Kamis, 02 Februari 2023

Cerita Bener-bener Pendek: Sefrekuensi

 


Malam kemarin. Tepatnya menjelang pagi. Saya ngobrol panjang dengan Ibu Negara (Baca: Istri) di beranda rumah yang berhadapan langsung dengan bising belalang daun yang sejak magrib tadi bersuara. Di akhir percakapan kami, saya bertanya,

“Dulu. Dulu sekali. Sebelum kita menikah, apa yang kamu minta kepada Tuhan tentang jodohmu?”

Ia berdiri. Lalu membereskan sisa camilan di meja depan kami. Ia menatapku aneh. Ia melempar senyum. Aku tidak bersuara. Hanya mengangkat dua bahu. Sambil menggerakkan wajahku sebagai penegasan. Ia bersuara.

“Saat tahu perempuan itu butuh laki-laki sebagai pasangan hidup. Maka aku meminta kepada Tuhan laki-laki yang mengerti agama, berasal dari pesantren tapi memiliki pemikiran terbuka; tidak jumud, dan laki-laki yang sefrekuensi denganku. Tapi sayang …,” ia menjeda. Memancingku bertanya.

“Sayang apa?”

“Sayang aku lupa tidak meminta laki-laki yang ganteng dan kaya. Yah, jadinya begini. Ah. Andai waktu berkenan kembali ke waktu itu.” Ia berlalu sambil membawa gelas bekas kopi kami.

Aku masih dipenjara tawa.

Tapi ia sudah tidak di dekatku lagi.

Tamat!

 

Secangkir Kopi Untuk Hanna (Novel Series) - Luthfi Madu-#3

 






***

Banyuwangi. Tujuh jam dari Malang. Kami tidak menunda waktu lagi. Kami berangkat. Detik itu juga.

Kamu sanggup?Abay tampak prihatin dengan keadaanku. Andai saja aku bisa nyetir sejak dulu. Ia melepas satu penyesalan.

Apa yang tidak untuk Hanna? sahutku pelan. Aku masih sanggup. Bahkan lebih dari ini aku juga sanggup. Aku selalu berapi-api.

Baiklah, kata Abay pendek. Lalu mengatubkan dua matanya.

Jalanan panjang, hitam, yang kutapaki menampilkan panas yang luar biasa. Seperti rebusan air yang sedang puncak-puncaknya. Malang sudah melepas kepergian kami. Pasuruan menerima kami dengan tangan terbuka. Hangat sekali.

Abay masih pulas saat mobil kami sudah menjauh dari kota itu. Sebentar lagi, kami akan masuk ke Lumajang. Tapi aku memutuskan untuk berhenti sesaat. Aku lelah sekali.

Ada sungai yang mengalir tenang di depan mataku. Aku melihat angin itu datang tergopoh-gopoh. Lalu menjilati permukaan sungai. Gelombangnya menjadi berkilat-kilat. Memantulkan panas yang jatuh langsung dari matahari. Sungai itu seperti peraduan. Angin itu membawa rindu yang menahun. Aku tahu itu. Kau pasti juga pernah melihatnya, Hanna.

Sebuah tangan hinggap di bahuku. Sebaiknya kamu tidur dulu.

Aku menginginkan itu, Kawan. Tapi dua mata ini enggan terpejam. Sebab, keduanya begitu takut waktu tak membangunkan mereka lagi, kataku sambil menatap kepedulian Abay. Jangan khawatirkan aku, Bay. Sumpah. Aku masih sanggup. Aku kemudian berdiri. Memecah kekhawatirannya. Abay mengangguk mantap. Setelah itu, ia terpaku pada punggung bukit yang menggendong ribuan pinus. Dan juga rimbun alang-alang. Dengan sesekali kawanan seriti menggelitik pinggangnya. Bukit itu tertawa riang. Tapi tidak dengannya. Abay tetap saja dingin. Sedingin yang dulu.

Aku takut kamu tidak bisa menerima kenyataan! Kesunyian pecah. Aku hanya menggelengkan kepala.

Tidak tahu, pendek, aku menyahut.

Faya. Tapi percayalah, Tuhan pasti memeluk doa-doamu, katanya menenangkan. Tuhan akan menyatukan kalian, imbuhnya.

Aku hanya melihat langit di atas sana. Aku hanya ingin tahu, sabda apa yang didengungkan semesta untuk cinta ini. Cinta kita. Aku dan kamu, Hanna.

Lumajang tampak begitu hijau dari kejauhan. Tapi udara di kota itu tidak sesejuk Malang. Aku tidak ingin berhenti terlalu lama. Aku melewatinya begitu saja. Aku terburu. Sebab, aku ingin segera tiba di Jember. Lalu Banyuwangi. Aku melirik Abay sejenak. Ia masih mengatubkan dua matanya dengan sangat bahagia. Yang kulihat dari wajahnya adalah paradoks hatiku. Tapi tidak mengapa. Aku pasti baik-baik saja.

***

Banyuwangi. Yang kuingat adalah Ketapang. Pelabuhan itu selalu ramai. Membawa jutaan harap manusia yang ingin berbahagia di seberang sana. Aku pernah di sana ketika itu. Tentu bersamamu, Hanna. Kau masih ingat? Tentu saja.

Coba kau ingat-ingat lagi. Pagi itu, sekitar pukul enam lebih sedikit, kau tampak begitu murung. Wajahmu tertekuk sempurna. Ada apa? Aku bertanya di sebelahmu. Aku takut. Sangat takut, Faya. Kenapa? Aku bertanya lagi. Sebab, pelabuhan ini begitu membenciku. Aku takut ia berdoa buruk tentang hubungan ini. Hubungan kita.

Lalu aku menggenggam jemarimu.

Percayalah, Hanna. Pelabuhan ini hanya iri dengan kita. Atau bahkan, malah sebaliknya. Kebahagiaan kita menular padanya.

Kau jangan bercanda.

Tidak. Sebentar, Hanna. Beri aku lima menit. Aku ingin menulis surat kepadamu. Tentang Ketapang ini.

Kau tampak tersipu ketika. Lalu menungguku menulis. Tanpa suara. Hening. Begitu hening.

Kalimat per kalimat tumpah di kertas itu. Sesekali aku melihat wajahmu. Ayu. Sungguh wajah yang membuatku tidak butuh apa-apa lagi. Kau membalasnya dengan sedikit tersenyum. Oh. Hanna.

Aku sudah selesai menulis surat. Kau tampak tak sabar ingin membacanya. Tangan putihmu mengulur. Mengharap kertas itu segera pindah di jari-jari lentikmu. Aku mengangguk,

Silakan.

Kau menunduk. Dan mulai membacanya.

Perempuan pelangi. Aku menyebutmu begitu. Semoga saja kau tidak keberatan. Semoga Tuhan terus memelukmu.

Hanna. Lihat riak air itu. Begitu gaduh. Tapi manusia selalu berada di pinggirya. Merasakan sentuhannya. Sebab katanya, itu adalah keberkahan. Barangkali, aku juga mengatakan hal yang sama. Hanna, kau begitu gaduh tapi teduh. Aku adalah jiwa-jiwa yang selalu berada di lingkarannya. Jika kau melepasku, maka aku menjadi abu. Aku selalu suka kau yang gaduh. Meramaikan semesta. Membungkus bahagia dengan kemasan yang sangat sederhana. Mengejar angkot, menumpang dengan tidak pernah memiliki tujuan. Itulah Hanna. Kegaduhan yang membawa keteduhan.

Hanna. Apakah kau pernah merasakan jika kadang awan membuat mendung? Bahkan sampai gelap? Benar, Sayang. Awan itu sengaja menggodamu. Lalu bertanya, bagaimana Tuhan menciptakanmu dulu. Maka jawablah: Tuhan menciptakanmu sambil tersenyum.

Hanna. Sudah. Aku menyudahi surat ini. Aku selalu kehabisan diksi jika sudah membahasakanmu. Tapi aku akan selalu berjanji, aku tidak akan pernah berhenti mencari diksi-diksi yang lain tentangmu. Terima kasih atas dua matamu yang sayu. Yang kau biarkan lelah demi surat kecil ini. Semoga, hari ini, esok, lusa dan seterusnya kau dan aku selalu bersama. Bahkan, sampai di Firdaus sana.

Kau kembali menatapku. Surat itu kau lipat rapi. Kemudian masuk ke dalam saku kemejamu.

Jangan, Hanna.

Kau menggeleng.

Surat ini akan kugenggam sampai aku tiada. Lalu ia mengerling.

Tapi itu surat yang buruk, Hanna, aku mencoba mencegahnya.

Lain kali, tulislah surat untukku lagi. Aku pasti merindukan kalimat-kalimat itu. Lalu hening. Hanna menyandarkan kepalanya ke bahuku. Ketapang membuat kami merasa sangat hangat.

Sebentar lagi. Kami hanya butuh lima menit lagi itu sampai di tanah Blambangan itu. Roda kami terus berputar tanpa mengenal lelah. Abay melirikku lagi. Ia mengamati mata sapiku.

Aku tidak lelah. Perjalanan ini sangat membahagiakan, kataku buru-buru. Sebab Abay sebentar lagi akan berkomentar tentang mataku.

Gila. Cinta membuat orang tidak waras, sahutnya pendek.

Kamu sudah segar? Tidurmu seperti orang mati.

Ia tidak menjawab. Hanya kepalanya mengangguk pelan. Mobil kami sampai juga di kota itu. Banyuwangi begitu ramah. Tapi langit sedikit muram. Gelap tampak di atas sana.

Akan hujan. Sudah mendung sekali, kataku sambl mengamati gelapnya langit.

Semoga saja tidak. Kita harus segera mencari tahu desa itu. Sebelum malam menghabisi semuanya, sahut Abay sambil melempar pandangan ke jalan. Sebaiknya kita berhenti dulu. Aku akan turun mencari petunjuk, imbuhnya.

Kami menepi. Roda mobil kami berhenti tidak jauh dari POM bensin. Abay segera turun. Langkahnya terburu. Di seberang jalan sebuah warung kopi yang sedang ramai. Aku tahu, ia akan ke sana.

Hanna. Huff. Aku melepas udara yang menyesak di dada. Mudah-mudahan, semua lekas berakhir. Kita akan bertemu lagi. Aku akan mengajakmu pulang. Dengan segera. Rindu yang menggunung ini hampir saja membunuhku. Kau tahu, Hanna?

Dari kejahuan, aku melihat Abay sedang berbincang dengan salah satu pengunjung warung. Lalu tangannya menunjuk-nunjuk ke arah yang kabur. Lalu ia mengangguk khidmat. Tiga menit terlewat, Abay berjalan menuju arahku.

Masih jauh. Ada di pelosok. Kira-kira masih lima puluh kilometer. Kamu ingin istirahat dulu?

Aku menggeleng.

Kamu masih kuat?

Aku mengangguk tegas.

Baiklah. Terserah kamu. Tapi saranku, jangan memaksa jika memang kamu sudah lelah, tukas Abay.

Aku mengangguk lagi. Terima kasih atas semuanya.

Abay diam. Tidak merespon.

Mobil kami terus melaju. Menapaki karpet hitam yang sangat panjang. Mendung di langit semakin menjadi-jadi. Beberapa petir sudah terdengar telinga. Cahayanya yang berkilatan semakin mengukuhkan jika sebentar lagi, langit akan menumpahkan hujan. Abay tampak khawatir dengan keadaan ini. Ditambah lagi, tubuhku yang enggan sekali diajak untuk istirahat. Aku tidak salah memilihnya sebagai sahabat sejati. Sejak dulu. Meski, ia selalu tampak dingin tapi aku tahu ia sangat mempedulikan keadaan orang lain.

Hujan benar-benar turun. Lebat sekali. Jalan di depanku tampak gelap. Angin yang berembus membuat bulu kuduk berdiri penuh semangat.

Tidak, Fay. Kita tidak bisa meneruskan perjalan ini. Kita harus istirahat. Jalan begitu gelap. Gusar, Abay memintaku untuk berhenti dulu. Kali ini aku menurut.

Baiklah, jawabku sambil mengangguk.

Aku segera memelankan mobil. Dua mataku mengedar mencari tempat parkir yang paling nyaman. Hampir lima menit terlewat, yang kudapati hanyalah jajaran pohon besar yang meneduhi jalan. Dalam keadaan hujan yang lebat, haram hukumnya berteduh di bawah pohon besar. Kalau nasib kita sedang bagus, maka pohon itu tidak akan rubuh. Tapi jika kita sedang sial, maka pohon besar itu tidak akan segan-segan menindih kita.

Ada POM, lima ratus meter lagi. Meski sangat lebat dan gelap, aku masih bisa membaca keterangan tersebut.

Ada POM. Kita di sana aja!

Abay hanya mengangguk. Lalu bersendekap. Ia tampak kedinginan. Tapi tidak. Ia tidak mungkin kedinginan, tapi aku melihatnya ia sedang geram. Tapi entah, ia geram karena apa. Hujan? Mingkin. Aku? Barangkali itu.

Hanna. Aku melihat hujan yang lebat. Ia membentuk wajahmu. Elok. Kau masih ingat saat kita di Payung dulu? Kau menggigil. Sebab bajumu terkena siraman air di Coban Rondo. Dan kau lupa menyiapkan baju cadangan. Aku menggenggam erat tanganmu. Tiba-tiba saja badanmu begitu panas.

Kau sakit? Apa yang kau rasakan? tanyaku cemas.

Tapi kau malah melempar senyum. Indah sekali. Aku menjadi bingung. Lalu, ah. Itu kali pertama aku merasakan halus pipimu. Putih. Lalu sedikit memerah. Kita larut dalam bahasa itu.

Kami sudah berhenti di POM. Abay masih tampak geram. Ia diam. Lalu mengatubkan dua matanya. Aku menyusulnya.

Aku ingin tidur, Hanna. Datanglah. Aku merindukanmu. Benar-benar puncak rindu. Aku ingin memelukmu. Karena hawa di sini begitu dingin. Tapi bagaimana denganmu? Apakah kau kedinginan?

Hanna. Andai kau tak ada, tak kutemukan lagi. Maka, langit biar segera menjemputku. Sebab, ia tahu. Kau adalah kehidupanku.

Lalu semuanya menjdai hening. Gelap. Lelah. Aku sangat lelah.

Rabu, 25 Januari 2023

Tulisan Yang Tak -Pernah- Usai (Ng-Ainun Naim)

 

Tulisan Yang Tak -Pernah- Usai (Ng-Ainun Naim)

Prolog

Masih segar dalam ingatan saya. Saat itu, 2015. Saya kali pertama menjadi bagian keluarga besar kampus tercinta ini, UIN SATU Tulungagung (dulu IAIN-TA). Sebagai keluarga baru, waktu senggang setelah mengajar saya manfaatkan untuk mengamati banyak hal baru yang ada di depan mata saya. Semua serba menjajikan keajaiban. Saya menghela napas lega. Tuhan selalu tepat waktu memberikan apa yang terbaik untuk hamba-hamba-Nya. Saya didaratkan di sebuah kampus yang revolusioner, membangun peradaban, dan pelopor dakwah; setelah sebelumnya saya merasa sangat lelah dengan sejarah panjang hidup yang saya habiskan di jalan –menggelandang-, dan tak punya jangkar yang bisa saya gunakan untuk mengantisipasi saat waktu benar-benar sadis menghabisi saya. Sebab itu, sembah sujud syukur saya haturkan pada-Nya, pada semesta, dan pada tanah yang saya pijak hingga hari ini. Dan terima kasih yang tak terukur untuk rumah besar ini; terima kasih atas selimut pengetahuan yang menghangatkan tubuh saya. Sekali lagi terima kasih.

Lalu, saya duduk di sebuah warung kopi yang tidak pernah saya kenal sebelumnya. Warung berpetak itu terletak di depan gedung tempat saya mengajar. Saya segera mengeluarkan sebuah buku yang sejak kemarin sore terlelap di tas hitam saya. Buku itu sederhana. Tidak tebal. Tidak mengejutkan. Akan tetapi mampu menyita perhatian saya; mengurung kegemaran saya membaca. Saya baca pengantarnya. Beberapa nama keren nampang dalam pengantar. Lalu saya melanjutkan ke bagian daftar isi. Dan dari sinilah saya tahu bahwa ternyata buku itu terpolarisasi menjadi dua kubu besar: menolak dan mempertimbangkan. Menolak yang dimaksud adalah menolak konsep pemikiran yang kala itu –diangggap- sangat kontroversi, dan jahat. Sementara mempertimbangkan dalam hal ini –menurut saya- hanya “mencari selamat” dari beragam komentar destruktif yang kelak berdatangan kepada penulisnya. Tapi terlepas dari pendapat “gila” saya, beberapa tulisan yang masuk dalam kubu mempertimbangkan ini adalah upaya memaklumi pemikiran dari sudut pandang akademis; melepaskan konsep surga dan neraka. Pemikiran ya pemikiran, hasil kerja cantik Tuhan yang dianugerahkan kepada manusia.

Saya seperti sedang berada dalam proses de javu; saya kembali terbang ke sebuah waktu dimana saya masih galak-galaknya menjadi seorang mahasiswa. Dalam sebuah forum besar, yang ketika itu mendatangkan seorang pemateri dari unsur agamawan, beliau adalah KH. Luthfi Bashori. Saya yang masih bau kencur -tapi kata teman saya, bau kemiskinan :D-, dengan berapi-api menolak apa yang disampaikan oleh beliau. Beberapa teman saya menepuk bahu saya dan mengatakan: “Sudah. Kamu suul adab!” Kemudian saya menyudahinya sambil menggerutu dan menampilkan wajah seolah-olah saya menerima semua “kekalahan” saya. Mereka yang menepuk bahu saya, melempar senyum aneh dan mengamini kekalahan saya.

Lalu, di mana benang merahnya?

Begini, buku yang saya baca ketika itu memiliki tema yang sama dengan forum besar yang diisi oleh KH. Luthfi Bashori tersebut. Satu tema yang sama: tentang JIL, Jaringan Islam Liberal, yang digagas oleh Ulil Abshor Abdalla (Cendekiawan muda NU). Dan tiba-tiba saya tertawa. Menertawai “kelucuan” saya ketika suul adab dengan beliau, KH. Luthfi Bashori. Saya tidak pernah kenal dengan Ulil Abshor Abdalla. Tidak pernah bertemu. Tidak pernah ditraktir ngopi. Tapi saya membela habis-habisan saat ia dikatakan halal darahnya hanya gegara pemikiran JIL-nya.

Dan sekarang, lupakan de javu saya. Mari terbang lagi ke 2015. Ke hamparan buku yang saya baca di warung kopi depan gedung tempat saya mengajar. Jujur, setelah beberapa halaman saya baca, rasa bosan saya mulai muncul. Sebab, di bagian yang pertama, kubu yang menolak narasi-narasi yang disampaikan hampir sama: menghakimi dan menghukum. Akan tetapi, kebosanan saya tiba-tiba menguap. Ada satu penulis yang membuat saya tidak jadi menutup buku itu. Nama dari penulis itu begitu asing, sederhana, kolot, dan –kayak-kayaknya- tidak banyak menjajikan kejutan. Namun, instansi tempat penulis itu mengabdi membuat saya menganulir niat saya untuk segera beranjak dari tempat itu. Penulis itu bernama Ngainun Naim. Dan saya langsung bergumam: “Sudah tahun 2015 masih saja tidak tanggap EYD.” Tapi saya tidak peduli dengan nama itu. Saya hanya peduli dengan tempat beliau bekerja: IAIN Tulungagung. Paragraf demi paragraf saya kunyah habis. Aneh, tidak menyangka jika paragraf-paragraf yang saya kunyah habis itu menghasilkan banyak energi dalam kepala saya. Tulisan-tulisan beliau sangat diplomatis, segar, tapi juga terkesan “cari aman”. Melalui tulisan itu, beliau mencoba memaklumi gagasan JIL. Sebab, kerangka pemikiran yang diajukan JIL ternyata sudah ada sejak dahulu kala. Menurut beliau, para pemikir Islam dulu juga sudah berdebat hebat perihal sebuah gagasan atau pemikiran, misalnya saja perdebatan antara Ibnu Rush dengan Hujjatul Islam Imam Ghazali. Atau tentang gagasan Salman Rushdie melalui ayat-ayat setannya (The Satanic Verse); yang menjadikan ia diburu banyak orang dan harus dihabisi. Artinya, gagasan JIL ini adalah hal biasa. Tidak ada yang mengejutkan bagi beberapa kalangan. Perihal penolakan, itu adalah bonus, yang pada akhirnya dalam jangka panjang banyak orang akan “terangsang” otaknya –setidaknya- meng-counter gagasan itu, atau sebaliknya, menguatkan dan memperkaya gagasannya. Tapi sekarang, lupakan tentang buku itu dan tempat saya menumpang membaca. Mari saya ajak kembali pada masa sekarang. Silakan nikmati apa yang saya tulis tentang nama yang dulu pernah saya serapahi dengan kalimat “tidak tanggap EYD”.

Keramatnya Nama “Ng-Ainun Naim

Tuhan membayar lunas gumaman saya. Kira-kira begitu jika apa yang saya rasakan menjadi headline surat kabar berkelas nasional. Ini tidak berlebihan. Saya hanya mengatakan: Nama itu punya keramat: Ngainun Naim.

Saya lahir di keluarga pesantren salaf. Sejak kecil, kata keramat sudah keseringan hinggap di telinga saya. Keramat -sementara ini- bisa dimaknai sakti, bertuah. Tapi kata ibu saya, keramat itu malati. Setelah saya beranjak dewasa, saya riang gembira sebab kata keramat mulai tereduksi di keluarga saya. Tapi “sialnya” kata keramat itu -sekarang- lebih sering berdengung di telinga saya tatkala saya menikah dengan perempuan Arab, dan aktif berinteraksi dengan keluarga besarnya. Di keluarga Arab, kata keramat akan disebut puluhan kali dalam sehari. Apa pun itu, jika memliki sejarah, pasti dikatakan keramat. Kebetulan, Ayah mertua saya ini adalah “juru kunci” dua makam yang tiap hari tidak pernah sepi pengunjung. Tiap tahun puluhan ribu orang datang berkumpul di rumah untuk mengikuti acara Haul. Jelas, ini keramat, kata istri saya, dan batin saya. Sudah meninggal ratusan tahun yang lalu masih saja bisa memberi manfaat ke orang lain. Itu hanya satu contoh. Masih banyak yang lain yang tidak bisa saya absen satu-satu. Yang jelas, saya sekarang sering mendengar kalimat: keramatnya ini, keramatnya itu. The Miracle of Keramat. Hahaha.

Sudah. Sekarang kita Kembali ke nama yang saya sebut tadi. Anda semua pasti bertanya: di mana keramatnya? Atau bagaimana keramatnya? Begini kawan. Saat saya mengatakan jika Ngainun Naim adalah nama yang tidak tanggap EYD, saya sudah tidak peduli lagi dengan nama itu. Toh, selang beberapa hari setelah saya mengatakannya, saya juga tidak merasakan apa-apa. Nafsu makan saya baik-baik saja. Nabeela Syakieb juga tetap cantik di mata saya. Mata saya tetap normal. Serapahan saya tidak mendatangkan ke-malati-an seperti istilah Ibu saya. Artinya, jiwa dan ruh saya tidak terganggu. Sehat-sehat saja.

Lalu di mana keramatnya?

Waktu begitu cepat berputar. 2015 menuju 2018 seperti kedipan mata. Tahun 2017, novel pertama saya diterbitkan LKiS Jogjakarta. Dan ajaibnya, orang pertama yang memberi kritikan novel saya adalah Ngainun Naim.

Kok bisa?

Kala itu, saya mengajar di kelas PAI, dan salah satu mahasiswa saya bernama Ngainul Yakin. Ia dekat dengan saya. Tapi tak sekalipun ia bercerita bahwa ia sefrekuensi dengan Ngainun Naim. Ia tidak pernah mengatakan jika ia adik kandung dari sebuah nama yang tidak tanggap EYD itu. Ia hanya mengenalkan dirinya, bahwa ia bernama Ngainul Yakin yang Ketika saya tanya hobinya adalah membaca. Dan saat novel saya mulai beredar, Ngainul Yakin membeli novel saya, lalu minta tanda tangan. Saya minta pendapatnya, tapi ia mengatakan jika ada seseorang yang mengkritik novel saya. Tapi ia tidak pernah meyebut nama Ngainun Naim. Ia hanya menyebutnya “seseorang”.

Saya ingat betul sabda seseorang itu. Katanya, saya adalah penulis pemula, jika menulis jangan ambisius. Ketebalan buku dan harga harus diperhitungkan. Saya berusaha mati-matian mencetak senyum di depan Ngainul Yakin. Menunjukkan jika kritikan itu sangat lezat, mengalahkan Hoka-Hoka Bento Blackpepper Miso Chicken. Dan saya akan berusaha keras untuk tidak terus-terusan menjadi penulis pemula. Ngainul Yakin undur dari dari hadapan saya. Kepala saya penuh dengan kurcaci yang bertanya: Siapakah seseorang itu?

Setelah mengabisi ribuan detik. Saya mulai bermain ilmu cocokologi. Ngainul Yakin dan Ngainun Naim rasa-rasanya terlahir dari rahim yang sama. Juga sama-sama tidak tanggap EYD. Sejak saat itu, saya mulai bergerilya. Bertanya ke banyak mahasiswa tentang keduanya. Dan akhirnya, misteri itu terpecahkan juga. Keduanya benar-benar satu frekuensi. Jika di republik ini ada gen Halilintar (Ashiyaaaap Hahaha), maka di kampus ini ada gen Ngainun.

Saya mulai memungut satu persatu puzzle yang berserekan itu. Saya mulai menatanya untuk menjadi jalinan yang utuh. Ada rasa malu yang sangat dahsyat menyerbu perasaan saya. Sejurus dengan itu, jiwa kolot saya juga berteriak: Ini Keramat.

Setelah kejadian itu. Ada dorongan kuat dari dalam diri saya untuk membaca ulang tulisan beliau di buku tentang JIL yang saa baca dulu. Terhitung 4x saya tuntas membacanya. Tidak berhenti di situ. Saya mulai bergerilya mencari tulisan-tulisan beliau yang lain. Saya memang beruntung, -dan mungkin- saya sedang dalam keramat beliau. Banyak tulisan beliau saya dapatkan, meski tidak semuanya saya baca. Sebab tetiba saja ada misi baru muncul dalam hati saya. Saya harus nekat mendekat ke beliau. Seperti kata Jet Lee dalam satu filmnya: Belajarlah kepada orang yang sudah purna melaksanakannya. Itu tekad saya. Saya harus dekat dengan beliau. Saya tidak ingin terus-terusan mejadi penulis pemula. Saya akan mengatakan kepada beliau jika nama yang tidak tanggap EYD itu ternyata “keramat”. Dan saya adalah saksi hidupnya. Sejak beliau tahu nama asli saya, saya langsung memohon kepada beliau untuk dibaiat menjadi pengikut setia beliau. Dan lamaran saya ditolak. Hahaha. Tapi tidak lama setelah itu, saya diizinkan menumpang kapal besar beliau untuk bersama-sama belajar menulis. Kapal itu bernama: SPK (Sahabat Pena Kita). Tuhan Maha Asik. Dia membuka mata saya jika saya -ternyata- sedang bermain-main dengan nama yang penuh keramat.

Akhirnya. Saya benar-benar merasakan bahwa nama beliau benar-benar keramat. Sejak mendapat siraman ilmu beliau, saya sudah tidak peduli lagi dengan cita-ciata saya menghapus predikat saya sebagai penulis pemula. Beliau menyadarkan saya, tidak penting pemula atau profesional, yang terpenting menulis, lalu menulis, dan menulis lagi. Kalimat sakti ini persis dengan apa yang disampaikan oleh Ernest Miller Hemingway (Juranalis Senior USA, Novelis): Tidak Ada Tips Dalam Menulis, Kau Tinggal Duduk Di Depan Mesin Tik Dan Berdarah.

Kini, nama yang tidak tanggap EYD itu menjadi lentera. Menerangi. Membuka jalan bagi kebekuan akal. Ribuan paragraf lahir dari jemari lentiknya. Nama itu adalah oase. Para musafir ilmu akan mendekat, lalu merasa dekat. Meminun air keramatnya. Siapa pun yang mengenalnya, seolah-olah sudah bersahabat ribuan tahun yang lalu. Seperti saya ini. Meski saya adalah ‘korban’ dari keramatnya nama itu, saya sekarang adalah orang yang beruntung. Lentera itu terus ada di depan saya. Tak pernah redup. Selalu mencipta terang. Dan selalu membuat saya, mereka, adalah orang yang sangat dekat dengannya.

Epilog

Beberapa waktu yang lalu saya dan istri menonton Film terbarunya Angga Dwimas Sasongko yang berjudul Mencuri Raden Saleh. Film ini berkisah tentang kejahatan yang dikalahkan oleh kejahatan. Diperankan oleh aktor-aktor kekinian, semisal Angga yananda dan Iqbal Ramadhan serta diperkuat oleh aktor senior Tiyo Pakusadewo. Film ini sangat menarik meski tidak pernah usai. Ending-nya masih nggantung, dan tentu saja menyisakan pertanyaan: Kapan lanjutannya akan tayang?

Persis dengan nama keramat itu. Beliau tidak pernah usai. Beliau selalu membawa kisah yang akan terus bersambung. Beliau tahu, masih banyak dari kami yang kehausan. Banyak dari kami yang berada di ujung Lorong kegelapan. Sebab itulah, lentera itu akan selalu menyala. Di mana saja. Dan kampus ini beruntung, telah lebih dulu membingkainya.

Sekian. Jangan lupa Bahagia. ^_^

 *Tulisan ini sebenarnya saya persembahkan untuk beliau saat pengukuhan guru besar. Tapi tetiba saja saya sakit. Aksara di kepala lenyap semua. Beruntung saya masih hidup. Dan akan terus memaksa beliau untuk mengangkat saya sebagai murid setia beliau :D :D :D

 

 

 

Minggu, 22 Januari 2023

Pembekalan DPL KKN

 

Pembekalan DPL KKN

(16 Januari 2023)

 

Mendung bergelayutan di lengan langit sejak pagi tadi. 16 Januari 2023. Dan agenda hari itu adalah Pembekalan DPL KKN Gelombang I Tahun 2023. Bahkan, di setengah hari menjelang pukul 12 siang, atau satu jam menuju pelaksanaan pembekalan, hujan deras mengguyur rata di sekitar kampus UIN SATU Tulungagung. Saya yang berada di sekitar 2 kilometer, dan sedang berada di atas kasur dalam posisi PW, saya bergumam: “Hujan Memang Kenal Waktu”. Dengan derasnya yang tampaknya akan berhenti sore hari, saya hampir pasti mempunyai alasan syar’i untuk tidak hadir di acara pembekalan tersebut. Tapi nyatanya, hari itu, saya memang ditakdirkan untuk menjadi DPL yang baik. Hujan berangsur mereda. Dan tepat jam 1 lebih 10 menit hujan berhenti total. Saya tancap gas menuju Rektorat Lantai-3. Acara masih belum dimulai. Saya menghela napas lega. Segera saja saya menyapa yang hadir di sana. Wajah mereka sama. Tetap penuh semangat. Di atas kepala mereka sedang terangkai berbagai macam rencana ajaib untuk dilaksanakan pada kelompok KKN mereka masing-masing.

Setengah 2 siang tepat. Para pejabat LP2M selaku pemegang otoritas pelaksanaan KKN sudah siap di meja masing-masing. Tampak di sana Prof. Dr. Ngainun Naim. M.H.I.; yang merupakan ketua LP2M, sedang membetulkan kerah baju beliau yang sebenarnya sedang baik-baik saja. Juga ada Kiyai Nafis, yang saat ini menjabat sebagai Kapus Pengabdian Kepada Masyarakat, duduk bersebelahan dengan beliau. Dua tokoh hebat; kreator di balik suksesnya LP2M UIN SATU Tulungagung menjadi pelaksana KKN terbaik di tingkat PTKIN tingkat Nasional. Di samping kedua tokoh tersebut, ada Mas Ahmad Natsir sebagai pemandu jalannya pembukaan Pembekalan DPL KKN siang itu.

Acara dibuka oleh Mas Natsir dengan senyum khasnya yang menggoda iman. Kami terkesiap. Beberapa di antara kami bahkan tampak hening; menebak-menebak kira-kira apa yang akan dibekalkan pada kami tahun ini. Apakah de javu; mengulang yang sudah-sudah, ataukah ada hal baru yang bakalan menjadi modal kami untuk berimprovisasi di lapangan. Setelah Mas Natsir selesai membuka acara, kesempatan pertama diberikan kepada Kiyai Nafis. Dalam kesempatan kali ini, beliau tampak kelihatan sedikit lebih pening. Tapi tetap saja, wajah bersahaja beliau tetap menempel kuat di sana. Beliau menyampaikan beberapa hal, di antaranya adalah jumlah peserta KKN yang tidak hanya membengkak tapi juga meledak. Tercatat ada sekitar 4 ribu lebih peserta KKN yang tersebar di semua sektor Program KKN Tahun 2023, termasuk KKN yang berbasis komunitas yang dipusatkan di daerah-daerah potensial, semisal lereng Bromo yang berada di Kawasan Probolinggo atau lereng Ngaliman yang berada di wilayah Kabupaten Nganjuk. Kiyai Nafis, dengan helaan napas pendek, beliau menyampaikan bahwa membludaknya peserta KKN ini karena faktor aplikasi yang sedang bermasalah. Tapi beliau dengan cepat menyampaikan juga, bahwa membludaknya peserta KKN ini membawa berkah yang banyak, khususnya di periode KKN selanjutnya. Artinya, jika periode ini peserta KKN banyak, maka periode berikutnya akan menjadi mudah bagi pengelola KKN, karena -tentu saja- jumlahnya akan mengecil. Selain itu, Kiyai Nafis tidak pernah bosan mengingatkan kami akan tagihan-tagihan wajib sebagai DPL, terutama masalah nilai dan hasil pendampingan. Jangan sampai dua tugas ini terlambat dengan tenggat waktu yang lama. Sebab keterlambatan ini akan berimbas pada program Fakultas. Kami semua mengangguk patuh. Lalu kami berjanji dalam hatil kecil kami untuk tepat waktu dalam segara urusan. Sebagai penutup, Kiyai Nafis menyampaikan bahwa sebagai DPL, kita semua harus terus melakukan pendampingan kepada peserta KKN masing-masing. DPL harus sering-sering memberikan wawasan tentang kondisi alam dan cuaca pada tahun ini. Jangan sampai kejadian-kejadian pada KKN periode sebelumnya terulang lagi. Beliau juga berpesan kepada DPL untuk terus mengingatkan kepada mahiswa terkait kesalahan-kesalan berulang yang dibuat oleh peserta KKN, misalnya tidak membayar listrik kontrakan yang dijadikan Posko KKN, peserta KKN tidak mau serawung dengan masyarakat setempat, dan jika terjadi masalah di lingkungan KKN, peserta diwanti-wanti untuk tidak tergesa-gesa mengunggah ke media sosial. Kiyai Nafis menyudahi pengarahan beliau dengan berpesan bahwa DPL dan peserta KKN jangan pernah menjajikan kepada masyarakat yang berkaitan dengan finansial. Jika ditanya tentang modal yang dibawa, maka jawab saja dengan modal iman dan takwa. Penutup Kiyai Nafis disambut riuh para DPL; yang sebagian tidak menyimak, tapi ikutan bersuara karena yang lain bersuara :D

Mas Ahmad Natsir kembali memegang kendali. Berikutnya, beliau mempersilakan kepada Prof. Naim (begitu sapaan akrab beliau), untuk memberikan prakata yang bisa memotivasi kami. Segera saja beliau memanfaatkan kesempatan yang diberikan. Wajah beliau selalu berseri. Saya tahu sejak dulu. Begitu pula dengan kami semua. Kami tidak sabar mendegar pesan-pesan beliau. Namun alih-alih memberikan pesan, beliau malah bercerita tentang beliau yang akan dilaporkan ke pihak yang berwajib karena dianggap “memaksa” mahasiswa untuk ikut program KKN. Dengan gaya bercerita beliau yang khas, beliau mengatakan bahwa dulu pernah ada peserta KKN yang mengalami keguguran. Dan kebetulan, suami dari peserta KKN tersebut adalah seorang aparat. Sehingga, dengan tabiat keaparatannya, aparat tersebut bersikeras akan membawa kasus keguguran ini ke ranah hukum, dengan tersangka utamanya Prof. Naim. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana jadinya Prof. Naim harus diinterogasi pihak yang berwajib. Jelas pemadangan yang sangat kontradiktif. Masak iya, tukang interogasi (baca: reviewer) harus diinterogasi. Saya tertawa kecil dalam hati. “Ada-ada saja,” gumam saya dalam hati. Tapi pada akhirnya, semua kesalahpahaman itu bisa terselesaikan dengan baik setelah pihak yang merasa dirugikan ditunjukkan surat pernyataan persetujuan ikut KKN yang ditandatangani di atas materai. Sang aparat ternyata tidak pernah menadatangani surat tersebut. “Nah,” kata Prof. Naim. Jangan sampai kejadian lucu ini terulang lagi. Maka sebagai respon dari kasus tersebut, pihak LP2M membentuk sebuah organ baru dalam KKN dengan nama KKN Inklusi. KKN ini khusus untuk mengakomodasi peserta KKN yang sedang hamil atau menyusui.

Meskipun disampaikan dengan model jenaka, cerita dari Prof. Naim tersebut memuat pesan yang sangat berharga untuk kami para DPL. Saya menangkap, Prof. Naim dalam ceritanya tersebut, sedang “mendakwahi” DPL agar selalu teliti dalam setiap administrasi yang berkaitan dengan kegiatan KKN. Jangan sampai ada rekayasa surat-menyurat atau pemalsuan tanda tangan. Untuk selanjutnya, Prof. Naim berbicara banyak tentang tagihan-tagihan para peserta KKN sekaligus para DPL. Beliau bepesan, tagihan tersebut jika dikerjakan bertahap pasti akan selesai tepat waktu. Jangan diborong dalam semalam. Prof. Naim, yang memang passion beliu di dunia literasi, beliau mengatakan bahwa program KKN ini sangat bagus untuk para DPL. Setidaknya, dengan adanya program KKN ini DPL “dipaksa” untuk terbiasa menulis. Bisa berupa catatan harian (diary) atau laporan PKM (Pengabdian Kepada Masyarakat) yang bisa membantu Prodi dalam kegiatan Akreditasi. Ringkas, padat, dan sangat mengena. Begitu komentar saya atas prakata beliau. Setelah, sekali lagi, melempar harapan besar kepada kami; para DPL, Prof. Naim menyudahi prakata beliau. Beliau menutup dengan salam hangat, dan kami menjawab sambil bertepuk tangan.

Mas Natsir yang mengetahui Prof. Naim menyudahi prakata segera mengambil alih kendali lagi. Beliau berkata, acara berikutnya adalah tanya jawab. Setelah sesi tanya jawab dibuka, banyak DPL yang melemparkan pertanyaan. Mulai masalah KKN yang berkelanjutan, penghargaan bagi DPL terbaik, sampai Jamak-Qoshor kunjungan KKN. Semua pertanyaan terjawab dengan sangat baik dan memuaskan. Setelah sesi tanya jawab selesai, maka acara pembekalan DPL KKN dinyatak selesai. Sebagai penutup, kami yang hadir di sana melakukan sesi foto dokumentasi, dan puncaknya, kami makan nasi kotak yang disediakan oleh panitia.

Mengapa Saya Lebih Memilih Ikut Perlombaan Burung Lovebird?

  Mengapa Saya Lebih Memilih Ikut Perlombaan Burung Lovebird? Di tengah hiruk-pikuk kehidupan modern yang penuh tekanan dan tuntutan, mencar...