Malam
kemarin. Tepatnya menjelang pagi. Saya ngobrol panjang dengan Ibu Negara (Baca:
Istri) di beranda rumah yang berhadapan langsung dengan bising belalang daun
yang sejak magrib tadi bersuara. Di akhir percakapan kami, saya bertanya,
“Dulu.
Dulu sekali. Sebelum kita menikah, apa yang kamu minta kepada Tuhan tentang
jodohmu?”
Ia
berdiri. Lalu membereskan sisa camilan di meja depan kami. Ia menatapku aneh. Ia
melempar senyum. Aku tidak bersuara. Hanya mengangkat dua bahu. Sambil
menggerakkan wajahku sebagai penegasan. Ia bersuara.
“Saat
tahu perempuan itu butuh laki-laki sebagai pasangan hidup. Maka aku meminta kepada
Tuhan laki-laki yang mengerti agama, berasal dari pesantren tapi memiliki
pemikiran terbuka; tidak jumud, dan laki-laki yang sefrekuensi denganku. Tapi sayang
…,” ia menjeda. Memancingku bertanya.
“Sayang
apa?”
“Sayang
aku lupa tidak meminta laki-laki yang ganteng dan kaya. Yah, jadinya begini. Ah.
Andai waktu berkenan kembali ke waktu itu.” Ia berlalu sambil membawa gelas
bekas kopi kami.
Aku
masih dipenjara tawa.
Tapi ia sudah tidak di dekatku lagi.
Tamat!

niki termasuk short story nopo flash story nggih
BalasHapuspendek poll niki
Hapus