebentar lagi aku tidak di sini. Aku harus menyerah di bumi ini.

Jadwal penerbanganku sebentar lagi. Tepatnya, dua jam lagi. Barang-barang sudah kukemas sangat rapi. Siap menyeberang benua lagi. Kutinggalkan semuanya. Apa saja. Atau tentang malam itu. Saat aku tidak bisa menguasai jiwaku. Kali pertama aku menegak Wine. Pemberian dari Rose. Ia cantik. Putih. Wajah Balkan-nya memikat banyak mata. Tapi tak berhasil memikatku. Bukan aku tidak tertarik. Tapi aku hanya ingin segera menikmati kopi pesanan kami. Aku dan Hanna. Dan beberapa tiupan angin kecil di kening. Di pelupuk mata. Di sela-sela jemari kami.

Tetiba saja pintuku terbuka. Rose menampakkan wajahnya. Dua matanya merah. Meski di luar sana sedang dingin-dinginnya, Rose tampak tak merasakan apa-apa. Lengan bajunya terbuka. Kulit putihnya berkilat-kilat. Kemudian mendekat kepadaku.

Ia meraih wajahku. Kemudian menempelkan bibirnya. Aroma alkohol menyeruak dari dalamnya. Ini adalah pagi. Tapi ia sudah teler. Kebiasaan selalu begitu. Tidak mungkin aku merusakknya, janjinya pada rintik sisa semalam.

Aku mendudukkannya pelan. Ia melempar senyum. Meski kesadarannya sudah tidak utuh lagi, ia masih menggenggam birahi. Rose salah memahami perlakuanku.

Aku menjauh. Rose tampak kesulitan melepas pakaiannya. Aku hanya bisa menggelengkan kepala. Ada apa denganmu, Rose?

Rose menyeringai saat bajunya sudah terlepas. Lalu behanya menyusul lepas. Ia melemparkan ke wajahku. Aku begitu terkejut. Jangan, Rose! Aku menyeru dalam hati.

Rose semakin tidak terkontrol. Ia merebahkan tubuhnya yang putih sekali. Perutnya yang rata mempersilakanku untuk menjilatinya seperti ketika itu.

Come on, Faya!” desah Rose. Suaranya hampir terputus.

No ...,” elakku.

Rose tidak menyerah.

***


 

Malang

 

Matahari sudah terlihat tinggi saat aku tiba di Malang. Aku seperti masih di pesawat. Berdiriku tidak seimbang. Barcelona-Jakarta terlampau jauh.

Aku meninggalkan Rose dalam ketermenungan. Ia tahu aku tidak akan pernah kembali. Dosa itu terus membayang di pelupuk mataku. Rose sepertimu, Hanna. Matanya semenajubkan matamu. Entah. Jatuh cinta seperti apa yang kurasakan dengan Rose.

Aku menuduh diriku sendiri. Aku telah menghianatimu. Tapi aku melihatmu, Sayang. Keningmu yang berkilat karena keringat terlukis jelas di keningnya. Rambutmu yang biasa tergerai menangkap embun tersaji manis di kepalanya. Andai kau tahu, Sayang. Tiada siksa yang lebih pedih selain menanggung rindu.

Malang. Hmm. Kota ini masih sama. Arjosari tetap asri. Aku pernah jatuh di terminal ini. Kaki kananku bengkak. Kau menangis ketika itu. Kau juga tampak takut sekali. Seragam SD-ku coreng moreng dengan debu. Kau usap keningku. Katamu, ada debu nakal yang mengganggu ketampananku. Aku hanya bisa tersenyum sebentar. Setelah itu, aku merintih. Perih sekali.

Wajah sesalmu begitu kuat menggaris di depan mataku. Aku tahu, kau yang mengajakku bermain di terminal ini. Padahal, sekolah kita lumayan jauh. Jika sekarang kuhitung, jaraknya hampir dua kilometer. Anehnya, kita tidak pernah merasa lelah. Aku masih ingat itu.

Kau di mana, Hanna? Bagaimana wajahmu saat ini?

Aku harus segera pulang. Ada rasa lelah yang harus kudiamkan.

Aku menumpang taksi menuju rumahku. Bukan di dekat Araya lagi. Tapi di Gadang. Jika dulu, Hanna di Blimbing, sekarang entah di mana.

Perjalananku singkat. Arjosari-Gadang sedekat pandanganmu, Sayang. Aku membuka pagar rumahku. Anak kecil –seumuran aku dulu- membukakan pintu. Dua matanya memicing. Ia sedikit ngeri melihatku. Aku menduga ia adalah Zaidan; putra pertama kakakku, Sameera.

“Faya ...!” Ada teriakan mendarat di kupingku. Suaranya serak. Tidak salah lagi. Kak Sameera.

“Aku lapar, Kak,” kataku sambil melempar jaket ke kursi. Sementara koper besarku masih teronggok pasrah di beranda rumah. Zaidan tampak ingin membawanya masuk. Tapi ia sungkan denganku.

“Zaidan ...!” panggilku. Ia menoleh cepat. “Ke sini!”

Ia berjalan cepat ke arahku.

“Bapak ini siapa?” tanyanya polos. Sepertinya Kak Sameera memegang janjinya. Ia tidak akan menceritakan tentangku kepada putranya.

Aku tertawa geli melihat kepolosan keponakanku itu, “Panggil aku Bapak ganteng!”

Ia menyeringai, “Masih gantengan Abi!”

“Mana orangnya?”

“Masih kerja!”

“Di mana?”

“Mengajar.”

Azka, kakak iparku, adalah seorang dosen di Unversitas Brawijaya Malang. Kepalanya yang depan sedikit botak. Kata Kak Sameera, Kak Azka terlalu memikirkan hal-hal aneh. Aku hanya bisa maklum. Studi Peradaban memang begitu. Aku pernah mempelajarinya. Di Edinburgh University of Scotland. Saat mengambil sort studies di liburan musim dingin.

“Apa rencanamu setelah ini, Faya? Kita hanya berdua. Tapi kau datang begitu tiba-tiba. Bahkan Zaidan tidak mengenalmu. Aneh. Kita keluarga aneh,” ceracau Kak Sameera sambil menghidangkan minum.

“Keanehan kita adalah kesempurnaan keluarga kita,” sahutku. Kak Sameera mengambil duduk di sebelahku. Kemudian mengacak-acak rambut ikalku.

“Zaidan. Sini. Ini Om Faya.” Kak Sameera memnggil Zaidan yang masih saja penasaran dengan koper besarku. Zaidan menoleh cepat. Kemudian berjalan menuju kami. “Ini Om kamu. Ayo! Sebah,” perintahnya kemudian.

Aku menangkap Zaidan hangat. Dan memeluknya erat dan lama. Aku ciumi wajahnya hingga rata. Rindu yang menahun purna sudah.

Aku melepaskan Zaidan yang sudah merasa tidak nyaman dengan pelukanku. “Aku tidak bisa lama, Kak. Aku harus segera menemukannya.”

“Makanlah dulu, Faya,” pintanya penuh harap.

Aku mengangguk, “Iya, Kak. Kan, aku sudah bilang jika aku lapar.”

***

Kak Sameera seperti enggan melepasku. Ia iba melihatku. Sepuluh tahun ternyata tidak bisa menyembuhkanku. Benar, Kak. Waktu bukanlah penawar yang baik buatku. Rindu ini akan tetap ada. Tetap menggebu.

Pagi buta, Kak Azka mengantarkanku ke Arjosari. Kali ini, aku akan menemui teman lamaku yang tinggal di Kertosono. Ia tahu segalanya tentang kami. Meski ia tidak pernah bisa menjawab, kenapa Hanna menghilang begitu saja. Lebih tiba-tiba dari datangnya embusan sejuk ini. Aku menghirupnya dalam-dalam. Arjosari akan kutinggalkan lagi. Aku melihatmu di situ, Hanna. Senyummu masih seanggun yang dulu. Wajahmu masih seteduh yang dulu.

Bus melaju cepat menuju Surabaya. Dan dari kota itu, aku hanya butuh tiga jam untuk sampai di Kertosono. Semoga, Abay –sahabat masa SMA-ku- masih mengenaliku. Aku lebih kurus dari yang dulu. Aku pecandu Wine. Tubuhku menjadi ringkih. Kak Sameera sempat meneteskan air mata saat kali pertama melihatku kemarin. Benar, Kak. Siksaan ini tidak hanya pedih.

Surabaya dengan ingar-bingarnya. Namun aku tidak peduli lagi. Begitu bus berhenti, aku segera mencari bus yang bertujuan ke Jogja. Kudapati bus itu masih sepi. Tapi tak sebanding dengan kesepian ini.

Sepuluh menit berlalu. Bus melaju. Pelan dan tenang. Namun sedetik berikutnya, bus melajau seperti kecepatan angin. Aku begitu terkejut. Tapi orang di sebelahku malah menertawaiku.

“Baru pertama naik bus ini ya, Mas?” tanyanya sambil menampilkan barisan giginya yang tak rata.

“Iya, Pak,” jawabku sambil mengangguk.

“Hanya bus ini yang dicari para penumpang,” katanya lagi. Aku mengangguk lagi. Lalu mengatubkan dua mata. Uh, Hanna. Kau di mana? Tidak terasa air mataku jatuh.

Aku menyesal, Tuhan. Andai saja aku bisa menahannya. Andai saja aku terus mencarinya. Andai saja aku tidak terbang ke Spanyol. Dan, tiba-tiba saja semua tampak gelap.

Satu jam terlewat. Dua mataku terbuka. Kota Mojokerto terdengar nyaring di telinga. Orang di sebelahku sudah tidak ada. Entah ke mana. Dan, bus melaju lagi. Masih secepat embusan angin. Hanna datang lagi. Kegilaan macam apa ini, Tuhan?

Satu jam terlewat lagi. Jombang mereka teriakkan. Tapi aku tidak sedang tidur. Kertosono sudah dekat. Aku tidak sabar lagi. Aku berdiri dan mendekati sang kondektur.

“Turun Jombang?” tanyanya dingin.

“Bukan, Pak. Saya turun Kertosono,” jawabku ragu.

“Masih jauh. Sampeyan duduk saja. Jangan berdiri. Nanti penumpang tidak mau naik.” Galak, sang kondektur memberi ceramah singkat kepadaku. Aku tergelak sendiri. Ini bukan Spanyol. Aku berbisik lirih dalam hati.

Bus menepi. Perempetan besar itu sedikit berubah. Sekarang menjadi ramai. Pengayuh becak menyemut mendekatiku. Aku hanya bisa melempar sedikit senyum. Bukan aku sombong, tapi aku memang tidak suka naik becak. Sejak dulu. Dan aku masih ingat apa yang dikatakan Hanna. Jangan pernah naik becak! Aku tidak pernah bertanya, mengapa? Aku hanya bisa mengangguk. Kemudian memegang janji itu. Hanna lalu tersenyum simpul. Cantik sekali. Huft. Kau di mana, Hanna?

Aku masih ingat, ada pangkalan ojek di sana. Semoga saja masih ada. Sepuluh tahun bukan waktu yang sebentar. Bayangkan, selama itu pula aku menabung rindu. Penuh. Hati ini begitu penuh dengan rindu itu. Kau di mana, Hanna? Di mana?

Aku menghela napas lega. Pangkalan ojek itu bukan hanya masih ada, malah sekarang menjadi berkembang. Pangkalan itu sekarang cantik.

“Ojek, Mas?” tawar salah satu dari mereka. Seorang Bapak yang –menurutku- sudah lanjut usia. Kisarannya adalah enam puluh lima tahun. Ubannya sudah menyebar di kepalanya. Tapi aku lihat, bahunya begitu kukuh. Tidak menyerah sedikit pun dengan usianya. Ia petarung sejati. Penantang waktu yang terus menggigit usianya. Dan juga semangatnya.

“Iya, Pak,” jawabku sambil tersenyum kecil. Bapak-bapak yang lain seperti menatapku heran. Mungkin mereka melihat pakaianku yang semrawut. Atau mungkin juga wajahku yang sudah mengalami evolusi. Dari Nusantara menjadi Eropa. Ah, tapi rasanya itu tidak mungkin. Meski aku berdarah campuran, wajahku tetap saja ‘ndeso’.

“Ke mana?” tanya Bapak ojek.

“Jalan Mangga No. 23, Pak.”

Bapak ojek mengangguk. Kami melaju dengan tenang dan pelan. Aku yakin, Bapak ojek itu sudah tidak bernafsu lagi untuk menjadi pembalap. Semoga saja.

“Mas dari mana?” tanya Bapak ojek di tengah-tengah perjalanan.

“Malang.” Sedikit berteriak, aku menjawabnya. Bapak itu mengangguk.

Sepuluh menit berlalu. Motor kami belok. Masuk ke Jalan Mangga. Aku meminta berhenti. Biar aku jalan saja. Kataku pada Bapak ojek. Ia mengangguk. Lalu berlalu dariku setelah menerima apa yang menjadi haknya.

Aku sedikit gerogi akan bertemu sahabat baikku itu. Ia pasti akan marah sekali. Sebab aku pergi tanpa kabar. Dan sekarang tiba-tiba saja muncul. Dan selama supuluh tahun itu, aku tidak pernah menyapanya. Meski, Kak Sameera beberapa kali bilang jika ia mencariku. Aku juga tetap diam. Andai kau tahu, Kawan. Aku benar-benar sakit. Sekarang, aku mencoba sembuh. Kau pasti mengerti.

Aku berjalan lurus ke ujung jalan. Perkampungan itu kecil dan sempit. Rumah-rumah tidak memiliki jarak lagi. Dan rumah sahabatku berada di ujung jalan.

Kampung itu masih saja asri. Tidak ada yang berubah. Sepuluh tahun tidak menimbulkan dampak apa-apa. Aku lihat gardu itu. Dulu, aku sering tidak tidur di tempat itu. Berbincang sampai pagi dengan Abay. Satu tema: Hanna. Karena itu, hanya ia yang tahu tentang Hanna. Tentang kami. Tentang kisah kami. Dan tentang perpisahan kami.

Aku sudah sampai. Tiba-tiba saja, rasa ragu datang begitu saja. Pintu pagar menutup. Tapi tidak terkunci. Ingin saja kusudahi semuanya. Tapi rasanya, dua kaki ini membawa beban yang sangat berat. Aku susah sekali melangkah. Murka Abay menghantui.

Hanna. Ya, semua demi Hanna. Aku harus menghadapi apa pun. Aku bergegas membuka pagar rumah itu. Lalu dengan cepat mengetuk rumahnya. Tiga kali ketukan, pintu tetap bisu. Tidak berderit dan tidak pula menjerit.

Aku mengetuknya lagi. Dua ketukan, pintu beraksi. Pintu membuka. Abay ada di baliknya. Ia memicingkan mata dengan cepat. Lalu menarik tanganku.

“Bangsat!” umpatnya. “Masuk!” perintahnya sambil membuka kamar. Aku seperti mayat. Hanya bisa menurut.

Lalu tamparan keras mendarat di pipi kananku. Tidak hanya itu. Abay juga melepaskan tendangan yang mengenai lambungku. Aku merintih. Tapi ia tidak peduli. Ia belum puas. Ia terus menyerangku. Lalu duduk terengah-engah. Bersandar pada tembok.

“Bangsat! Kamu bangsat!” ia terus saja mengumpat. Aku diam. Hanya membatu. Sesekali merintih perih.

Abay mendekatiku lagi. lalu memelukku sangat erat. Aku tidak tidak sadar. Air mataku jatuh begitu saja. Ada Hanna di sana. Di mana-mana. Di semua sudut rumah.

***

Kamis, 30 September 2021

Membaca Semesta

 


 

Udara sejuk meniupi kening saya ketika dua kaki saya berdiri tepat di wastafel parkiran yang disediakan oleh pihak sekolah. Pagi itu, saya datang dengan sejuta semangat yang dikirim hujan semalam. Ada jadwal berbagi cerita yang harus saya tuntaskan. Ya, berbagi cerita dengan mereka. Para pemintal aksara yang sudah sangat siap melancarkan mantra-mantranya. Mereka akan menyulap semesta menjadi barisan paragraf, tentang semua yang ada di ceruk-ceruknya. Tentang air yang masih menetes dari ujung daun di depan kelas, tentang sakit hati karena menunggu kabar yang tidak pasti, tentang keringat, tentang capek, marah, suka cita, duka cita, dan apa pun yang disediakan olehnya.

Aula itu membuka pintunya. Tawa renyah menjadi sajian pertama ketika saya mengangguk mengaturkan salam kepada seorang Ibu hebat yang duduk menepi di pojokan. Dari pertama bertemu, saya menduga akan banyak sekali keajaiban yang bisa saya lihat. Namanya Bu Ardi. Sepintas, ia biasa saja, tapi gerak lincahnya dalam mengorganisir para mesin aksaranya untuk segera merapal mantra, saya jadi tahu bahwa –pagi itu- saya berjumpa dengan permata semesta. Sudah banyak –gunung meletus, pantulan air yang berkejaran, rembulan yang gagal bersinar, mendung yang menantang mentari- menjadi ejaan sakti yang tertuang dalam kanvas putihnya. Benar, saya memang berjumpa dengan permata semesta; yang dengan kuas-kuas kecilnya bisa mendudukkan isi semesta menjadi keindahan dua mata. Sekali lagi, ini adalah perjumpaan yang sangat jenius, dan penuh dengan curahan ilmu. Terima kasih Tuhan atas karunia ini semua.

Saya duduk dengan bahagia. Berdendang dalam hati. Lalu memasang telinga dengan baik. Saya tidak ingin melewatkan kalimat-kalimat rapi yang disampaiakn oleh Dr. Muhtarom yang –saat ini- menahkodai sekolah yang kebak dengan mimpi itu. Suaranya yang tebal, menggema di sudut-sudut telinga saya. Beliau berkali-kali menegaskan jika acara pagi itu adalah bentuk aplikasi dari Pendidikan Karakter yang merupakan bagian dari kurikulum sekolah yang sudah digariskan. Tentu, dugaan saya, ada Bu Ardi sebagai aktor intelektualnya. Pendidikan Karakter –yang bagi sebagian orang harus diwujudkan hanya dalam sikap, dikonversi menjadi pendidikan literasi dengan tujuan akhirnya adalah tercipta sebuah buku yang bisa dibaca oleh semua penduduk semesta. Sudah pasti, buku itu akan mengilustrasikan semua karakter penulisnya. Benar-benar sebuah langkah yang sangat cerdas. Salut untuk Ibu yang satu ini.

Acara pembukaan yang singkat itu ditutup dengan doa. Lalu, semua berganti suasana. Lebih santai dan lebih banyak senyum di sana. Saya melepas pandangan ke semua wajah yang hadir di sana. Dan yang saya temukan, ada barisan aksara yang sudah tidak sabar untuk dibaca.

Ketika waktu diserahkan sepenuhnya untuk saya, saya menyapa mereka: Mari Membaca Semesta! Mereka kompak bersuara: Kami siap! Apresiasi yang begitu luar biasa. Tapi sayang sekali, waktu begitu cepat membuyarkan semuanya. Ada beragam rasa yang harus kami tahan. Dan kami berjanji, semuanya akan menjadi tulisan.

Dan, tiga minggu setelah pertemuan itu, beragam tulisan dikirimkan kepada saya. Satu persatu saya baca. Tidak meleset dugaan saya. Mantra mereka begitu ajaib. Tulisan-tulisan itu begitu hidup dan rapi dalam mengilustrasikan bagaimana karakter mereka. Sehingga, lahirlah buku ini: Membaca Semesta.

Buku ini memang sederhana, tapi pembaca akan menemukan banyak peristiwa yang sudah sempat terlupakan. Buku di hadapan pembaca ini seperti mesin waktu yang akan membawa pembaca semua pada ingatan-ingatan yang sudah membeku di pendingin masa. Sehingga, buku ini –menurut saya- sangat layak pembaca semua punyai.

Dengan gaya penulisan yang khas dan berkarakter, semua penulis yang ada di buku ini mencoba mewakafkan apa yang mereka punya melalui tulisan. Maka harapan saya, semua penulis yang ada di buku ini senantiasa mendapat curahan anugerah dan amal bakti dari Tuhan Yang Esa.

Namun tentu saja, meski buku ini sudah dikerjakan dengan semaksimal mungkin, pasti ada celah kekurangan yang harus segera ditutupi. Karena itulah, kritik dan saran dari pembaca semua menjadi sangat penting untuk kemajuan karya-karya berikutnya.

Akhirnya, semoga –saya berharap- buku kecil ini akan selalu menjadi teman pembaca semua dalam segala hal, sedih-senang, sepi-ramai, malang-untung, dan situasi-situasi lain yang dihadapi pembaca.

Sebagai penutup, saya mengucapkan selamat membaca, dan sekali lagi: Jangan lupa bahagia!

 

Tulungagung, Kamis siang, 2021

Penulis.

Selasa, 14 September 2021

Sastra Arab ’06

 


 

Masih sekitar 2007. Satu minggu terlewat. Di tujuh hari itu, aku suka melamun. Membayangkan sesuatu yang aneh-aneh. Baru. Kemustahilan.

Aku terlihat seperti bermain petak umpet,

“Ia seperti awan, teduh. Mengayomi,” desahku.

Ia berkawat gigi. Senyumnya masih membekas di pelupuk mataku. Aku seperti memiliki. Ia seperti memilikiku. Kami saling memiliki. Tapi ia bayang. Sebab bayang akan menghilang. Ia jinak, tapi tak tergenggam.

Hari itu adalah jadwalku mengadu nasib di depan Pak Hanafi; the mirror man. Namun aneh. Sebab di pagi itu, aku merasakan hal yang berbeda. Bukan seperti pagi-pagi yang lain. Pagi itu, air di bak mandi hangat-hangat kuku. Aku sangat girang bukan kepalang. Semangatku untuk cepat mandi meledak-ledak. Dan pertanyaanya: Ada apa?

Kusegerakan tubuhku ditelan kamar mandi yang sempit itu. Keju-keju alami tubuh harus segera kubersihkan. Lipatan-lipatan kulit harus diguyur air. Karena setan suka ngupil di tempat itu. Bahkan Jo bilang, di lipatan-lipatan itu setan bersanggama. Beranak-pinak. Ada yang juga yang mastrubasi karena ia jomblo.

Benar juga. Air memang terasa hangat kuku. Meski bulu-bulu halusku mendadak berdiri ketika tetesannya menerpa ujung-ujungnya. Aku merinding. Tapi air di bak mandi tetap hangat kuku. Benar-benar ganjil.

Aku hanya sebentar di kamar mandi. Aku tidak keramas. Karena aku tidak junub. Karena semalam aku mimpi duduk di atas portal. Bukan di Tretes yang aduhai itu.

Handuk kumal telah menelan perut bawahku. Hangat, melindungi. Penghuninya seperti di-ninabobok-kan. Jalanku cepat, sebab aku khawatir mentari bikin kacau semuanya. Di layar ponsel, angka digital tecetak dengan angka tujuh kurang lima belas menit. Olala, masih satu jam lebih. Itu terasa lambat dan lama sekali.

Semua berkas konsultasi sudah siap di dalam tas. Baju lengan pendekku juga siap pakai. Belalang Tempur juga menyatakan hal yang sama. Hanya Jo yang belum tampak dengan perut buncitnya. Semoga ia masih tidur.

Belalang Tempur kunyalakan. Suaranya garang. Ia seolah membuat ‘amin’ atas semua skuel hatiku. Pagi itu. Portal itu. Dan gadis berkawat gigi itu.

Aku menuntun Belalang Tempur ke luar kos. Kemudian membawanya ke jalan utama. Kios loundre Pak Ramon masih kedinginan, jadi malas bangun. Sementara Pak Ramon sedang memikirkan bagaimana mati dengan khusnul khotimah, dikenang orang, dan menjadi trend manula-manula setelahnya.

Belalang Tempur segera memintaku untuk naik di atasnya dengan terburu. Ia berpesan padaku agar jangan menatapi bokong Maba yang berangkat kuliah. Karena itu dosa katanya. Kucolek Belalang Tempur sejenak, ia tampak kegelian. Lalu tertawa lepas. Dan kami lepas landas.

Karpet hitam itu masih tampak basah. Karena semalam ada rintik hujan, bukan hujan yang menggiurkan. Orang-orang tampak berpersangka macam-macam pada langit. Mereka menjadi heran, sebab di Malang akhir tahun tidak menerima hujan. Namun semalam, hujan itu datang. Meski hanya rintik.

Aku menuruti apa yang dikatakan Belalang Tempur. Dua mataku menatap lurus. Fokus dengan semua yang ada di depan. Bukan bokong, atau pinggul Maba yang berlegging.

Seperti biasa, pintu gerbang kampus seperti lubang semut. Para Mahasiswa adalah semut yang sedang menyemut, masuk ke dalamnya. Membuat diri mereka aman, nyaman. Pun begitu juga denganku dan Belalang Tempur-ku. Bismillah.

Aku telah melewati pos pemeriksaan STNK. Sebentar lagi gedung Pascasarjana. Namun aku tidak punya hasrat mengintip para mahasiswanya yang hobi berkacamata. Sebab ada ia yang lebih bercahaya. Ia bayang. Ia cahaya. Menyala bagai mercusuar. Menatapi apa saja. Nyiur melambai. Derit-derit serangga pengerat daun. Sampai kebisuan dari putri malu. Semua tersiangi. Ia laksana lampu. Menggugah. Pemberi semangat.

Al-Hikmah juga sudah kulewati. Pemandangan masih sama. Ada mentoring lagi. Kulihat Sugeng sedang bersemangat ceramah. Di depannya ada empat Maba yang tampak bengong. Aku kira, Sugeng terlalu revolusioner gaya bahasanya. Jadi, empat Maba itu hanya bisa menabung tanya. Semoga terjawab dengan memuaskan.

Nama lengkapnya Sugeng Santoso, tapi sejak menjadi pembela Tuhan namanya berubah menjadi Sugeng Abdillah. Agamis sekali, dan beraroma surga. Semoga ia tidak melupakanku di akhirat kelak. Amin.

Kutinggalkan Sugeng dengan bahasa revolusinya. Karena sudah saatnya Belalang Tempur mendapatkan jatah rehatnya. Tempatnya masih sama. Di bawah pohon besar yang teduh. Belalang Tempur suka berulah jika tidak mendapatkan tempat yang sama di tiap kunjunganku ke parkiran itu.

Belalang Tempur sudah tampak tenang, nyaman. Aku pamit sebentar. Ia tidak berpesan apa-apa. Hanya dua matanya mengerling. Apa maksudnya? Ia bungkam.

Aku berjalan cepat menuju gedung E-6. Karena di sana, ia lewat seminggu yang lalu. Waktu juga masih belum jam delapan. Masih ada enam belas menit yang sakral.

Aku cemas. Lalu menggelengkan kepala. Aku kecewa. Portal itu penuh dengan mahasiswa yang sedang beradu asap rokok. Jumlahnya ada enam orang. Empat duduk, dua berdiri. Bibir runcingnya tidak lupa bersiul saat ada mahasiswi melintas di depan mereka.

Aku memilih memutar badan,

“Mudah-mudahan portal itu rubuh.

Aku masuk ke gedung fakultas. Di sana aku menunggu jam delapan tepat.

Gedung fakultasku tidak pernah sepi. Hampir tiap hari ada jurusan yang mengadakan pameran. Apa lagi di akhir tahun. Pameran akan semakin lengkap dan sering. Kupasang dua mataku baik-baik.

Aku menyusuri semua sudut lantai satu. Di dindingnya penuh dengan tempelan-tempelan gabus. Banyak tulisan di sana. “Bulan Bahasa” itu temanya.

Aku menemukan banyak puisi,

“Aku ingin mencintaimu dengan sederhana ...”

Aku jadi terobsesi. Otakku merangkai banyak kata. Ada kalimat berseliweran. Beberapa di antaranya membentuk bait puisi,

“Seperti jejak yang tak pernah habis, kau selalu ada ...,” bait pertama puisiku. Untuknya. Untuk ia. Semoga ada.

Jam delapan tepat. Aku segera naik ke lantai dua. Hati kecilku yakin, Pak Hanafi sedang berbincang dengan Kajur. Juga dengan Ustazah Jihan. Tapi harapku, Ustazah Jihan sedang ke kantin. Biar pertemuan cantikku dengan Pak Hanafi semakin membahana.

Napasku kutata dengan sempurna. Tas dan kerahku juga. Ponsel kumatikan. Sebab itu kewajiban. Haram hukumnya ponsel menyanyi di hadapan Pak Hanafi. Aku mengentuk pintu yang menutup rapat itu, dan kemudian kubuka dengan pelan dan sopan. Mereka menatapku. Ada tiga orang.

Assalamualaikum,” sapaku sambil mendekat ke mereka. Aku mengulurkan tangan untuk salaman. Mereka memberikan dengan sangat ikhlas. Aku mencium punggunya. Ada doa melantun saat itu.

Kaifa haal? Kholas?” tanya Pak Hanafi cepat.

Khoir, Ustaz. Bab tsalis kholas,” jawabku tanpa ragu.

Beliau menyuruhku duduk.

“Mana draftnya?” Pertanyaan beliau selalu sama dan klasik.

“Iya, Ustaz,” jawabku sambil membuka tas.

Aku menyerahkan draft skripsiku. Aku masih mengerjakan bab III. Pak Hanafi menatapku penuh tanya. Barangkali, aku masuk daftar mahasiswa yang bertinta merah. Arogan. Suka bikin cemas. Dan jarang masuk.

“Ini, Ustaz.

Beliau menerima draftku dengan seringai yang sangat misterius. Aku menjadi kerdil. Aku takut ada gempa.

Beliau membuka drafku dengan cepat. Perhalaman sampai selesai. Beliau mengangguk pelan. Aku bisu. Kajur dan Sekjur tidak peduli. Bagi keduanya, layar laptop lebih menjanjikan. Saatnya menang. Meski sederhana, permainan freecell sangat tahu bagaimana caranya menghibur.

“Baiklah. Ini saya bawa dulu. Saya koreksi. Minggu depan kita diskusi,” kata beliau sambil memasukkan draft skripsiku ke dalam tas kotak warna hitam. Merknya Pollo. Itu lumayan mahal, bisikku dalam hati.

“Iya, Ustaz.” Aku mengangguk.

Aku kemudian berdiri. Aku ingin kabur secepatnya dari hadapan beliau. Dan juga Kajur dan Sekjur. Sebab, kesegananku terhadap mereka membuatku merasa terancam.

Syukron. Saya pamit dulu, Ustaz.” Aku meraih tangan Pak Hanafi kemudian mengecup punggungnya. Beliau tetap dingin. Senyum itu tampak mahal sekali di wajah beliau.

Aku menutup pintu kantor itu. Mereka tidak melihatku lagi. Aku melangkah dengan cepat. Sebab aku yakin, ia ada di sana.

Tangga kuturuni dua-dua. Tergesa sekali.

Portal itu kosong. Mahasiswa yang menguasai tadi sudah tak berbekas. Jam ponselku masih setengah sembilan.

Aku tidak ingin ke kafe Jangkar. Karena aku ingin segera melihat wajah ayunya.

Portal sudah di depan mata. Aku duduk dengan senyum yang penuh harapan. Tidak ada rokok. Tidak ada asap. Tidak ada geram. Kecewa. Aku baik-baik saja. Hatiku seperti bustan yang kelebihan bunga. Yasmin. Wardah. Anggrek. Berwarna sekali.

Aku menunggu detik berjalan dengan sedikit gemetar. Bukan takut atau tidak percaya diri. Tapi aku bahagia. Ia menjelma energi. Memberi kekuatan yang tidak terbatas.

Detik berlalu. Hanya embusan angin yang lewat. Bukan ia. Bukan mereka. Daun-daun kering terlihat seperti membuat kutukan. Apa salahku? Tuulul amal! Teriaknya. Namun aku tidak peduli. Ini bukan cerita yang tamanni. Tapi harap yang tarojji.

Aku mengabaikannya. Karena daun-daun pengkutuk itu hanya cemburu. Tidak lebih.

Detik terus beranjak, tapi ia tidak ada.

Ia tidak ada. Hampa. Ujung jalan itu seperti senyap. Aku menutup mata. Lalu kubuka lagi. Ia tidak ada. Ia tidak berjalan di depanku lagi.

Daun-daun kering itu merasa kemenangan mutlak milik mereka. Senyum liciknya menghampar di dua mataku. Aku adalah pecundang di mata mereka. Tapi tidak. Itu bukan sebuah kekalahan.

Aku turun dari portal. Aku tidak geram. Aku tidak kecewa. Aku baik-baik saja.

Kafe Jangkar memberiku isyarat: Hari belum menua. Butir rindu akan sempurna jika bertemu biji kopi.

Aku memutar badan. Aku akan menikmati secangkir kopi. Dua batang rokok. Dan ia.

Jangkar ramai sekali saat itu. Ada beberapa diskusi santai yang diadakan mahasiswa Seni dan Desain. Mereka tampak nyleneh, sangar. Tapi menurutku mereka asik. Diskusinya tentang bianglala. Atau bagaimana membuat semburat cinta dalam bianglala. Ada jejak-jejak kaki pemabuk cinta. Tokohnya adalah Qois, lengkapnya Umrul Qois; laki-laki yang mabuk dengan cinta. Baginya tak ada satu pun rasa sakit yang menderanya. Sebab ia mabuk cinta. Laila ... Panggilnya manja. Tapi malam tampak tak peduli. Malam lebih memilih menyasikan Laila melakukan janji nikah dengan laki-laki lain. Bukan Qois. Ia saudagar kaya. Punya banyak onta. Bukan Qois, pemilik dinginnya padang pasir. Pemungut teriknya matahari yang menerpa padang luas itu.

Aku melirik mereka sejenak. Setelah itu, aku masuk ke dalam Jangkar.

“Kopi hitam satu!” Aku memesan kopi hitam. Itu minuman idolaku. Sebab aku percaya, para malaikat juga meminumnya. Sebab aku percaya: Tuhan bersama para penggila kopi.

“Siap!” jawab Pak Mursi sambil mengangguk. Ia orang Arodam. Rambutnya sudah banyak ubannya. Jika tertawa dua matanya menutup rapat. Dua anaknya mengambil jurusan Teknik Mesin dan Biologi.

Pak Mursi orangnya baik. Ia sudah percaya kepada kami –penggila Jangkar- tentang hitungan makanan dan minuman yang kami tandaskan. Ia baik. Sebaik kaca jendela yang membiarkan debu menempel serupa kanvas. Lalu aku menggaris senyummu di sana. Indah sekali. Kau masih sama. Aku terbawa rindu. Bayang? Aku tak peduli.

Kopiku datang. Pak Mursi mengantarkannya sendiri. Aku memilih duduk di dalam warung. Bukan di bawah pohon jaran yang meneduhi mereka yang sedang berdiskusi.

Aku menuangkannya sedikit. Asapanya menjelma banyak tangan. Semuanya menggilitik hidungku. Tapi aku memilih berdiri. Sebab tangan-tangan itu akan hampa jika tidak bersama teman sejatinya.

Aku mendekati etalase yang bertuliskan: Rokok bayar langsung!

Aku mengambil dua batang dan membayar langsung kepada Pak Mursi. Perintah tertulis itu sungguh sakti di mataku. Mereka semua tunduk dan patuh. Namun bagaimana jika tulisan itu diganti: Buanglah sampah pada tempatnya?

Ah, mengerikan sekali tentunya.

Aku kembali duduk. Cairan kopi yang sedang berbahagia di lepek sudah mulai mendingin. Satu batang rokok kunyalakan. Asapanya bulat. Lalu kotak. Dan berakhir tidak terdefinisikan. Satu embusan, kususul dengan satu seruputan. Rasa-rasanya dunia ada di bawah telapak kakiku.

Ponselku berbunyi. Sebuah SMS masuk. Ah, biar saja!

Beberapa saat terlewat. Ponselku berbunyi lagi. Sebuah SMS masuk lagi. Aku segera membukanya,

“Di mana ente?” SMS itu bertanya.

“Surga!”

“Edan!”

Ra urus!”

“Di Ava ada Ta’arruf. Aku panitianya. Banyak roti dan nasi kotak. Aku tahu kamu miskin. Orang miskin suka bohong sama perut!” SMS itu panjang.

Ono sopo ae?”

“Aku aja. Hilal ditelan asad!” SMS itu menjadi jayus.

Tak ngopi dilut.

“Cepetan keburu buyar! Mubazir nasinya tidak ada yang makan. By by!” Ia menyudahi SMS anehnya. Aku tidak membalasnya lagi.

Menurutku itu tawaran menarik. Sebagai hantu penunggu SAC, Vina sering sekali dijadikan panita oleh jurusan untuk acara-acara semisal ta’arruf. Acara ta’arruf adalah acara perkenalan antara maba dengan pihak jurusan. Juga dengan pihak-pihak pengurus HMJ; himpunan mahasiswa jurusan. Itu acara bagus. Setali tiga uang. Siapa tahu bisa menjadi pasangan. Bisikan licik Vina itu selalu kuingat. Ia mengatakannya saat kami masih culun. Karena kakak kelas kami melabeli kami dengan sebutan Maba.

Kopiku masih banyak. Rokokku juga masih belum terisap sampai separuh. Tapi tawaran Vina menjelma bisikan gaib yang kekuatan supranaturalnya tidak terbatas. Tawaran itu seperti mesin penarik yang kekuatan dinamonya menyerupai mobil derek.

Aku menuangkan kopiku lagi. Lepek itu tampak senang sekali. Aku terbang. Saat itu, Vina sedang galak-galaknya.

Aku ingat betul bagaimana Vina menjadi mahasiswa. Ia membuat nyaliku berantakan. Modal yang kupunya sebagai mahasiswa bahasa Arab sangatlah sedikit. Sedangkan Vina selalu menampilkan ketekunannya dalam mempelajari bahasa yang ditulis dari sisi kanan itu. Ia membuatku gamang. Takut. Hampir putus asa. Dan ingin lari sejauh mungkin dari kampusku.

Bagaimana tidak mengerikan. Vina selalu membawa catatan kecil dengan sebuah pulpen yang terselip rapi di saku bajunya. Ketika dosen berbicara dengan kosa kata baru, maka ia dengan cepat mencatatnya. Kemudian menghafalnya.

Pun saat ia berjalan di taman, kafe atau tempat-tempat ramai lainnya. Vina akan selalu membuat catatan-catatan berbahasa Indonesia yang kemudian ia terjemahkan ke dalam bahasa Arab. Bibirnya tidak pernah diam. Sebab ia tidak akan pernah membiarkan detik berlalu begitu saja. Kata-kata itu. Kalimat-kalimat itu. Selalu ia lafalkan. Ketika itu, aku melihat Vina mirip sekali dengan Nicolas Saputra. Ganteng nan rajin. Aku merasa terjungkal.

“Posisi?” sebuah SMS kukirimkan untuk Vina. Seruputan terakhir juga sudah melewati kerongkonganku. Ponselku berbunyi dengan cepat,

“AVA.

Aku segera membayar kopiku pada Pak Mursi. Ia berada antara hidup dan mati. Maksudnya antara sadar dan tidak sadar. Ia terkantuk-kantuk. Bibirnya sedikit menganga. Lahar hangat meleleh di sudut kirinya. Aku membuatnya terkejut.

“Pak.

“Yah!” jawabnya kaget. Lahar hangat masih tampak jelas di sudut kiri bibirnya. Aku berniat mengusapnya dengan tisu. Namun aku takut itu menjadi jalan ia jatuh cinta padaku. Naudzu billahi min dzalik.

“Kopi satu,” kataku sambil membayarnya dengan uang pas. Ia seperti sangat ingin segera mengatub lagi.

“Yah!”

“Makasih, Pak!” seruku sambil meninggalkan tempat tidurnya. Semoga mimpi indah, Pak.

Aku berjalan cepat menuju AVA. Tujuanku bukan ia. Bukan ia yang berkawat gigi itu. Sebab ia tidak hadir. Sebab ia tidak ada di sana. Ia bukan mereka. Ia tidak mengenal Vina.

Aku melewati kantor dosen. Kulihat sejenak, Ustazah Jihan tampak merenung sendiri. Pandangan matanya kosong. Ia tidak di sana. Mungkin ia masih di kaki bukit itu. Namanya Panderman. Lima tahun yang lalu. Ia kadang menangis pelan. Di sunyinya hari. Seperti saat itu.

Ustazah Jihan orangnya smart. Dekat dengan mahasiswa. Ia menjadi gantungan harapan bagi mahasiswa yang hampir saja putus asa. Ia dengan Ustaz Haikal selalu memberi pelajaran tambahan di rumahnya bagi mahasiswa yang kurang paham dengan materi perkuliahan. Terkhusus mata kuliah Balaghah. Atau yang dikenal dengan Sastra Arab. Ustazah Jihan serupa puisi, kadang berganti wujud menjadi cerpen, bahkan novel. Ustazah Jihan seperti paragraf yang tidak pernah mempunyai titik. Semua senang dengannya. Semua merasa terpayungi.

Dan lengkapnya adalah Jihan Nur. Cantik. Bulu matanya seperti Isfahan. Cara bicaranya seperti Nubi; Zenubia Al Bizanti. Aku jatuh cinta. Mereka juga. Namun bukan cinta yang pelik itu.

Orang-orang Bizantium menyebut bahwa bayangan Nubi lebih cantik dari berlian hitam di puncak Afrika.

Ustazah Jihan menikah saat ia masih kuliah. Suaminya adalah laki-laki dari masa depan. Begitu katanya. Ia menikah di antara eloknya Piramid. Ia berbulan madu di Khan Khalili. Bersama jutaan cangkir dan ribuan sastrawan yang berdiam diri di deretan kafe, yang memanjang sepanjang jalan Khan Khalili.

Tapi sejak peristiwa itu. Sang berlian hitam enggan bercahaya lagi. Ia tidak lagi memayungi kami yang malang ini. Ia kini sendiri. Panderman menelan semuanya.

Ustaz Haikal –suaminya- kecelakaan saat mendaki bersama temannya yang datang dari Jakarta. Mereka akrab sejak di sungai Nil.

Dan, sampai sekarang berlian hitam itu seperti tidak ingin mencari lentera lagi. Vina harus mengubur dalam-dalam misi gilanya untuk bersanding dengannya.

Kutinggalkan ia melamun. Mungkin sedang bernostalgia. Aku prihatin. Namun itu bukan kapasitasku. Semoga engkau lekas bersinar!

Aku sudah berada di luar gedung fakultas. Portal itu tersaji lagi. Tapi ia memang tidak ada. Aku tidak kecewa. Aku tidak geram.

Aku lapar ...

Nasi kotak itu. Oh, menggiurkan sekali. Tapi Vina haram untuk tahu gelisah perutku.

Aku segera masuk gedung E-6. Gedung kuliahku. Jurusanku. Yang saat itu sangat asing bagiku. Sebab sejak enam bulan yang lalu tidak pernah kusinggahi lagi.

Gedung AVA ada di lantai dua. Aku mengirim SMS lagi untuk Vina,

“Aku naik!”

Ia membalas,

Oyi!

Aku menaiki tangga menuju AVA dengan perlahan. Aku harus menampilkan wujud yang sangat tidak butuh terhadap acara-acara sejenis itu di hadapan Vina.

Aku sudah berada di AVA. Di sana ramai sekali. Gadis-gadis berkerudung tampak hilir mudik di sana. Modelnya sama semua. Aku tahu mereka Maba. Sebab gerak lakunya aneh. Ha ha ha. Aku terbahak sendiri. Sebab aku juga begitu. Dulu.

Aku mengedar pandangan. Sosok Vina belum ada. Mungkin ia masih di dalam. Menyiapkan proyektor atau mungkin saja mengatur sirkulasi kotak jajan atau makanan. Yang pasti ia sedang sibuk sekali.

Aku memilih duduk di kursi yang berada di pojokan. Letaknya di antara gedung AVA A dan B. Acara Ta’arruf berada di gedung B.

Tapi tak sampai lima menit, tubuh ceking Vina tertangkap dua mataku. Ia tidak melihatku. Tapi bisa saja pura-pura tidak melihatku. Itu hobinya sejak sebelum kuliah.

Aku memanggilnya. Ia menoleh. Lalu dengan cepat mengambil kursi yang ada di meja panitia.

Ia mendekatiku. Aku ingin kabur, tapi sudah terlambat. Sebab ia terlanjur mempesona di depanku.

Angkatan piro, Sam?” tanyaku cepat.

“2006. Ayu-ayu arek e,” jawab ia sambil terseyum nakal.

“Sudah dapat?”

“Ustazah Jihan tak tergantikan,” jawabnya lagi sambil mengambil napas dalam. Aku maklum. Vina selalu serius ketika menyebut namanya.

“Tadi aku melihat Ustazah Jihan melamun di kantor dosen. Namun begitu melihatku, ia mengerling. Cantik sekali.

Keat!

Itulah cinta. Barangkali itulah kekuatan cinta. Mampu mengubah segalanya. Kemayu menjadi galak. Dan galak menjadi kemayu. Vina. Ya, aku melihatnya pada diri Vina.

“Hilal ke mana? Firas? Fanani?”

Yo ngojob ta, Sam! Gak koyok kon. Jomblo!” ia terbahak.

“Ha ha ha. Ustazah Jihan ana uhibbuk!”

Vina semakin galak.

“Edan!”

Lalu, hening. Ada jeda. Udara seperti pamit untuk istirahat. Tak ada desau. Cahaya mentari yang menyusup melalui celah kusen juga tampak menebar senyum. Kenapa? Ada apa?

Gedung itu tak menyisakan ruang untuk suara lain. Vina seperti mendadak beku. Ia tak bersuara lagi.

Suara langkah kakinya berirama. Teratur. Ada not-not yang tidak timpang. Ketukan sepatunya saat menaiki tangga membuat kupingku menari. Ia siapa? Siapa ia?

Suara itu terus mendekat. Langkah kakinya tetap bernada.

Aku menunggunya.

Masih ada jeda. Gedung juga senyap. Vina masih menjadi batu.

Ia datang. Di depan bola mataku. Ia bukan mereka.

Tubuhku gemetar. Aku kedinginan. Bibirku mengatub. Terkunci rapat. Dua bola mataku terekat. Tidak bisa berkedip. Ia bukan Nubi. Ia bukan Isfahan. Ia adalah ia. Ia yang berbaju hijau samar, semburat. Ia yang dua matanya almond. Jika air matanya menetes maka akan menjadi kristal yang keindahannya melebihi berlian hitam dari puncak Afrika. Ia mengayun. Lengan tangannya mendapat banyak sambutan. Cahaya mentari dan sejuk udara berebut menjumput siluet tubuhnya. Aku tahu, ia adalah ia. Aku tetap belum bisa membedakan kulit pipinya. Itu Pink atau Magenta.

Aku benar-benar tidak berdaya. Itu anugerah? Atau itu siksa? Ah, entahlah.

Vina mencair. Ia tersenyum. Sumpah, diameter bumi menyusut. Detik waktu tak punya hasrat berputar lagi.

Vina seperti penghuni nirwana.

“Mas Vivin,” sapa ia. Aku semakin tidak berdaya.

Sial. Vina. Vina. Sial. Sungguh sial. Ia sial. Karena nama Vina. Sejurus kemudian, Vina bersuara.

“Hai ...,” ia membalas sapanya. Aku semakin tidak berdaya. Aku terpaku.

Lalu ia berjalan ke arah gedung B. Ia mendatangi kerumunan itu. Aku menatap hampa. Tidak tahu apa yang kurasa. Gerak tubuhnya tetap berirama.

Vina jahil.

Ngowoh ae!” tegurnya saat bibirku enggan mengatub.

“Siapa ia, Vin?” tanyaku cepat. Tapi dua mataku masih memungut jejak langkahnya.

“Ah. Payah! Semua tahu siapa ia. Ia angkatan 2006. Makanya jangan sok menjauh dari kampus. Banyak anugerah yang kamu lewatkan.” Vina mendadak menjadi tukang dakwah. Tapi dua mataku masih melukis indahnya.

Aku bertemu ia lagi. Hai, dunia yang penuh dengan kejutan. Bias-bias yang kau tawarkan ternyata mulai tersibak. Ia bukan bias lagi. Tapi ia adalah gradasi. Sementara aku adalah bagian warna yang akan menjadi penggenapnya. Sebab aku kagum dengannya. Aku terlalu mengada-ada? Iya. Sebab aku kagum dengannya.

Vina mengejutkanku.

“Cari tahu siapa ia! Barangkali kamu tidak bernasib malang.

Vina tertawa sekarang. Suaranya membikin kuping sakit.

Keningku beraksi, “Maksud kamu?”

“Yang aku tahu, ia dekat dengan teman kita juga. Bahkan banyak yang melihat ia sering jalan berdua. Kadang ke kafe. Kadang juga ke gedung H,” jawab Vina panjang. Adrenalinku meningkat tajam. Aku tertantang. Ini bukan tawaran. Ini juga bukan taruhan. Sebab kekaguman tidak pernah bisa serupa apa pun.

“Siapa teman kita itu?” tanyaku tajam.

“Buroq!”

“Haah!” Aku menganga. Aku hampir tidak percaya. “Kamu jangan bikin berita bohong!”

“Itu yang kutahu.

“Sejak kapan?”

“Sejak OSPEK. Bahkan saat Baksos mereka tampak mesra.” Vina menyulut sumbu dalam hatiku.

“Tapi ... Ah. Itu tidak penting.

“Jadilah laki-laki yang mbeneh, Sam!”

Karepmu opo?

“Sekadar kenal boleh. Tapi jika kamu merusak hubungan mereka, itu lain soal.

“Aku tahu. Tapi mereka seperti timpang. Ha ha ha.

Kon kiro ente ganteng dewe, tah?

Ora!

“Terus?”

Ganteng kalah ambek naseb, Sam. Opo maneh mung saingan ambek Buroq!

Kepedean, kon!

“Itu tidak penting. Sekarang mana jatahku?”

Sek. Tunggu. Tak ambilkan. Aku gak tego ndelok awakmu. Kuru pool!”

Vina beranjak dari sisiku. Ia akan memenuhi janjinya. Sekotak nasi dan roti aku berpindah ke tanganku. Vina memang baik. Namun sayang, ia terlalu tergila-gila dengan berlian hitam itu.

Andai ia tahu. Barangkali Ustazah Jihan akan membuat pengecualian. Atau setidaknya membuat pemakluman. Jika Vina sedikit miring. Ih, Ustazah Jihan!

Aku melongok ke dalam gedung B. Ia tidak terlihat.

Vina kembali. Sekotak nasi dan roti sudah ada di tangannya. Ia juga memberiku kantong plastik. Karena Vina ingin aku segera menjauh dari gedung itu. Vina ingin gedung itu tetap kondusif. Tidak ada kegaduhan.

Yang dimaksud Vina adalah aku.

Jahat sekali. Tapi tak apa. Ia ada di sana. Membungkus wajah kagumku. Melukis delik bola mataku. Ia akan selalu bertanya: Siapa aku?

Aku Lin! Tahukah kamu? Boleh juga kau panggil Tang. Aku miskin. Perutku buncit. Tapi apa kau suka perut buncit?

Lalu wajahku ganteng, itu hanya kataku. Bukan kata Vina atau Jo. Tapi aku kagum denganmu. Menurutku kamu adalah layak dikagumi. Diwiridkan. Dibuat berzikir. Malam-malam saat sunyi.

Namaku Lin. Aku pernah jatuh cinta pada sebuah nama. Tapi tak seajaib denganmu.

Namaku Tang. Aku suka membuat puisi. Tapi menjijikkan. Adakah kau suka puisi? Kau bisa buat puisi? Pasti bisa. Sebab kamu beda.

Jo mengirim sebuah SMS.

“Kamu di mana? Aku ada perlu! Gpl.

“Kampus. Perlu apa? Kamu di mana?” balasku. Lalu ia membalas lagi.

“Aku di warung biasanya. Cepat.

“Apa SMK pulang pagi lagi? Aku sedang tidak ingin ngaceng,” balasku. Lalu ia membalas lagi.

“Ini bukan tentang puting, Sam. Ini tentang perut”

“Aku ke sana sekarang!” balasku. Ia tidak membalas.

Aku menuju parkiran dengan hati yang merona. Sebab aku bertemu ia. Ia berkawat gigi itu. Berbaju warna samar itu. Berpipi pink atau magenta itu. Aku bawa bekas ayunan tangannya. Kusembunyikan di tempat paling rahasia: Palung hati.

Belalang Tempur menyambutku dengan wajah sumringah. Karena ternyata ia menangkap apa yang kurasakan. Ia sakti seperti paranormal. Sebab itu, Belalang Tempur selalu kumintai restu. Ia selalu mengangguk.

Aku memacu Belalang Tempur dengan sedikit kencang. Beberapa mahasiswa tampak tidak suka dengan ulahku. Tapi biarlah. Karena aku sedang bahagia.

Jo. Aku ingat Jo. Ini pasti penting. Jo selalu begitu jika ada urusan penting. Jo tidak melulu tentang kutang dan puting remaja SMK. Ia memang hobi mastrubasi. Tapi Jo adalah kawan yang bisa dimintai pendapat.

Tapi kasihan ia, keluarganya belum bangkit. Sawahnya habis. Mending aku. Sebab aku sudah miskin sejak dulu. Sejak kecil. Sejak Ayahku pamit ke liang lahat.

Sekejap saja, aku sudah berada di depan kampus. Warung kami di depannya persis. Berada di sebelah baratnya SMK.

Aku menghampiri Jo. Ia sendirian. Wajahnya kusut. Sepertinya belum makan. Kutepuk bahunya. Ia menoleh cepat.

“Jo ...,” sapaku.

“Lin ...,” balasnya.

Lalu kami duduk berhadapan. Wajah Jo belum berubah. Masih kusut. Tebakanku mendekati kenyataan: Ia pasti belum makan.

“Ada apa, Jo?”

“Kamu ada uang?”

“Ada. Berapa?”

“Satu juta!”

“Gendeng! Mbokku opo ngeseng duet?” Aku terbahak. Ia bertambah kusut.

“Ini serius, Sam!” serunya dengan nada penuh tekanan. Ia berharap agar aku tidak menganggapnya sebagai lelucon.

“Memangnya ada apa? Kamu juga tahu keadaanku seperti apa,” sahutku tenang. Semoga ia percaya jika aku tidak menganggapnya serius.

Ia terdiam. Kemudian berkisah. Katanya, ia sedang apes. Beberapa hari yang lalu ia meminjam sepeda motor temannya untuk membeli buku di Toga Mas. Namun di tengah jalan ia bersenggolan dengan motor lain. Ia jatuh. Lampu depan motor itu remuk. Ia bawa ke bengkel. Habisnya sejuta enam ratus ribu rupiah. Beasiswa Jo hanya satu juta dua ratus ribu rupiah. Dan keluarnya masih tiga bulan lagi. Ia tidak mungkin minta kiriman dari rumah. Karena orang tuanya miskin.

“Aku hanya ada tujuh ratus ribu,” aku mencoba menawar keinginan Jo. Sebab aku sedang bahagia. Padahal aku hanya punya uang lima ratus ribu. Dua ratusnya akan kupinjamkan Firas atau Fanani.

“Kabar bagus. Bisa aku pakai dulu?” ia sedikit tenang. Wajahnya berangsur-angsur membaik. Ia seperti punya semangat baru.

“Bisa. Tapi besok. Kamu sudah makan?”

“Belum ...,” jawabnya sambil nyengir. “Kamu sakti, Sam. Aku kelaparan. Sejak tadi malam belum makan. Aku tidak berani mengusik uang yang ada di dompet. Sebab sudah bukan milikku lagi,” lanjutnya panjang. Aku menutup kuping. Jo suka begitu jika rasa laparnya akan tertolong.

Aku segera membuka ranselku. Pemberian Vina segera kukeluarkan. Ia menatapku penuh cinta. Kuberikan pada Jo kotak nasi. Sementara aku menikmati roti. Kemudian aku memesan dua cangkir kopi. Indahnya berbagi.

Aku lapar. Tapi Jo lebih lapar.

***

Menjelang tengah malam Jo berkunjung ke kamarku. Ia merebahkan tubuhnya di sebelahku. Itu kebetulan sekali. Sebab aku akan berkisah. Tentang ia. Tentang sorot mata yang memenjarakan. Seperti yasmin. Seperti wardah.

“Jo ...”

“Hm ...”

“Aku melihatnya. Ia di sana. Kira-kira ia sedang ngapain?”

“Ia siapa?”

“Ia yang di sana. Wajahnya oval. Matanya almond. Kamu tahu? Jika air matanya jatuh, maka akan menjadi kristal yang indah. Melebihi berlian. Kamu ingat black diamond?”

“Ingat. Itu film fiktif, Sam.

“Bukan. Itu kisah nyata. Black diamond memang ada. Afrika adalah bumi yang mempunyai kelebihan itu.

“Lalu ia siapa? Siapa namanya?”

“Aku tidak tahu. Ia sejurusan denganku. Tapi ia maba!”

“Pasti bokokngnya menantang. Ha ha ha.” Ia membuat lelucon. Aku menjadi terusik.

“Kamu jangan ngawur kalau ngomong. Ia beda. Ia tidak begitu. Ia adalah puncaknya keindahan.

“Tapi kamu tidak tahu namanya?”

“Tidak. Tapi aku yakin akan segera tahu.

“Kamu jatuh cinta?”

“Itu mustahil. Sebab aku tidak sepadan. Ia beda. Ia puncak keindahan.

“Lalu?

“Mengaguminya lebih dari cukup. Tapi ia milik orang lain.

“Sudah menikah?”

“Belum.

“Apa rencanamu selanjutnya?”

“Tidak tahu!”

“Kamu sakit kayaknya.

“Memang. Ia membuatku sakit. Tapi ini sakit yang nikmat. Kamu tahu nikmatnya sakit, Jo?”

“Barangkali tidak.

“Bagaimana skripsimu, Jo?” Aku mencoba mengalihkan perhatian. Jo menurut.

“Katanya dosenku pulang lusa. Tinggal BAB V. Setelah itu ujian.

“Rencanamu setelah lulus?”

“Daftar PNS. Kemudian menikah.

“Itu bagus, Jo. Biar kamu tidak terus-terusan berfantasi tentang isi beha dan celana dalam wanita. Kamu juga akan berhenti mastrubasi. Itu sangat baik.

“Kamu kepanjangan jika ceramah.” Jo nyengir.

“Kalau kamu, Lin.

“Lanjut S-2. Aku ingin menjadi dosen.” Aku menghayal.

“Sebaiknya kamu periksa ke dokter, Sam! Suhu badanmu sangat panas.

Jo tiba-tiba tertidur. Ia seranjang denganku. Tidurnya Jo tenang, tidak bersuara. Tidak mendengkur. Hanya saja ia gampang sekali ngelindur, lindihan. Jika Jo neglindur, ia tampak sangat menakutkan. Sebab Jo kadang menjadi Naruto. Itu tokoh idolanya. Aneh, seumuran Jo masih punya tokoh kartun idola.

Aku berusaha mengatub. Tapi selalu gagal. Sebab ia selalu ada. Selalu hadir. Hening. Bening. Malam menjawabnya dengan wajahnya. Dunia seperti membuatku terusik.

Kini, aku bersama langit yang benar-benar gelap. Bintang tidak ada. Angin yang berembus juga terus meningkat dinginnya. Aku memilih membaca, sebab aku bisa sedikit kehilanganmu. Atau biar sekadar untuk membuatku terkantuk.

Kalimat demi kalimat kulahap dengan cepat. Tapi dua mataku tetap utuh sampai fajar menjelang.

Azan subuh memenuhi cakrawala. Aku pulas.  

 

Mengapa Saya Lebih Memilih Ikut Perlombaan Burung Lovebird?

  Mengapa Saya Lebih Memilih Ikut Perlombaan Burung Lovebird? Di tengah hiruk-pikuk kehidupan modern yang penuh tekanan dan tuntutan, mencar...