Pertengahan 2013. Kami rebahan di atas karpet lusuh
yang tergelar di depan televisi. Hari itu adalah hari terakhir kami
melaksanakan UTS. Seluruh saraf otak kami baru saja mengendur. UTS kami tidak dibawa
pulang dan dikerjakan di rumah, tapi berupa kuis yang waktunya begitu singkat.
Dari empat soal yang diajukan, hanya bisa kukerjakan dua saja. Selebihnya aku
isi dengan syair lagu. Aku yakin, dosen yang mengoreksi akan tersenyum puas.
Sebab besoknya, jika tidak begitu lusanya, beliau akan mengintrogasiku. Di
kantor dosen. Di depan dosen-dosen yang lain. Biasanya disuruh menyanyi.
Wajahku pasti culun sekali. Lalu aku akan mendengar banyak tawa. Menggema.
Memenuhi ruangan. Mirip lebah.
Riyan, Raka, dan Sony tampak sumringah. Mereka seperti
tidak memiliki beban. Wajah mereka menampilkan ekspresi orang yang baru saja
memenangkan judi togel. Ketika kutanya, mereka menjawab: Gitu aja repot!
Aku mau pingsan.
Sesuai jadwal, dua bulan lagi kampus kami akan libur
panjang. Biasanya tiga bulan. Dalam tiga bulan itu, hanya seminggu kami masuk.
Yakni untuk registrasi dan mendaftar mata kuliah. Aku sudah tidak sabar ingin
menjauh dari jurusanku dan berdiam diri di rumah. Menikmati liburan bersama
teman-teman dan tentunya dengan keluarga. Aku terbayang-bayang sungai yang
air meluber. Aku akan di sana seharin. Menunggu kailku bergerak. Di sebelahku
ada Tejo, Sueb, dan Moni. Mereka bertiga dilahirkan untuk memancing ikan.
Sementara aku hanya penggembira saja. Pupuk bawang istilahnya.
April, dalam bahasa kami, adalah musim panas. Tapi hujan
masih saja turun. Tidak kenal waktu. Kadang mulai Subuh sampai jam tujuh pagi.
Kadang juga setelah Duhur. Dua waktu itu adalah jadwalku kuliah. Hujan
sepertinya memang sengaja menguji imanku. Aku yakin, saat KRS-an dulu, ia
mengintipku. Mengintip jadwal dan ruang kuliahku. Hujan berhasil. Dalam sebulan
kemarin saja, aku sudah tidak masuk kuliah empat kali. Semua gara-garanya. Ia
turun tanpa permisi. Sebab ia juga, aku harus mengarang cerita. Bolos pertama
alasanku sakit. Cantengan ringan di jempol kaki kanan kujadikan kambing hitam.
Untung Pak Dosen tidak bertanya lebih
lanjut. Beliau hanya mendoakan, semoga aku lekas sembuh.
Bolos kedua alasanku menengok orang sakit. Ia masih
kerabat. Meski jauh. Kebetulan sekali ia dirawat di rumah sakit. Ia harus
melakukan operasi cesar. Sebab, bayi dalam kandungannya sungsang alias kaki
keluar duluan. Bolos ketiga alasanku sakit lagi. Bukan cantengan sebagai
kambing hitam, tapi lututku yang tergores paku. Ringan dan tidak berbahaya. Tapi
itu sudah tergolong sakit menurutku. Tapi kali ini aku gagal. Bapak Dosen
memang tidak menanyaiku. Tapi beliau memergokiku sedang menikmati kopi di WS.
Alamak. Aku tertangkap basah. Kuyup lagi. Meski rintik hujan tidak menyentuhku
sama sekali. Tamat.
Di tengah lamunanku, Riyan membuka suara, “Entah kenapa,
aku suka sekali dengan yang namanya Raisa. Suaranya jazzy banget. Jika
ia sudah menyanyi, semuanya seperti diam. Kompak mendengarnya. Bait demi bait
lagu yang meluncur sempurnya dari bibirnya.”
“Ada dua yang kusuka, Yan. Raisa sama Sherina. Aku
benar-benar jatuh cinta pada keduanya,” sahut Sony. Aku masih diam. “Kalau kamu
pilih siapa, Raka?” tanyanya kemudian kepada Raka.
“Selera kita sama,” jawab Raka tanpa pikir panjang.
“Kamu, Choi?” tanya Raka kepadaku. Aku diam sejenak. Sambil membungkus daguku
yang gundul. Harapan tumbuh jenggot seperti Ahmad Dhani masih jauh. Benar-benar
jauh. Minya Firdaus rekomendasi tidak bisa berbuat banyak untuk daguku. Aku korban
iklan.
“Intuisi memang tidak bisa dibantah. Raisa memang menjadi
idolaku. Sejak dulu. Ketika aku masih SMA. Dan, rasanya ia takkan tergantikan.”
“Ahay. Kebetulan yang seksi!” seru Riyan gemibra. Sony
dan Raka tampak tersenyum. Keduanya larut dalam kegembiraan Riyan. Sementara
aku, masih memikirkan bagaimana intuisi membawa kami pada satu pertemuan. Satu
kesukaan. Satu hati. Sama rasa. Kami memiliki rasa yang sama. Sebanding.
Sederajat. Ah. Begitu ajaib. Sungguh ajaib. Tuhan Maha Menyenangkan.
“Bagaimana rencana kalian dengan libur panjang yang akan
datang? Itu libur pertama kalian sebagai Maba,” Raka bertanya kepadaku dan
Sony.
“Aku ingin pulang saja. Biasanya aku mancing dan main layang-layang. Sebab, liburan
selalu bertepatan dengan musim angin di daerahku,” jawabku panjang. Penuh
semangat. Aku sudah tidak sabar menjauh dari kampus. Ekspresi
semangatku berbanding terbalik dengan suasanya hati Sony. Ia tampak murung.
“Kamu kenapa, Son?” tanyaku cepat.
“Aku selalu benci di rumah. Aku sendirian. Aku
terkucilkan. Aku minoritas. Banyak yang tidak suka denganku. Mereka melihatku
dengan tatapan aneh. Andai saja, libur panjang itu dihapus. Pasti aku akan
bahagia. Sebab, aku tidak memiliki kesempatan pulang. Aku bahagia di sini,”
urai Sony panjang. Suasana menjadi hening. Ada titik haru menyeruak dari wajah
kami. Ingin saja aku memeluknya. Tapi segera kutepis. Sebab, Sony terlanjur
dewasa jika kutentangkan dengan pelukan. Aku takut, ia salah mengartikan
pelukanku.
“Aku hanya pulang sebentar. Tidak lama,” kata Riyan
menyahut. “Kamu tidak perlu pulang, Son. Kita di sini saja.” Raka menepuk bahu
Sony.
“Iya, Son. Aku juga pulang sebentar. Setelah itu, aku
habiskan liburan di sini. Choi, kan, masih mbok-mbok-en jadi ia pasti
lebih milih pulang,” sindir Riyan kepadaku.
“Ah, kalian,” kata Sony sambil menguap. Kami bertiga
hanya bisa saling pandang. “Apa kalian ada ide menarik mengisi liburan panjang
itu?” tanyanya kemudian.
“Jika itu menarik, akan kuanulir rencana pulangku,”
kataku. Riyan dan Raka tampak berpikir serius. Keduanya harus segera menemukan
ide yang diharapkan Sony. Sebab jika ide itu sesuai dengan harapannya, maka
Sony akan terhindar dari kemuraman. Dan aku batal pulang kampung.
“Hm. Aku ada ide. Sangat menarik. Penuh tantangan. Jika
kalian laki-laki, maka harus setuju.” Tenang dan sok bijak, Riyan menggantung
kalimat. Kami bertiga tersihir. Rasa penasaran kami tiba-tiba saja melesat
sudah sampai ke ubun-ubun.
“Apa idemu itu?” tanya Sony cepat. Rasa penasaran Sony
sebelas dua belas dengan tubuhnya. Besar dan menggebu.
“Kita berempat adalah pecinta Raisa. Benar?” Riyan
menginterogasi kami.
“Benar!” jawab kami bersamaan.
“Kita libur hampir tiga bulan. Bagaimana dalam tiga bulan
itu, kita adakan kompetisi. Biar kita tidak gila dengan kekosongan waktu yang
panjang itu.” Riyan menggantung kalimat lagi.
“Lalu apa hubungannya dengan Raisa?” tanyaku tidak sabar.
“Pertanyaan bagus. Kompetisi itu berhubungan erat dengan
Raisa,” jawab Riyan serius.
“Lalu?” Raka tidak bisa hanya diam saja.
“Aku namakan: Kompetisi Mengejar Raisa. Siapa yang dapat,
ia adalah juaranya. Dan, yang kalah konsekuensinya menyediakan kopi bagi
pemenang sebulan penuh. Apa kalian tertarik?” Riyan membuat kami ternganga. Ide
yang sangat aneh. Tapi sungguh brilian. Wajah Sony menampakkan hal yang sama
denganku.
“Bagus! Ide bagus. Aku suka. Aku pasti bahagia. Aku pasti
juaranya!” seru Sony keras. Ia mendadak kesetanan. Aku, Raka, dan Riyan hanya
bisa saling pandang. Dan detik berikutnya, kami sama-sama meletupkan kentut. Duuuuuud. Aromya
cery dan strowbery menjadi kombinasi yang pas.
“Bagaimana aturannya, Yan?” Sony paling bersemangat di
antara kami.
“Jadi begini. Selama tiga bulan. Kita harus menemukan
Raisa. Jika sudah ketemu harus selfy dengannya. Siapa yang pertama, itu
yang menang. Maka sebagai bukti, kalian harus mengirim foto itu ke yang lain.
Syaratnya, kita hanya boleh membawa bekal uang lima puluh ribu rupiah. Tidak boleh sekalipun menelepon
saudara atau teman untuk meminta bantuan. Tapi jika kita akan mati, baru
boleh.” Panjang, Riyan memberi penjelasan kepada kami. “Kita harus berusaha
sendiri. Cari makan dengan keringat kita sendiri. Dengan cara apa pun. Kita
sudah balig. Sudah saatnya kita hidup mandiri,” sambungnya penuh gairah. Aku
menyimaknya dengan baik. Begitu juga dengan Raka dan Sony.
“Ada yang lain?” tanya Sony dengan semangat. Ia tampak
sudah tidak sabar menanti libur panjang itu. Ia terlihat sekali ingin melipat
waktu. Tidak ada kuliah. Tidak ada UAS. Yang ada, begitu membuka mata Sony
sudah berada di hari libur. Lalu esoknya kompetisi itu dimulai.
“Kompetisi itu kita mulai dua hari setelah UAS berakhir.
Kita regitrasi dulu. Untuk KRS bisa kita lakukan di hari terakhir. Kalian sanggup?” Riyan
melempar pertanyaan lagi. Sony paling semangat.
“Sanggup!”
“Akan menjadi petualangan yang sangat menarik.” Antusias,
Raka menyumbang kalimat.
“Apa kita boleh memanfaatkan gedget?” tanyaku
bingung.
“Boleh. Kita bisa memanfaatkan media sosial untuk melacak
kebaradaan Raisa. Follow akun twitter Raisa. Juga admindya. Di situ
pasti ada agenda Raisa manggung. Dengan petunjuk itu, kita bisa tahu Raisa ada
di mana. Tapi haram hukumnya mengupload setiap kegiatan kita. Baik di facebook,
instagram, twitter, blog dan sejenisnya.” Lancar, Riyan mementori kami.
Kalimat-kalimat breafing-nya menyihir kami. Yang bisa kami lakukan hanya
mendengar patuh.
“Aturan yang bagus,” Sony berkomentar. “Semoga berjalan
sesuai jadwal,” harapnya sungguh.
“Nah, dengan begitu. Sony tidak perlu bermuram durja
lagi. Apa lagi harus bersedih hati,” gurau Riyan. Aku dan Raka hanya mengangguk
setuju.
Kami berempat sudah sepakat. Rapat tidak formal itu
berakhir. Riyan dan Raka akan ke rumah Safia. Keduanya mendapat undangan
pernikahan kakak Safia. Tapi, semua tahu. Safia adalah permata yang mereka
perebutkan. Mereka memang tak ubahnya kembar siam. Tapi persaingan itu tidak
pernah terelakkan.
Safia. Sebuah nama yang indah, menggoda, dan menjanjikan
kehidupan yang puitis. Safia satu angkatan dengan mereka. Yang aku tahu, Safia
itu berdarah Belanda. Tapi wajahnya tidak aneh seperti orang Belanda
kebanyakan. Hidungnya mancung khas Jawa. Tapi matanya biru. Rambutnya sehalus
tenun sutra. Bibirnya tipis mengiris. Dan pipinya tidak menonjolkan tulang.
Aduhai betapa sempurnanya ia. Safia suka berpuisi. Tapi Riyan dan Raka lebih
suka kopi. Jalan mereka tampak berbeda. Tapi keduanya bertekad, bahwa kopi
adalah puisi. Dan puisi adalah kopi. Safia, tunggulah. Begitu katanya.
Dan saat aku bertanya: Safia apa Raisa? Mereka bungkam
seribu bahasa.
Lalu Sony pamit untuk tidur siang. Dan, aku harus
membahasakanmu. Rembulan.