Kamis, 17 September 2020

Mengejar Raisa (2)

 

Sebuah sore yang hangat. Riyan dan Raka belum kembali ke kontrakan. Sementara sejak bangun tidur, Sony pamit untuk keluar. Ada tugas kelompok. Praktis, aku hanya sendiri.

Tiba-tiba saja, Rembulan hadir. Kerudungnya berwarna biru. Ia mengenakan syal abu-abu. Begitu cantik. Begitu memikat mata. Ia menyapaku.

“Mas.” Suaranya membiusku. Tak ubahnya barisan not dalam biola. Ada terpaan udara yang menidurkan. Aku tergagap. Aku gemetar. Ia hadir. Ia nyata.

“Rem ... Rembulan ...” Tenggorokanku terkecat. Ia menggetarkan semuanya. Suaraku serak. Menjadi tak sempurna.

Aku melayang bersama angin. Menuju Firdaus yang suci. Tapi ia segera berlalu.

**

UAS seminggu lagi. Tapi aku sudah sering gemetar. Dan juga tidak sabar menunggu hari itu tiba. Sony kelihatan sangat tenang. Tapi aku tahu, ia juga sering tidak bisa tidur. Bukan karena UAS.

Riyan dan Raka tampak paling santai. Riyan adalah pencetus ide itu. Jadi ia gengsi jika harus bernasib sama denganku. Sementara alasan Raka adalah, ia lebih senior dari aku dan Sony.

Awal Juni 2013. Kampus menjadi hening. Ada pekan ujian akhir. Suara riuh mereka harus disimpan dulu untuk seminggu ke depan. Tapi aku malah tidak merasakan bagaimana tegangnya melewati UAS. Padahal, konon katanya, UAS adalah penentu kelulusan mata kuliah yang telah aku ambil. Aku hanya terbayang-bayang kompetisi, yang menurutku, sedikit gila itu.

Pagi. Sekitar setengah tujuh. Aku berangkat menuju kampus. Riyan, Raka dan Sony masih pulas. Jadwal UAS mereka setelah Zuhur. Juni memang terkenal dengan musim panas, tapi pagi itu aku lumayan mengigil. Tiba-tiba saja.

Aku terus berjalan menuju kampus. Aku melihat banyak mahasiswa yang tergopoh-gopoh. Terutama yang perempuan. Apa lagi yang menggunakan kerudung besar dan rok panjang. Ia terlihat begitu susah berjalan cepat. Dan wajah-wajah di depannya terlihat menggerutu. Aku memilih menyalip mereka.

Gerbang besar kampus sudah di depan mata. Gedung kuliahku yang menjadi arena UAS sudah melambaikan tangan. Ia ingin segera memelukku.

Aku masuk. Aku melihat mereka sedang menundukkan kepala. Menatap lekat pada secarik kertas yang ada di meja mereka masing-masing. Sial. Jarum jam ternyata sudah di angka setengah delapan. Setengah tujuhku ternyata ajaran sesat. Jam sialan. Bangsat.

Tatapan mata dosen sangat mengancamku. Senyum yang kubuat semanis mungkin tidak mempan sama sekali. Ia tidak peduli sogokanku. Yang ada, aku hanya manusia pesakitan. Filsafat memang kusuka, tapi dengan telat setengah jam aku juga bakal kelabakan mengerjakan soal-soal yang diberikan.

Aku bernapas lega. Dosen itu mengizinkanku duduk. Lalu selembar kertas berpindah ke tanganku. Aku baca soal-soal itu. Tidak banyak. Hanya lima soal. Bentuknya esai. Harus dijawab dengan narasi. Jenis soalnya adalah aplikatif. Hanya satu yang berupa teoritif. Jika kutaksir, lima soal itu akan membutuhkan dua lembar folio bergaris. Peluhku langsung saja bermunculan. Memori selama hampir empat bulan lenyap semuanya. Apa yang telah kubaca dan kukomentari tidak sedikit pun berbekas. Aku melihat soal-soal itu menjadi auman singa yang sedang lapar-laparnya.

Dan, puncaknya. Dosen menyatakan waktu ujian telah habis. Kertas folioku begitu bersih. Dosen mengulum senyum. Jika kuterjemahkan: Selamat Anda akan berjumpa saya lagi!

Tapi aku tidak peduli. Sebab, Raisa adalah segalanya.

**

Waktu memang berjalan terburu akhir-akhir ini. UAS sudah berlalu. Kami berempat sangat sibuk. Bukan untuk remidi, atau caper di depan dosen dengan harapan lulus tanpa syarat. Tapi kami sibuk menentukan kapan kami berangkat.

Sony mengusulkan hari Minggu. Tapi langsung kami tolak. Sebab Minggu terlampau ramai. Jalanan pasti padat. Menurut mata batin Riyan, itu tidak baik bagi kami. Sementara aku mengusulkan Rabu. Aku mendasarkan pada tradisi pesantren yang memulai pelajaran di hari itu. Ada juga tradisi keislaman yang begitu fenomenal, yakni Rebo Wekasan. Tapi nasibku sama dengan Sony. Usulanku mentah dan tertolak dengan cepat. Kata Raka, alasan pemilihan hariku membuat kedua telinganya geli. Lalu Riyan mengusulkan Kamis. Tapi juga tertolak. Sebab Kamis lebih baik di rumah. Dari hari itu, masyarakat Nusantara melakukan ritual-ritual mereka. Jadi, kami harus menghormati. Yang terakhir Raka mengusulkan hari Senin. Aku, Sony dan Riyan menggelengkan sejenak. Biar mirip UAS, kata Raka dengan sedikit senyummnya. Aku berpikir sejenak. Menurutku, hari itu bebas dari tradisi-tradisi masyarakat. Di hari itu juga, aktivitas kerja dimulai. Jadi, aku mengibaratkan kompetisi itu adalah pekerjaan.

“Aku setuju hari Senin!” seruku mantab. Sony dan Riyan masih terlihat berpikir. “Bukankah Senin hari kelahiran Safia?”

Riyan dan Raka tergagap. Kemudian tersenyum manis.

“Aku juga setuju.” Pelan, Riyan melemparkan persetujuannya.

“Apa ini modus?” Sony meluncurkan sebuah pertanyaan. Tapi dengan tujuan yang tidak jelas. Riyan dan Raka segera menabrakkan pandangan. Keduanya menyadari jika perang dinginnya sudah mulai diketahui khalayak. “Sudah. Jangan diambil hati. Aku juga setuju. Kompetisi ini dimulai hari Senin,” pungkasnya.

“Berarti semua sudah sepakat. Sekarang Kamis. Berarti kita masih punya waktu tiga hari. Kita persiapkan semuanya. Son, jika kamu ingin menulis wasiat, maka sekaranglah saatnya,” canda Riyan kepada Sony.

“Memangnya aku mendaftar untuk bunuh diri,” tangkis Sony cepat.

“Jangan sekarang, Son! Hari Raya Kurban masih lama. Biar kamu tambah gemuk dulu,” kataku ikut menggoda Sony.

Asu! Jancuk!” umpat Sony.

Kami kompak tertawa. Sony memang lebih sering jadi bulan-bulanan. Namun begitu, ia menjadi yang pertama kami bela saat ada orang yang mengusiknya. Kami satu keluarga. Bahagia. Banyak pelangi. Dan juga Rembulan. Tidak ketinggalan, Safia.

**

Senin. Masih awal Juni 2013. Petualangan kami resmi dimulai. Langit di atas sana menggantung keindahan. Harapanku ada di sana. Terlukis indah. Begitu menggoda.

Perbekalan kami sangat sederhana. Sebuah ransel kecil yang berisi beberapa baju ganti. Ada juga buku catatan kecil. Dan tidak lupa gadget sebagai senjata utama kami.

Tangan kami mengepal. Kemudian saling menggenggam.

Good luck!” teriak kami bersamaan. Lalu kami saling menjauh. Punggung kami saling membelakangi. Dan ketika aku menoleh ke belakang, hanya jejak kaki mereka yang tertinggal. Rasa ngeri muncul tiba-tiba. Ada keraguan yang melintas di depan mata. Benar kata orang bijak: paling sulit adalah memulai sesutatu. Tapi, pagi itu aku sudah berdiri menunggu kedatangan Rapih Dhoho yang akan membawaku ke Kertosono. Dari kota kecil itu, aku akan menumpang kereta menuju Ibu Kota. Sebab berdasarkan jadwal, Raisa selama tiga bulan ke depan hanya menggelar show di Jakarta. Aku yakin, Riyan, Raka dan Sony akan berpikiran sama denganku.

Rumahku tidak jauh dari stasiun Kertosono. Aku memandanginya dari sisi terluar stasiun yang lumayan besar itu. Aku merasakan embusan angin sawah yang setiap pagi kuhirup. Segar dan menyejukkan. Selamat tinggal, kataku. Jemput aku kelak. Sebab aku pasti kembali.

Modal lima puluh ribu sudah berkurang lima belas ribu. Praktis, modal perjalananku hanya tinggal tiga puluh lima ribu. Jika aku menumpang kereta, aku hanya sampai di Solo. Selebihnya aku pasti jadi gelandangan. Tidak boleh terjadi, teriakku dalam hati. Otak harus diputar. Intuisi harus difungsikan. Dan mencari tumpangan gratis adalah pilihan terbaik.

Tapi aku menganulir keputusanku. Aku tidak akan mencari tumpangan gratis. Sisa uang yang kupunya masih cukup mengantarkanku sampai ke Jogja. Dan di kota itu, aku akan mencari uang saku lagi. Entah dengan cara apa. Tekadku kembali menyara. Panas. Menyengat.

**

Sony berdiri dengan napas terengah-engah. Ia baru saja turun, tepatnya disuruh turun oleh petugas kereta karena ia hanya membeli tiket sampai Kediri, sementara saat itu kereta sudah berada di wilayah Madiun. Sungguh berani temanku itu. Pengorbanan konyol! Menurutku.

Ia menatapi kereta yang baru saja memuntahkannya. Wajahnya mengandung ketidakrelaan yang begitu besar. Harusnya ia berada di dalam kerata itu. Duduk manis. Dan juga tertidur pulas. Madiun kota yang asing baginya. Modalnya hanya tinggal dua puluh ribu. Mustahil jika diajak menuju ibu kota hari itu juga. Ia harus menginap di sana. Harus.  

Ia melangkah keluar stasiun. Dalam benaknya, hanya ada Gereja. Di tempat suci itu, ia mungkin bisa menyumbangkan suaranya. Sebagai imbalannya, ia dapat penginapan gratis plus makan yang kenyang. Aroma Rica-rica babi sudah tercium di hidungnya. Senyum lebar Sony tersungging indah di langit semesta. Mudah-mudahan rencana itu sama indahnya.

**

Riyan masih terpaku di kursi ruang tunggu bus. Ia masih tertahan oleh ide gila itu. Aksi spontannya teryata menjadi beban hidupnya. Ia mulai khawatir denganku dan Sony. Ia takut terjadi apa-apa dengan kami. Sebab menurutnya, kami masih Ababil, alias ABG labil. Ia sangat takut kami berhadapan dengan begal. Begitulah Riyan. Sifat melankolisnya lebih besar dari kegarangannya.

Tiba-tiba saja ia tergagap. Sebuah tangan hinggap di bahu kanannya.

“Mau ke mana, Mas?” tanyanya cepat.

“Jogja!” jawab Riyan tidak kalah cepat,

“Ikutlah dengan kami. Kami paling murah tapi fasilitas paling menggiurkan,” kata orang itu berpromosi. Ia berseragam tapi tidak berdasi. Calo? Tanya Riyan dalam hati. Bukan! Jawab hatinya yang lain. Lalu? Orang mencari rezeki. Peduli setan! Teriak Riyan.

Riyan menggeleng, “Tidak, Mas.”

Lalu ia berdiri dari tempat duduknya. Ia tepis semua keraguan itu. Dua matanya melukis Raisa yang sedang melantunkan lagi. Dau pipinya yang kemerahan terlukis jelas di dua matanya yang tajam menantang.

Lalu ia naik ke sebuah bus yang akan membawanya ke Surabaya. Dari kota itu ia akan menupang bus lagi menuju Jogja. Dan akan berakhir di Ibu Kota. Begitu misi yang tertulis di kepalanya. Raisa. Sekali lagi Raisa. Hanya Raisa yang ia punya. Pemompa semangat.

**

Raka sedang menikmati buku barunya. Dua matanya hanya peduli dengan huruf-huruf yang ada di pangkuannya. Meski bus sedang bising-bisingnya, ia tetap tidak peduli. Ia merasa sedang berada di Payung. Ada embusan hawa sejuk menyentuh keningnya. Lalu ada jajaran betis yang indah. Mahasiswa baru di negeri nan jauh di sana seang sekali menguji kekuatan betisnya terhadap hawa dingin Malang. Oh, menyenangkan sekali. Surga? Semoga bukan!

Bus yang ditumpangi Raka akan membawanya ke Semarang. Uang lima puluh ribu ia serahkan semuanya ke kondektur. Ia hanya memegang buku. Baginya, lapar bisa dijinakkan dengan huruf. Idealis sekali. Tapi begitulah Raka.

Jumat, 04 September 2020

Mengejar Raisa



Pertengahan 2013. Kami rebahan di atas karpet lusuh yang tergelar di depan televisi. Hari itu adalah hari terakhir kami melaksanakan UTS. Seluruh saraf otak kami baru saja mengendur. UTS kami tidak dibawa pulang dan dikerjakan di rumah, tapi berupa kuis yang waktunya begitu singkat. Dari empat soal yang diajukan, hanya bisa kukerjakan dua saja. Selebihnya aku isi dengan syair lagu. Aku yakin, dosen yang mengoreksi akan tersenyum puas. Sebab besoknya, jika tidak begitu lusanya, beliau akan mengintrogasiku. Di kantor dosen. Di depan dosen-dosen yang lain. Biasanya disuruh menyanyi. Wajahku pasti culun sekali. Lalu aku akan mendengar banyak tawa. Menggema. Memenuhi ruangan. Mirip lebah.
Riyan, Raka, dan Sony tampak sumringah. Mereka seperti tidak memiliki beban. Wajah mereka menampilkan ekspresi orang yang baru saja memenangkan judi togel. Ketika kutanya, mereka menjawab: Gitu aja repot! Aku mau pingsan.
Sesuai jadwal, dua bulan lagi kampus kami akan libur panjang. Biasanya tiga bulan. Dalam tiga bulan itu, hanya seminggu kami masuk. Yakni untuk registrasi dan mendaftar mata kuliah. Aku sudah tidak sabar ingin menjauh dari jurusanku dan berdiam diri di rumah. Menikmati liburan bersama teman-teman dan tentunya dengan keluarga. Aku terbayang-bayang sungai yang air meluber. Aku akan di sana seharin. Menunggu kailku bergerak. Di sebelahku ada Tejo, Sueb, dan Moni. Mereka bertiga dilahirkan untuk memancing ikan. Sementara aku hanya penggembira saja. Pupuk bawang istilahnya.
April, dalam bahasa kami, adalah musim panas. Tapi hujan masih saja turun. Tidak kenal waktu. Kadang mulai Subuh sampai jam tujuh pagi. Kadang juga setelah Duhur. Dua waktu itu adalah jadwalku kuliah. Hujan sepertinya memang sengaja menguji imanku. Aku yakin, saat KRS-an dulu, ia mengintipku. Mengintip jadwal dan ruang kuliahku. Hujan berhasil. Dalam sebulan kemarin saja, aku sudah tidak masuk kuliah empat kali. Semua gara-garanya. Ia turun tanpa permisi. Sebab ia juga, aku harus mengarang cerita. Bolos pertama alasanku sakit. Cantengan ringan di jempol kaki kanan kujadikan kambing hitam. Untung Pak Dosen tidak bertanya lebih lanjut. Beliau hanya mendoakan, semoga aku lekas sembuh.
Bolos kedua alasanku menengok orang sakit. Ia masih kerabat. Meski jauh. Kebetulan sekali ia dirawat di rumah sakit. Ia harus melakukan operasi cesar. Sebab, bayi dalam kandungannya sungsang alias kaki keluar duluan. Bolos ketiga alasanku sakit lagi. Bukan cantengan sebagai kambing hitam, tapi lututku yang tergores paku. Ringan dan tidak berbahaya. Tapi itu sudah tergolong sakit menurutku. Tapi kali ini aku gagal. Bapak Dosen memang tidak menanyaiku. Tapi beliau memergokiku sedang menikmati kopi di WS. Alamak. Aku tertangkap basah. Kuyup lagi. Meski rintik hujan tidak menyentuhku sama sekali. Tamat.
Di tengah lamunanku, Riyan membuka suara, “Entah kenapa, aku suka sekali dengan yang namanya Raisa. Suaranya jazzy banget. Jika ia sudah menyanyi, semuanya seperti diam. Kompak mendengarnya. Bait demi bait lagu yang meluncur sempurnya dari bibirnya.”
“Ada dua yang kusuka, Yan. Raisa sama Sherina. Aku benar-benar jatuh cinta pada keduanya,” sahut Sony. Aku masih diam. “Kalau kamu pilih siapa, Raka?” tanyanya kemudian kepada Raka.
“Selera kita sama,” jawab Raka tanpa pikir panjang. “Kamu, Choi?” tanya Raka kepadaku. Aku diam sejenak. Sambil membungkus daguku yang gundul. Harapan tumbuh jenggot seperti Ahmad Dhani masih jauh. Benar-benar jauh. Minya Firdaus rekomendasi tidak bisa berbuat banyak untuk daguku. Aku korban iklan.
“Intuisi memang tidak bisa dibantah. Raisa memang menjadi idolaku. Sejak dulu. Ketika aku masih SMA. Dan, rasanya ia takkan tergantikan.”
“Ahay. Kebetulan yang seksi!” seru Riyan gemibra. Sony dan Raka tampak tersenyum. Keduanya larut dalam kegembiraan Riyan. Sementara aku, masih memikirkan bagaimana intuisi membawa kami pada satu pertemuan. Satu kesukaan. Satu hati. Sama rasa. Kami memiliki rasa yang sama. Sebanding. Sederajat. Ah. Begitu ajaib. Sungguh ajaib. Tuhan Maha Menyenangkan.
“Bagaimana rencana kalian dengan libur panjang yang akan datang? Itu libur pertama kalian sebagai Maba,” Raka bertanya kepadaku dan Sony.
“Aku ingin pulang saja. Biasanya aku mancing dan main layang-layang. Sebab, liburan selalu bertepatan dengan musim angin di daerahku,” jawabku panjang. Penuh semangat. Aku sudah tidak sabar menjauh dari kampus. Ekspresi semangatku berbanding terbalik dengan suasanya hati Sony. Ia tampak murung.
“Kamu kenapa, Son?” tanyaku cepat.
“Aku selalu benci di rumah. Aku sendirian. Aku terkucilkan. Aku minoritas. Banyak yang tidak suka denganku. Mereka melihatku dengan tatapan aneh. Andai saja, libur panjang itu dihapus. Pasti aku akan bahagia. Sebab, aku tidak memiliki kesempatan pulang. Aku bahagia di sini,” urai Sony panjang. Suasana menjadi hening. Ada titik haru menyeruak dari wajah kami. Ingin saja aku memeluknya. Tapi segera kutepis. Sebab, Sony terlanjur dewasa jika kutentangkan dengan pelukan. Aku takut, ia salah mengartikan pelukanku.
“Aku hanya pulang sebentar. Tidak lama,” kata Riyan menyahut. “Kamu tidak perlu pulang, Son. Kita di sini saja.” Raka menepuk bahu Sony.
“Iya, Son. Aku juga pulang sebentar. Setelah itu, aku habiskan liburan di sini. Choi, kan, masih mbok-mbok-en jadi ia pasti lebih milih pulang,” sindir Riyan kepadaku.
“Ah, kalian,” kata Sony sambil menguap. Kami bertiga hanya bisa saling pandang. “Apa kalian ada ide menarik mengisi liburan panjang itu?” tanyanya kemudian.
“Jika itu menarik, akan kuanulir rencana pulangku,” kataku. Riyan dan Raka tampak berpikir serius. Keduanya harus segera menemukan ide yang diharapkan Sony. Sebab jika ide itu sesuai dengan harapannya, maka Sony akan terhindar dari kemuraman. Dan aku batal pulang kampung.
“Hm. Aku ada ide. Sangat menarik. Penuh tantangan. Jika kalian laki-laki, maka harus setuju.” Tenang dan sok bijak, Riyan menggantung kalimat. Kami bertiga tersihir. Rasa penasaran kami tiba-tiba saja melesat sudah sampai ke ubun-ubun.
“Apa idemu itu?” tanya Sony cepat. Rasa penasaran Sony sebelas dua belas dengan tubuhnya. Besar dan menggebu.
“Kita berempat adalah pecinta Raisa. Benar?” Riyan menginterogasi kami.
“Benar!” jawab kami bersamaan.
“Kita libur hampir tiga bulan. Bagaimana dalam tiga bulan itu, kita adakan kompetisi. Biar kita tidak gila dengan kekosongan waktu yang panjang itu.” Riyan menggantung kalimat lagi.
“Lalu apa hubungannya dengan Raisa?” tanyaku tidak sabar.
“Pertanyaan bagus. Kompetisi itu berhubungan erat dengan Raisa,” jawab Riyan serius.
“Lalu?” Raka tidak bisa hanya diam saja.
“Aku namakan: Kompetisi Mengejar Raisa. Siapa yang dapat, ia adalah juaranya. Dan, yang kalah konsekuensinya menyediakan kopi bagi pemenang sebulan penuh. Apa kalian tertarik?” Riyan membuat kami ternganga. Ide yang sangat aneh. Tapi sungguh brilian. Wajah Sony menampakkan hal yang sama denganku.
“Bagus! Ide bagus. Aku suka. Aku pasti bahagia. Aku pasti juaranya!” seru Sony keras. Ia mendadak kesetanan. Aku, Raka, dan Riyan hanya bisa saling pandang. Dan detik berikutnya, kami sama-sama meletupkan kentut. Duuuuuud. Aromya cery dan strowbery menjadi kombinasi yang pas.
“Bagaimana aturannya, Yan?” Sony paling bersemangat di antara kami.
“Jadi begini. Selama tiga bulan. Kita harus menemukan Raisa. Jika sudah ketemu harus selfy dengannya. Siapa yang pertama, itu yang menang. Maka sebagai bukti, kalian harus mengirim foto itu ke yang lain. Syaratnya, kita hanya boleh membawa bekal uang lima puluh ribu rupiah. Tidak boleh sekalipun menelepon saudara atau teman untuk meminta bantuan. Tapi jika kita akan mati, baru boleh.” Panjang, Riyan memberi penjelasan kepada kami. “Kita harus berusaha sendiri. Cari makan dengan keringat kita sendiri. Dengan cara apa pun. Kita sudah balig. Sudah saatnya kita hidup mandiri,” sambungnya penuh gairah. Aku menyimaknya dengan baik. Begitu juga dengan Raka dan Sony.
“Ada yang lain?” tanya Sony dengan semangat. Ia tampak sudah tidak sabar menanti libur panjang itu. Ia terlihat sekali ingin melipat waktu. Tidak ada kuliah. Tidak ada UAS. Yang ada, begitu membuka mata Sony sudah berada di hari libur. Lalu esoknya kompetisi itu dimulai.
“Kompetisi itu kita mulai dua hari setelah UAS berakhir. Kita regitrasi dulu. Untuk KRS bisa kita lakukan di hari terakhir. Kalian sanggup?” Riyan melempar pertanyaan lagi. Sony paling semangat.
“Sanggup!”
“Akan menjadi petualangan yang sangat menarik.” Antusias, Raka menyumbang kalimat.
“Apa kita boleh memanfaatkan gedget?” tanyaku bingung.
“Boleh. Kita bisa memanfaatkan media sosial untuk melacak kebaradaan Raisa. Follow akun twitter Raisa. Juga admindya. Di situ pasti ada agenda Raisa manggung. Dengan petunjuk itu, kita bisa tahu Raisa ada di mana. Tapi haram hukumnya mengupload setiap kegiatan kita. Baik di facebook, instagram, twitter, blog dan sejenisnya.” Lancar, Riyan mementori kami. Kalimat-kalimat breafing-nya menyihir kami. Yang bisa kami lakukan hanya mendengar patuh.
“Aturan yang bagus,” Sony berkomentar. “Semoga berjalan sesuai jadwal,” harapnya sungguh.
“Nah, dengan begitu. Sony tidak perlu bermuram durja lagi. Apa lagi harus bersedih hati,” gurau Riyan. Aku dan Raka hanya mengangguk setuju.
Kami berempat sudah sepakat. Rapat tidak formal itu berakhir. Riyan dan Raka akan ke rumah Safia. Keduanya mendapat undangan pernikahan kakak Safia. Tapi, semua tahu. Safia adalah permata yang mereka perebutkan. Mereka memang tak ubahnya kembar siam. Tapi persaingan itu tidak pernah terelakkan.
Safia. Sebuah nama yang indah, menggoda, dan menjanjikan kehidupan yang puitis. Safia satu angkatan dengan mereka. Yang aku tahu, Safia itu berdarah Belanda. Tapi wajahnya tidak aneh seperti orang Belanda kebanyakan. Hidungnya mancung khas Jawa. Tapi matanya biru. Rambutnya sehalus tenun sutra. Bibirnya tipis mengiris. Dan pipinya tidak menonjolkan tulang. Aduhai betapa sempurnanya ia. Safia suka berpuisi. Tapi Riyan dan Raka lebih suka kopi. Jalan mereka tampak berbeda. Tapi keduanya bertekad, bahwa kopi adalah puisi. Dan puisi adalah kopi. Safia, tunggulah. Begitu katanya.
Dan saat aku bertanya: Safia apa Raisa? Mereka bungkam seribu bahasa.
Lalu Sony pamit untuk tidur siang. Dan, aku harus membahasakanmu. Rembulan.

Kamis, 27 Agustus 2020

Universitas Negeri Malang (V)


25 Desember 2012. Aku, Raka, dan Riyan mengantar Sony ke Gereja. Ia tidak bergabung dengan keluarganya yang ada di Malang. Gereja ramai penuh sesak. Sony terlihat ingin kabur dari sana. Tapi Raka dengan cepat mencegahnya.
“Setahun sekali, Bro. Apa kamu rela tidak memeluk Tuhan,”
“Badanku terlampu besar untuk berada di sana, Kawan,” sahut Sony berkilah.
“Siapa tahu kamu mendadak langsing sepulang dari sana,” Riyan menimpali. Aku menahan tawa.
“Benar, Son. Ini peristiwa penting. Tiap begadang kamu menemaniku salat Subuh. Tolong jangan kecewakan aku,” kataku sedikit bertausiah. Riyan dan Raka menelan tawanya yang akan meledak.
Sony gamang. Tapi akhirnya ia memutar badan. Lalu menuju tempat yang suci itu. Ia akan tenggelam di sana. Bersama pelukan Tuhan Yang Maha Perkasa.
Aku bertiga menunggunya dengan sabar. Sebab kami yakin, Sony akan membawa banyak makanan.
Satu jam terlewat. Sony berjalan dengan gagah menuju tempat kami menunggunya merayakan Natal. Senyumnya sumringah. Ada banyak bintang di sana. Sony seperti terlahir kembali. Dosa-dosa itu menguap bersama embusan napasnya.
Tapi mata kami menatap sesuatu yang ganjil pada diri Sony. Sebab ayunan tangan Sony tampak sangat ringan. Riyan sudah mengusap keningnya yang sebenarnya masih kering. Peluh hanya muncul satu dua saja. Raka mengibas-ibaskan tangannya pertanda ia sudah kepanasan. Sedangkan aku, menatap keduanya bahagia.
Sony sudah di depan kami.
“Hai, Sobat. Maaf lama. Tadi bertemu dengan teman Bapak. Jadi diajak ngobrol dulu. Dan kabar baiknya, aku diajak makan.” Tenang dan bahagia, Sony menyapa kami. Riyan menelan ludah. Dua mata Raka mendelik. Sementara aku mendapat jatah tertawa. Sebab, mimpi baik kami tidak hanya berantakan, tapi pesona Sony dalam menceritakan acara makannya membuat kami luluh lantak. Benar kata pepatah: Jangan pernah membayangkan mendapat sesuatu, sebab kadang sesuatu itu diberikan dalam bayanganmu juga.
Kami pulang. Tapi bahagia. Sebab, Sony tidak jadi menjadi umat pembangkang.
***
Akhir Desember 2012. Kami berada di Batu. Saudara jauh Sony berkenan meminjamkan vilanya untuk kami. Rencananya, kami akan meniup terompet di sana. Bersama serbuan dingin yang gila. Ujar Raka penuh semangat. Padahal menurutku, dinginnya biasa saja.
Kami sudah berkumpul di depan televisi. Ada banyak cairan kopi di depan kami. Sony juga tidak lupa membawa kartu remi. Malam itu, jarum jam masih berhenti di angka delapan malam.
Tiba-tiba saja Raka membuat usulan.
“Kita jangan habiskan 2012 hanya dengan main kartu remi. Kita ini mahasiswa. Ada baiknya kita mengulas balik tahun yang sebentar lagi akan mampus ini.”
“Kamu apa sedang kerasukan, Sobat?” tanyaku cepat.
“Tidak. Barangkali kita bisa ingat kembali sebuah peristiwa yang membuat kita tertawa dan juga menangis. Apa kalian setuju?”
“Ide yang lumayan,” sahut Riyan. Sony juga mengangguk.
“Di Indonesia saja atau seluruh dunia?” tanya Sony.
“Dunia dulu. Setelah itu baru dalam negeri.” Sok bijaksana, Raka menjawab. Aku memilih untuk menikmati kopi.
Suasana sungguh sangat menyenangkan. Ternyata malam tidak selalu harus dihabiskan dengan kartu remi. Ide Raka memang keren. Dan aku sangat suka.
“Siapa yang mulai?”
“Aku.” Tegas, Sony menjawab. Ia tidak lupa mengacungkan tangan. Mirip saat aku SMA dulu. “Ada peristiwa yang begitu mengejutkan di penghujung tahun ini. Dan baru saja terjadi kemarin. Dunia begitu riuh dengan ulah Suku Maya. Menurut mereka tanggal 21 Desember 2012 adalah hari di mana dunia ini tutup usia, alias kiamat. Kalian percaya?” Ia menghela napas sejenak. “Untung saja aku tidak percaya ketika itu. Coba saja aku percaya, pasti kalian akan mem-bully-ku habis-habisan,” tukasnya sambil meledakkan tawa. Raka tampak mengangguk serius.
“Apa kalian bisa jujur?” aku menyumbang pertanyaan. Sony membusungkan dadanya. Ia merasa memiliki pendukung yang militan.
“Hayo jujur!” kata Sony menimpali. Raka dan Riyan saling pandang. Kemudian mengangkat bahu bersamaan.
“Tidak ada yang percaya!” jawab keduanya kompak.
“Meski aku tidak beragama, tapi aku lebih percaya Tuhan. Daripada ramalan Suku Maya. Tapi dugaanku, mereka juga tidak akan percaya dengan kiamat. Aku yakin sekali,” urai Riyan.
“Kamu punya dasar yang kuat?” todongku cepat.
“Tidak!”
Semlohai!
“Tahun ini adalah tahun yang sangat menyedihkan untukku,” tiba-tiba saja Sony menyambung dengan cerita lain. “Aku belajar banyak darinya. Ia penyanyi hebat. Tapi ia kurus, langsing. Sedangkan aku mirip gajah. Gereja kurang suka jika aku pamer suara di sana.” Sony mengubah model duduknya. Sekarang ia bersila. Ia tampak memaksa. “Kejadiannya 11 Februari 2012. Whitney Houston meninggal dunia karena tenggelam di bak mandi (bathtub) dan penggunaan kokain di Beverly Hilton Hotel kamar 434. Ia matinya tidak baik. Tapi ia terlanjur dielu-elukan umat. Dunia mengenalnya. Suaranya mampu menggapai surga.”
“Ada yang bilang ia dibunuh, Son! Apakah itu benar?” tanyaku.
“Apa peduli kita, Bro? Faktanya ia sudah mati. Dunia bungkam. Hanya bisa meneteskan air mata.”
“Iya juga, sih. Ngapain kita susah-susah memikirkannya. Ha ha ha.” Aku hanya bisa tergelak.
“Kalau aku lebih suka menyorti berita tentang lagu Gangnam Style yang dibawakan oleh penyanyi Korea Selatan, PSY (Park Jae-sang). Sebab lagu itu masuk dalam Guinness World Records sebagai video di Youtube yang banyak disukai. Tarian “Gangnam Style” juga sangat populer dan menjadi salah satu gaya tari saat melakukan “flash mob“. Gangnam Style sendiri berasal dari kata “Gangnam” yang merupakan nama wilayah di Korea Selatan.” Tenang, Raka bertutur. “Tapi kukira, ia seperti badut. Lihat saja pakaiannya. Apa, sih, yang menarik dari lagu itu?”
“Ha ha ha. Siapa yang kamu marahi, Sobat?” Riyan bertanya.
“Nah, itu masalahnya. Ha ha ha.” Raka hanya bisa terbahak. “Bagaimana denganmu, Choi?”
“Aku tidak bisa melupakan trailer film Innocence of Muslims di Youtube yang -konon- menghina Nabi Muhammad. Gejolak ini diikuti dengan aksi anarkis anti Amerika di Libia dengan menewaskan Duta Besar Amerika Serikat untuk Libia, J. Christopher Stevens. Kesannya, Islam-Kristen bertikai. Saling bunuh. Tidak bisa akur. Padahal faktanya, kedua agama masih bersaudara. Sama-sama agama langit. Tapi menurutku, pembuat film itu juga keterlaluan. Apa ia tidak mengerti jika akhir-akhir ini, warga muslim suka mendidih. Huft. Jika sudah begini, siapa yang rugi, coba?”
Dua mata Sony menyipit. Ia baru menyadari jika kegelisahan yang ia alami terjadi juga padaku.
“Tapi ada juga yang membuatku senang, Sobat. Karena di tahun ini, Perserikatan Bangsa-Bangsa menyetujui meningkatkan status Palestina sebagai Pengamat Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa Bukan Anggota. Resolusi Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa 67/19 menetapkan masuknya Palestina sebagai negara non-anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa. Resolusi ini disahkan oleh Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa ke-67,” kataku panjang. Sony tampak sangat serius memperhatikanku, “dengan begitu, bangsa Palestina bisa sedikit bernapas lega. Aku kira warga dunia ingin sekali melihat bangsa Palestina bebas dari segala bentuk penjajahan. Sebab mereka sadar, polemik Palestina-Israel bukan masalah agama. Itu murni masalah pencaplokan wilayah. Dan perlu kita tahu, banyak non-muslim yang hidup di Palestina juga terkena kebiadaban Israel.” Mlogo, Sony memandangiku. Riyan dan Raka terlihat sepakat sekali dengan apa yang aku uraikan.
“Aku sepakat sekali dengan uraian kamu, Choi. Aku juga melihat, bahwa mereka bertikai bukan berlatarbelakang agama, tapi lebih ke masalah penjajahan. Perebutan wliayah. Tapi sayang, dunia Barat seolah tidak peduli dengan mereka. Dan yang terjadi saat ini adalah buah panjang dari kesabaran mereka.” Berkaca-kaca, Riyan mempertegas uraianku.
“Jangan lebay begitu dong, Bro,” seloroh Raka.
“Bagaimana dengan kamu, Raka? Apa cerita yang kamu punya?” todong Sony. Raka belum siap.
“Apa yang akan kuceritakan sudah kalian uraiakan.” Tenang, Raka menjawab todongan Sony. “Menurutku sudah cukup. Sekarang ganti kejadian lokal. Setuju?”
“Boleh juga,” sahut Sony gembira. Aku dan Riyan hanya bisa mengamini kegembiraan Sony.
“Aku yang pertama. Kalian masih ingat bulan Desember tahun lalu?”
“Ingat. Ada Natal di sana!” jawabku bercanda.
“Ah. Bukan itu. Ini tentang kejadian yang memilukan di Mesuji. Kalian pasti ingat, kan?”
“Oh. Benar. Mesuji!” Riyan berseru. Sony dan aku membulatkan bibir.
“Kamu tahu kasus itu, Riyan?” tanya Raka cepat.
“Aku kurang tahu. Aku hanya mendengar, itu tragedi yang memilukan,” jawab Riyan sambil menaikkan dua bahunya, “jika kamu tahu, bagi dengan kita!” pinta Riyan selanjutnya.
“Yang aku dengar, konflik itu meledak di tiga kawasan, yakni Register 45, Desa Sritanjung Kabupaten Mesuji Lampung, serta Desa Sodong Kecamatan Mesuji, Sumatra Selatan,” urai Raka sambil mengernyitkan dahi. Ia seperti sedang membongkar memori yang ada di kepalanya.
“Apa akar masalahnya?” tanya Sony cepat.
“Menurut Wamenkumham, ada pembiayaan dari perusahaan dalam penertiban kawasan hutan dan pengamanan perkebunan. Kasus ini terjadi medio Desember 2011-Januari 2012. Dari tujuh orang yang tewas, lima dari pihak PT SWA (Sumber Wangi Alam), selaku pengamanan swasta dan dan dua dari masyarakat. Kasus ini adalah cerminan buruknya hubungan korporat dengan masyarakat. Tata kelola perusahaan yang buruk dan rumitnya eksekusi penanganan konflik di lapangan. Hm, harapanku, semoga kasus-kasus seperti ini tidak terulang di kemudian hari.” Wajah Sony Raka menjadi sangat murung. “Ada yang lain?” tanyanya kemudian.
“Ada,” sahut Sony cepat. “Bagaimana dengan demo buruh di Cakarang? Apa itu termasuk peristiwa yang hot di sepanjang tahun ini?”
“Ceritkana dulu, Bro!” seruku cepat.
“Menurutku, tidak ada tindakan yang jauh lebih berani dan sangat radikal, ketimbang pemblokiran tol Cikarang. Benar-benar gila, nekad, tapi sungguh luar biasa dampaknya. Unjuk rasa ini berlangsung di lima titik. Terjadi pada Jumat 27 Januari 2012. Kondisi ini menyebabkan lumpuhnya transportasi yang mengambil jalur melalui Cikarang Barat. Termasuk tertutupnya akses Tol Cibitung dan Cikarang Barat. Akibat peristiwa ini, buruh menempati posisi yang diperhitungkan dalam percaturan politik dalam negeri. Isu-isu perburuhan menjadi topik yang hangat sepanjang tahun. Serikat buruh mulai dianggap keberadaaannya dan langkah-langkahnya. Kasus ini menjadi populer, karena inilah masalah klasik yang akan terus terjadi. Ketegasan pemerintah menjadi solusi. Di lain pihak, pengusaha pun mulai berani bersikap jujur, tentang Overhead Cost yang ternyata menjadi masalah utama upah buruh murah,” urai Sony panjang. Ia tampak kehabisan napas.
“Sebaiknya kamu minum dulu, Son. Biar nyawamu tetap pada tempatnya,” sahut Raka usil. Sony hanya bisa tersenyum kecil. Sebab ia merasa berhasil menyihir kami.
“Peristiswa yang sangat luar biasa menurutku. Tapi aku punya peristiwa yang lebih dahsyat lagi. Apakah kalian bersedia mendengarnya, Kawan?” tanyaku. Raka dan Riyan kompak menguap. Sementara Sony bergaya orang yang sedang ngantuk. “Baiklah. Tampaknya kalian sudah ngantuk. Tapi bagaimana dengan FPI?”
Sony, Raka, Riyan kembali khidmat.
“Apa? FPI?” tanya Sony heran.
“Benar. FPI. Kok, kamu kaget banget, Son? Apa kamu pernah tertangkap saat mereka melakukan sweeping? Ha ha ha.”
Asu!
“Apa yang bisa kamu ceritakan?” tanya Raka antusias. Kepura-puraannya sebagai orang yang sedang mengantuk berat berantakan.
“Katanya kalian mengantuk? Mau tidur?” Aku merasa seperti di atas angin. “Bagaimana dengan kamu, Son? Kamu berminat?”
“Ceritakan sekarang!"
“Baiklah. Jadi begini, aku tidak akan menyoroti bagaimana sepak terjang FPI dalam mewujudkan cita-cita sucinya.”
“Lalu?” sahut Riyan cepat.
“Hm. Bersabarlah kalian,” kataku sambil mengambil napas. “Tapi aku hanya ingin menyoroti pemerintah yang menurutku begitu tidak dewasa dalam menyikapi FPI. Lihat saja, bagaimana Pak Menteri yang hanya bisa tersenyum ganteng setelah kantornya dirusak. Belum lagi kasus di Monas. Ah. Langkah pemerintah cuma angin-anginan. Tapi, ya tidak sepenuhnya salah Pak Menteri. Aku yakin, beliau sadar betapa solidnya FPI dan betapa kuatnya orang-orang yang ada di belakang FPI. Masalah ini adalah contoh konflik horisontal yang melibatkan lintas agama dan suku. Dan pertanyannya sekarang adalah bagaimana diplomasi pemerintah menengahi pro kontra FPI? Apa kalian bisa menjawab? Hah?” tanyaku serius. Semua yang ada di depanku hanya bisa bungkam. “Yang bisa menjawab hanyalah waktu. Kita tunggu saja dengan sabar, Kawan.” Aku menukasi ceritaku. Sony masih dalam diamnnya. Posisinya yang minoritas membuat dirinya memendam trauma terhadap kelompok-kelompok yang menyebut dirinya sebagai representasi Tuhan. Sony tidak bisa seperti Riyan dan Raka. Keduanya begitu tenang, santai, dan damai menjadi minoritas di negeri ini. Sementara Sony tidak bisa seperti keduanya. “Son. Kamu ada cerita yang lain?” tanyaku tiba-tiba. Ia tampak terkejut. Tapi ia sudah siap dengan ceritanya.
“Siap. Apa kalian masih ingat dengan si cantik jelita Angelina Sondakh?” Sony bertanya. Senyumnya mengembang. Aku dan Raka menabrakkan pandangan. Sedangkan Riyan lebih asik dengan aktivitasnya mencari upil dari lubang hidungnya yang mulai melebar seukuran jempolnya.
“Siapa yang tidak tahu perempuan itu? Putri Indonesia itu?” sahut Raka cepat.
“Aku tahu. Senyumnya bikin hatiku meleleh,” gurauku.
“Tidak lucu. Garing, Coi!” Riyan ikutan buka suara. “Sudah. Sudah. Sekarang ceritakan pada kami, Bos!” pinta Riyan. Jempolnya masih bersarang di lubang hidungnya.
“Angelina Sondakh. Cantik, pintar, dan terkenal. Ia juga baik hati, dan semuanya disempurnakan oleh terpilihnya ia menjadi anggota DPR. Tapi yang terjadi justru kepahitan. Angelina ditahan karena keterlibataannya dalam kasus suap. Ia terbukti menerima suap Rp 5 miliar dalam pemenangan proyek pembangunan wisma atlit SEA GAMES XVI dan pengadaan peralatan laboratorium di sejumlah universitas di Kementerian Pendidikan Nasional. Kasus ini tidak hanya pukulan telak bagi karir hidupnya, tapi juga sangat mengharukan, sebab Angie sedang memiliki anak kecil (Keeanu). Selain itu, ia juga belum lama ditinggal suaminya (Alm. Adjie), dan yang paling parah, ia dipecat dari Partai Demokrat. Kasian sekali memang, tapi tak mungkin ada api jika tidak ada asap.” Dengan satu helaan napas, Sony menyudahi ceritanya. Kami bertiga mengangguk takzim. Kami tetap solid, meski berita itu terdengar nyaring di telinga kami sebelumnya. “Ada cerita lain?” tanya Sony berikutnya.
“Aku rasa, semua belum bisa melupakan peristiwa berdarah yang terjadi di Sampang, Madura. Itu tragedi kemanusiaan.” Tenang dan penuh wibawa, Riyan menyambung cerita. Aku antusias. Begitu juga dengan Sony dan Raka.
“Tragedi Syi’ah?” tanya Sony cepat. Riyan mengangguk.
“Massa membakar pemukiman kaum Syiah. Tidak ada satu pun yang tersisa. Mereka begitu bengis. Dikuasai nafsu membunuh. Tapi sayang, mereka selalu melibatkan agama. Lagi-lagi agama,” ujar Riyan geram.
“Kamu tahu akar masalahnya, Yan?” tanyaku cepat.
“Akar masalahnya beragam. Ada versinya masing-masing. Yang aku dengar, bentrokan tersebut dipicu karena ketidaksenangan warga Sunni terhadap kepulangan sejumlah santri Syiah dari Pesantren Yapi, Pasuruan. Berita ini aku baca dari Antara. Konflik yang paling mengerikan dan menyedihkan menurutku. Coba bayangkan! Konflik dalam satu keluarga yang berbeda mahzab meluas menjadi konflik kampung dan konflik agama. Dalam eskalasi nasional, sekali lagi, ini adalah tragedi kemanusiaan. Aku hanya bisa berdoa, Kawan. Semoga peristiwa ini bisa menjadi pelajaran berharga bahwa perbedaan tidak harus diselesaikan dengan kekerasan. Perbedaan adalah anugerah.” Riyan tampak mengembuskan napas yang berat. Rasa prihatinnya begitu mencolok mata.
“Pasti ada pihak ketiga!” kata Sony yakin.
Kami bertiga mengernyitkan dahi.
“Benar!” seru kami kompak.
“Kira-kira siapa pihak ketiganya, Bos?” Raka melempar sebuah pertanyaan yang sangat sulit untuk dijawab. Itu pertanyaan yang sangat sensitiv.
“Terlalu sulit untuk dijawab. Pengadu domba memang selalu ada. Tidak akan musnah sebelum dunia ini tutup mata.” Bijak, Sony menyumbang kalimat. Aku mengangguk. “Ada yang lain?”
“Aku kira sudah cukup, Kawan. Begitu banyak peristiwa. Jika kita bahas satu per satu, maka kita tidak akan sempat menyalakan kembang api. Lihat! Sudah hampir jam dua belas,” kataku sambil menunjuk jam dinding yang menempel kedinginan.
“Tumben kamu waras, Bro?” tanya Sony usil.
Tahun baru telah datang. Kembang api terdengar di mana-mana. Kami berempat meletupkan harap masing-masing. Kami melihat malam mengamini harapan kami. Malam yang indah. Pergantian tahun yang syahdu. Dan hawa dingin kota Batu yang menggila.
Sudah pukul dua dini hari. Dingin yangmenjadi-jadi memaksa kami menguap. Kami sepakat mengentikan acara begadang. Kami memilih untuk segera tidur. Sebab esok hari, kami sudah harus berada di Cangar. Kami akan memanjakan tubuh dingin kami di sana. Sebab, terbungkus kabut semalaman kurang menyehatkan badan kami. Dan sumber mata air panas Cangar adalah solusinya. Selamat tidur. Semoga kami mimpi indah.


Mengapa Saya Lebih Memilih Ikut Perlombaan Burung Lovebird?

  Mengapa Saya Lebih Memilih Ikut Perlombaan Burung Lovebird? Di tengah hiruk-pikuk kehidupan modern yang penuh tekanan dan tuntutan, mencar...